Luka
dan Nestapa Berkepanjangan
Oleh:
Gunawan
Menulis kembali peristiwa sejarah
melalui cerita lisan bukan pekerjaan mudah. Perlu kecermatan dan kehati-hatian
mengingat kejadiannya sudah berlangsung puluhan tahun.
Selain saksi
hidup peristiwa itu yang rata-rata sudah berusia senja dan tak ingat persis
kejadian puluhan tahun silam, akses informasi yang sangat terbatas pada masa
itu juga menjadi hambatan menghasilkan kisah masa lalu yang seratus persen
akurat.
Merekonstruksi
sejarah tak semudah membalik telapak tangan, apalagi ketika peristiwa itu
berhubungan dengan sebuah tragedi kemanusiaan yang puluhan tahun berusaha
disembunyikan dan dikubur dalam-dalam.
Perburuan
terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasinya setelah 30 September
1965 atau disebut Gestapu adalah bagian dari sejarah yang selama puluhan tahun
berusaha disembunyikan itu.
Orang-orang yang
hidup dan besar di zaman Orde Baru, pasti hapal betul, bahwa setiap tahun,
setiap 30 September diputar film mengenai pemberontakan PKI yang disebut
sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau disingkat G30S/PKI.
Begitu pemerintah yang berkuasa saat itu menyebutnya.
Saya sendiri
masih ingat persis bagian-bagian penting dari film berdurasi empat jam lebih
itu. Rasa-rasanya, hampir setiap tahun film itu tak pernah saya lewatkan
melalui televisi hitam putih ukuran 14 inchi, yang listriknya masih disuplai
tenaga accu. Saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), kerap
geregetan dengan tindakan dan kekejaman PKI yang dilakoni para aktor dan aktris
itu.
Sejarah mengenai
peristiwa 30 September 1965 juga saya terima di bangku sekolah. Guru saya,
mulai dari SD hingga sekolah menengah atas (SMA), menyampaikan latar belakang
dan sepak terjang PKI di Indonesia sampai akhirnya PKI dilarang berdiri dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya dihukum dan dipenjara.
Itulah sejarah
versi pemerintah saat itu. Selama beberapa tahun saya hidup dalam sejarah yang
disampaikan secara sepihak oleh pemerintah Orde Baru. Sampai akhirnya, setelah
gerakan reformasi meletus pada 1998, sedikit demi sedikit, tabir gelap sejarah
itu mulai terkuak. Orang-orang yang tadinya takut menyampaikan peristiwa itu,
mulai berani tampil.
Sejumlah pakar
sejarah dan saksi hidup, dalam berbagai komentar di media massa atau buku,
sepakat bahwa kejadian setelah Gestapu merupakan peristiwa sejarah yang harus
diungkap, tidak dikubur dan dibiarkan berlalu begitu saja. Generasi penerus
bangsa ini harus mengetahui lembaran kelam itu sebagai bagian dari sejarah
bangsa, meski teramat menyakitkan.
***
Sekitar sebulan
lalu, dalam sebuah perbincangan kecil dengan Pemimpin Redaksi Surat Kabar
Harian Radar Sampit, Duito Susanto, kami membahas mengenai rencana liputan yang
akan digarap. Salah satu liputan yang menarik yang bisa digarap adalah mengenai
peristiwa setelah 30 September di Kalteng.
Ini menjadi
tantangan bagi tim redaksi mengingat peristiwa itu cukup sensitif dan berisiko.
Saya kemudian mulai mencari referensi. Meski peristiwa setelah Gestapu sudah
pernah saya baca, referensi lain dari berbagai sumber perlu saya dapatkan.
Beruntung, kita
sekarang hidup di zaman internet yang mudah diakses. Hanya dengan mengetikkan
sebuah kata kunci, kita tinggal memilih artikel atau tulisan mana yang bisa
dijadikan acuan.
