10 Juni 2017
Wali
Kota yang Hilang
”Coba
kamu datang ke kantor wali kota. Di situ ada satu (bingkai foto yang) kosong.
Bisa kamu foto itu. Dia Wali Kota (Palangka Raya) pertama yang baru menjabat,
terus dianggap PKI (Partai Komunis Indonesia), padahal bukan. Dia anggota
Partindo (Partai Indonesia). Dia hilang dibunuh dan fotonya sampai sekarang
tidak ada di deretan siapa yang jadi wali kota itu.”
Demikian
suara seseorang di ujung telepon siang itu, Kamis (18/9). Pria yang ingin
identitasnya disamarkan ini meminta Radar Sampit memastikan ucapannya mengenai
wali kota yang hilang akibat dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Orang yang dimaksud pria ini adalah Yanti Saconk, Wali Kota Palangka Raya
pertama yang dilantik pada 18 September 1965.
Dalam
dokumen sejarah Palangka Raya, ia hanya sebulan menjabat. Jabatannya berakhir
pada 18 Oktober 1965. Yanti Saconk ditangkap dan hilang bersama ribuan orang
lainnya di Kalteng.
Kemungkinan
besar Yanti dibunuh. Hingga kini namanya nyaris dilupakan, meski menjadi
pemimpin pertama kali di kota yang kini berjuluk Kota Cantik itu. Seluk beluk
dan garis keturunan keluarganya pun tak pernah terdengar, seperti layaknya
keturunan wali kota lainnya yang pernah menjabat.
”Keluarga
wali kota pertama masih takut (untuk menceritakan kisahnya dan tampil ke
publik). Jadi, ketakutan itu menghantui mereka, trauma dan ketakutan itu masih
ada sampai sekarang dan menjadi stigma. (Ketakutan akibat penumpasan PKI) bukan
hanya di Kalteng, tapi di banyak tempat di Indonesia,” kata pria ini.
Cerita
hilangnya Yanti Saconk juga dituturkan Sabran Achmad, tokoh masyarakat Kalteng.
”Beliau hanya 28 hari menjabat. Setelah 28 hari dilantik sebagai wali kota juga
tertangkap. Kita tak tahu apakah beliau anggota PKI atau ormas yang lain, yang
jelas, beliau ikut ditangkap. Sampai sekarang kita juga tak tahu
keberadaannya,” kata Sabran.
Sosok
Yanti Saconk saat itu seolah hilang bagaikan ditelan bumi. Sabran tak tahu lagi
kabar mengenai pemimpin yang hilang tersebut. ”Semua rahasia militer. Sampai
Pak Harto (Soeharto, Presiden ke-2 RI, Red) berakhir selama 32 tahun, itu masih
dikuasai militer. Jadi sulit kita mencari tahu,” katanya.
Informasi
mengenai sosok Yanti Saconk cukup sulit didapat. Dalam tulisan seorang blogger
di http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com, Yanti Saconk lahir di Penda Katapi, Kecamatan
Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, pada Juni 1929. Ia merupakan anak kedua dari
pasangan Tiki Gatar Kunom dan Ramitan Lawak. Yanti pendidikan formal di
Standart School yang kemudian berlanjut di Schakel School.
Setelah
mengecap pendidikan di Belanda, Yanti Saconk mengikuti pendidikan bidang
kesehatan di Banjarmasin. Ia juga bekerja sebagai paramedis di RS Ulin
Banjarmasin. Semasa pedidikan sebagai paramedis, ia berjumpa dengan Husiaa S
Lamon, seorang siswi yang pandai dan kemudian menjadi istrinya. Pernikahan
keduanya membuahkan 6 putri dan 4 putra. Pada 1949, Yanti merantau ke Jakarta
dan giatdalam dunia politik.
Masih
menurut blogger itu, setelah Kalteng berdiri menjadi provinsi sendiri pada
1957, Tjilik Riwut memanggil semua putra-putri Dayak potensial yang tersebar di
sejumlah daerah untuk kembali. Yanti Saconk terpanggil dan pada 1959 ia kembali
ke Kalteng.
Pertama-tama
bekerja di Kuala Kapuas menjabat Kepala Kantor Pengerahan Tenga Rakyat (PETRA).
Pada 1960, ia pindah ke Palangka Raya, bekerja di kantor Gubernur menangani
urusan politik, kemudian pindah lagi ke Kotapraja Palangka Raya pada 1965,
menjabat Sekretaris Kotapraja Palangka Raya di bawah W Coenraad yang menjabat
Wali Kota Administratif Kotapraja Palangka Raya.
