Kamis, 15 Jun 2017 14:49 WIB | Dian Kurniati
Sejarawan LIPI Prof Asvi Warman Adam. (Foto: lipi.go.id)
Asvi mengatakan isu kebangkitan PKI hanyalah omong kosong. Menurutnya, tidak mungkin sebuah partai dengan ideologi yang sudah dilarang masih ingin berdiri di Indonesia.
Jakarta - Sejarawan senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam menilai isu komunisme akan tetap ramai jadi komoditas politik saat kampanye Pemilu 2019.
Asvi mengatakan, salah satu sasaran isu komunisme itu antara lain Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Menurut Asvi, Jokowi belakangan kembali dituduh anak atau keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu, menurut Asvi, adalah pemanasan sebelum kampanye Pemilu 2019.
"Terutama menjelang 2019 nanti. Pilkada 2017 ini cuma semacam percobaan, yang lebih besar nanti ada lagi di 2019. Dicoba misalnya Jokowi itu PKI, dan apakah dia melindungi PKI atau tidak. Untung Jokowi kemarin sudah bilang 'gebuk'. Terlepas kita setuju atau tidak dengan istilah itu... Menurut saya, ini seharusnya juga ditindaklanjuti oleh aparat keamanan," kata Asvi di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Asvi mengatakan isu kebangkitan PKI hanyalah omong kosong. Menurutnya, tidak mungkin sebuah partai dengan ideologi yang sudah dilarang masih ingin berdiri di Indonesia. Kata Asvi, apabila ada yang menyebut paham itu kembali tumbuh di Indonesia, harus ada orang yang benar-benar diperiksa mengenai kebenarannya.
Meski begitu, Asvi memastikan pengadilan pun tak akan bisa membuktikan kemunculan paham komunisme itu. Selain itu, kata Asvi, publik juga tak bisa menuduh seseorang mengikuti paham tersebut, hanya karena keluarganya dekat dengan PKI.
Menurut Asvi, isu komunisme dengan simbol palu-arit, selalu muncul setiap tahun, dan akan semakin ramai saat masa Pilkada atau Pemilu. Padahal, komunisme sudah tak ada lagi di Indonesia.
Asvi merujuk pernyataan sejarawan Syamsuddin Haris, yangmenyebut politik di Indonesia saat ini keruh karena ada operator profesional yang memanfaatkan pebisnis, politisi, serta radikalis agama, untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Asvi mengatakan, salah satu sasaran isu komunisme itu antara lain Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Menurut Asvi, Jokowi belakangan kembali dituduh anak atau keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu, menurut Asvi, adalah pemanasan sebelum kampanye Pemilu 2019.
"Terutama menjelang 2019 nanti. Pilkada 2017 ini cuma semacam percobaan, yang lebih besar nanti ada lagi di 2019. Dicoba misalnya Jokowi itu PKI, dan apakah dia melindungi PKI atau tidak. Untung Jokowi kemarin sudah bilang 'gebuk'. Terlepas kita setuju atau tidak dengan istilah itu... Menurut saya, ini seharusnya juga ditindaklanjuti oleh aparat keamanan," kata Asvi di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Asvi mengatakan isu kebangkitan PKI hanyalah omong kosong. Menurutnya, tidak mungkin sebuah partai dengan ideologi yang sudah dilarang masih ingin berdiri di Indonesia. Kata Asvi, apabila ada yang menyebut paham itu kembali tumbuh di Indonesia, harus ada orang yang benar-benar diperiksa mengenai kebenarannya.
Meski begitu, Asvi memastikan pengadilan pun tak akan bisa membuktikan kemunculan paham komunisme itu. Selain itu, kata Asvi, publik juga tak bisa menuduh seseorang mengikuti paham tersebut, hanya karena keluarganya dekat dengan PKI.
Menurut Asvi, isu komunisme dengan simbol palu-arit, selalu muncul setiap tahun, dan akan semakin ramai saat masa Pilkada atau Pemilu. Padahal, komunisme sudah tak ada lagi di Indonesia.
Asvi merujuk pernyataan sejarawan Syamsuddin Haris, yangmenyebut politik di Indonesia saat ini keruh karena ada operator profesional yang memanfaatkan pebisnis, politisi, serta radikalis agama, untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Isu Komunisme Tak Akan Hilang
Pengamat politik Muhammad AS Hikam memperkirakan isu komunisme tak akan pernah hilang selama upaya rekonsiliasi untuk korban peristiwa 65 belum berhasil.
Hikam mengatakan, isu komunisme pasca-Orde Baru masih dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menjatuhkan lawan politiknya. Padahal, pemerintah telah resmi membubarkan PKI dan paham komunisme juga telah ditinggalkan.
"Fakta bahwa belum tuntasnya penyelesaian para korban peristiwa G30S dilihat dari persepsi HAM. Kalau ini tidak pernah diselesaikan secara proper, dan proper bagi saya bukan hanya penyelesaian hukum, tetapi juga rekonsiliasi. Selama ini masih ada terus menerus dan diciptakan untuk terus ada, maka Anda akan tetap diingatkan untuk terus bicara mengenai 65, korbannya, dan komunis dari berbagai perspektif," kata Hikam di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
AS Hikam mengatakan, persepsi publik memiliki peran penting dalam politik. Karena itu Hikam menilai pemerintah harus memastikan proses rekonsiliasi itu rampung, hingga publik juga memahami bahwa komunisme tak ada lagi.
Menurut Hikam, isu kebangkitan PKI juga tak boleh dilihat dari isu komunisnya saja. Menurut Hikam, ada kelompok lain yang justru membuat wacana tersebut muncul kembali, hingga menghambat terjadinya rekonsiliasi nasional.
Belakangan ini, kata Hikam, juga populer istilah Komunis Gaya Baru (KGB) untuk merujuk pada munculnya kembali paham komunisme di Indonesia. Isu itu berembus kencang, sampai Presiden Joko Widodo menjadi salah satu obyek tuduhan dan harus membantahnya.
Isu komunis itu, menurut Hikam, dimanfaatkan oleh kelompok yang menginginkan tegaknya politik Islam di Indonesia. Kelompok itu bukan kelompok organisasi Islam, melainkan yang menginginkan Indonesia menganut syariat Islam.
Meski begitu, kata Hikam, organisasi Islam mainstream seperti Nahdhatul Ulama juga bisa terpancing dalam isu komunisme, karena dalam sejarahnya mereka ada memiliki trauma terhadap paham tersebut, misalnya saat peristiwa Madiun.
Pengamat politik Muhammad AS Hikam memperkirakan isu komunisme tak akan pernah hilang selama upaya rekonsiliasi untuk korban peristiwa 65 belum berhasil.
Hikam mengatakan, isu komunisme pasca-Orde Baru masih dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menjatuhkan lawan politiknya. Padahal, pemerintah telah resmi membubarkan PKI dan paham komunisme juga telah ditinggalkan.
"Fakta bahwa belum tuntasnya penyelesaian para korban peristiwa G30S dilihat dari persepsi HAM. Kalau ini tidak pernah diselesaikan secara proper, dan proper bagi saya bukan hanya penyelesaian hukum, tetapi juga rekonsiliasi. Selama ini masih ada terus menerus dan diciptakan untuk terus ada, maka Anda akan tetap diingatkan untuk terus bicara mengenai 65, korbannya, dan komunis dari berbagai perspektif," kata Hikam di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
AS Hikam mengatakan, persepsi publik memiliki peran penting dalam politik. Karena itu Hikam menilai pemerintah harus memastikan proses rekonsiliasi itu rampung, hingga publik juga memahami bahwa komunisme tak ada lagi.
Menurut Hikam, isu kebangkitan PKI juga tak boleh dilihat dari isu komunisnya saja. Menurut Hikam, ada kelompok lain yang justru membuat wacana tersebut muncul kembali, hingga menghambat terjadinya rekonsiliasi nasional.
Belakangan ini, kata Hikam, juga populer istilah Komunis Gaya Baru (KGB) untuk merujuk pada munculnya kembali paham komunisme di Indonesia. Isu itu berembus kencang, sampai Presiden Joko Widodo menjadi salah satu obyek tuduhan dan harus membantahnya.
Isu komunis itu, menurut Hikam, dimanfaatkan oleh kelompok yang menginginkan tegaknya politik Islam di Indonesia. Kelompok itu bukan kelompok organisasi Islam, melainkan yang menginginkan Indonesia menganut syariat Islam.
Meski begitu, kata Hikam, organisasi Islam mainstream seperti Nahdhatul Ulama juga bisa terpancing dalam isu komunisme, karena dalam sejarahnya mereka ada memiliki trauma terhadap paham tersebut, misalnya saat peristiwa Madiun.
Editor: Agus Luqman | Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar