Very |
Jakarta, INDONEWS.ID – Isu kebangkitan
Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali menyeruak menjelang Pemilu
Presiden 2019. Presiden Joko Widodo bahkan dengan lantang menyatakan
akan “menggebuk” PKI, jika organisasi terlarang itu kembali muncul.
Benarkah PKI kembali bangkit? Ataukah kebangkitan PKI tersebut hanya isu, alias mimpi di siang bolong? Jika kebangkitan PKI tersebut hanya isu, mengapa kembali muncul atau dimunculkan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dijawab dalam diskusi bertajuk “Kebangkitan PKI: Isu Atau Realitas?” yang digelar Indonews.id, di Balai Sarwono, Rabu (14/6/2017).
Diskusi menghadirkan para pakar yaitu peneliti utama LIPI, dan pakar sejarah Indonesia Dr. Asvi Warman Adam, pengamat politik dari Universitas Presiden, mantan Menristek Kabinet Gusdur Prof. Dr. Muhammad A.S. Hikam, APU, Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Dr. Tubagus Hasanuddin, dan Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI Dr. Ade Armando.
Hadir sebagai “Penanggap Utama” yaitu Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Indonesia Marhaenis (PNI Marhaenis) Sukmawati Soekarnoputri.
Benarkah PKI kembali bangkit? Ataukah kebangkitan PKI tersebut hanya isu, alias mimpi di siang bolong? Jika kebangkitan PKI tersebut hanya isu, mengapa kembali muncul atau dimunculkan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dijawab dalam diskusi bertajuk “Kebangkitan PKI: Isu Atau Realitas?” yang digelar Indonews.id, di Balai Sarwono, Rabu (14/6/2017).
Diskusi menghadirkan para pakar yaitu peneliti utama LIPI, dan pakar sejarah Indonesia Dr. Asvi Warman Adam, pengamat politik dari Universitas Presiden, mantan Menristek Kabinet Gusdur Prof. Dr. Muhammad A.S. Hikam, APU, Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Dr. Tubagus Hasanuddin, dan Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI Dr. Ade Armando.
Hadir sebagai “Penanggap Utama” yaitu Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Indonesia Marhaenis (PNI Marhaenis) Sukmawati Soekarnoputri.
Ikut hadir di antara peserta diskusi yang berjumlah 200 orang itu
antara lain, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966
Bedjo Untung, dan sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Baskara T. Wardaya, SJ. Diskusi dipandu Pemimpin Redaksi Indonews.id, Drs Asri Hadi, MA.
Asvi Warman Adam yang tampil sebagai pembicara pembuka mengatakan, isu kebangkitan PKI yang muncul saat ini merupakan “mimpi di siang bolong”. Pasalnya, berbagai berita, informasi terkait munculnya PKI belum dapat dibuktikan kebenarannya alias hoax.
Asvi mempertanyakan kebenaran berita bahwa saat ini PKI sudah terbentuk dengan struktur dari pusat hingga daerah. Diberitakan, PKI sudah memiliki anggota mencapai 15 juta orang, yang dipimpin Wahyu Setiaji (http://nasional.kompas.com/read/2016/06/01/20393721/kivlan.zen.sebut.pki.bangkit.dan.dipimpin.wahyu.setiaji). Bahkan, muncul tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo merupakan anak seorang PKI.
Menurut Asvi, tuduhan Jokowi merupakan anak PKI tidak berdasar. “Joko Widodo lahir tahun 1961. Ayah Joko Widodo bernama Widjiatno yang kelak menjadi Notomihardjo, dan Ibu Joko Widodo adalah Sujiatmi. Silsilah Jokowi sangat jelas, jadi tidak mungkin anak seorang PKI, atau terlibat dalam PKI,” ujarnya.
Asvi mengatakan, kebangkitan PKI saat ini hanya isu yang sengaja dihembuskan kelompok tertentu untuk mengacaukan situasi politik. Mengutip pendapat Peneliti Utama LIPI Sjamsuddin Haris, Asvi mengatakan, keruhnya situasi politik saat ini dilakukan oleh operator profesional yang menggandeng tiga kekuatan yaitu pebisnis hitam -yang tidak bisa melakukan korupsi akibat kebijakan Jokowi – politisi busuk, dan radikalis agama.
“Gabungan tiga kelompok ini dan digerakkan oleh operator profesional ini yang membuat politik kita keruh,” ujar Asvi.
Asvi Warman Adam yang tampil sebagai pembicara pembuka mengatakan, isu kebangkitan PKI yang muncul saat ini merupakan “mimpi di siang bolong”. Pasalnya, berbagai berita, informasi terkait munculnya PKI belum dapat dibuktikan kebenarannya alias hoax.
Asvi mempertanyakan kebenaran berita bahwa saat ini PKI sudah terbentuk dengan struktur dari pusat hingga daerah. Diberitakan, PKI sudah memiliki anggota mencapai 15 juta orang, yang dipimpin Wahyu Setiaji (http://nasional.kompas.com/read/2016/06/01/20393721/kivlan.zen.sebut.pki.bangkit.dan.dipimpin.wahyu.setiaji). Bahkan, muncul tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo merupakan anak seorang PKI.
Menurut Asvi, tuduhan Jokowi merupakan anak PKI tidak berdasar. “Joko Widodo lahir tahun 1961. Ayah Joko Widodo bernama Widjiatno yang kelak menjadi Notomihardjo, dan Ibu Joko Widodo adalah Sujiatmi. Silsilah Jokowi sangat jelas, jadi tidak mungkin anak seorang PKI, atau terlibat dalam PKI,” ujarnya.
Asvi mengatakan, kebangkitan PKI saat ini hanya isu yang sengaja dihembuskan kelompok tertentu untuk mengacaukan situasi politik. Mengutip pendapat Peneliti Utama LIPI Sjamsuddin Haris, Asvi mengatakan, keruhnya situasi politik saat ini dilakukan oleh operator profesional yang menggandeng tiga kekuatan yaitu pebisnis hitam -yang tidak bisa melakukan korupsi akibat kebijakan Jokowi – politisi busuk, dan radikalis agama.
“Gabungan tiga kelompok ini dan digerakkan oleh operator profesional ini yang membuat politik kita keruh,” ujar Asvi.
Politisi PDI Perjuangan Tubagus Hasanuddin mengatakan pihaknya sudah
melakukan penelitian dan penyidikan ke lapangan terkait isu kebangkitan
PKI tersebut. Namun, anggota Komisi I DPR RI ini memastikan kabar
tersebut tidak benar.
“Ada memang 3 atau 4 kasus hanya mencetak kaos yang berlambang palu arit dan itu tidak ada pendalaman bahwa mencetak kaos berlambang palu arit itu bagian dari membangkitkan komunis. Perlu dicatat bahwa kalau ada kebangkitan komunis maka selesaikan saja secara hukum. Dan kalau ada kader PDIP yang mencoba mendukung komunis atau membangkitkan ideologi komunis, saya kira laporkan saja jangan ragu-ragu,” tegas Tubagus.
Dia mengatakan bahwa ideologi komunisme sudah tidak populer sebagai gerakan perjuangan. “Komunisme sudah tidak popuper. Coba tunjukkan ke saya di dunia bahwa komunis itu eksis, kecuali di Korea Utara,” ujarnya.
Menurutnya, ada tiga kekuatan ekstrim yang bisa menghancurkan yaitu ekstrim kiri (Eki), ekstrim kanan (Eka) dan ekstrim yang lain (Ela). Setiap kekacauan bisa diklasifikasi berasal dari tiga kelompok tersebut.
Mantan Sekretaris Militer (Sekmil) Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono ini menyayangkan isu PKI selalu muncul setiap jelang Pilpres, yang bertujuan untuk mendelegitimasi pemerintahan dan presiden terpilih. Saat ini, katanya, muncul isu baru yang akan mengganggu pemerintahan – selain PKI – yaitu paham khilafah.
“Karena itu, ke depan, pemerintahan siapa saja yang terbentuk, selalu berhadapan dengan dua isu ini, yaitu komunis dan khilafah,” ujarnya
“Ada memang 3 atau 4 kasus hanya mencetak kaos yang berlambang palu arit dan itu tidak ada pendalaman bahwa mencetak kaos berlambang palu arit itu bagian dari membangkitkan komunis. Perlu dicatat bahwa kalau ada kebangkitan komunis maka selesaikan saja secara hukum. Dan kalau ada kader PDIP yang mencoba mendukung komunis atau membangkitkan ideologi komunis, saya kira laporkan saja jangan ragu-ragu,” tegas Tubagus.
Dia mengatakan bahwa ideologi komunisme sudah tidak populer sebagai gerakan perjuangan. “Komunisme sudah tidak popuper. Coba tunjukkan ke saya di dunia bahwa komunis itu eksis, kecuali di Korea Utara,” ujarnya.
