1. Kasus Pulau Buru 1965-1966
Dalam kasus Pulau Buru 1965-1966, alm. Soeharto
dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di
Pulau Buru sebagai panglima Komando oprasi
pemulihan kemanan dan ketertiban yang disingkat
Ko Ops Pemulihan Kam/Tib. Melalui keputusan
Presiden No. 179/KOTI/65, secara resmi berdiri
Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan
Ketertiban (KOPKAMTIB). Sebagai Panglima
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban telah menyebabkan ribuan orang menjadi
korban pembunuhan, penangkapan, penahanan
massal dan pembuangan ke pulau Buru (Laporan Tim
Pengkajian Pelanggaran HAM Suharto,Komnas HAM
2003).
2. Penembakan misterius 1981-1985
Pembunuhan tanpa melalui pengadilan terhadap
residivis, bromocorah, gali, preman yang dikenal
sebagai “penembakan misterius” pada tahun 1981-1985. Kebijakan Soeharto atas persoalan ini, terlihat
jelas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus
1981, ia mengungkapkan bahwa pelaku kriminal
harus dihukum dengan cara yang sama saat ia
memperlakukan korbannya. Operasi tersebut juga
bagian dari shock terapysebagaimana diakuinya
dalam oto biografinya yang berjudul Pikiran,
Ucapan, dan tindakan saya (Ramadhan KH, hal 389,
1989)
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat
korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai
kurang lebih sekitar 5000 orang, tersebar di wilayah
Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung (Amnesty
Internasional, 31 Oktober 1983; Indonesia-Extrajudicial
Executions of Suspected Criminals).
3. Tanjung Priok 1984-1987
Dalam peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 Soeharto
menggunakan KOPKAMTIB sebagai instrumen
penting mendukung dan melindungi kebijakan
politiknya. Selain itu alm. Soeharto juga selaku
panglima tertinggi telah mengeluarkan sikap,
pernyataan dan kebijakan yang bersifat represif untuk
mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap
kebijakan Asas Tunggal yang dikeluarkan Orde Baru.
alam menangani persoalan ini, Soeharto kerap
membuat pernyataan dan kebijakan yang
“membolehkan” dilakukannya kekerasan dalam
mengendalikan respon rakyat atas kebijakan
penguasa pada saat itu. diantaranya di depan Rapat
Pimpinan (RAPIM) ABRI di Riau, 27 Maret 1980,
Soeharto sebagai Presiden dan penanggungjawab
seluluh kegiatan KOPKAMTIB mewajibakn ABRI
mengambil tindakan represif berupa perang
(menggunakan senjata) untuk menghadapi
kelompok-kelompok Islam yang dianggap olehnya
sebagai golongan ekstrem lainnya yang harus
dicegah kegiatannya dan ditumpas sisa-sisanya sama
seperti penanganan G 30 S (PKI). Akibat dari
kebijakan ini, diantaranya dalam Peristiwa Tanjung
Priok 1984, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36
terluka berat, 19 luka ringan (Laporan 5 Sub Tim
Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto,
Komnas HAM, 2003)
4. Talangsari 1984-1987
Kebijakan represif yang diambil Soeharto terhadap
kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem
juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari
1984-1987 mengakibatkan korban 130 orang
meninggal, 77 orang mengalami Pengusiran atau
Pemindahan Penduduk Secara Paksa, 53 orang orang
Terampas Kemerdekaanya, 45 orang mengalami
Penyiksaan, dan 229 orang mengalami Penganiayaan
(Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan
Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989, Komnas HAM,
2008)
5. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh
(1989-1998)
Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di
Aceh (1989-1998). Pemberlakukan Operasi ini
adalah kebijakan yang diputuskan secara internal
oleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari
Presiden Soeharto (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim
Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas
HAM, 2003). Operasi militer ini telah melahirkan
penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat
Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak.
Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, dalam
kurun waktu sepuluh tahun berlangsungnya operasi
militer telah menyebabkan sedikitnya 781 orang
tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami
penyiksaan/penganiayaan dan 102 perempuan
mengalami perkosaan. Sementara itu Forum Peduli
Hak Asasi Manusia Aceh (FP HAM)
mendokumentasikan sebanyak 1.321 korban
pembunuhan, 1.958 orang hilang, 3.430 orang
mengalami penyiksaan dan 128 orang perempuan
mengalami perkosaan. Operasi tersebut juga telah
berdampak sangat buruk kepada kehidupan sosial
budaya dan juga kehidupan beribadah rakyat Aceh,
yang sudah dijalani dan dipraktikkan dengan baik
selama bertahun-tahun sebelumnya (Komponen
Masyarakat Sipil Aceh, dalam Surat yang ditujukan
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Oktober
2010).
