Handoko
Widagdo
Penulis
Indonesiana
Judul: Dendam
Penulis: Gunawan Budi Susanto
Tahun Terbit: 2019
Penerbit: Cipta Prima
Nusantara
ISBN: 978-602-5982-41-5
Jika sebuah fakta tak bisa dimuat dalam sejarah, maka sastra
mengambil alihnya. Sastra sering lebih jujur dan lebih berani mendokumentasikan
sebuah fakta yang tak disukai oleh pemegang kuasa. Banyak fakta yang terpaksa
tak muncul melalui sejarah, karena fakta tersebut mencemarkan penguasa, atau
bahkan mengancam keberlangsungan kekuasaan sang penguasa. Saat hal tersebut
terjadi, sastra tampil mengemban tugasnya. Sastra merangkul fakta-fakta dari
pihak yang kalah supaya tetap ada dalam dokumentasi masa.
Contohnya adalah
novel “Dendam” karya Gunawan Budi Susanto ini.
Novel “Dendam” memuat dua fakta yang tak disukai oleh para
penguasa. Fakta menunjukkan bahwa banyak orang-orang di sekitar Blora yang
menjadi korban kebengisan G30S 1965 dan korban berdirinya parbik semen di
Pegunungan Kendeng di bagian utara Jawa Tengah. Jika kebegingan G30S sudah
berjalan lebih dari 50 tahun, kasus pabrik semen di Pegunungan Kendeng baru beberapa
tahun. Namun kedua fakta itu tak disukai oleh para penguasa. Jadi wajarlah jika
beritanya cepat menghilang dari panggung sejarah. Hanya sesekali saja muncul
jika ada gawe besar di tingkat provinsi atau nasional. Misalnya pemilihan umum.
Fakta menunjukkan bahwa paska G30S 1965, terjadi pembersihan
yang membabi-buta di Blora dan sekitarnya. Operasi Kikis telah mengambil siapa
saja yang dianggap sebagai antek PKI. Akibatnya banyak orang-orang yang tidak
tahu menahu menjadi sasaran operasi ini. Mereka dipanggil, ditahan, dipenjara
dan kemudian diberi stempel sebagai seorang anggota OT – organisasi terlarang,
selama hidupnya. Saat kembali ke masyarakat, mereka dicap sebagai pengkhianat
negara. Geraknya dibatasi, anak cucunya diawasi.
Pembangunan pabrik semen di pegunungan kapur di utara Jawa
Tengah mengundang kontrovesi. Sebab pembangunan ini bisa berakibat kepada
rusaknya alam di bagian utara Jawa Tengah. Sebagai tempat yang memiliki peran
penting secara hidrologi dan menjadi tempat hidup dari banyak petani kecil,
Pegunungan Kendeng sangat rentan untuk dieksploitasi. Menyadari hal tersebut,
dengan dipelopori oleh ibu-ibu, rakyat di wilayah ini melakukan penolakan.
Upaya penolakan bahkan sampai memakan korban nyawa.
Dendam berhasil menggabungkan dua fakta penderitaan
masyarakat di sekitar hutan jati di wilayah Blora dan sekitarnya menjadi
jalinan kisah yang menggambarkan kekuatan manusia-manusianya. Menderita? Tentu.
Penderitaan yang mereka alami, khususnya yang dituduh sebagai bagian dari
sebuah partai yang memberontak bahkan menggores sampai ke generasi ketiga.
Penderitaan tak hanya dialami oleh mereka yang dituduh langsung, tetapi juga
berakibat kepada keluarganya. Murdani, seorang pemuda dan juga ayah yang baik,
kembali menjadi suka selingkuh karena penderitaan psikologi sang istri yang
secara tidak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibunya.
Dalam sebuah percakapan di sebuah malam antara Ibu dan Ayah
Rini. Sang istri mengungkapkan kekhawatirannya bahwa “aib” yang ditanggungnya,
yaitu diperkosa saat diinterogasi, suatu saat akan diketahui oleh anaknya. Sang
suami berupaya meyakinkan istrinya bahwa hal itu bukan aib. Karena istrinya tak
bisa menolak nasip yang harus diterimanya. Itu bukan kesalahannya.