Cukup culit
menemukan referensi tulisan mengenai perburuan anggota PKI di Kalteng. Kalau
pun ada, informasinya terbatas dan ceritanya sepotongsepotong, misalnya, mengenai
Janti Saconk, Wali kota Palangka Raya pertama yang hanya 30 hari menjabat, atau
para buruh beberapa proyek pembangunan yang menyembunyikan diri pada masa itu.
Selebihnya, tak ada sama sekali.
Bisa dimaklumi,
mengingat peristiwa itu merupakan sejarah kelam Orde Baru yang ingin dikubur
selamanya dari ingatan orang-orang. Akhirnya saya banyak mengambil referensi
tulisan peristiwa setelah Gestapu yang terjadi di daerah lain.
Awalnya, liputan
disepakati hanya difokuskan pada situasi saat itu dengan mewawancarai sejumlah
tokoh yang menjadi saksi hidup. Dalam sebuah rapat redaksi, seorang redaktur
senior mewanti-wanti agar memahami betul latar belakang liputan ini, mengingat
isunya sangat sensitif. Jangan sampai ketika berita diturunkan, justru menuai
masalah.
Liputan yang
sebelumnya disepakati hanya fokus pada situasi setelah Gestapu, tak menyentuh
peristiwa penangkapan dan pembunuhannya, ternyata tak sesuai rencana. Peristiwa
setelah Gestapu tak bisa dilepaskan dari penangkapan dan pembunuhan terhadap
orang-orang yang dituduh terlibat PKI. Sejumlah sumber yang saya temui
memastikan hal itu.
Sabran Achmad,
misalnya, tokoh yang juga ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng. Kemudian Walman
Narang, mantan Komandan Kodim di Palangka Raya sekitar tahun 1970-an. Dua minggu
sebelum laporan ini diturunkan, saya berangkat ke Palangka Raya.
Sejumlah sumber
yang akan diwawancarai sudah dipetakan. Awalnya, saya mengira akan mudah
menemui dan menggali keterangan dari narasumber itu. Ternyata cukup sulit,
apalagi usia mereka yang sudah uzur. Misalnya, saya harus dua kali mendatangi
kediaman Sabran Achmad di Jalan Piere Tendean.
Di hari pertama,
Sabran tak bisa ditemui karena sedang istirahat setelah mengikuti rapat di
kantor Gubernur Kalteng. Saat itu sekitar pukul 16.00 WIB. Sebelumnya, pagi
sekitar pukul 09.00 WIB saya juga sempat menyambangi rumahnya, namun gagal
karena tak ada seorang pun yang membukakan pintu meski sudah saya ketok
berulang kali. Baru dua hari setelahnya saya bisa berjumpa Sabran.
Demikian pula
dengan Walman Narang. Saya harus dua kali mendatangi pria berusia 86 tahun ini.
Di hari pertama, Walman sedang istirahat karena baru pulang dari Kantor
Gubernur Kalteng untuk menghadiri rapat juga. Hanya sang anak, Ros Narang yang
saya
temui.
”Bapak sedang
tidur, kamarnya dikunci. Kayaknya kecapekan setelah pulang dari kantor
Gubernur. Kalau mau besok saja, tapi telepon saya dulu untuk memastikan apakah
Bapak siap diwawancara atau tidak,” katanya.
Beruntung
keesokan harinya ternyata Walman siap diwawancara. Dari dua narasumber itu,
hanya Etnan Daniel, yang mudah ditemui, meski awalnya saat saya mengutarakan
tema wawancara mengenai peristiwa seputar Gestapu, ia tak yakin bakal bisa
menjawab semua pertanyaan karena tak terlalu ingat persis kejadian saat itu.
Namun, samar-samar peristiwa itu masih melekat dalam ingatannya, meski hanya
sebagian kecil.
Sumber lainnya
yang cukup penting, namun gagal saya temui adalah TT Suan. Sayang, mantan
jurnalis ini tak bisa saya mintai keterangannya karena mengaku tak ingat lagi
peristiwa itu.
”Sudah lama
sekali kejadiannya, saya sudah tak ingat. Kepala saya juga agak pusing,
wawancara dengan (narasumber) yang lain saja,” katanya.
Narasumber lain yang berhasil saya
gali keterangannya, meminta nama mereka disamarkan. Melalui kesepakatan itu, mereka
bersedia keterangan dimuat. Ada dua narasumber yang namanya disamarkan.
Sumber pertama
adalah orang yang berkaitan dengan peristiwa itu dan sumber kedua adalah salah
seorang keluarga jauh mantan tahanan politik yang sempat dipenjara beberapa
tahun dan nyaris dibunuh.
Meski bahan
liputan sudah diperoleh, tak bisa langsung ditulis begitu saja. Liputan
mengenai peristiwa sejarah lisan berbeda dengan liputan biasa. Keterangan
sejumlah sumber tadi perlu diverifikasi lagi dengan sejarah dan dokumen saat
itu. Selain itu, keterangan berbagai sumber itu juga harus dicari benang
merahnya yang saling berkaitan.
Laporan khusus
mengenai perburuan anggota PKI setelah peristiwa Gestapu ini hanya menyingkap
sebagian kecil dari peristiwa besar saat itu. Saya yakin, ada kisah dan sejarah
lainnya dari sudut pandang yang berbeda. Namun, setidaknya, dari keterangan
sumber yang mau berkomentar, sudah membuka sedikit tabir tragedi kelam itu.
Kita patut berterima kasih pada mereka.
***
Peristiwa setelah
Gestapu sangat tabu dibahas pada masa Orde Baru. Tak seorang pun yang berani
membuka lembaran catatan hitam itu. Dalam ingatan sebagian besar orang sebelum
jatuhnya orde baru pada 1998, jika ditanya soal Gerakan 30 September 1965,
pasti sepakat menyebut Gestapu sebagai peristiwa pemberontakan PKI yang ingin
menggulingkan negara.
Dalam konteks
Kalteng, cerita mengenai tahanan politik dan orang-orang yang dituduh PKI dan
dibunuh, hanya beredar dari mulut ke mulut. Kisah orang-orang yang pernah
ditahan atau ada keluarganya yang hilang, hanya turun temurun diceritakan dalam
lingkungan keluarga, untuk anak cucu. Tak ada yang berani berbicara dan tampil
ke publik secara terang-terangan.
Rasa malu, takut,
dan stigma negatif yang ditanamkan pemerintah Orde Baru bertahan hingga
sekarang. Jika membaca catatan sejarah dari berbagai versi berbeda, peristiwa
seputar Gestapu sendiri masih menjadi misteri dan kontroversi.
Pun demikian
dengan berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya, misalnya mengenai keluarnya
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966, enam bulan setelah
peristiwa Gestapu.
Catatan sejarah
lainnya juga mengungkap adanya peran PKI yang lebih dulu memanas-manaskan
situasi. Namun, semua masih jadi misteri yang terus diperdebatkan. PKI hingga
kini masih menjadi partai atau organisasi terlarang di Indonesia. Itu mengacu
pada Tap MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan
sebagai Organisasi Terlarang, di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi
Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Keputusan
tersebut masih berlaku meski pernah diusulkan dicabut di era pemerintahan
Abdurrahman Wahid. Hermawan Sulistyo, penulis buku ”Palu Arit di Ladang Tebu”,
dalam sebuah wawancara dengan wartawan mengatakan, ”Kita tidak bisa melakukan
anakronisme sejarah. Tidak bisa menggunakan parameter-parameter ukuran sekarang
untuk menilai masa lampau. Soeharto yang jahat sekarang ini, tidak boleh
dipakai untuk menilai Soeharto pada tahun 1965-1966. Tidak ada bukti
keterlibatan Soeharto pada tahun 1965-1966, dan pada peristiwa G30S-nya itu
sendiri. Satu-satunya (bukti) yang dielaborasi, hanya pertemuan antara Soeharto
dan Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.”
