Jumat, 20 Mei 2016

Op-Ed: Fobia Komunisme di Tengah Maraknya Kekerasan Seksual: Apa Bahayanya?

Mengkaji hubungan otoritarianisme negara dengan maraknya kejahatan seksual kepada dan oleh anak-anak dewasa ini

OLEH 

Bangkitnya sentimen anti-komunisme di Indonesia dewasa ini tidak bisa tidak memancing pertanyaan. Sederhananya: Mengapa? Mengapa begitu tiba-tiba, dan mengapa sekarang, saat masyarakat tengah diresahkan oleh beragam kasus kekerasan seksual kepada dan oleh anak-anak di bawah umur?
Oke, mungkin bukan hanya itu yang sedang ramai. Teriakan-teriakan menentang penggusuran dan reklamasi juga sedang terjadi di sana-sini, dan dari sini sesungguhnya cukup jelas tarikan permasalahannya. Mari kita mulai lihat dari sini, sebelum kembali ke dampak sikap-sikap represif semacam ini terhadap permasalahan kekerasan seksual.
Di tengah polemik reklamasi dan penggusuran yang terjadi di berbagai daerah—Teluk Benoa, Pantai Utara Jakarta, Rembang, dan seterusnya—gerakan akar rumput masyarakat yang menentang kekuatan kapital terus menggeliat. Ini tentunya merupakan inti dari pemikiran sayap kiri.
Ditambah lagi rangkaian acara mulai dari Belok Kiri Fest dan Simposium ‘65, disusul berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk mengeluarkan permohonan maaf kepada para keluarga korban genosida 1965 (berikut bukti-bukti kuburan massal yang makin disorot), tak heran jika poros pemerintah-kapital makin gelisah akan kesadaran keadilan sosial yang semakin tinggi.
Dari sana, ditingkatkanlah tindakan-tindakan represi terhadap pemikiran sayap kiri tersebut. Cukup masuk akal. Tapi, tak bisa dipungkiri, ada sesuatu yang sama sekali baru di sini.
Sebelum rezim Jokowi, pemerintah pasca-Suharto hampir tak ada yang berani melawan pemikiran dalam tataran ideologis. Kebebasan berpikir dan menuntut ilmu, selayaknya kebebasan pers, dirayakan sebagai sebuah kebanggaan tersendiri pada era Reformasi dan pasca-Reformasi.
Komunisme sebagai sebuah paham memang masih kerap dicibir, dibicarakan dengan bisik-bisik canggung karena posisinya dalam sejarah yang masih begitu dipertanyakan. Namun setidaknya, dalam pemahaman yang lebih luas, wacana-wacana sayap kiri kembali muncul merasakan udara segar setelah represi militer tiga puluh dua tahun.
Tapi, tiba-tiba, di sinilah kita sekarang. Aneh, memang, khususnya datang dari rezim yang dipilih karena janjinya akan keberpihakan pada rakyat dan kaum muda. Tapi mungkin memang hanya Jokowilah, dengan fasad “ketegasan”-nya yang begitu dibangga-banggakan, yang mampu bertindak seekstrem ini. Sebagaimana Jokowi tak segan-segan menghilangkan nyawa sekian banyak orang dengan hukuman mati dan menghancurkan ekosistem laut dengan meledakkan kapal-kapal asing demi mempertontonkan sikap tegasnya, pun kini dia berani melangkah lebih jauh dan dengan gamblang melanjutkan tradisi represif Orde Baru: Memusuhi sebuah aliran pemikiran secara eksplisit.
Represi selalu ada, tentunya. Namun sebelum ini, pemerintah diduga menggunakan anjing-anjing berkedok. Kedok gerakan agama, misalnya, atau organisasi masyarakat berbasis etnis dan budaya. Tentu kita masih ingat siapa saja yang memprotes terselenggaranya berbagai festival dan pemutaran film sayap kiri di bulan-bulan kemarin, dan atas nama apa mereka berteriak. Namun, walau mengatasnamakan ideologi lain, sudah menjadi rahasia umum sejak sekian tahun belakangan bahwa mereka kabarnya merupakan aparatus represif yang dipelihara oleh negara.
Sekarang, represi tak sekadar dilakukan oleh para anjing berkedok. Represi terlembagakan secara langsung. Berbagai pernyataan anti ideologi tertentu dikeluarkan oleh pejabat pemerintah. Sikap penyensoran terhadap aliran pemikiran tertentu ditetapkan secara resmi dalam lembaga, mulai dari perpustakaan nasional hingga universitas. Dan perihal anjing pemerintah, mereka tak perlu lagi memakai kedok. Preman bayaran dan paramiliter lainnya di daerah sudah tak segan melancarkan aksi-aksi brutal mereka, fisik dan verbal, pada masyarakat yang menggunakan atribut-atribut sayap kiri. Video disebarluaskan untuk intimidasi lebih lanjut.


