Kisah kuburan massal korban 1965 di Semarang,
cerita para saksi mata, dan bagaimana generasi baru memulai pelurusan
sejarah lewat sebuah nisan.
Supar pulang ke rumah dalam kondisi basah kuyup
dan ketakutan. Kepalanya diisi gambaran manusia-manusia, orang-orang
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang bergelimang darah diberondong
senapan. Darah mereka menyiprat di tanah, di tubuh lain, di bebatuan.
Ia
melihatnya di tengah hutan gelap pada malam hari, karena tentara itu
menyuruhnya menyorotkan senter ke lubang tempat mayat-mayat yang baru
saja ambruk ditembaki. Supar menurut, mengarahkan senternya. Ada yang
masih bergerak. Pelatuk ditarik kembali, peluru berhamburan lagi.
Gemanya diredam bunyi deras hujan, lagi pula mereka berada di tengah
hutan jati yang jauh dari perkampungan.
Beberapa jam sebelumnya,
Supar adalah pemuda berusia sekitar 20-an tahun, yang penuh rasa ingin
tahu. Keingintahuan itu yang membuatnya melempar permintaan pada
Kasmijan agar diajak melihat eksekusi orang-orang PKI. Kasmijan
ialah juragan mebel tempat Supar bekerja. Ia salah seorang yang tahu
bahwa malam itu, di hutan jati tentara akan membawa dan menembak
orang-orang PKI. Kasmijan ditokohkan di kampungnya. Kalau ada
acara-acara besar, ia pasti dilibatkan. Kabarnya, saat Agresi Militer
II, Kasmijan lah yang memberi makan anak buah Gatot Soebroto dan
Soepardjo Roestam ketika mereka bergerilya di Semarang.
Selain
Kasmijan, orang lain yang tahu soal eksekusi malam itu ialah Radi, Lurah
Mangkang, Kecamatan Tugu, Kabupaten Kendal --sekarang wilayah itu masuk
teritori Kota Semarang. Juga yang tahu adalah para Hanra (pertahanan
rakyat), semacam hansip.
Para pamong desa itu yang meneruskan
perintah tentara: malam ini warga Mangkang Kulon yang jumlahnya 17 rumah
tidak boleh keluar rumah. Semua orang menurutinya, kecuali Kasmijan.
Dia tokoh, acap kebal aturan.
Kasmijan dan Supar lalu berjalan sejauh satu kilometer ke
dalam Hutan Plumbon, nama hutan jati itu. Kasmijan tahu titiknya, sebab
sudah ada lubang di sana, yang disiapkan untuk mengubur orang-orang PKI
itu. Sampai di lokasi, mereka sempat menunggu, tentara belum lagi
datang.
Kira-kira pukul 23, rombongan yang ditunggu datang. Satu praoto
(truk) dan satu jip. Orang-orang yang sebentar lagi jadi mayat itu
diturunkan dari truk. Selain calon-calon korban, ada satu sopir yang
menyetir truk. Sedangkan dari jip, dua tentara RPKAD (Resimen Pasukan
Komando Angkatan Darat) turun. Radi, si Lurah Mangkang, hadir di situ.
Di
sana, Supar melihat orang-orang itu tangannya diikat satu sama lain,
digandeng-gandengkan. Mereka lalu disuruh duduk mengelilingi dua lubang.
Ada lantunan ayat Quran terdengar dari seorang tahanan perempuan.
Suaranya hilang setelah berondongan peluru meluncur dari senapan.
"Wis, patimu ki wis mesti saiki kiye, mpun saisa-isamu nyebut kalih sing kuasa (matimu sudah pasti sekarang ini, jadi silakan berdoa kepada tuhan sebisamu)," seorang tentara berseru kepada para korban.
Orang-orang
itu ramai membaca ayat-ayat Quran sebisa mereka. Supar mendengar ada
lantunan ayat Quran dari salah seorang perempuan. Bersamaan dengan itu,
langit mulai menunjukkan tanda-tanda akan hujan deras.
Saat itu
belum lagi pukul 24. Tanpa ancang-ancang, kedua tentara itu langsung
memberondong orang-orang yang berdoa. Padahal, seharusnya, eksekusi
dilakukan selepas tengah malam. Mereka memberondong secara serampangan
karena suasana demikian gelap.