Menurutnya, ada tiga kekuatan ekstrim yang bisa menghancurkan yaitu ekstrim kiri (Eki), ekstrim kanan (Eka) dan ekstrim yang lain (Ela). Setiap kekacauan bisa diklasifikasi berasal dari tiga kelompok tersebut.
Mantan Sekretaris Militer (Sekmil) Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono ini menyayangkan isu PKI selalu muncul setiap jelang Pilpres, yang bertujuan untuk mendelegitimasi pemerintahan dan presiden terpilih. Saat ini, katanya, muncul isu baru yang akan mengganggu pemerintahan – selain PKI – yaitu paham khilafah.
“Karena itu, ke depan, pemerintahan siapa saja yang terbentuk, selalu berhadapan dengan dua isu ini, yaitu komunis dan khilafah,” ujarnya
Tubagus tidak menampik beberapa kader PDI Perjuangan berasal dari
keluarga atau turunan anggota PKI. Namun, dia memastikan kader tersebut
tidak pernah terlibat dan menyebarkan paham PKI. “Kami jamin bahwa kader
kami telah bersih dari PKI. Lagi pula, saya tahu dan memiliki bukti
bahwa kader di partai lain juga ada yang berasal dari keluarga PKI,”
ujarnya.
Kekuatan Baru Ideologi Islam
AS Hikam mengatakan pertanyaan tentang benar tidaknya kebangkitan PKI tidak relevan dijawab. Pasalnya, isu kebangkitan PKI itu bisa diciptakan untuk memunculkan persepsi tertentu. “Jangan tanya PKI itu ada atau tidak, karena itu soal persepsi dan bisa diciptakan. Oleh karena itu saya menganggap isu PKI ini adalah persoalan faktual saja,” ujarnya.
Hikam mengatakan, persepsi bahwa ideologi komunis sudah mati hanya bisa dipastikan dari tidak ada lagi orang yang menganut ideologi tersebut. Ideologi tidak pernah mati selama masih ada di dalam hati, dan pikiran.
Namun, Hikam mengatakan, komunisme sudah tidak memiliki kekuatan besar. Komunisme saat ini bahkan kalah pamor dibanding ideologi Islam. “Sekarang yang paling powerfull justru ideologi Islam, bukan komunisme. Karena ideologi komunis tidak muncul, dan yang muncul malah Islam. Kasus penistaan agama itu adalah the power of ideology. Jangan anggap remeh pada ideologi. Ideologi masih menjadi the most powerfull,” ujarnya.
Kekuatan Baru Ideologi Islam
AS Hikam mengatakan pertanyaan tentang benar tidaknya kebangkitan PKI tidak relevan dijawab. Pasalnya, isu kebangkitan PKI itu bisa diciptakan untuk memunculkan persepsi tertentu. “Jangan tanya PKI itu ada atau tidak, karena itu soal persepsi dan bisa diciptakan. Oleh karena itu saya menganggap isu PKI ini adalah persoalan faktual saja,” ujarnya.
Hikam mengatakan, persepsi bahwa ideologi komunis sudah mati hanya bisa dipastikan dari tidak ada lagi orang yang menganut ideologi tersebut. Ideologi tidak pernah mati selama masih ada di dalam hati, dan pikiran.
Namun, Hikam mengatakan, komunisme sudah tidak memiliki kekuatan besar. Komunisme saat ini bahkan kalah pamor dibanding ideologi Islam. “Sekarang yang paling powerfull justru ideologi Islam, bukan komunisme. Karena ideologi komunis tidak muncul, dan yang muncul malah Islam. Kasus penistaan agama itu adalah the power of ideology. Jangan anggap remeh pada ideologi. Ideologi masih menjadi the most powerfull,” ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Presiden ini mengatakan, ada empat
faktor munculnya isu kebangkitan PKI, yaitu faktor ideologi, faktor
lingkungan strategis dan kemanan nasional, faktor legal dan HAM, dan
faktor politik.
Faktor ideologis munculnya PKI, kata Hikam, karena ideologi pada hakikatnya tidak pernah mati, seperti halnya komunisme. Selain itu, karena adanya kekosongan wacana dan praksis ideologi Pancasila pasca Orde Baru. Hal ini karena hegemoni ideologi Pancasila seperti masa Orba sudah lemah bahkan nyaris tidak ada. Yang tak kalah penting, kata Hikam, munculnya isu PKI terjadi karena munculnya ideologi alternatif seperti Islamisme dan Neoliberalisme.
Isu PKI juga muncul, kata Hikam, karena manuver politik yang dilakukan sejumlah kelompok, khususnya kelompok islam politik. Isu PKI tersebut digunakan untuk menekan Presiden Jokowi dan pemerintah, seperti mengaitkannya dengan propaganda adanya Komunis Gaya Baru (KGB), pengaruh China dalam hubungan antar negara, etsnis China Indonesia yang dianggap sebagai kolaborator, dan kelompok konglomerat China Indonesia yang disebut menguasai sektor ekonomi RI.
Mengelola Isu PKI
Hikam mengatakan, isu PKI efektif menjadi musuh bersama kelompok Islam Politik, dengan menggalang kekuatan politik tertentu. Hal terlihat dari munculnya ceramah-ceramah keagamaan untuk melawan komunis. Pemanasan misalnya sudah dilakukan pada pilkada DKI melalui seruan jangan memilih pemimpin non-Islam.
“Isu komunis sangat atraktif dan strategis untuk ciptakan musuh ideologis bersama kelompok Islam dan kelompok strategis lain termasuk TNI,” ujarnya.
Menurut Hikam, tokoh politik dibelakang kelompok Islam Politik akan diuntungkan dengan isu komunis tersebut. Mereka mendapat amunisi bagi pendukungnya untuk melakukan “perang politik” melawan oposisi.
Menjelang Pilpres 2019, kata Hikam, isu PKI tersebut akan dikapitalisasi oleh lawan politik Presiden Jokowi bagi kepentingannya. Kelompok tersebut juga akan mempengaruhi kelompok strategis lain seperti TNI, NU dan Muhammadiyah. Kelompok islam politik tersebut akan berusaha keras mempengaruhi TNI menjadi menjadi “kawan seperjalanan” dengan menggunakan isu ancaman KGB. Karena itu, Hikam meminta TNI untuk tidak termakan isu.
“TNI harus hati-hati pada isu PKI, jangan sampai masuk dalam ‘jebakan batman’. Bahaya kalau kelompok ini bergabung dengan TNI, karena akan bahaya sekali. TNI harus hati-hati, jangan sampai kelompok strategis ini dipaketkan dengan kelompok ekstrim kanan, juga kelompok NU dan Muhammadiyah jangan sampai ikut terpengaruh,” ujarnya.
Isu kebangkitan PKI saat ini, kata Hikam, masih berada pada perbatasan fakta dan alat propaganda. Karena itu, perlu sikap tegas dan terukur dari Pemerintah dan Presiden Jokowi agar isu ini tidak dimanfaatkan sebagai senjata politik yang mengganggu keamanan nasional. Untuk itu, penguatan ideologi Pancasila perlu terus dilakukan sebagai benteng terhadap ideologi lain yang bisa menjadi ancaman bangsa. “Bagaimanapun, Presiden Jokowi harus tetap menanggapi isu kebangkitan PKI tersebut,” ujarnya.
Ade Armando mengatakan, kebenaran kebangkitan PKI tidak terlalu penting. Pasalnya, kebangkitan PKI bisa saja merupakan kebohongan yang terus dipropagandakan. Karena itu, yang paling penting bagi Ade, yaitu apakah isu tersebut menimbulkan ancaman bagi negara atau tidak. “Komunisme dipakai sebagai alat untuk menghantam lawan,” ujarnya.
Ade mengatakan, isu PKI yang disematkan pada Jokowi cukup ampuh menggerus popularitas dan elektabilitasnya. Terbukti, Jokowi hanya terpaut 6 persen di atas Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu. “Isu PKI ini cukup ampuh karena Jokowi hanya menang 6 persen, tidak besar amat,” ujarnya.
Sama seperti para narasumber, Sukmawati menampik bangkitnya kembali PKI. Sukmawati juga membantah sinyalemen hubungan baik pemerintah Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai bukti bangkitnya PKI.
“Kalau sekarang Indonesia kembali lagi ada hubungan dengan RRT, kenapa tidak? Karena super ekonomi sekarang ini adalah RRT. Raja Arab Saudi juga kerja sama (dengan RRT). Amerika Serikat juga pinjam duit untuk pembangunannya. Kalau Indonesia perlu dana untuk pembangunan negara, jangan bohong dan bodoh,” pungkasnya. (Very Herdiman)
Faktor ideologis munculnya PKI, kata Hikam, karena ideologi pada hakikatnya tidak pernah mati, seperti halnya komunisme. Selain itu, karena adanya kekosongan wacana dan praksis ideologi Pancasila pasca Orde Baru. Hal ini karena hegemoni ideologi Pancasila seperti masa Orba sudah lemah bahkan nyaris tidak ada. Yang tak kalah penting, kata Hikam, munculnya isu PKI terjadi karena munculnya ideologi alternatif seperti Islamisme dan Neoliberalisme.