Dan satu lagi. Level keparahan penyensoran kali ini hampir tak masuk akal.Kaus-kaus metal yang tak ada hubungannya dengan gerakan komunis, hanya kebetulan menggunakan gambar palu dan arit untuk albumnya, disita (sementara kaus-kaus metal yang jelas-jelas bermaksud menghina agama Nasrani dibiarkan). Kaus Pecinta Kopi Indonesia dipermasalahkan, orang yang memakainya hendak dipenjara dua belas tahun. Sebuah karikatur yang menjadi begitu berbahaya karena menganggap dirinya sendiri terlalu serius.
Hanya ada satu nama untuk tendensi semacam ini: Fasisme. Obsesi berlebihan terhadap simbol yang disertai pengucilan sistematik pada suatu golongan tertentu, dan ditegakkan dengan cara kekerasan. Sikap yang justru merupakan bukti nyata impotensi pemikiran.
Seperti yang telah disinggung di atas, ironi yang begitu nyata ini tampak jelas di semua mata yang masih terbuka. Jokowi yang dalam kampanyenya begitu menggebu-gebu menyusun pencitraan pro-rakyat kecil dengan aksi blusukan dan pengakuannya sebagai orang desa kini justru berubah menjadi monster menyeramkan yang seolah hendak menghantarkan kita pada pintu gerbang Orde Baru Jilid Dua.
Seandainya ini sekadar istilah yang diseram-seramkan. Sayang sekali ini bukan. Di satu sisi, pergeseran aparatus represif negara dari organisasi paramiliter berkedok agama kepada lembaga-lembaga negara yang sah memang menandakan kegagalan wacana agama di tataran masyarakat. Ini bagus, karena ekstremisme agama mulai kehilangan popularitasnya. Namun di sisi lain, ini juga berarti ruang gerak masyarakat untuk melawan tindakan represif menjadi semakin sempit. Ketika kelembagaan represi negara makin jelas dan diakui, ia sedang menunjukkan sinyal bahwa ia tak akan segan-segan berubah menjadi otoriter sewaktu-waktu.
Lalu kita kembali ke permasalahan awal. Apa hubungan otoritarianisme negara dengan maraknya berbagai kasus kejahatan seksual kepada dan oleh anak-anak di bawah umur dewasa ini? Meskipun sekilas tampak sebagai dua hal yang amat berbeda, hubungan sebab-akibat mereka secara sistemik bisa sangat berbahaya.
Pertama, kita harus memahami bahwa kasus kekerasan seksual bukanlah melulu tentang nafsu, tapi lebih tentang ketimpangan posisi gender di masyarakat. Pemerkosaan adalah penyalahgunaan kekuasaan antar jenis kelamin yang hanya bisa terjadi jika satu golongan dipandang tak lebih dari seonggok daging yang hakikat eksistensinya adalah kepuasan hasrat seksual lawan jenisnya. Kekerasan seksual berawal dari pikiran, dan di situlah inti kejahatannya.


