Minggu, 29 Mei 2016 | 18:17 WIB
Polisi berjaga saat massa Front Pancasila melakukan aksi demo menolak
diselenggarakan Simposium Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, 18 April
2016. Front Pancasila menilai simposium dilaksanakan dengan tujuan
mendapatkan legitimasi bahwa PKI adalah sebagai korban pelanggaran HAM.
TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) mendorong pemerintah menuntaskan isu pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Pendukung koalisi yakin pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo mampu melakukannya. "Banyak modal yang mendukung," ujar Wakil Koordinator Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Yati Andriani dalam diskusi publik di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 29 Mei 2016.
Kontras adalah salah satu pendukung KKPK. Menurut Yati, Presiden Joko Widodo seharusnya tidak perlu ragu. Apalagi sekarang tak ada lagi celah hukum yang membatasi dengan adanya Ketetapan MPR Nomor 5 Tahun 2000. "Undang-undang yang mewajibkan pengungkapan kebenaran pun ada," katanya.
Jokowi, menurut Yati, juga memiliki modal sosial, yaitu majelis warga yang terdiri atas sejumlah tokoh publik yang berkapasitas memobilisasi massa. "Orang-orang ini sudah mendedikasikan diri mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu," ujarnya.
Yati mengatakan memang muncul penolakan terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM tersebut. Namun itu hanya dilakukan segelintir orang dan tidak merepresentasikan masyarakat. "Mungkin mereka punya hubungan dengan persoalan masa lalu,” katanya.
Modal politik, kata Yati, juga dimiliki Jokowi. Dia didukung partai-partai besar, termasuk Partai Golkar yang belakangan bergabung ke koalisi pemerintahan. "Jokowi harus jeli memanfaatkan modal itu untuk mendorong penyelesaian."
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengatakan negara harus konsisten mewujudkan cita-cita reformasi. "Tak perlu ada keraguan Presiden untuk menindak aparatur yang menghalangi upaya penyelesaian," ujarnya.
Satu contoh yang diangkat Gomar adalah silang pendapat terhadap pelaksanaan, maupun rumusan rekomendasi hasil Simposium Tragedi 1965. Silang pendapat itu terjadi antara Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan Kementerian Pertahanan.
"Di satu sisi, Menkopolhukam dan Lembaga Ketahanan Nasional mendukung simposium, di sisi lain Menhan dan aparat melakukan tindakan represif terhadap isu kemunculan PKI," ujarnya.
Perbedaan pendapat kedua menteri itu berlanjut pada upaya penggalian fakta 1965, seperti penggalian kuburan massal korban. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Padjaitan mendukung upaya itu. Sedangkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menentangnya, dengan alasan keamanan.
YOHANES PASKALIS
https://m.tempo.co/read/news/2016/05/29/078775009/selesaikan-pelanggaran-ham-ini-modal-jokowi
0 komentar:
Posting Komentar