23 Mei 2016 17:51
visualdocumentationproject.wordpress.com
“Saya tidak terima! Saya manusia bukan binatang. Saya berada disini selama bertahun- tahun tanpa pernah diadili. Adili dan tunjukkan kesalahan saya. Saya tidak terima!”
Pagi hari pertengahan tahun 1978 itu, Lukman duduk
termangu diatas dingklik kayu sambil sesekali menghisap rokok kreteknya. Lelaki
berusia empat puluh tahun itu merasa gamang hendak kemana. Haru-biru politik ahir september
1965 telah menyeretnya kemari. Tempat ini bernama pulau Buru, penjara tahanan
politik ex G30S PKI. Dia hanya segelintir dari ribuan tapol lainnya yang tidak
ada urusannya dengan PKI.
Juni 1965 Lukman baru saja bekerja di Penerbitan itu. Dia
bekerja sebagai penterjemah buku-buku asing terutama dari negeri-negeri Timur,
seperti Yugoslavia, Rumania atau Cekoslovakia. Dia tidak asing dengan
negara-negara itu karena pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Rumania untuk
belajar Kesusasteraan Rumania di Bucharest, dan sering mengunjungi pertunjukan
musik di negara-negara Balkan tersebut.
Lalu terjadilah “Peristiwa berdarah” tersebut. Ternyata
pemilik penerbitan tersebut pernah membantu dana penerbitan salah satu buku
berhaluan “kiri” sehingga seluruh karyawan penerbitan itu digelandang ke
“Guntur” untuk diperiksa. Sejak itu, ia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya
dirumahnya hingga saat ini. Catatan di paspor dan beasiswa dari negara
berhaluan “kiri” membuatnya mendapat tempat “istimewa” bagi para pemeriksanya.
Setiap hari selama berjam-jam, dia diinterogasi dengan
puluhan pertanyaan yang sama dan berulang-ulang. Tak jarang dia disiksa secara
fisik dan mental. Berbulan-bulan dia mengalami siksaan tersebut karena tidak
mau mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tapi ahirnya dia tidak tahan
lagi. Manusia memang lebih suka mendengar “apa yang ingin didengarnya” daripada
“kebenaran” Dia seorang seniman, dan dia menyihir mereka dengan “bualan
segi-tiga Moskwa-Bucharest-Jakarta” “Segi-tiga” itu katanya kalah cepat dengan
“poros Peking-Jakarta” yang lebih dahulu melakukan gerakan melalui Aidit.
Kabar pengakuan tersebut, sontak membuat semuanya gempar.
Para interogator itu mendapat kenaikan pangkat istimewa, dan membuat mereka
semakin bernafsu “ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar” dari tahanan
lain!
Walaupun Lukman hanya satu-satunya yang bukan “geng”
Poros Peking-Jakarta, kasusnya segera ditutup, dan dia tetap dikirim ke pulau
Buru sebagai tapol tanpa pernah diadili.
Posisinya yang “istimewa” tersebut membuat tak ada
satupun keluarga atau teman yang berani menjenguknya. Perlu waktu yang lama
baginya untuk bisa menerima keadaannya itu. Delapan tahun yang lalu dia
mendengar kabar isterinya telah menikah lagi, tidak berapa lama setelah
kematian ibunya yang sudah lama menjanda itu. Adiknya yang sedang mengambil
magister Teknik Industri di Moskow, juga tertahan tidak bisa pulang. Paspor
Indonesianya dicabut oleh KBRI Moskow sehingga menjadi warga-negara tak
bertuan, melanglang buana ke negara-negara Timur yang menerima suaka politik
tanpa bisa memiliki “ID” di negara tersebut.
Kepada ex tapol tersebut, pemerintah memberikan opsi,
tetap tinggal di pulau buru, menjadi transmigran ke kalimantan, atau
kembali ketempat asal. Tetapi pada KTP mereka tetap ditandai dengan catatan
khusus seperti penyandang lepra, yang membuat mereka tidak akan pernah bisa
diterima bekerja, bahkan sebagai kuli bangunan sekalipun!
Lukman memutuskan kembali ke Jakarta. Kini dia telah
berdamai dengan dirinya. Dia sudah bisa menerima keadaannya dan menganggapnya
sebagai takdir jalan hidup anak manusia. Hatinya sudah beku, pikirannya mungkin
sudah tumpul, tetapi api jiwanya tidak pernah padam.
Saat ini hasrat menulisnya seolah tidak tertahankan. Semua
hasil tulisannya selama menjadi tapol telah disita. Tetapi mereka lupa, dia
seorang seniman. Raganya bisa terkurung, tapi jiwanya tidak akan pernah lupa,
dan selalu bebas pergi kemana saja dia mau.
Api jiwanya akan menuliskan kembali seluruh buah pikiran,
perasaan hati dan imajinasinya yang selama ini terkekang. Dia tahu tulisannya
tidak akan pernah berani diterbitkan oleh penerbit manapun, tetapi dia akan
mengakalinya dengan memakai nama samaran.
Masa yang lalu biarkanlah berlalu, tidak usah lagi melihat
kebelakang. Bukankah kata orang life’s begin fourty?
Bahagia itu adalah ketika kita berani mengiklaskan
sesuatu hal yang tidak mampu untuk kita robah...
0 komentar:
Posting Komentar