Jumat, 21 Juni 2019
Dari Kiri ke kanan. Usman Hamid, S.T
Wiyono, DIdik Dyah, Gigok Anurogo
Sekber’65 berkerjasama dengan Amnesty
International Indonesia, Kethoprak Srawung Bersama (KSB), dan Kampungnesia UNS
menggelar diskusi rutin Forum Generasi Muda (FGM). Diskusi yang bertajuk
Diskusi dan Kumpul Bareng Obrolan Generasi Muda ini berlangsung di Ruang
Seminar FISIP UNS Surakarta.
Diskusi publik ini merupakan bagian dari
sebuah event terkait dengan kegiatan mempromosikan hak asasi manusia dalam
sebuah acara Pementasan Ketoprak “PRAHARA” yang dilaksanakan pada hari Senin,
24 Juni 2019 dengan mengangkat isu tentang HAM. Bagaimana upaya dari dua
hal yang berbeda yaitu HAM dan seni menjadi satu, bagaimana sebuah kesenian
menjadi bagian dari upaya mempromosikan advokasi atau bagian lebih penting dan
menjadi sebuah instrumen sebagai upaya mewujudkan hak asasi manusia.
Nara Sumber pertama di mulai dari Ibu Didik
dari SekBer ’65 yang membahas persoalan HAM di negara kita yang selama
ini kita lihat memang belum selesai,
“Bukan
karena waktu tapi memang tidak ada niatan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan tentang pelanggaran HAM yang muncul di Indonesia dan
akhirnya habis terseleksi oleh alam.” ujar beliau. “Peristiwa atau tragedi 1965 dan banyak lagi
peristiwa lain, ini mengubah 180 derajat kondisi sosial-politik di Indonesia
yang tentu warnanya berbeda. Pelanggaran-pelanggaran HAM terus bermunculan
mulai ada peristiwa tragedi Mei, ada Talangsari, ada penculikan-penculikan,
kemudian sampai yang terakhir adalah masalah di Papua.” tambahnya.
Narasi selanjutnya hadir oleh pemaparan S.T
Wiyono-budayawan Solo menjelaskan dengan gamblang tentang esensi kesenian yang
bisa digunakan dalam mengkapanyekan persoalan HAM.
“Bagaimana menyambungkan kesenian dengan
HAM tersebut?Pertama, diharapkan semua sudah sangat memahami tentang fungsi,
esensi dan manfaat kesenian bagi kita semua, khususnya generasi muda”.
“Dalam
kesenian banyak hal yang bisa kita petik, ada dua atau tiga macam kesenian.
Kesenian, yang pertama adalah ungkapan ekspresi dari jiwa dan perasaan
serta emosi yang kita sampaikan lewat media seni. Contoh, melalui gerak disebut
tari, melalui pakai gitar disebut music, melalui vokal disebut puisi dan
lain-lain. Ketroprak sendiri ada gerak, musik ada tokoh atau lakonnya.
Seniman yang baik selalu berkarya karena dia terpanggil untuk
menyampaikan sesuatu hal kepada masyarakat atau orang banyak.” tuturnya.
Beliau menambahkan, “Jadi, inilah kesenian
yang saat ini berkembang. Kesenian yang bisa menjadi media untuk
berkomunikasi dan advokasi. Saat ini, ada namanya Mitra Forum Komunikasi
Media Tradisi, dimana kesenian sebagai media untuk menyampaikan suatu hal,
bagaimana kesenian menjadi media untuk memberi edukasi tentang HAM kepada
masyarakat dan sudah terbukti beberapa kali dengan membuat 3 sampai 4 kali
naskah dimana penonton itu menganggap lebih terasa pesannya dari pada cuma
sekedar berbicara atau pidato. Jadi sebetulnya kesenian sangat
fleksibel/luwes untuk menyampaikan pesan penting.” pungkasnya.
Narasumber selajutnya yang juga merupakan
Seniman dan Budayawan Surakarta sekaligus Anak korban tragedi 65, Gigok Anurogo, menceritakan
pengalamannya di masa muda dimana trauma dan ketakutan terus menghantui
dikarenakan cap Tapol yang disematkan pemerintah saat itu kepada orang
tuanya.
Pengalaman pahit itu menjadikannya terus
konsisten dalam mengkapanyekan HAM dalam setiap karya-karyanya. “Berkesenian
memang harus memihak, dan saya memilih untuk berpihak rakyat yang selalu
menjadi objek penderitaan dari para penguasa para politikus dan sebagainya.”
tegasnya.
Sedangkan Usman Hamid yang menjabat sebagai
Direktur Amnesty International Indonesia mengatakan, “Banyak masalah di
Indonesia yang memunculkan ke khawatiran bahwa Indonesia sedang mengalami
kemunduran, misalnya dengan Pilkada DKI ketika itu sentimen anti Cina nya
sangat tinggi sekali termasuk sentimen terhadap non muslim, kasus tentang
penolakan warga petani terhadap pabrik semen, belum lagi yang menolak bandara
internasional di Jogja yang menimbulkan kriminalisasi.”
Dia juga menambahkan, “Perlunya dimunculkan
seni bisa membuat orang memberi jeda pada kesehariannya, pada keberisikan dunia
ini dengan merasakan sesuatu, dengan membaca lukisan, dengan mendengarkan
teater atau dengan mendengarkan musik.”
Diskusi ini penuh sesak dihadiri oleh kalangan
mahasiswa, anak dan cucu korban pelanggaran HAM 65, seniman dan budayawan.
Diharapkan melalui diskusi ini semakin memacu nalar kritis para generasi muda
terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa melanggar HAM. (dok.sekber65)
0 komentar:
Posting Komentar