Dahlan Iskan | Minggu, 09
Agustus 2009
- Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda
Saya tidak menyangka kalau tokoh ini masih hidup. Bahkan,
masih segar bugar. Dia lahir pada 22 September 1921 yang berarti kini sudah
berusia 88 tahun. Bicaranya masih sangat bersemangat dan ingatannya masih luar
biasa tajam.
Dia tidak pernah diwawancarai wartawan, setidaknya karena
dua hal. Pertama, selama 35 tahun masa Orde Baru tentu tidak ada wartawan yang
berani mewawancarainya. Kedua, dia memang jarang bergaul di depan umum. Ini
karena sepanjang hidupnya dulu dia hampir selalu berada di penjara. Kalau toh
waktu itu sedang di luar penjara, dia tidak berani menggunakan nama aslinya.
Dan, 22 tahun terakhir, setelah keluar dari penjara, dia
memilih tinggal di Sydney, yang membuatnya semakin jauh dari ingatan orang
Indonesia. Apalagi, dia juga lantas menjadi warna negara Australia.
Tinggal dialah tokoh utama pertempuran Surabaya pada 1945
yang masih hidup. Yang menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan itu. Selama
ini kita hanya menyanjung-nyanjung tokoh seperti Bung Tomo atau Roeslan
Abdoelgani. Padahal, yang satu ini adalah ketuanya dua orang itu. Bahkan, Bung
Tomo pernah minta kepada dia agar diselamatkan nyawanya. Yakni, ketika Bung
Tomo ditangkap para pemuda karena dianggap melanggar disiplin perjuangan.
Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal
kala itu. Namun, namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi
disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek:
Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja.
Dia juga pernah punya banyak nama samaran: Samio dengan
pangkat sersan atau Setia dengan pekerjaan guru. Bergantung pada siapa yang
sedang menangkapnya. Dia sendiri secara resmi pernah punya pangkat mayor
jenderal (tituler) yang diberikan oleh Bung Karno.
Begitu mendengar bahwa orang ini masih hidup, saya
langsung berusaha mencari dan menemuinya. Awalnya tentu saya harus mencari
orang yang tahu alamat lengkapnya di Sydney. Saya bertekad ingin ke sana khusus
untuk menemuinya. Tapi, ketika saya sedang menelusuri alamatnya itu, saya
mendengar selentingan bahwa dia lagi di Jakarta. Lagi menengok anaknya.
Saya pun bergegas ke Jakarta pekan lalu. Sebelum Marsono
keburu balik ke Sydney. Pagi itu juga saya bisa diterima di rumah anaknya di
bilangan Bintaro. Salah satu dari enam anaknya memang tinggal di perumahan
kelas menengah itu. Putrinya ini seorang dokter gigi yang kawin dengan seorang
fund manager. Dialah anak yang praktis dibesarkan hanya oleh ibunya, karena
sang ayah lebih banyak ”sibuk” masuk penjara.
Hampir lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu,
saya menanyakan banyak hal. Mulai pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa
Madiun yang menewaskan banyak sekali keluarga saya. Ya! Soemarsono juga tokoh
utama dalam Peristiwa Madiun 1948 yang amat terkenal itu. Jabatannya dalam
struktur pemerintahan yang dipimpin Musso dan Amir Syarifudin itu sangat
tinggi: gubernur militer. Dalam kesempatan lain saya akan menulis khusus
mengenai bagaimana Soemarsono memimpin peristiwa Madiun kala itu.
Soal pertempuran Surabaya sendiri dia masih ingat sampai ke
soal detail-detailnya. Penjelasannya sangat rinci, dengan warna-warna yang kaya
dan tanpa pretensi agar dia diakui sebagai pahlawan utama pertempuran Surabaya.
”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran Surabaya itu,” kata Soemarsono ketika saya tanya mengapa dia tidak mau menonjolkan diri. ”Pahlawan sebenarnya adalah rakyat,” tambahnya.