6. DOM Papua (1963-2003)
Pemberlakuan, dimaksudkan untuk mematahkan
perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai
peristiwa seperti Teminabun 1966-1967, sekitar 500
orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang,
Peristiwa Kebar 1965, 23 orang terbunuh, Peristiwa
Manokwari 1965, 64 orang dieksekusi mati, dan
operasi militer sejak tahun 1965-1969; Peristiwa
Daftar Kejahatan HAM
Soeharto
Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan
paksa, Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh,
Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui
Operasi Tumpas pada ktun waktu 1970-1985 terjadi
pembantaian di 17 desa, di Kabupaten Jayawijaya,
korban jatuh sampai dengan 2000 orang, termasuk
wanita anak-anak dan orang tua, dalam peristiwa
Wamena 1977, 14 warga terbunuh, dan sejumlah
kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum
disebutkan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian
Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)
7. Peristiwa 27 Juli (1996)
Dalam Peristiwa 27 Juli (1996, alm Soeharto
memandang Megawati sebagai ancaman terhadap
kekuasaan politik Orde Baru. Soeharto hanya
menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI
pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI
pimpinan Megawati. Aksi kekerasan berupa
pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan
terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati;
peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama
peristiwa 27 Juli. Dalam peristiwa ini, 11 orang
meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124
orang ditahan Berdasarkan analisa Komnas HAM
bahwa peristiwa tersebut sebagai kejahatan
kemanusiaan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim
Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM,
2003)
8. Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa
1997–1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa
1997–1998, peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari
konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang
Pemilihan Umum (PEMILU) 1997 dan Sidang
Umum (SU) MPR 1998. di masa ini wacana
pergantian Soeharto kerap disuarakan. Setidaknya 23
aktivis pro demokrasi dan masyarakat yang dianggap
akan bergerak melakukan penurunan Soeharto
menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa.
Komando Pasukan Khusus, (KOPASSUS) menjadi
eksekutor lapangan, dengan nama operasi “Tim
Mawar” 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal
dunia dan 13 orang masih hilang (Laporan Hasil
Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa
Penghilangan Paksa, 2006)
9. Trisakti 1998
Peristiwa Trisakti 1998, terjadi pada 12 Mei 1998,
masih bersambung dengan dengan latar belakang
tuntutan aktivis dan mahasiswa pro demokrasi, untuk
mendorong reformasi total dan turunnya Seohatro
dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya
korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam
pemerintahan Soeharto. Tindakan represif penguasa
melalui kaki tangan aparatur negara; ABRI dan Polisi
menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka,
empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas
tertembak peluru aparat keamanan, yaitu Elang Mulia
Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan
Hendriawan, Hasil penyelidikan Komnas HAM
menyatakan bahwa dalam peristiwa ini telah terjadi
dugaan pelanggaran HAM berat.
10. 13–15 Mei 1998
Peristiwa 13–15 Mei 1998, merupakan rangkaian dari
kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Trisakti,
penculikan dan penghilangan paksa.
Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto
mengendalikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat,
direspon dengan sebuah “Penciptaan dan pembiaran”
kekerasan dan kerusuhan pada 13-15 Mei 1998.
dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan,
penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan,
penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan
terhadap etnis tertentu, pengusiran paksa yang
terjadi diseluruh wilayah DKI Jakarta dan di
beberapa daerah di Indonesia oleh kelompok massa
dalam jumlah besar, namun tidak dilakukan upaya
baik itu pencegahan, pengendalian maupun
penghentian oleh aparat keamanan dibawah
tanggungjawab alm Soeharto (laporan penyeleidikan
Komnas HAM)
Korban Pelanggaran HAM Soeharto
No | Kasus | Tahun | Jumlah Korban
1 | Pembantaian massal 1965 | 1965-1970 | -+1.500.000
2 | Penembakkan misterius “Petrus” | 1981-1985 | 500
3 | Kasus di Timor Timur | 1974-1999 | 100.000
4 | DOM di Aceh | 1976-1989 | 1.958
5 | DOM di Papua | 1967-1998 | 906
6 | Kasus Dukun Santet Banyuwangi | 1998 | Ratusan
7 | Kasus Marsinah | 1995 | 1
8 | Talangsari Lampung | 1989 | 803
9 | Kasus Trisakti | 1998 | 685
10 | Mei 1998 | 1998 | 1.308
11 | Kasus Semanggi I | 1998 | 127
13 | Penculikan Aktivis | 1997-1998 | 23
14 | Tanjung Priok | 1984 | 79
15 | 27 Juli 1996 | 1996 | 311
* Korban terdiri dari kategori pelanggaran HAM berat
meliputi: meninggal, hilang, luka-luka, ditahan secara
sewenang-wenang, disiksa dan kekerasan seksual.
Data diolah oleh KontraS dari berbagai sumber
http://www.kontras.org/pers/teks/daftar%20kejahatan%20soeharto-1.pdf
Rabu, 25 Mei 2016
Daftar Kejahatan HAM Soeharto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar