SEOUL: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung bergambar bersama dengan 2 peneliti The Truth Foundation - South Korea; Yi Chae Hoon (kiri) dan Song So-yeon (kanan) menjelang penganugerahan "Human Rights Award of The Truth Foundation" South Korea. Gambar diambil Senin (26/6) [Foto Humas YPKP 65]
Di malam ketika umat muslim dunia menyongsong Idul Fitri
1438 H, Ketua YPKP 65 Bedjo Untung berangkat ke Seoul untuk menghadiri acara
penganugerahan penghargaan Human Rights Award of The Truth Foundation South
Korea.
Secara resmi, upacara penganugerahan itu dilaksanakan Senin
(26/6) jam 19.00 waktu setempat, di House of Literature, kota Namsan Seoul,
Korea Selatan.
House of Literature dipilih jadi tempat upacara
penganugerahan Human Rights Award karena lokasi ini memiliki nilai sejarah yang
penting bagi bangsa Korea. Di tempat ini dulunya berdiri gedung yang menjadi
sentra spionase CIA Korea Selatan; Agency for National Security Planning.
The Truth Foundation sendiri yang merupakan sebuah institusi
atau yayasan pengungkapan kebenaran di Korsel, mengidentifikasi tempat ini
sebagai lokasi penyiksaan tahanan perang pada masa Perang Korea dan tempat
penyiksaan tapol semasa kediktatoran militer Park Chung hee.
Tempat dimana pernah dijadikan kamp penyiksaan ini menjadi
simbol bagi masyarakat sipil Korea untuk mengenang sejarah masa lampau yang
kejam dan barbar.
“Mereka yang melupakan masa lampau sesungguhnya ingin
mengulangi kejadian (kekerasan_Red) serupa
di masa datang”, demikian statement Truth Foundation dalam rilisnya.
Penghargaan Ke 7
Penganugerahan Human Rights Award pada tahun 2017 ini
merupakan penghargaan ke 7 yang diberikan oleh The Truth Foundation South
Korea, kepada personal atau lembaga yang dinilai konsisten dalam kerja di
lapangan kemanusiaan khususnya bagi korban kejahatan HAM.
The Truth Foundation sendiri adalah semacam yayasan
kebenaran yang didirikan pada tahun 2009 atas sumbangsih terbesar para korban
kejahatan HAM Korea Selatan. Tradisi penganugerahan penghargaan Human Rights Award
sendiri telah dimulai sejak 2011 lalu.
Meskipun dalam rilisnya The Truth Foundation merujuk Bedjo
Untung sebagai penerima anugerah penghargaan ke 7 ini, namun sebagai Ketua YPKP
65 Bedjo menerimanya sebagai kehormatan bukan buat dirinya, melainkan bagi YPKP
65 secara kelembagaan serta penghargaan bagi seluruh korban Tragedi 1965
Indonesia.
Daftar Penerima
Para penerima anugerah “Human Rights Award” The Truth
Foundation in South Korea ini adalah:
1.
Tahun 2011: Seo
Seung, seorang Profesor Universitas Ritsumeikan, kelahiran 1943 yang dituduh terlibat 'Spionase Siswa
Jepang-Korea' 1971 dan disiksa dengan parah oleh pasukan keamanan Korea
Selatan. Seo Seung dijebloskan ke penjara selama 19 tahun, sebelum dibebaskan
dan muncul sebagai aktivis perdamaian pada solidaritas masyarakat Asia Timur.
2.
Tahun 2012: Mendiang Kim Keun Tae (1947-2011) menjadi penerima penghargaan kedua. Kim adalah
seorang aktivis pro-demokrasi melawan kediktatoran militer selama tahun 1980an,
dan disiksa secara brutal oleh rezim Chun Doo Hwan. Dia selamat dari penyiksaan
tersebut dan dengan berani mengungkapkan realitas pemberontakan di Korea ke
seluruh dunia. Sebagai mantan anggota Majelis Nasional Korea, dia mengabdikan
dirinya untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Korea. Kim meninggal
pada tahun 2011 setelah melawan penyakit karena efek penyiksaan yang masih ada.
3.
Tahun 2013: Hong
Sung Woo (1938), seorang pengacara hak asasi manusia yang berdedikasi. Hong
dengan berani berbicara atas nama tahanan politik, korban penyiksaan dan
aktivis mahasiswa selama rezim militer di Korea Selatan. Karena aktivitasnya,
dirinya sendiri dua kali dipenjara oleh rezim militer. Hong meletakkan landasan
bagi dasar MINBYUN-Pengacara untuk Masyarakat Demokratis, yang telah bekerja
tanpa kenal lelah untuk melindungi hak asasi manusia di Korea. Dia juga
menyimpan banyak catatan kasus pengadilan hak asasi manusia di Korea Selatan,
yang menyediakan bahan berharga untuk pelestarian sejarah perjuangan hak asasi
manusia di Korea.
4.
Almarhum U
Win Tin (1930-2014) dari Hanthawaddy U Win Tin Foundation. Selama
pemberontakan 88 di Burma pada tahun 1988, dia menyatakan tentangannya yang
kuat terhadap kediktatoran militer sebagai wakil ketua Gerakan Aliansi Pers.
Pada bulan September 1988, dia mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)
bersama dengan Aung San Suu Kyi, dan mengadakan sebuah kampanye melawan rezim
militer. Setelah ditangkap, pada tahun 1989, dan kemudian mengalami penyiksaan
berat, dia berkomitmen selama 19 tahun ke penjara Insein, yang terkenal karena
kondisi tidak manusiawi dan program penyiksaan mental dan fisik yang brutal.
