Hendaru Tri Hanggoro | 28 Juni 2019
Memori
media menghadirkan Soeharto sebagai sosok protagonis dan antagonis dalam G30S
dan peristiwa setelahnya.
Menpangad Letjen TNI Soeharto
menerima delegasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), salah satu
organisasi anti-komunis. (Perpusnas RI).
Media
mempunyai kekuatan untuk merekonstruksi, membentuk, atau mengubah persepsi dan
penilaian orang terhadap sejarah. Era keterbukaan dan kebebasan informasi sejak
1998 mendorong media merekacipta narasi tentang suatu peristiwa sejarah dan
tokohnya. Selain itu, perkembangan teknologi informasi turut berpengaruh
terhadap penciptaan narasi lain.
Narasi
itu terbentuk dari memori kolektif para agen memori, yaitu pelaku, saksi, dan
para pengamat peristiwa sejarah. Media kemudian mengembangkan memori kolektif
menjadi memori media melalui tiga langkah.
Pertama,
media mengartikulasikan memori itu dalam bentuk bahasa. Kedua, menyajikan
bingkai sosial di mana memori tersebut bertempat. Dan ketiga, menyajikan
aktivitas mengingat tersebut dalam bentuk narasi kepada khalayak. Seringkali memori
media sampai ke khalayak dalam bentuk narasi dramatis, mengejutkan, dan
kompleks.
“Memori media dilihat sebagai bentuk memori kolektif yang termediasi,” kata Muhammad Aswan Zanynu, doktor anyar lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dalam sidang promosi doktoralnya di kampus UI, Depok, Jawa Barat, 26 Juni 2019.
Memori
Media vs Sejarah
Sedangkan
memori kolektif dapat digambarkan sebagai rekonstruksi masa lalu dalam
perspektif masa kini. Menurut Zanynu, memori kolektif berbeda dari
sejarah.
“Sejarah membatasi diri pada peristiwa, kejadian, atau aktivitas manusia pada masa lampau. Sementara memori kolektif lebih terfokus pada memori manusia atas masa lalu yang digunakan oleh masyarakat untuk melihat eksistensi mereka saat ini.”
Melalui
disertasinya, “Memori Dalam Narasi Media Berita Daring Indonesia: Peran
Soeharto pada Peristiwa 1965”, Zanynu berupaya mengungkap bagaimana media
daring Indonesia mengajukan memori medianya masing-masing tentang peran
Soeharto dalam peristiwa 1965 setelah berlalu setengah abad.
Zanynu
mengumpulkan 27 artikel dari enam media daring selama kurun tiga bulan,
dari September sampai November 2015. Artikel-artikel pilihannya memuat tema
G30S dan Peristiwa 1965 dengan beberapa kriteria. Antara lain mengangkat
Soeharto sebagai tokoh utama dalam penceritaan, menyebut Soeharto dalam latar
kisah, dan mengaitkan tokoh lain atau peristiwa sekitar 1965 dengan Soeharto.
Zanynu
tidak banyak mengupas identitas dan latar belakang media-media daring tersebut.
Dia juga mengaku tidak membahas dinamika ruang redaksi media ketika memori
media tersebut diproduksi.
“Penelitian ini membatasi diri pada narasi atau teks yang memuat memori atas Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965,” kata Zanynu.
Memori
media menempatkan Soeharto sebagai sosok utama dalam skenario G30S.
“Boleh jadi karena Soeharto tampil sebagai ‘pemenang’ dalam pertarungan kekuasaan tahun 1965—1966, dia kemudian terlihat masuk akal ketika digiring masuk pusat narasi,” terang Zanynu.
Analisis
Zanynu terhadap 27 artikel media daring berujung kepada dua narasi besar
tentang peran Soeharto dalam Peristiwa 1965. Soeharto sebagai protagonis dan
antagonis. Kedua peran ini bergantung dari bagaimana media memilah dan memilih
agen memori kolektif.
“Mereka yang pro-Soeharto mendudukkan tindakan Soeharto sebagai aksi patriotik, penangkapan dan pembunuhan massal dilihat sebagai konsekuensi yang tak terelakkan. Sementara mereka yang kontra-Soeharto, mencurigai tindakan tersebut sebagai aksi ambil untung yang menghalalkan segala cara untuk menggulingkan Sukarno,” terang Zanynu.
Peran
protagonis Soeharto muncul ketika media menarasikan Soeharto menghentikan
rencana G30S. Sebaliknya, peran antagonis Soeharto terlihat saat media
menarasikan Soeharto telah mengetahui rencana G30S dan mengambil untung setelah
rencana tersebut gagal.
Merawat
Konsensus
Zanynu
juga mengungkapkan bahwa setidaknya ada sembilan fragmen topik dalam 27 artikel
media daring termaksud. Contohnya Soeharto memimpin serangan balasan terhadap
G30S dengan cepat, Soeharto sebagai sosok anti-komunis, Soeharto memanfaatkan
peran CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dan Marshall Green, kecenderungan
Soeharto pro-Barat, Soeharto menuding Tiongkok sebagai negara di balik skenario
G30S, dan indikasi keterlibatan Soeharto dalam pembunuhan massal pasca G30S.
Zanynu
menjelaskan bahwa 27 artikel media daring tersebut berhenti pada narasi
pembunuhan massal. Keseluruhan artikel juga tidak menyebut pertarungan politik
Soeharto dan Presiden Sukarno. Narasi lain tentang Peristiwa G30S sebagai upaya
pembersihan komunis dari bumi Indonesia juga tidak hadir dalam 27 artikel
tersebut.
“Peristiwa ini semata-mata dilihat sebagai aksi kudeta dan kontra kudeta,” kata Zanynu.
Hal ini tidak lepas dari kepentingan
dan tujuan media dalam menghadirkan memori medianya masing-masing tentang
Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965. Memori media cenderung mengarah kepada
tujuan merawat konsensus dan melindungi kepentingan mereka.
Memori
media memang tidak menampilkan Soeharto dan peristiwa sekitar G30S secara hitam
putih. Ada pertimbangan data, fakta, dan interpretasi apik dari media dalam
menghadirkan memori medianya.
“Sisi abu-abu dari isu, tokoh, ataupun suatu peristiwa juga ditampilkan, tetapi pada batasan yang tidak terlalu jauh keluar dari konsensus masyarakat atau batas-batas kesepakatan para elite,” kata Zanynu.
Memori
media hadir dalam format yang dapat ditebak dan tunduk pada pola tertentu.
“Dia dipilih dengan sejumlah pertimbangan yang memenuhi kriteria konten media,” kata Zanynu. Pragmatisme juga mengalasi pilihan suatu isu dan penghadiran peran tokoh ketika memori tersebut berpotensi mengundang reaksi negatif.
Misalnya
dalam memori media tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965, media
mempertahankan ‘konsensus’ bahwa PKI dan CIA, sebagai dalang aksi G30S.
Meski memori media telah menempatkan Soeharto dalam dua peran besar,
historiografi G30S tentang konflik internal Angkatan Darat tidak muncul secara
eksplisit di dalam memori media. Di sini terjadi kontradiksi memori media.
Media daring ternyata tidak selalu menghadirkan memori kolektif yang lengkap
dan beragam.
Pemunculan
CIA dan PKI sebagai dalang G30S cukup aman bagi kepentingan media. Menghadirkan
Soeharto secara eksplisit sebagai dalang G30S akan membuat partai kuat
pendukung Soeharto seperti Gerindra dan Golkar bereaksi keras. Begitu pula jika
menghadirkan memori konflik internal tentara.
Menyikapi
keadaan ini, memori media kemudian menyentuh kepentingan lain, yaitu isu
pelanggaran Hak Asasi Manusia sekitar Peristiwa 1965. Di sinilah memori media
kembali menghadirkan sosok Soeharto sebagai orang paling bertanggung jawab.
Memori
media terhadap Soeharto, G30S, dan peristiwa 1965 tidak muncul setiap saat.
Tetapi memori ini akan berkelanjutan dan berulang kembali bila ada momen
tentang hal tersebut.
“Misalnya media hanya akan mengangkat isu 1965 pada bulan September akhir atau Oktober awal atau pada saat di mana orang bercerita tentang komunis dan sebagainya. Di luar waktu itu tidak ada,” kata Zanynu.
Karena
itu media masih mempunyai kesempatan untuk mereproduksi memorinya tentang suatu
peristiwa sejarah dan tokohnya secara lebih lengkap dari waktu ke waktu seiring
perubahan kondisi zaman.
0 komentar:
Posting Komentar