Menurut Hermawan,
dulu semua versi pemerintah menuliskan bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa
Gestapu. Sebaliknya, dari versi orang-orang PKI, mereka bilang mereka hanya kambing
hitam, tentaralah yang punya konflik.
”Bagi saya jelas
sekali. Yang diculik tentara, yang menyulik tentara, jadi jelas ada
keterlibatan tentara. Artinya, versi tentara itu tidak benar. Tapi omong kosong
juga kalau PKI tidak terlibat. Kalau kita baca seluruh teks pleidoi mereka yang
diadili, mereka mengatakan, Ya, kami ikut tapi bukan partainya, hanya sebagian
orang di Politbiro dan CC PKI,” kata Hermawan.
Meski masih
banyak tabir gelap dari sejarah itu, peristiwa yang diyakini terjadi adalah
pembunuhan massal yang terjadi setelah Gestapu. Sejumlah ahli sejarah sepakat
mengenai peristiwa ini. Pembongkaran kuburan massal yang dilakukan setelah Orde
Baru tumbang dilakukan di sejumlah daerah.
Pada tahun 2000,
penggalian terhadap kuburan massal eks peristiwa 1965 di hutan Situkup, Desa
Kempes, Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, berhasil menemukan 24 kerangka manusia.
Kuburan massal eks peristiwa Gestapu juga diyakini ada di Kalteng.
Namun, tak ada
catatan atau dokumen sedikit pun mengenai hal itu. Penelitian atau pencarian
terhadap kuburan massal tersebut tak pernah dilakukan, sehingga hal itu seolah
hanya menjadi sekadar isu karena tak didukung bukti-bukti kuat, hanya berupa
sejarah lisan dan dugaan.
Bahkan, di
beberapa daerah, adanya kuburan massal eks peristiwa 1965 ditentang keras
pemerintah setempat, Aceh misalnya.
***
Laporan khusus
yang diberi judul ”Tragedi September Kelabu” ini bukan bermaksud mengorek
kembali luka lama, menyinggung pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan
peristiwa 49 tahun silam itu. Karya jurnalistik ini hanya sebuah bahan bagi
kita untuk merenung kembali, melihat ke belakang, dan tidak melupakan sejarah
meskipun pahit.
Sejarah kelam
harus tetap dikenang sebagai pelajaran agar tak terulang lagi di masa depan.
Mungkin, dari sekitar dua juta lebih rakyat Kalteng saat ini, masih ada
eksekutor para tahanan yang masih hidup, yang ingin mengubur dalam-dalam
kisahnya dari dunia luar.
Saya atau Anda,
bukan orang yang berhak menghakimi mereka. Mungkin juga, masih ada bekas
tahanan politik oleh militer pada masa setelah 1965 atau orang yang berhasil
melarikan diri dan tak tertangkap karena terlibat atau dicurigai PKI, yang
sampai sekarang masih hidup dan menutup rapat-rapat kisah itu. Kita harus
memahami itu sebagai kondisi psikologis yang tercipta setelah puluhan tahun
hidup dalam ketakutan yang menyiksa.
Catatan hitam
setelah Gestapu harus menjadi pelajaran bagi siapa pun, terutama
pemimpin-pemimpin negeri ini untuk menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan
menghormati rakyatnya sebagai manusia yang derajatnya sama di mata Yang Kuasa.
Jangan lagi
rakyat dikorbankan hanya untuk kepentingan para elite. Satu tetes saja darah
rakyat yang mengalir akibat pemimpin yang hanya mementingkan harta dan
kekuasaan, akan menjadi luka dan nestapa yang berkepanjangan. (gunawan@radarsampit.com)
0 komentar:
Posting Komentar