Isu PKI juga muncul, kata Hikam, karena manuver politik yang dilakukan sejumlah kelompok, khususnya kelompok islam politik. Isu PKI tersebut digunakan untuk menekan Presiden Jokowi dan pemerintah, seperti mengaitkannya dengan propaganda adanya Komunis Gaya Baru (KGB), pengaruh China dalam hubungan antar negara, etsnis China Indonesia yang dianggap sebagai kolaborator, dan kelompok konglomerat China Indonesia yang disebut menguasai sektor ekonomi RI.
Mengelola Isu PKI
Hikam mengatakan, isu PKI efektif menjadi musuh bersama kelompok Islam Politik, dengan menggalang kekuatan politik tertentu. Hal terlihat dari munculnya ceramah-ceramah keagamaan untuk melawan komunis. Pemanasan misalnya sudah dilakukan pada pilkada DKI melalui seruan jangan memilih pemimpin non-Islam.
“Isu komunis sangat atraktif dan strategis untuk ciptakan musuh ideologis bersama kelompok Islam dan kelompok strategis lain termasuk TNI,” ujarnya.
Menurut Hikam, tokoh politik dibelakang kelompok Islam Politik akan diuntungkan dengan isu komunis tersebut. Mereka mendapat amunisi bagi pendukungnya untuk melakukan “perang politik” melawan oposisi.
Menjelang Pilpres 2019, kata Hikam, isu PKI tersebut akan dikapitalisasi oleh lawan politik Presiden Jokowi bagi kepentingannya. Kelompok tersebut juga akan mempengaruhi kelompok strategis lain seperti TNI, NU dan Muhammadiyah. Kelompok islam politik tersebut akan berusaha keras mempengaruhi TNI menjadi menjadi “kawan seperjalanan” dengan menggunakan isu ancaman KGB. Karena itu, Hikam meminta TNI untuk tidak termakan isu.
“TNI harus hati-hati pada isu PKI, jangan sampai masuk dalam ‘jebakan batman’. Bahaya kalau kelompok ini bergabung dengan TNI, karena akan bahaya sekali. TNI harus hati-hati, jangan sampai kelompok strategis ini dipaketkan dengan kelompok ekstrim kanan, juga kelompok NU dan Muhammadiyah jangan sampai ikut terpengaruh,” ujarnya.
Isu kebangkitan PKI saat ini, kata Hikam, masih berada pada perbatasan fakta dan alat propaganda. Karena itu, perlu sikap tegas dan terukur dari Pemerintah dan Presiden Jokowi agar isu ini tidak dimanfaatkan sebagai senjata politik yang mengganggu keamanan nasional. Untuk itu, penguatan ideologi Pancasila perlu terus dilakukan sebagai benteng terhadap ideologi lain yang bisa menjadi ancaman bangsa. “Bagaimanapun, Presiden Jokowi harus tetap menanggapi isu kebangkitan PKI tersebut,” ujarnya.
Ade Armando mengatakan, kebenaran kebangkitan PKI tidak terlalu penting. Pasalnya, kebangkitan PKI bisa saja merupakan kebohongan yang terus dipropagandakan. Karena itu, yang paling penting bagi Ade, yaitu apakah isu tersebut menimbulkan ancaman bagi negara atau tidak. “Komunisme dipakai sebagai alat untuk menghantam lawan,” ujarnya.
Ade mengatakan, isu PKI yang disematkan pada Jokowi cukup ampuh menggerus popularitas dan elektabilitasnya. Terbukti, Jokowi hanya terpaut 6 persen di atas Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu. “Isu PKI ini cukup ampuh karena Jokowi hanya menang 6 persen, tidak besar amat,” ujarnya.
Sama seperti para narasumber, Sukmawati menampik bangkitnya kembali PKI. Sukmawati juga membantah sinyalemen hubungan baik pemerintah Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai bukti bangkitnya PKI.
“Kalau sekarang Indonesia kembali lagi ada hubungan dengan RRT, kenapa tidak? Karena super ekonomi sekarang ini adalah RRT. Raja Arab Saudi juga kerja sama (dengan RRT). Amerika Serikat juga pinjam duit untuk pembangunannya. Kalau Indonesia perlu dana untuk pembangunan negara, jangan bohong dan bodoh,” pungkasnya. (Very Herdiman)
0 komentar:
Posting Komentar