Dahlan Iskan | Selasa, 11
Agustus 2009
- Memangnya Dia Bisa Merobek Bendera Itu Sendirian
Setelah hampir 25 tahun tinggal di Sydney,
Australia, Soemarsono sempat ke Surabaya. Tujuh tahun yang lalu. Yakni
ketika dia ke Jakarta untuk menengok anak-anaknya. Kali ini dia ke Indonesia
sebagai orang asing. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Kota Surabaya. Kota yang
pada 1945 melakukan pertempuran besar dan dialah salah seorang tokoh utamanya.
Dia juga sempat ke Jalan Peneleh untuk melihat rumahnya yang bersejarah itu.
Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi.
“Tapi pemilik rumah yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke Surabaya itu.
Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono
tidak ingin menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman
pribadinya sebagai orang biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.
Dia ingin konsekuen pada pendirian lamanya agar jangan
sampai ada satu atau dua orang saja yang mengklaim dirinya sebagai yang paling
berjasa dalam pertempuran Surabaya yang bersejarah itu.
Karena itu, Soemarsono juga gelo ketika mengetahui ada
orang yang ngotot minta diakui sebagai yang paling berjasa dalam peristiwa
penyobekan bendera tiga warna di atas Hotel Oranye (kini Hotel Majapahit di
Jalan Tunjungan) itu. Yakni peristiwa kemarahan pemuda Surabaya ketika melihat
bendera Belanda (merah-putih-biru) berkibar kembali di tiang bendera di atas
atap lobby hotel tersebut.
“Memangnya dia bisa merobek bendara itu sendirian. Kalau tidak ada orang-orang yang mau pundaknya dia injak, apakah dia bisa mencapai bendera itu” Kalau tidak ada orang yang ramai-ramai naik ke gedung itu, apakah dia bisa naik” Kalau tidak ada puluhan pemuda yang memenuhi halaman hotel itu sambil berteriak-teriak memaki Belanda, apakah mereka berani naik” Semua orang itu, ratusan orang itu, semua berjasa,” kata Soemarsono.
Hari itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke
rumahnya di Jalan Peneleh. Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda
Surabaya. Dia sudah jadi ketua Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi
ketua Pemuda Republik Indonesia –organisasi yang menghimpun
perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang menjadi
kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis pergerakan. Para
pemuda umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono adalah tokoh PKI ilegal
–sejak pemberontakan 1926 PKI dilarang hidup di Indonesia dan kelak baru hidup
lagi pada 1950.
Tiba di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan
adanya bendera Belanda yang berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan
pemuda yang ke rumah Soemarsono itu berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut
agar Soemarsono mau bertindak.
“Waktu itu di rumah saya juga lagi ada beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata Soemarsono mengenang.
Maka, dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono
mengajak mereka berjalan ke arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang
perjalanana dari Peneleh ke Jalan Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya
mengajak orang-orang yang mereka lewati untuk bergabung bersama-sama ke Jalan
Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah yang bergabung kian
banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.
Menurut Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman
hotel. Mereka melihat ada seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia
adalah tentara Inggris yang ditugaskan menjaga hotel. Kepada si sersan mereka
berteriak-teriak sambil menudingkan tangan ke atas atap, ke arah bendera
berkibar. Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.
Si sersan tidak mau beranjak.
“Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan turunkan bendera itu…,” ujar Soemarsono.
Sesaat kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang
Belanda yang badannya seperti petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui
bahwa dia adalah W.V.Ch. Ploegman, orang yang oleh Belanda ditugaskan kembali
sebagai wali kota Surabaya. Sebagai wali kota sebenarnya dia sudah tidak
berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar dari hotel,
Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam. Maksudnya
menakut-nakuti massa.
Melihat itu para pemuda mundur beberapa puluh meter.
Mereka tertegun ketika tiba-tiba ada orang yang berani menghadapi dengan
senjata yang diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama para pemuda itu tertegun. Dalam
suasana diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang di bagian
belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.
“Turunkan bendera itu,” teriaknya dari belakang.
Pemuda
yang lain juga mulai ada yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan
tersebut semakin ramai. Ribut. Gaduh. Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani
melempar batu dan pecahan genteng ke arah Ploegman. Kian lama semakin banyak
batu yang dilempar. Keberanian kolektif mereka meningkat. Mereka menyerbu lagi
ke depan hotel.
Tiba-tiba, Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya
itu terkapar. Perutnya ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh
seorang tukang becak yang bisa saja sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman
sebenarnya –kecuali bahwa orang itu hanyalah orang yang menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian
terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel.
Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak
yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi.
Menaiki tiang bendera
dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu
merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.
Banyak bagian dari kisah itu yang juga baru bagi saya.
Saya beruntung sempat bertemu tokoh yang merasa tidak jadi tokoh ini. Apalagi
Soemarsono masih bisa menceritakan apa saja peranannya sebelum kemerdekaan dan
setelah proklamasi kemerdekaan. Juga bagaimana dia kemudian memimpin
peristiwa Madiun 1948 bersama Musso dan Amir Syarifuddin –yang antara lain
membuat banyak keluarga saya dibunuh PKI.
Dalam perbincangan selama lebih dari empat jam itu saya
juga bisa bertanya banyak hal mengenai bagaimana dia melawan pemberontak
Simbolon di Sumut.
Lalu, pada 1965 ditangkap dan dipenjarakan selama 9 tahun
karena dituduh terlibat G 30 S/PKI. Juga, bagaimana dia memutuskan untuk pindah
ke Australia dan menjadi warga negara asing. Saya akan menuliskannya dalam
serial yang lain beberapa hari mendatang. (habis).
Catatan: Dahlan Iskan
0 komentar:
Posting Komentar