Tapi, mengapa Bung Tomo begitu populer sebagai tokoh
pertempuran Surabaya? Soemarsono ternyata memiliki jawaban yang belum pernah
saya dengar selama ini. Jawabannya ini juga tidak pernah diucapkan oleh siapa
pun selama ini.
”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio,” ujar Soemarsono. ”Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” tambahnya.
PRI adalah singkatan Pemuda Republik Indonesia, sebuah
organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya.
Soemarsonolah ketua PRI itu.
Ketika Bung Tomo membakar semangat kepahlawanan arek-arek
Soroboyo melalui radio, Soemarsono sebagai ketua PRI terus menggerakkan rakyat
di lapangan. Membakar semangat yang sama dari kampung ke kampung. Kalau istilah
sekarang, Bung Tomo yang melakukan serangan udara dan Soemarsono yang menggelar
serangan darat.
Selama ini, sesuai dengan yang ditulis di buku-buku, kita
mengenal Bung Tomo sebagai ketua BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia).
Bukan sebagai bagian penerangan PRI.
”Benar,” kata Soemarsono. ”Tapi, itu belakangan. Setelah dia semakin terkenal, kemudian dia mendirikan BPRI. BPRI itu berdiri belakangan,” ujarnya.
Bahkan, menurut Soemarsono, tindakannya mendirikan BPRI
itu sempat menjadi masalah. Membuat tokoh-tokoh pemuda Surabaya marah. Bung
Tomo dianggap berusaha memecah belah kekuatan pemuda Surabaya.
Bung Tomo, kata Soemarsono, lantas ditangkap oleh
pemuda-pemuda beringas itu.
”Lalu dibawa ke saya dengan maksud agar saya menjatuhkan hukuman kepadanya,” kata Soemarsono.
”Begitu tiba di rumah saya, Bung Tomo langsung duduk jongkok di depan saya. Minta nyawanya diselamatkan,” tambah Soemarsono. Kisah ini benar-benar baru bagi saya.
Saat itulah Soemarsono berusaha menenangkan para pemuda
itu. Dia menjelaskan bahwa Bung Tomo tidak menyalahi aturan. Pendirian BPRI
justru bisa menampung pemuda-pemuda yang masih di luar PRI, seperti
tukang-tukang becak.
Para pemuda beringas tersebut ternyata bisa menerima
penjelasan Soemarsono. Bahkan, Soemarsono menyatakan bahwa Bung Tomo tetap
sebagai ketua bidang penerangan PRI dan sekaligus diperbolehkan menjadi ketua
BPRI. Maka, tidak ada lagi yang mencurigai Bung Tomo sebagai orang yang
bergerak sendiri.
PRI sendiri didirikan pada 21 September 1945. Kurang dari
dua bulan sebelum pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua
organisasi pemuda saat itu menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI. Beberapa
tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan Widjajasastra, dan Bambang Kaslan menjadi
pimpinannya, namun belum ada ketuanya.
Dua hari kemudian ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia)
yang diketuai Roeslan Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat yang
juga dihadiri seluruh eksponen pemuda Surabaya inilah Roeslan Abdoelgani
mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia minta forum itu memilih
Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono terpilih secara
aklamasi.
”Saya sudah terlalu tua untuk memimpin organisasi pemuda ini,” ujar Roeslan Abdoelgani seperti ditirukan Soemarsono.
PRI memilih bermarkas di sebuah bangunan kecil di Jalan
Wilhelminalaan. Hari itu juga papan nama jalan tersebut langsung mereka ganti
dengan Jalan Merdeka (sekarang dikenal dengan nama Jalan Widodaren). Belakangan
markas PRI pindah ke Hotel Simpang yang jauh lebih besar.
”Roeslan Abdoelgani itu, menurut saya, mundur bukan karena merasa terlalu tua. Tapi, dia itu orangnya memang agak penakut,” ujar Soemarsono seraya tersenyum. ”Kalau saya ini sudah sering bilang kepada istri bahwa saya bisa sewaktu-waktu mati. Harus diikhlaskan,” tambahnya. (bersambung)
Catatan: Dahlan Iskan
0 komentar:
Posting Komentar