Secara tidak
sengaja Rini mendengar percakapan mereka. Setelah mendengar cerita ini, Rini
kehilangan gairahnya untuk bercinta dengan Murdani. Akibatnya Murdani mencari
pelepasan nafsunya di luar rumah. Tidak tersalurkannya nafsu birahi Murdani,
menyebabkan keretakan keluarga Murdani – Rini. Makin lama keretakan itu semakin
besar, sampai akhirnya Rini memutuskan untuk meninggalkan desa dan menjadi TKW
ke Hongkong.
Penderitaan tidak berhenti kepada pasangan Murdani – Rini.
Tapi juga berakibat kepada anak perempuan semata wayang mereka – Tinuk. Tinuk
yang memergoki ayahnya membawa selingkuhan ke rumah menjadi labil. Ia benci
mati kepada ayahnya. Untunglah Tinuk bertemu dengan orang-orang yang mampu
membantunya bangkit. Tinuk menjadi gadis yang kuat dan tabah. Bahkan menjadi
seorang yang ikut berjuang mendampingi ibu-ibu yang menentang pembangunan
pabrik semen.
Posisi Perempuan
Buku ini menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki.
Sejajar dalam hal kesadaran akan dirinya, dalam hal kehendak untuk menentukan
nasipnya sendiri dan kemauannya untuk melakukan kewajibannya kepada keluarga,
masyarakat dan negara. Tidak ada sub-ordinasi laki-laki terhadap tokoh-tokoh
perempuan.
Ada tiga tokoh utama perempuan dalam novel ini. Ketiga tokoh
itu saling berhubungan keluarga. Ketiganya adalah perempuan mandiri dan berani
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Mereka adalah perempuan-perempuan
yang peduli kepada kemanusiaan.
Tokoh utama perempuan bernama Rini – Puspitarini
Sekaringati. Rini adalah seorang gadis yang terpaksa mengikuti orangtuanya
pindah ke desa di dalam hutan jati. Orangutanya pindah ke desa di dalam hutan
karena dituduh tersangkut dengan ontran-ontran G30S 1965. Rini sudah mengalami
penderitaan bahkan sejak masih bersekolah di SD di kota. Ia selalu diejek
teman-temannya sebagai anak PKI. Rini menikah dengan Murdani, anak lurah
Watulandep. Perjumpaan Murdani dengan Rini telah mengubah hidup Murdani
yang begajulan, menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab. Bahkan
akhirnya ia menjadi Kepala Desa Watulandep.
Kedewasaan Rini dan keberanian Rini untuk mengungkapkan
siapa dia sesungguhnya telah membuat Murdani semakin yakin bahwa Rini adalah
jodohnya. Orangtua dan kakak-kakak perempuan Murdani juga sangat suka kepada
Rini. Rini menikah dengan Murdani dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama
Tinuk.
Ketika mengetahui bahwa suaminya selingkuh, Rini memutuskan
untuk pergi ke Hongkong menjadi TKW. Tindakan ini menunjukkan bahwa perempuan
harus berani menentukan masa depannya sendiri. Mandiri.
Tokoh perempuan kedua yang ditampilkan dalam novel ini
adalah Tinuk. Tinuk adalah anak semata wayang pasangan Murdani – Rini. Tinuk
sangat disayang oleh ayah dan ibunya, serta kedua pasangan kakek-neneknya.
Sayang sekali, saat Tinuk SMA, secara tak sengaja ia menyaksikan ayahnya
membawa perempuan ke kamar ibunya. Tinuk menjadi marah kepada ayahnya dan tidak
mau lagi berbicara dengan Murdani. Untunglah saat ia kuliah, ia bertemu dengan
Pak Sus, seorang dosen yang sekaligus penulis. Tinuk menemukan kembali sosok
bapak pada diri Pak Sus. Melalui interaksi dengan Pak Sus inilah Tinuk menjadi
seorang gadis dengan pemikiran dan tindakan yang dewasa. Di sela-sela kuliahnya
Tinuk membaktikan dirinya untuk mendukung ibu-ibu yang menolak pendirian pabrik
semen di Blora dan Rembang.
