Jumat, 21 Juni 2019

Halim H.D.: “Saya Lihat Buku-Buku Itu Dilarung Ibu di Sungai”




Perhelatan Biennale Jogja X bertema arsip itu dimulai di pengujung 2009. Pamflet berukuran A3 ditempelkan di papan-papan pengumuman. Bukan hanya di venue utama, Taman Budaya Yogyakarta dan Jogja National Museum, pamflet juga disebar di berbagai galeri seni dan kantong komunitas di seantero Kota Jogja.

Pamflet itu berisi ceramah tunggal seni dari seorang tokoh bernama Liem Goan Lay. Pamflet berdesain vektor dengan warna-warni itu menampilkan wajah “cainis” dengan topi pet berbintang satu ala Mao Zedong.

Sore di hari orasi seni Goan Lay itu hujan terus membasahi KM 0 Yogyakarta. Panggung kecil disiapkan. Panitia gelisah, tokoh seni dari Cina itu belum juga tampak. Apalagi, panitia tak tahu sama sekali sosok itu. Bukan saja LO tak ada, nomor kontak si pengawal tamu seni Asia ini pun tak punya.

Hanya ada beberapa orang di mimbar. Salah satunya adalah Halim H. D. Ia menggenggam kertas. Mungkin menjadi penerjemah dari orasi seni Liem Goan Lay. Maklum, seni dari negeri tirai bambu itu sedang moncer. Selain dari harga karya seni rupa mereka luar biasa mahal, juga kolektor mereka menaikkan harga karya seniman Yogya.

Sore rintik-rintik itu bagian dari performing art berbentuk orasi seni. Liem Goan Lay yang ada di pamflet tidak lain adalah Halim H.D. itu sendiri.
“Itu pekerjaan Samuel Indratma. Nama Tionghoa saya itu hanya sedikit yang tahu. Butet Kertaradjasa salah satunya. Yang lain wartawan senior KR, Ajid Hamzah,” kisah sosok yang mendaku diri secara konsisten sebagai “networker kebudayaan” ini.
“Sengaja dibikin seperti itu. Nama Liem Goan Lay itu sendiri adalah arsip hidup yang terlupa,” tutur Samuel Indratma yang menjadi kurator ruang publik Biennale Jogja X.
Pendiri Apotek Komik itu benar. Nama Liem Goan Lay itu membawa Halim H.D. mengarungi gelombang dunia buku, seni, dan kebudayaan. Dari Serang hingga Yogyakarta.

Di serang, keluarganya berlangganan koran. Warga kampung baca koran dan majalah, ya, di rumah. Warta Bhakti, Sketsmasa, Star Weekly, Panca Warna adalah nama-nama media yang dilahap Liem. Kamar kakaknya yang diplot sebagai perpustakaan keluarga. Letaknya paling depan.

Beruntung ia, tak ada larangan membaca apa pun yang disediakan rumah. “Saya heran sendiri dengan orangtua saya. Kok, bisa dibolehkan.

Hingga tiba masa pagebluk itu. Rumah-rumah di kampungnya digeledah tentara. Serdadu-serdadu ijo itu nyaris tiap hari menyisir rumah. Tak terkecuali rumahnya. Dan, Liem tegang betul saat membantu ibunya membungkus dan menaikkan buku-buku di plafon. Buku yang tak sanggup lagi ditampung plafon, oleh ibunya, ditenggelamkan di sungai.

Pagebluk memang menenggelamkan semuanya. Rumah yang selalu ramai dengan seni pertunjukan rakyat tiba-tiba saja senyap dan berganti dengan suasana yang menakutkan.

Rumah keluarga Liem memang menjadi terminal bagi aktivitas kader-kader PKI, Baperki, Murba, Gerwani, Pemuda Rakyat, dan Sarekat Buruh Kereta Api. Liem ingat, rumahnya pernah didatangi tokoh-tokoh seni seperti Tan Ceng Bok. Maklum, Lim Kiam Ong, kakeknya, adalah dalang golek.

Ketakutan yang dalam melumpuhkan semua yang di Serang. Liem melewati masa-masa bersekolah dengan tanpa banyak cakap dan tanpa raut bahagia. Puncak dari ketakutan itu, ia bersulih nama. Dari Pak Suardi Hadi, Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Serang, ia mendapatkan nama baru: Halim Harja Dimulya atau Halim H.D.

Hingga ia hijrah ke Jakarta mengikuti omnya dan menonton untuk pertama kali pertunjukan WS. Rendra di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Namun, Halim tidak berhenti di Jakarta. Ia terus berjalan ke timur. Entah koinsidensi atau tidak, ia berhenti di kota di mana Rendra berproses dengan sangat keras.

Selamat datang, Halim H. D. di Yogyakarta. SMA 1 Institut Indonesia, Yogyakarta.

Ya, di sekolah menengah inilah, kegairahan Halim dengan bacaan berupa koran, majalah, dan buku kembali membiak. Walaupun, bayangan buku-buku yang (di)tenggelam(kan) ibunya di sungai Serang tetap menghantuinya.

Pada Pak Rusdi, gurunya yang mengampuh mapel Sastra, ia berkenalan dengan majalah sastra dan budaya yang berjaya saat usia Orde Baru masih belia. Sebut saja, Horison dan Budaja Djaja. Ia menggandrungi majalah-majalah itu dengan cara terus menanti kehadirannya di kios Kidul atau Taman Garuda, ujung utara Jl. Malioboro.

