JEFFRIE GEOVANIE
Senin, 26 Februari 2018
Jika bermain politik bisa diartikan sebagai kegiatan
tawar menawar kebijakan yang didasarkan pada pertukaran kepentingan, maka
sejatinya bermain politik tak selalu negatif. Ia menjadi negatif pada saat ada
di antara pihak yang saling tawar menawar itu melakukan penipuan sehingga
melahirkan istilah “korban politik”.
Dalam praktik, politik tak selalu identik dengan hal-hal
yang baik dan konstruktif sesuai makna generiknya “kebijakan” atau “policy”. Politik kadang
juga dipraktikkan secara destruktif yang sering diistilahkan dengan “politicking”atau
“bermain politik”. Oleh karena itu, bermain politik biasanya diidentikkan
dengan hal-hal yang negatif.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, tawar menawar
kebijakan merupakan tindakan yang biasa dilakukan dan sepenuhnya dilindungi
oleh undang-undang, sepanjang dilakukan secara jujur dan transparan. Artinya,
tawar menawar itu sah secara hukum dan biasanya dilakukan oleh para perantara
yang disebut lobbyist (pelobi).
Sama seperti profesi pengacara, lobbyist bisa mendapat imbalan (dari
pekerjaannya) atau bisa juga pro-bono.
Karena profesi lobbyist belum populer di Indonesia, maka
pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh konsultan politik atau spin doctor yang
kadang juga disebut sebagai public relation (PR) politik.
Pada
saat menjelang pemilu, baik pemilu kepala daerah maupun pemilu nasional, PR
politik menjadi profesi yang banyak diminati. Lembaga-lembaga ilmiah yang core bisnisnya melakukan
riset/survei, di tahun politik biasanya akan merangkap menjadi PR politik baik
bagi partai politik (institusi politik) maupun individu/kandidat yang ikut
berkompetisi dalam memperebutkan jabatan politik.
Yang
dilakukan PR politik, biasanya, selain menyurvei hal-hal yang paling disukai
oleh masyarakat/pemilih, juga menyurvei hal-hal yang paling dibenci oleh
masyarakat/pemilih.
Tujuan
awal survei ini sangat positif, yakni agar para aktivis partai politik,
terutama para kandidat, bisa melakukan hal-hal yang disukai masyarakat dan
menghindari hal-hal yang tidak disukai masyarakat.
Tapi,
dalam praktik, untuk hal-hal yang paling disukai atau dibenci, bisa juga
digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan lawan politik. Sebagai contoh,
jika menurut survei, agama menjadi hal yang paling diminati masyarakat, maka
kebencian terhadap hal-hal yang berbau agama bisa dijadikan sebagai isu untuk
mendiskreditkan lawan politik. Atau jika menurut survei yang paling dibenci
masyarakat adalah komunisme, maka
komunisme juga bisa dijadikan alat untuk memfitnah lawan politik.
Maka,
jika muncul isu “kebencian terhadap Islam” (Islamophobia),
atau isu kebangkitan komunis, maka perlu dilihat secara lebih cermat. Bisa
jadi, kedua isu ini sengaja dimunculkan untuk tujuan mendiskreditkan partai
politik atau tokoh politik tertentu.
Masih
segar dalam ingatan kita, di antara isu yang paling banyak dituduhkan pada Joko
Widodo (Jokowi), misalnya, adalah keterkaitannya dengan komunis, atau dengan
hal-hal yang berhubungan dengan China (aseng). Bisa jadi, isu ini sengaja
dimunculkan untuk menyulut kebencian publik terhadap Jokowi.
Politik
kebencian patut kita waspadai karena, selain bisa merusak proses demokratisasi
yang tengah kita bangun bersama, juga bisa mematikan karir politik seseorang.
Orang-orang baik dan berkualitas bisa dimatikan karir politiknya dengan cara
dihubungkan dengan hal-hal yang tidak disukai masyarakat. Cara yang paling
efektif adalah dengan menghembuskan fitnah dan kabar bohong, baik melalui
narasi (tulisan/berita) ataupun foto dan video hasil rekayasa.
Politik
kebencian harus kita lawan, caranya, selain dengan meningkatkan kewaspadaan,
juga dengan menumbuhkan kesadaran pentingnya melakukan klarifikasi terhadap
setiap isu dan atau berita negatif yang ada, terutama yang tersebar di media
sosial.
Narasi
dan foto bermuatan kebencian banyak tersebar di media sosial, karena di sinilah
setiap orang bisa dengan mudah membuat akun palsu atau pseudo name (nama samaran).
Pemakaian nama samaran merupakan modus yang paling banyak dipakai untuk
memfitnah dan menjelek-jelekkan nama lembaga atau seseorang.
Kita
patut mengapresiasi langkah-langkah kepolisian yang berhasil menciduk beberapa pelaku penyebar kebencian di
media sosial. Meskipun memakai akun pseudo
name, dengan metode dan alat tertentu, polisi tetap bisa mendeteksi
para pelaku atau pemilik akunnya secara riil.
Terhadap
akun-akun palsu dan akun-akun yang menyebarkan kebencian, cara terbaik adalah
melaporkannya pada pihak yang berwenang menindak, misalnya aparat kepolisian
bidang cyber crime.
Melaporkan setiap ujaran kebencian (baik
di dunia maya maupun dunia nyata) merupakan langkah konstruktif untuk melawan
politik kebencian.
Sumber: Geotimes.Co.Id
0 komentar:
Posting Komentar