Tokoh perempuan ketiga dalam novel ini adalah ibunya Rini. Ibunya
Rini adalah seorang yang sangat peduli kepada kesejahteraan masyarakatnya. Saat
muda ia aktif memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan di kampungnya.
Namun ia dan suaminya ditangkap karena dituduh bergabung dengan PKI. Ibu Rini
mengalami perlakuan yang sangat kejam. Ia diperkosa. Meski pada akhirnya ia
tidak dipenjara, tetapi luka perih itu terus dibawanya dalam sisa hidupnya.
Ia terpaksa “membunuh” suaminya supaya anaknya bisa hidup
dengan lebih tenteram. Ia terpaksa mengatakan kepada Rini bahwa ayahnya sudah
meninggal. Dengan “menghilangkan” sosok sang ayah, diharapkan Rini tidak
mendapatkan cibiran dan siksaan kejam dari teman-temannya di sekolah.
Penderitaan ibu Rini yang terberat adalah karena ia merasa
tidak bersih. Ia merasa dirinya penuh dosa. Ia tidak bisa lagi melayani
suaminya di tempat tidur, saat suaminya kembali dari tahanan. Ia juga sangat
khawatir aibnya suatu hari akan diketahui oleh Rini.
Meski menghadapi situasi yang sangat buruk, ibu Rini tetap
tegar menghadapi hidup. Ia membesarkan Rini dengan nilai-nilai kemanusiaan,
sehingga Rini tumbuh menjadi seorang gadis yang berkepribadian sangat kuat.
Ketiga tokoh perempuan di atas sama-sama mengalami
penderitaan batin yang sangat berat. Namun ketiganya mampu mengatasi
penderitaan dengan gagah perkasa. Mereka tidak menyerahkan masalahnya kepada
laki-laki.
Pengakuan dan
Pengampunan Sebagai Solusi
Usulan yang diberikan oleh Gunawan Budi Susanto untuk
mengatasi persoalan-persoalan masa lalu adalah pengakuan dan pengampunan.
Pengakuan akan kejadian-kejadian masa lalu akan membuat semuanya menjadi terang
benderang. Selanjutnya adalah pengampunan. “Sura dira jayaningrat lebur dening
pangastuti” – Keangkaramurkaan akan hancur oleh pengampunan.
Akankah luka
bangsa ini akibat tragedi 1965 suatu saat akan selesai dengan cara pengakuan
dan pengampunan?
Keberanian para tokohnya untuk menceritakan secara gambling
apa yang pernah dihadapinya membuat kelegaan. Ibu Rini mengakui secara terbuka
kejadian perkosaan yang dialaminya kepada Rini dan Tinuk. Pengakuan ini membuat
sang Ibu lega. Ia tak lagi dibebani masa lalu. Berdamai dengan diri sendiri. Ia
tak lagi menyimpan dendam.
Pengakuan sang ibu ini menyadarkan Rini bahwa ia mempunyai
andil terhadap kembalinya keberandalan Murdani. Bagaimanapun kesalahan tidak
hanya bisa dilimpahkan kepada Murdani.
Bagian penutup novel ini sungguh sangat menarik. Saat
rekonsiliasi keluarga Rini sudah terjadi, tiba-tiba mereka mendapat khabar
bahwa Murdani ditangkap polisi karena dituduh berjudi. Saat Rini dan Tinuk
menengoknya ke penjara, mereka bertemu dengan si perempuan selingkuhan Murdani
yang juga menengok. Sang selingkuhan berlari kecil sambal terisak meninggalkan
Murdani saat mengetahui keluarganya menengok. Dan…Murdanipun pingsan. Akankah
Rini dan Tinuk mengamuk dan memukuli Murdani? Ataukan mereka akan memberi
pengampunan kepada Murdani? Di sini kehebatan Gunawan Budi Susanto. Kita
diberikan kebebasan untuk berimajinasi tentang nasip Murdani.
Kita diberikan
kebebasan untuk merangkai sendiri bagaimana adegan berikutnya di ruang tahanan
itu.
0 komentar:
Posting Komentar