Halim tanpa sadar masuk dalam gravitasi sastrawan-sastrawan Malioboro. Sebab, di tempat itulah para penulis berkumpul. Ada nama Ashadi, Umbu, Linus, dan Suwarno. Maklum, tak jauh dari Hotel Garuda itu bermarkas Persada Studi Klub (PSK) di mana Umbu menjadi presidennya.

Namun, bukan pertemuan itu yang diingatnya. Bukan pula saat ia mengasuh majalah dinding sekolah bersama Sukirman, Listyo, dan Joko Suarso.
Bukan.

Yang paling diingat Halim adalah saat ia duduk di kelas 2 SMA, ia berurusan dengan tentara.
Pasalnya, ia dengan muka polos meresensi buku Gerilya dan Subuhkarya Pramoedya Ananta Toer saat ada tugas mapel Bahasa Indonesia untuk apresiasi.

Ia diinterogasi Pak Isro B.A. Hadir pula Pak Sukamto dan Pak Rusdi. “Lha, emang kamu gak tahu siapa dan di mana itu Pram?” tanya Pak Isro. Pertanyaan yang sama dilontarkan Pak Rusdi. Halim menggeleng. Ia memang tidak tahu pemilik buku yang ia resensi itu sedang dihukum kerja paksa di Pulau Buru.

Halim mulai waswas saat tahu kakaknya di Serang dikirimi telegram oleh sekolah. Gawat. Perwakilan keluarga datang ke Yogya, selain meluruskan persoalan, juga menjewernya.

Buku-buku sastra tersisa yang ia bawa serta dalam hijrahnya dari Serang, Jakarta, hingga ke Yogya turut dibawa pulang kakaknya.
Kasus ulasan buku itu menyadarkan Halim menulis itu adalah kerja berbahaya. Kesadaran itu ia bawa hingga namanya terdaftar sebagai mahasiswa Filsafat UGM.

Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa ia haruslah menjadi mahasiswa yang mandiri secara ekonomi. Halim pun memilih menjadi penjual buku loak.
“Saya mengambil buku bekas dari Lapangan Banteng Jakarta. Sekarung dua karung. Diangkut dengan kereta. Di jual di Filsafat UGM,” kisahnya
Di kampus Filsafat inilah Halim pertama kali menyaksikan novel Ashadi Siregar dijadikan film, Cintaku di Kampus Biru. Ashadi kemudian ia tahu adalah satu dari sekian nama yang besar di Malioboro.
Halim juga terkesan dengan nama Emha Ainun Nadjib, selain Linus Suryadi, Suwarno Pragolapati, Iman Budi, dan Yudhistira.
“Emha di periode setelah tengah 70-an menarik. Emha sangat produktif menulis. Ia tampil dengan esai berbahasa populis. Slang-slang masuk. Bukan main dia kalau menulis,” kisahnya.
 Tak lupa, tentu saja, peran Umbu Landu yang disebut Halim sebagai guru sejati. “Ia mendengarkanmu, mengajakmu ngobrol, walau kamu bukan nama besar,” lanjutnya.

Sore hari, di depan perpustakaan umum Malioboro, cerita Halim, datang lelaki menaiki sepeda onthel besar. Setelah si lelaki menyandarkan sepedanya, Umbu membisikinya, 
 “Halim, itu Darwis. Ia masih SMA.”
Bukan main kagetnya Halim. Ia mengira, Darwis itu penulis tua saat ia membaca tulisannya di Kompas. Maklum, Halim berlangganan koran Kompas dan majalah Varia saat tinggal di rumah Pak Anwar.

Memperbanyak bacaan menggiring Halim pada komitmen untuk menjadi penulis soal budaya dan sastra. Untuk memperluas cakrawala, pergaulan dilebarkan. Halim pun mulai dekat dengan Ashadi. Sosok yang ia sebut sinis yg kritis.
 “Tulisan Ashadi yang membikin saya berpikir bertahun-tahun adalah ‘Diperlukan Subversi Kebudayaan’ yang dimuat Sinar Harapan, setahun sebelum koran ini dibredel. Tulisan itu sangat menggoda. Kata itu ‘kan milik negara sejak Karno hingga Harto untuk meneror. Di kepala saya, esai Ashadi itu mengguncang,” kenang sosok yang sudah menulis sejak tahun 1971 di majalah Integritas milik ITB, Bandung ini.
Pada Rendra, Halim mengenang peristiwa pembacaan puisi tahun 1972 secara lesehan di pergelaran Kraton Yogya. Halim si pencinta koran ini diminta mengumpulkan koran bekas. 
 “Pagar dibungkus koran. Idenya berasal dari Rijal, adik Ashadi. Nah, Willy baca puisi di situ,” jelasnya.
Dari dekade ke dekade, Halim menyaksikan wajah budaya Indonesia dari dekat, dari banyak kawasan; dari Surakarta hingga Makassar. Sosok yang menamai dirinya sebagai, sekali lagi, “networker kebudayaan” ini adalah penyaksi yang fasih.

Orang pun lupa ada nama masa silamnya yang mengabur, tetapi tak pernah terkubur dan lebur bersama buku-buku malang yang diceburkan di sungai kampung halamannya di Serang, Banten. Hingga nama itu kembali tertulis di sebuah poster untuk publik seni di pengujung dekade pertama alaf ketiga.

***

0 komentar:

Posting Komentar