Kedua, memang kekerasan seksual terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Tapi kasus-kasus paling brutal kebanyakan terjadi di kalangan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Bocah empat belas tahun yang dianiaya dan diperkosa ramai-ramai oleh bocah-bocah lainnya sebelum dibuang ke jurang. Gadis delapan belas tahun yang dianiaya dan diperkosa anak-anak SMP sebelum mati dan ditusuk dengan cangkul sepanjang satu meter lebih melalui lubang vaginanya.
Pertanyaannya, lagi-lagi: Mengapa? Bagaimana masyarakat kita bisa melahirkan orang-orang sesadis dan setega itu, sejak usia sangat belia pula?
Satu frasa muncul: Frustrasi sosial. Brutalitas merupakan tanda impotensi, sebagaimana suami yang memukul istrinya adalah suami yang gamang akan kekuasaannya sendiri. Semakin seseorang frustrasi, semakin mudah ia terjun dalam lingkaran setan kekerasan.
Memang mudah untuk melihat kasus-kasus semacam ini dengan kacamata klasisme, seolah orang-orang desa yang tak berpendidikan memang barbar dari sononya. Seolah masyarakat kota yang beradab dan berpendidikan—yang notabene terus menerus mendiskriminasi dan mengeksploitasi mereka, secara budaya dan ekonomi—tak ada hubungannya dengan mereka. Seolah ketimpangan pembangunan, seolah segala proyek penggusuran, seolah segala keterbatasan lapangan pekerjaan yang disebabkan oleh inovasi masyarakat urban sama sekali tak punya andil dalam situasi ini. Seolah frustrasi mereka bukan dosa kita juga.
Namun kenyataannya tidak semanis itu. Bicaralah pada warga kampung manapun yang tertinggal, yang terancam, yang keluhan-keluhannya tak pernah didengarkan oleh pemerintah, atau oleh siapapun yang berkuasa. Siapapun yang bertelinga akan mendapati suatu frustrasi yang serupa, suatu amarah membuncah yang tak ada jalan keluarnya. Maka mulailah. Beberapa orang akan menjadi penipu dan perampok. Beberapa orang akan menganiaya istri dan anak mereka.
Lalu coba kita bayangkan bocah-bocah SMP yang tumbuh besar dalam situasi seperti ini. Bayangkan betapa mereka terekspos media yang sarat akan seksualitas sejak kecil dalam situasi seperti ini. Mereka akan tumbuh dan memandang ketimpangan dan kekerasan seksual bukan sekadar hiburan, namun sebagai ritual tanda “kedewasaan” mereka dibandingkan teman-temannya.
Dan di mana pendidikan seksual mereka yang bisa mencegah ini semua? Di mana pendidikan pemahaman mereka tentang gagasan persetujuan dan kesetaraan gender? Nol. Dibungkam semua oleh sekolah-sekolah yang konservatif. Sekolah-sekolah yang buta dengan alasan agama dan budaya, yang dipelihara kebutaannya oleh negara yang tak berbuat apa-apa.
Sehingga apa? Sehingga kita melahirkan budaya remaja di mana kekerasan fisik dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi satu-satunya pelampiasan impotensi mereka terhadap siklus kekerasan dalam lingkungan tertindas mereka.
Sehingga apa? Sehingga eksploitasi terhadap perempuan menjadi satu-satunya bukti identitas jantan mereka di mata teman-teman sebayanya. Bayangkan saja, sebagai bocah pria yang tak punya apa-apa, apa satu-satunya kecongkakan yang mampu dia lampiaskan terhadap satu golongan lain? Tidak sulit. Toh, pandangan rendah terhadap perempuan memang sudah dari dulu kita pelihara. Atas nama agama, budaya, bahkan dengan alasan-alasan biologis yang semu.
Dan di tengah semua ini kita masih heran ketika bocah-bocah SMP masa kini memandang perempuan dengan makin keji dan tak manusiawi?
Dari sini kita bisa mulai sedikit menangkap bahaya laten represi suatu pemikiran bagi masyarakat. Bayangkan jika yang direpresi adalah pemikiran yang benar-benar berpihak pada kesejahteraan masyarakat, tanpa asumsi maupun pembedaan kelas. Pemikiran yang mampu menelisik permasalahan-permasalahan sosial semacam ini secara mendasar. Pemikiran yang selalu menuntut keadilan dan revisi sejarah agar lebih memihak rakyat. Oh, sebentar—memang saat ini yang sedang direpresi adalah pemikiran-pemikiran semacam itu!
