Selasa, 24/05/2016 17:19 WIB
Kontras dan keluarga korban pelanggaran HAM menolak Soeharto sebagai pahlawan nasional. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan
Presiden Soeharto mengantarkan orangtua korban Tragedi Semanggi 1998,
Maria Katarina Sumarsih, pada ingatan masa lalu.
Delapan belas tahun lalu menjelang Soeharto berhenti sebagai Presiden RI, Sumarsih sempat berdiskusi dengan anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Unika Atma Jaya yang tewas ditembak tentara pada Tragedi Semanggi I.
"Saya dan Wawan, kami sekeluarga makan malam, membicarakan enam agenda reformasi," katanya di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (24/5).
Sumarsih mengatakan, poin pertama dari enam agenda reformasi yaitu adili Soeharto. Namun hingga akhir hidupnya, Soeharto tidak pernah dipidana karena alasan kondisi kesehatan yang memburuk, bukan karena terbukti tidak bersalah.
"Pengadilan Pak Harto selalu diulur-ulur waktunya," kata Sumarsih.
Agenda lainnya dalam perjuangan reformasi yang mereka diskusikan adalah menghapus dwifungsi ABRI (kini TNI). Sumarsih mengatakan, Soeharto telah menyalahgunakan kekuasaan dengan adanya dwifungsi tersebut. Akibatnya kasus pelanggaran berat hak asasi manusia banyak terjadi pada masa itu.
Sementara pembangunan yang digencarkan pada masa Soeharto, kata Sumarsih, malah dijadikan lahan subur bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Kalau Pak Harto diangkat menjadi Pahlawan Nasional, masak koruptor diberi gelar pahlawan, seorang pembunuh dengan adanya dwifungsi ABRI diberi gelar pahlawan, korbannya banyak sekali termasuk anak saya, Wawan," kata Sumasih.
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto yang menjadi satu paket dengan
mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dinilai tidak pantas. Sumarsih
menilai, Soeharto tidak bisa disamakan dengan Gus Dur.
"Itu jauh berbeda. Walaupun (Gus Dur) hanya dua tahun memerintah, tapi kami merasakan, Gus Dur telah melaksanakan enam agenda reformasi. Komitmennya benar-benar berpihak pada rakyat," kata Sumarsih.
Jika pemerintah tetap memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, bagi Sumarsih, negara sama saja melanggengkan impunitas dan korupsi yang dilakukan penerus Soeharto. "Jika ditimbang antara jasa dan kejahatannya, lebih berat kejahatannya," kata Sumarsih.
Di tempat yang sama, Paian Siahaan, orangtua Ucok Munandar Siahaan yang hilang pada 1998, juga menolak dengan tegas rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
"Itu sangat mencederai kami sebagai orangtua yang sampai kini masih berjuang untuk mencari di mana anak kami," ujar Paian.
Selama delapan belas tahun, dia terus mencari anaknya yang hilang
diculik saat aksi mahasiswa marak digelar menuntut Soeharto mundur.
Menurutnya, gelar pahlawan bagi Soeharto adalah sebuah ironi di tengah
upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM belum tuntas.
"Saya tidak setuju dan menentang habis-habisan apabila sampai gelar pahlawan nasional itu diberikan kepada Pak Harto, karena sampai hari ini kasus penghilangan paksa itu belum diketahui dan belum tuntas," tegas Paian.
Sementara Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani mengatakan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah tindakan yang tidak tepat dan bertentangan dengan konteks keadilan.
Di tengah situasi di mana negara absen dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di era Soeharto, Yati mengatakan, pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto dapat memberikan pemutihan atau amnesti secara ilegal terhadap segala bentuk kejahatan negara pernah terjadi.
"Dengan tegas kami menolak segala inisiatif untuk memberikan gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto," tegasnya.
Sebelumnya dalam sidang paripurna Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai
Golkar meminta pengurus yang terpilih nanti untuk memperjuangkan
Presiden ke-2 Indonesia Soeharto sebagai pahlawan nasional.
"Menginstruksikan kepada Ketua DPP Golkar terpilih untuk memperjuangkan Jenderal Besar Purnawirawan Soeharto sebagai pahlawan nasional," kata Sekretaris Sidang Paripurna, Siti Aisyah di Bali, Senin (16/5).
Keputusan ini mendapat persetujuan dari seluruh peserta Munaslub tanpa ada yang melakukan interupsi pada pimpinan sidang.
Pemberian gelar kepahlawanan diatur pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Pasal itu mengatur sejumlah syarat yang wajib terpenuhi pada sosok yang dicalonkan menjadi pahlawan nasional. Syarat itu antara lain berjasa terhadap bangsa dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan. (abm)
Delapan belas tahun lalu menjelang Soeharto berhenti sebagai Presiden RI, Sumarsih sempat berdiskusi dengan anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Unika Atma Jaya yang tewas ditembak tentara pada Tragedi Semanggi I.
"Saya dan Wawan, kami sekeluarga makan malam, membicarakan enam agenda reformasi," katanya di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (24/5).
Sumarsih mengatakan, poin pertama dari enam agenda reformasi yaitu adili Soeharto. Namun hingga akhir hidupnya, Soeharto tidak pernah dipidana karena alasan kondisi kesehatan yang memburuk, bukan karena terbukti tidak bersalah.
"Pengadilan Pak Harto selalu diulur-ulur waktunya," kata Sumarsih.
Agenda lainnya dalam perjuangan reformasi yang mereka diskusikan adalah menghapus dwifungsi ABRI (kini TNI). Sumarsih mengatakan, Soeharto telah menyalahgunakan kekuasaan dengan adanya dwifungsi tersebut. Akibatnya kasus pelanggaran berat hak asasi manusia banyak terjadi pada masa itu.
Sementara pembangunan yang digencarkan pada masa Soeharto, kata Sumarsih, malah dijadikan lahan subur bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Kalau Pak Harto diangkat menjadi Pahlawan Nasional, masak koruptor diberi gelar pahlawan, seorang pembunuh dengan adanya dwifungsi ABRI diberi gelar pahlawan, korbannya banyak sekali termasuk anak saya, Wawan," kata Sumasih.
|
"Itu jauh berbeda. Walaupun (Gus Dur) hanya dua tahun memerintah, tapi kami merasakan, Gus Dur telah melaksanakan enam agenda reformasi. Komitmennya benar-benar berpihak pada rakyat," kata Sumarsih.
Jika pemerintah tetap memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, bagi Sumarsih, negara sama saja melanggengkan impunitas dan korupsi yang dilakukan penerus Soeharto. "Jika ditimbang antara jasa dan kejahatannya, lebih berat kejahatannya," kata Sumarsih.
Di tempat yang sama, Paian Siahaan, orangtua Ucok Munandar Siahaan yang hilang pada 1998, juga menolak dengan tegas rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
"Itu sangat mencederai kami sebagai orangtua yang sampai kini masih berjuang untuk mencari di mana anak kami," ujar Paian.
|
"Saya tidak setuju dan menentang habis-habisan apabila sampai gelar pahlawan nasional itu diberikan kepada Pak Harto, karena sampai hari ini kasus penghilangan paksa itu belum diketahui dan belum tuntas," tegas Paian.
Sementara Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani mengatakan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah tindakan yang tidak tepat dan bertentangan dengan konteks keadilan.
Di tengah situasi di mana negara absen dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di era Soeharto, Yati mengatakan, pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto dapat memberikan pemutihan atau amnesti secara ilegal terhadap segala bentuk kejahatan negara pernah terjadi.
"Dengan tegas kami menolak segala inisiatif untuk memberikan gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto," tegasnya.
|
"Menginstruksikan kepada Ketua DPP Golkar terpilih untuk memperjuangkan Jenderal Besar Purnawirawan Soeharto sebagai pahlawan nasional," kata Sekretaris Sidang Paripurna, Siti Aisyah di Bali, Senin (16/5).
Keputusan ini mendapat persetujuan dari seluruh peserta Munaslub tanpa ada yang melakukan interupsi pada pimpinan sidang.
Pemberian gelar kepahlawanan diatur pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Pasal itu mengatur sejumlah syarat yang wajib terpenuhi pada sosok yang dicalonkan menjadi pahlawan nasional. Syarat itu antara lain berjasa terhadap bangsa dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan. (abm)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160524171926-20-133162/keluarga-korban-tragedi-1998-tolak-soeharto-jadi-pahlawan/
0 komentar:
Posting Komentar