Namun pemenjaraan tersebut tidak mengurangi keinginannya untuk menyebarkan
perkataannya atau lebih jauh lagi penyebab demokrasi di Burma. Dia
terus-menerus mengeluarkan suaranya di Burma dan di komunitas internasional
seperti Pelapor Khusus PBB mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan di penjara dan situasi di Burma. Setelah dibebaskan dari penjara pada
bulan September 2008, U Win Tin segera melanjutkan aktivitas NLD-nya meskipun
dia kesehatan yang lemah disebabkan oleh pemenjaraan dan penyiksaannya yang
panjang. Pada tahun 2012, ia mendirikan Hanthawaddy U Win Tin Foundation untuk
membantu rehabilitasi dan penyembuhan tahanan politik dan korban penyiksaan
Birma yang tak terhitung jumlahnya, serta keluarga mereka. Dia meninggal pada
tahun 2014, namun jiwanya tetap bersama generasi muda di Burma yang terus
mencari demokrasi dan perdamaian.
5.
Tahun 2015: Kang
Ki-hoon (1964). Dia dituduh melakukan kejahatan membantu bunuh diri dengan
catatan bunuh diri sebuah catatan bunuh diri untuk Kim Ki-sul, yang membakar
dirinya sendiri dengan kematian yang mengecam presiden dan pemerintah tersebut,
dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara pada tahun 1991. Pada tahun 2015, 24
Beberapa tahun setelah tuduhan mengerikan tersebut, Kang akhirnya dibebaskan
oleh Mahkamah Agung. Kang mengalami tahun-tahun rasa sakit dan perjuangan,
membuktikan dan mengungkapkan jurang gelap dari otoritas. Keberadaannya adalah
motivasi bagi orang-orang yang percaya akan nilai dan penghormatan manusia.
Kami juga mengungkapkan rasa terima kasih kami kepada keluarga dan
teman-temannya dan daya tahan mereka yang membuat 24 tahun Kang berjuang
melawan pembebasan tersebut.
6.
Tahun 2016: Chae
Eui-jin dan Chung Hee-sang. Chae
selamat dari pembantaian di mana 86 dari 127 warga kota dibunuh secara brutal
oleh sekelompok tentara Angkatan Darat Korea pada tanggal 24 Desember 1948.
Sejak saat itu, dia tanpa lelah mengabdikan hidupnya untuk mengungkapkan
kebenaran dan mencari keadilan karena tidak hanya para korban dari Pembantaian
ini tapi tak terhitung banyaknya orang lain yang entah bagaimana bisa bertemu
dengan nasib yang sama. Sementara jumlah korban tidak pernah ditentukan secara
akurat, perkiraan berkisar antara 300.000 dan satu juta. Karena keadaan politik
junta Korea Selatan yang memerintah sampai akhir 1980an, Chae tidak pernah bisa
mencapai tujuan mulia dengan memuaskan. Namun, pada tahun 1989, Chung, yang
saat itu menjadi seorang jurnalis di Majalah Mal, memulai sebuah laporan
investigasi mendalam mengenai pembantaian yang dilakukan oleh pasukan
pemerintah sekitar masa Perang Korea. Selama masa ini, Tuan Chung pasti
mengenal Chae, dan mereka dengan cepat mengembangkan ikatan kekaguman dan
kerjasama. Berkat upaya bersama mereka, banyak korban datang dan mulai
mengekspos berbagai kekejaman. Sementara masih banyak yang harus dilakukan
dalam hal mencapai keadilan penuh dan lengkap bagi para korban, melalui usaha
Chae dan Chung bahwa proses yang sangat penting untuk mengungkapkan kebenaran
meletakkan dasar yang kokoh untuk jalan menuju penyembuhan.
7.
Tahun 2017: Bedjo
Untung, mantan aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) pada tahun 1965an. IPPI adalah sebuah organisasi pelajar independent untuk kegiatan seni, olah raga; di luar sekolah. IPPI mendukung Bung Karno yang anti-imperialisme, anti neo-kolonialisme demi terciptanya masyarakat Sosialis di Indonesia. Bedjo Untung ditangkap pihak militer pada 20 Oktober 1970 melalui “Operasi Kalong” di Jakarta menyusul krisis politik awal Oktober 1965 di Indonesia. Operasi militer besar-besaran yang memakan korban jutaan orang terbunuh, dibuang, disiksa dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Bedjo Untung sendiri dijebloskan ke penjara Tangerang dan RTC Salemba, Jakarta; setelah 5 tahun menjadi buronan politik Orba. Sebagai bagian langsung dari korban tragedi 1965 Bedjo menjalani hidup dengan menyaksikan sejarah pembantaian dan pelanggaran HAM di negerinya; dan terus berjuang tanpa lelah bersama korban lainnya. Paska pembebasan dirinya sebagai tapol pada 1979, Bedjo menjadi aktivis dan kemudian menjadi Ketua YPKP 65, sebuah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 yang didirikan oleh Sulami, Pramoedya Ananta Toer, Hasan Raid, Suharno, Kusalah Soebagyo Toer, Sumini dan lain-lainnya… [hum]
ISTANA KAISAR KOREA: Bedjo Untung diambil gambarnya dengan latar belakang Istana Kekaisaran Korea, menjelang upacara penganugerahan "Human Rights Award of The Truth Foundation" South Korea [Foto: Humas YPKP 65]
0 komentar:
Posting Komentar