Farid Gaban
Jumat, 9 Juni 2017
Politisi
Senior PAN Amien Rais (tengah) memberikan keterangan kepada awak media tentang
aliran dana kasus korupsi pengadaan alat kesehatan, di Jakarta, Jumat (2/6).
Amien menyebutkan bahwa pada Januari hingga Agustus 2007 ia mengaku menerima
bantuan dana operasional sebesar Rp600 juta dari mantan Ketua Umum Partai
Amanat Nasional, Soetrisno Bachir. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama/17
Amien Rais vs
Jokowi
Saya sedih sekaligus ingin ketawa mendengar tuduhan komunis dialamatkan
kepada Presiden Jokowi. Sedih karena propaganda murahan dipakai untuk
mengkritik presiden secara keblinger. Ketawa karena tuduhan itu terlalu jauh
panggang dari api sehingga terkesan guyon. Tapi, itu guyon yang tak lucu.
Saya tidak memilih Pak Jokowi jadi presiden. Saya golput. Tapi, saya sangat
gundah dengan tuduhan ke Pak Jokowi, yang tidak hanya salah arah, tapi juga
menimbulkan konsekuensi buruk bagi kehidupan kita bernegara. Rusaknya negara
yang akhirnya akan merugikan masyarakat Muslim sendiri.
Seperti kita baca dari media sosial dan pemberitaan media besar, Presiden
Jokowi disebut-sebut sebagai komunis. Ini cerita yang sudah lama beredar sejak
Pemilihan Presiden 2014. Namun, belakangan menguat kembali sebagai imbas
pemilihan gubernur Jakarta, persidangan
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan buronnya Habib Rizieq Shihab.
Sebagian kalangan Islam menilai Pemerintahan Jokowi ada di balik
“persekusi” Rizieq Shihab, tokoh Front Pembela Islam. Mereka menyerang balik
Presiden dengan tuduhan lama itu.
Tuduhan Komunis ke Jokowi
Salah satu dasar tuduhan komunis ke Pak Jokowi adalah buku “Jokowi
Undercover” yang ditulis oleh Bambang Tri Mulyono tiga tahun lalu. Buku ini
menyebut Jokowi adalah anak kandung dari orangtua komunis. Tuduhan yang sangat
serius. Tak hanya Pak Jokowi dituduh menggelapkan asal-usul orangtua, tapi juga
latar belakang afiliasi politik dan ideologinya.
Bambang Tri diperkarakan ke pengadilan dengan tuduhan fitnah dan telah
divonis bersalah Mei lalu. Namun, buku ini masih dijadikan dasar oleh pengecam
Presiden. Mereka menuntut dilakukannya tes DNA untuk membuktikan apakah benar
Jokowi anak dari orangtua komunis yang dimaksud. Tuntutan tes DNA bahkan
didukung tak kurang oleh Pak Amien Rais, tokoh reformasi yang pernah saya
kagumi.
Pak Jokowi masih balita ketika pemberontakan PKI berlangsung. Dan Pak Amien
Rais pasti tahu persis bahwa aliran politik dan ideologi tidak bersifat menurun
dari orangtua ke anaknya. Pak Rizieq Shihab juga pasti tahu bahwa keimanan dan
keislaman tidak bersifat menurun. Bahkan jika seandainya, sekali lagi
seandainya, orangtua Pak Jokowi komunis, itu tak bisa membuktikan Jokowi seorang
komunis.
Menuduh seseorang komunis untuk dijatuhkan dan dipidanakan adalah kebiasaan
buruk Orde Baru. Di masa dulu, seorang komunis atau yang dituduh komunis bisa
dibunuh, atau setidaknya kehilangan hak sebagai warga negara hingga anak-cucu.
Padahal, menjadi komunis, sosialis, liberalis, atau kapitalis bukanlah
kejahatan. Sama seperti menjadi Islam atau Kristen bukan kejahatan. Pikiran
seseorang tak bisa dipidanakan. Tindakan kekerasanlah, yang dilakukan oleh
siapa pun, baik komunis atau Islam, yang bisa dipidanakan.
Jokowi Condong ke Tiongkok?
Dasar lain untuk menuduh Pak Jokowi komunis: kebijakan pemerintahannya
lebih ramah terhadap Tionghoa, salah satunya mendukung Ahok, dan garis politik
internasionalnya condong ke Tiongkok, dengan banyak-banyak mengundang
investasi dari Tiongkok.
Itu dasar yang lemah untuk menuduh. Tidak semua Tionghoa
adalah komunis. Bahkan sebagian besar Tionghoa perantauan (tidak cuma di
Indonesia), cenderung kapitalis ketimbang komunis. Memangnya Liem Sioe Liong
dan James Riyadi komunis? Atau atheis? James Riyadi adalah tokoh Kristen yang
taat.
Kecondongan Pemerintahan Jokowi kepada Republik Rakyat
China atau Tiongkok, bisa dipahami mengingat kini Tiongkok sebuah kekuatan
ekonomi dominan di dunia. Kecenderungan ke Tiongkok tidak khas Indonesia.
Ketergantungan pada investasi asing secara berlebihan
memang bisa berdampak buruk bagi Indonesia, tak peduli dari mana pun asalnya,
tak peduli dari Tiongkok atau Saudi Arabia. Namun, pada kenyataannya, investasi
Tiongkok ke Indonesia masih terlalu kecil.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
modal asing dari China hanya 8,2 persen dari seluruh investasi asing pada
kwartal pertama 2017; bandingkan dengan Singapura (28,2 persen), dan Jepang
(19,2 persen). Investasi China di Indonesia setara dengan Amerika.
Lebih dari itu, meski menyebut diri sebagai negeri
komunis, Tiongkok memiliki sistem ekonomi yang cenderung kapitalis sejak zaman
Deng Xiaoping. Hampir sama kapitalisnya dengan Amerika Serikat maupun Saudi
Arabia. Pak Amien Rais, yang pernah belajar politik internasional, pasti juga
tahu tentang hal ini.
Tuduhan bahwa Presiden Jokowi sedang membawa Indonesia ke
sistem komunis lebih menggelikan lagi. Meneruskan sebagian besar kebijakan
Pemerintahan SBY, Pemerintahan Jokowi justru cenderung neoliberal-kapitalistik
ketimbang komunis.
Dalam dua tahun terakhir, Presiden Jokowi bertubi-tubi
mengeluarkan 10 lebih paket deregulasi ekonomi. Deregulasi membawa kita ke
sistem ekonomi yang lebih liberal dan kapitalistik. Dalam berbagai kesempatan,
Presiden juga getol mengundang investasi asing, yang membawa sistem ekonomi
Indonesia lebih terbuka. Justru terlalu liberal, menurut saya.
Salah satu perbedaan besar antara sistem sosialis/komunis
dan kapitalis, adalah campur tangan negara. Di negara sosialis-komunis,
pemerintah punya peran besar dalam kehidupan sehari-hari warganya, khususnya
dalam ekonomi; sebaliknya sektor swasta kecil perannya. Tapi, coba lihatlah
Indonesia. Pemerintah justru kecil perannya; sebagian besar sektor sudah
diswastanisasi.
Peran pemerintah yang besar ditunjukkan oleh anggaran
negara yang besar untuk sektor-sektor penting bagi rakyat, seperti pendidikan
dan kesehatan. Tapi, lihatlah anggaran kesehatan kita, salah satu yang paling
kecil di dunia. Anggaran kesehatan kita hanya 1,1 persen dari GDP; bandingkan
dengan Kuba (negara komunis) yang sampai 15 persen. Anggaran
kesehatan kita bahkan jauh lebih kecil dari negeri kapitalis seperti
Amerika, Jepang, dan Uni Eropa.
Dengan kata lain, Indonesia lebih kapitalis dari
negeri-negeri yang biasa kita sebut kapitalis.
Jauh
Panggang dari Api
Mengatakan Indonesia sedang menuju negeri komunis adalah
jauh panggang dari api. Ngawur dan menggelikan. Saya khawatir, Pemerintahan
Jokowi justru menunjukkan kecenderungan makin neoliberal-kapitalistik hanya
untuk menepis tudingan komunis Pak Amien Rais.
Belum lama ini Presiden Jokowi mengeluarkan statement akan
“menggebuk komunis dan ormas-ormas anti-Pancasila”. Pernyataan ini agak
berlebihan dan mengingatkan saya zaman Soeharto.
Saya khawatir, dalih komunis dan anti-Pancasila akan
dipakai untuk menggebuk siapa saja yang kritis kepada pemerintah, yang dianggap
mengganggu pembangunan dan menghambat masuknya investasi asing. Taktik seperti
itu pernah dilakukan Orde Baru.
Saya khawatir, petani Kendeng yang memprotes investasi pabrik semen,
nelayan yang menolak reklamasi pantai dan teluk, atau aktivis lingkungan yang
mengecam perkebunan sawit, dibungkam dengan tuduhan komunis. Persis seperti di
masa lalu.
Tuduhan komunis yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi
pada akhirnya akan berbalik merugikan masyarakat Muslim sendiri, yang sebagian
adalah pengikut Pak Rizieq Shihab dan Pak Amien Rais sendiri. Bukankah sebagian
besar buruh, petani dan nelayan itu Muslim?
Didesak dengan tuduhan komunis, Pemerintahan Jokowi juga
bisa cenderung menerapkan sistem kapitalistik. Padahal, sudah banyak kajian
bahwa kebijakan ekonomi yang terlalu liberal dan kapitalistik akan menciptakan
ketimpangan ekonomi. Sistem itu memperkaya yang sudah kaya dan mempermiskin
pribumi Muslim yang sudah miskin.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi potensial memicu
prasangka yang tidak produktif. Kecemburuan sosial terhadap dominasi ekonomi
kaum Tionghoa mudah tersulut. Padahal itu bukan kesalahan orang Tionghoa,
melainkan lebih berakar pada kebijakan ekonomi kita yang cenderung liberal dan
kapitalistik tadi.
Ada banyak hal yang bisa dikritik pada Presiden dan
Pemerintahan Jokowi. Tapi, bukan pada soal komunisme.
0 komentar:
Posting Komentar