Jika pemikiran-pemikiran progresif semacam itu dibungkam paksa, apa yang akan kita dapatkan? Ya seperti sekarang ini. Pendidikan seks dibatasi hanya “jangan lakukan sebelum menikah”. Homofobia aktif dikampanyekan di mana-mana. Gender dikungkung dengan aturan performatif yang begitu membatasi. Pornografi disensor tanpa pandang bulu, lebih memilih menafikan keberadaan hasrat seksual dibandingkan mengedukasi masalah-masalah kunci seperti persetujuan dan otoritas terhadap tubuh. Semua untuk mengatakan bahwa tubuh dan hasrat manusia itu kotor, dan wajib didisiplinkan dengan cara-cara yang sudah ditetapkan dan disetujui oleh para penguasa.
Tepat seperti sekarang. Bedanya adalah harapan untuk berubah akan semakin nihil. Dan untuk apa?
Jika kita bersedia membatasi pemikiran kita untuk diatur dengan ancaman kekerasan, maka secara tidak langsung kita juga menyerahkan tubuh kita untuk didisiplinkan sesuai pemikiran orang lain. Mau kita terus dipaksa menghamba seperti itu?
Saya sadar negeri ini sedang frustrasi. Harapan-harapan populis terhadap Jokowi begitu lekas kandas, mematahkan hati jutaan orang. Harapan-harapan terhadap Ahok kian terkikis, tersisa hanya di kelas menengah ke atas yang memalingkan muka dari penderitaan orang-orang yang menjadi korban berbagai aksi penggusuran dan reklamasi. Pun kita dengar Risma mulai dikritik akan pandangan-pandangannya yang dinilai terlampau konservatif dalam isu-isu eksploitasi dan kekerasan seksual.
Di saat harapan terhadap perubahan-perubahan nyata kandas, di situlah fasisme bangkit. Sama seperti impotensi pria yang berujung penganiayaan perempuan, impotensi negara akan berujung penganiayaan warga sipil. Namun bukan berarti kita harus tunduk dan menyerah pada negara yang sedang siap-siap melepas celananya tanpa malu ini, kesaruan dengan tajuk nasionalisme semu yang tak jauh berbeda dari maskulinitas para pemerkosa. Justru saat-saat inilah, di mana otoriterianisme terindikasi akan bangkit, kita harus bersuara dan melawan demi memperjuangkan kebebasan berpikir.
Berlogika saja. Kita-kita yang lebih beruntung harus memberikan harapan bagi mereka-mereka yang sedang tertindas untuk bangkit. Harapan bahwa mereka memiliki hak untuk bersuara, untuk didengar. Bahwa mereka manusia-manusia bermartabat yang tak perlu merendahkan diri dalam lingkaran setan kekerasan yang hina. Bahwa kita tak perlu dan tak mau lagi diperbudak oleh rasa takut, dipaksa menyerahkan impian keadilan sosial begitu saja. Ini tugas kita ketika negara sudah impoten otaknya.
Penguasa gamang yang sedang ngambek memang menakutkan. Tapi jika kita kembali tunduk dalam ketakutan, apa yang akan terjadi? Masyarakat yang menentang poros pemerintah-kapital akan semakin ditindas, semakin tak berdaya. Semakin tak punya cara untuk mengekspresikan frustrasi mereka, kecuali dengan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki: Kekuasaan yang timpang terhadap para perempuan, racun yang sudah terlampau lama kita pelihara dan beri makan.
Wiji Thukul benar: "Jika kita menghamba pada ketakutan, kita hanya akan semakin memperpanjang barisan perbudakan." Tapi sepertinya bukan hanya budak yang akan kita ciptakan. Kita juga akan terus melahirkan para bocah penganiaya, pemerkosa, dan pembunuh perempuan, bocah-bocah yang jauh lebih keji dibandingkan setan.
Penulis adalah seorang komikus dan penulis lepas. Komik bulanannya, Not My Hero, bisa dibaca di majalah Kosmik.
http://rollingstone.co.id/article/read/2016/05/20/140507771/31/op-ed-fobia-komunisme-di-tengah-maraknya-kekerasan-seksual-apa-bahayanya-

0 komentar:

Posting Komentar