Di
kalangan keluarga dan temantemannya, Yanti dikenal sebagai seorang pekerja
keras, tidak pernah ragu, mempunyai semangat membangun dan berjiwa sosial yang
tinggi. Ketika tinggal di Jakarta, selain banyak membantu saudara-saudaranya
untuk melanjutkan pendidikan, ia juga dikenal banyak mengulurkan tangan kepada
mahasiswa pelajar asal Kalteng.
Tahun
1965, Wali Kota Palangka Raya disebut Wali Kota Kepala Daerah Kotapraja
Palangka Raya. Setelah berlakunya UU No.5 Tahun 1965, sebutan berubah menjadi Wali
Kota Kepala Daerah Kotamadya Palangka Raya.
Pada 18
September 1965, tiga bulan setelah Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno
Sosroatmodjo meresmikan Kotapraja Palangka Raya. Tjilik Riwut kemudian melantik
Yanti Saconk menjadi Wali Kota Palangka Raya yang pertama. Yanti berusia 36
tahun saat itu.
Ketika
Gerakan 30 September 1965 meletus, selaku Ketua Partai Indonesia (Partindo),
sebuah Partai penyokong kuat Bung Karno, Yanti Saconk bersama orangorang kiri
lainnya membentuk Dewan Revolusi di Palangka Raya.
Pada 18
Oktober 1965, sekitar pukul 22.00 WIB, Yanti dan sejumlah orang kiri lainnya
diambil tentara di rumahnya, di belakang Kantor Dinas Perkebunan Provinsi.
Yanti kemudian ditembak mati tanpa proses pengadilan apapun.
Buruh-Buruh
Yang Dihabisi
Tak ada
yang tahu persis jumlah korban ketika operasi penumpasan PKI di Kalteng masa
itu. Mantan militer seperti Walman Narang (86) pun tak tahu persis jumlahnya.
Menurutnya,
dokumen nama orang-orang yang ditangkap itu hilang saat terjadi peleburan Kodam
Tambun Bungai dengan Banjarmasin. Ia hanya menerima sisa
tahanan saat menjabat Komandan Kodim di
Palangka Raya yang jumlahnya hanya sekitar 200 orang. Sebagian besar
orang-orang yang dituduh terlibat PKI merupakan para buruh. Mereka datang dari
Jawa.
”Ketika
saya di Pangkalan Bun, ada seorang tua yang bercerita, lapangan udara di sana
dibangun buruh-buruh dari Jawa dan mereka dihabisi setelah selesai bekerja,”
kata sumber Radar Sampit yang namanya disamarkan tadi.
Nasib serupa juga dialami para buruh lainnya.
Di Palangka Raya, para buruh yang mengerjakan pembangunan infrastruktur di
kawasan Panarung juga dihabisi.
”Pengejaran
(anggota PKI) di Kalteng, sama dengan seluruh negeri. Mulai tahun 1966 sampai
1968, banyak yang hilang begitu saja, tak tahu tempat lari. Anak istrinya ada
yang diperkosa, yang diperlakukan tak senonoh. Saya tahu itu dari salah seorang
tokoh kita yang sudah meninggal,” ujar suara di ujung telepon itu meyakinkan.
Tempat
eksekusi para tahanan politik yang dituduh PKI menyebar di sejumlah lokasi. Di kawasan
Barito, para tawanan yang dituduh terlibat PKI dieksekusi di Pararapak, dekat
buntok.
”Di
suatu tempat di lokasi itu, serupa Pulau Buru, tempat orang-orang (yang dituduh
terlibat) PKI yang dibuang di sana. Kemudian di Palangka Raya, dekat kilometer
27 (Palangka Raya-Tangkiling). Di sekitar itu terjadi penguburan hidup-hidup,
di sebelah kanan jalan. Belum lagi nasib orang-orang yang dibunuh dan diculik,
tapi tak pernah diungkap karena diliputi ketakutan,” kata sumber ini.
Menurutnya,
tempat eksekusi para tahanan politik di Km 27 ruas Palangka Raya–Tangkiling itu
berada di sebelah kanan jalan yang dibangun Rusia sebelum peristiwa 30
September.
Meski
demikian, lokasi persis tempat eksekusi itu tak diketahui pasti. Tak ada
permukiman warga di lokasi itu, hanya lahan kosong yang ditumbuhi pohon dan
ilalang. Di sepanjang jalan itu hanya ada beberapa bangunan yang didirikan
warga di pinggir jalan. Itu pun dibangun jauh setelah peristiwa itu terjadi.
Sebagian
buruh yang mengerjakan ruas jalan Palangka Raya–Tangkiling juga diduga ada yang
ditangkap dan dibunuh, sebagian lainnya menyembunyikan diri. Ruas jalan
sepanjang sekitar 34 kilometer itu dibangun sejumlah insinyur Rusia. Ratusan
tenaga buruh dari Jawa dikerahkan bersama puluhan buruh lokal.
Awalnya,
pembangunan jalan yang dimulai sekitar tahun 1960-an itu dirancang sepanjang
175 meter menuju Sampit, Kotawaringin Timur. Akan tetapi, setelah pecahnya
peristiwa 30 September, langsung terhenti. Para insinyur Rusia (negara berpaham
komunis yang dulunya bernama The Union of Soviet Socialist Republic) berupaya
menyelamatkan diri. Beberapa di antaranya ada yang kembali ke negaranya.
Mengutip
tulisan yang dipublikasikan Nanang S Fadillah dari Kyiv, Ukraina, salah seorang
insinyur Rusia yang ikut merancang jalan itu adalah Lena. Wanita lulusan
Universitas Kazan, Rusia, tahun 1955 ini, bersama suaminya ikut mengerjakan
jalan itu pada 1964.
Mereka
diminta Kementerian Transportasi dan Pembangunan Uni Soviet untuk mengerjakan
proyek kerja sama Indonesia – Uni Soviet itu. Setelah dua tahun menjadi salah
satu otak pembangunan jalan di atas gambut serta jembatan dan saluran air di
Tangkiling, pada November 1966, para insinyur Soviet diberitahu bahwa mereka
harus meninggalkan Kalimantan secepatnya karena terjadinya perubahan politik di
Indonesia.
Lena pun
bergegas kembali, sementara suaminya masih sebulan kemudian bertolak karena
perlu menyelesaikan berbagai hal berkenaan penutupan proyek. Sang suami
berhasil kembali ke negaranya.
”Suasana
perpisahan begitu mencekam, terutama bagi sang suami yang tinggal belakangan,
meski Lena tidak menjelaskan detilnya. Pokoknya, nyaris terbunuh. Segala
sesuatu yang berbau Soviet dan Rusia saat itu memang tidak lagi dianggap
sebagai sahabat oleh Indonesia,” tulis Nanang.
Jalan
sepanjang 34 kilometer itu masih perkasa meski umurnya sudah mencapai setengah
abad. Meski tak ada catatan pasti mengenai nasib para buruh yang mengerjakan
proyek itu, sejumlah sumber menyebutkan, para buruh berlomba-lomba bersembunyi,
namun ada juga yang ditangkap.
Hanya
Imbas
Orang-orang
yang diburu karena diduga terlibat PKI pada masa kelam selama tahun 1965 sampai
akhir 1970-an itu, sebagian besar tak tahu mengenai kiprah organisasi atau
partai yang diikutinya sampai pergolakan politik yang terjadi di Jakarta hingga
mereka diburu.
Selama
di Kalteng, PKI menjalankan program partai seperti biasa, pun demikian dengan
organisasi penyokongnya. Sebagian masyarakat Kalteng tertarik menjadi anggota
karena PKI merupakan partai resmi.
”Orang-orang
di Kalteng masuk PKI, karena PKI itu partai resmi (sebelum keluarnya perintah
penumpasan PKI, red), partai yang dibentuk melalui undang-undang. Jadi, banyak
orang yang masuk,” kata Sabran yang saat itu merupakan anggota Partai Nasional
Indonesia (PNI), menjabat sekretaris. Saat itu posisi PNI cukup kuat di
Kalteng.
Sepak
terjang PKI dan organisasinya juga sama seperti partai lainnya masa itu. Mereka
menjalankan program partai seperti biasa. Dalam buku Bintang Merah Nomor
Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis
Indonesia, 7-14 September 1959, sebuah dokumen pidato Messer Tangap Peleng,
Sekretaris CDB PKI Kalteng, mengungkap, hal-hal yang mendesak di Kalteng yang
perlu perhatian untuk diatasi, antara lain soal pentingnya jalan raya,
pengangkutan sungai, dan soal pertanian.
”Dapat dirasakan oleh rakyat bahwa pengaruh
dari jalan raya itu sangat membantu cepatnya perhubungan daerah dan lancarnya
peredaran ekonomi terutama barang keperluan sehari-hari. Dan tidak hanya itu,
tetapi lebih jauh bahwa dengan banyaknya jalan raya di daerah-daerah akan
membantu rakyat di desa-desa dengan mudahnya mengikuti perkembangan politik dan
ekonomi di daerah-daerah lain maupun situasi nasional pada umumnya,” kata
Messer seperti tertulis dalam dokumen tersebut.
Walman
Narang, salah satu pejabat militer pada era penumpasan PKI memastikan, sebelum
peristiwa 30 September pecah, pergolakan politik berkaitan dengan PKI hanya
terjadi di Jakarta sampai pada pembunuhan enam Dewan Jenderal. Kabar mengenai
pergolakan di Jakarta diketahui Walman melalui siaran radio. (***/dwi)
Sumber: BlogGunawan
0 komentar:
Posting Komentar