Setelah rangkaian tembakan pertama
itulah Supar diperintah si tentara menyenteri mayat-mayat. Supar
menurut, mengarahkan lampu. Ia menyaksikan pemandangan paling mengerikan
dalam hidupnya. Dua belas tubuh, ia menghitung, dan rerata sudah paruh
baya.
Setelah kedua tentara itu yakin semua orang-orang itu mati.
Supar disuruh mencari tiga orang untuk menggali tanah guna menutup
kubur. Ia pergi berlari dan mendapatkan tiga orang. Namun, hujan lalu
turun deras, mengusir mereka semua. Lubang tak jadi ditutup. Mereka
pulang.
Kasmijan sempat mengajak Supar wedangan (minum
sambil mengobrol di satu tempat), tapi Supar sudah tak sanggup. Ia
berkunang-kunang dan ketakutan. Basah kuyup ia pulang. Hingga tiga hari
berikutnya ia tak sanggup makan.
Lubang yang belum ditutup menyisakan pekerjaan. Pagi
harinya, Lurah Radi memanggil Sukar dan tiga lelaki lain. Sukar adalah
cucu-menantu Radi. Mereka diminta menutup kubur orang-orang yang
dieksekusi semalam.
Pukul 9 pagi. Sukar, Mukarmain, Sarimin, dan
Sarmani berangkat masuk hutan. Pada akhirnya, hanya Sukar dan Sarimin
yang mengerjakan penguburan. Di tengah jalan, Sarmani ketakutan
membayangkan hamparan mayat dan pulang. Sedangkan Mukarmain jatuh
pingsan melihat isi lubang itu. Ketika sadar, ia pulang pula.
Dua
lubang dan 22 mayat menyibukkan Sukar dan Sarimin selama empat jam.
Alih-alih ikut pingsan atau ketakutan, mereka berdua bahkan menata mayat
yang bergelimpangan, dan mengeluarkan batu-batu yang ada di dalam
lubang. Lubangnya tidak cukup, mereka harus gali satu lagi.
Sebelum pergi, Sukar mencari batang jarak dan menancapkannya di tanah untuk menengarai lokasi makam.
Beberapa
tahun kemudian ada penebangan pohon di Plumbon --hutan itu milik
Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Kendal. Sukar mendatangi
orang-orang yang menebang, meminta agar pohon jarak di satu titik itu
tidak ditebang. "Ini makam, jangan ditebang," kata dia.
Kini Hutan
Plumbon masuk wilayah Desa Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.
Saat tragedi 1965 pecah, wilayah itu masih berada di bawah Kabupaten
Kendal. Lokasi hutan jati itu memang melintasi perbatasan teritori
Kabupaten Kendal dan Kota Semarang, Jawa Tengah.
Pada tahun-tahun
selanjutnya juga ada orang-orang datang ke hutan itu. Mereka dari
Kendal, datang dan pergi dengan cepat. Mereka berbeda dengan orang-orang
lain yang suka menyepi di kuburan itu untuk mencari wangsit nomor
togel. Tukang cari nomor biasa datang malam Jumat, sedangkan orang-orang
itu kemungkinan adalah keluarga korban.
Dan memang ada keluarga
korban yang ke sana. Mukran salah seorang di antaranya. Ia warga Kendal,
mencari kuburan keponakannya yang bernama Surono, anggota PKI dari
Kedungsuren, Kendal. Ia bertanya kepada kepada petugas Hanra, apakah
benar Surono dibunuh di Plumbon. Mereka mengiyakan. Informasi lain
yang menguatkan datang dari Sujud, tapol yang sempat ditahan di kamp
tahanan di Kawedanan Kaliwungu, Kendal. Ia sering mendengar celoteh
bangga para tentara di depan selnya tentang siapa yang habis mereka
bunuh dan lokasinya. Salah satunya tentang pembunuhan Surono. Surono dan
orang-orang yang dibunuh di Plumbon itu adalah tahanan di Kamp
Kaliwungu.
Sujud bukan anggota PKI
dan tidak gabung organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Ia justru
anggota PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Namun, Sujud dekat dengan
Subuh yang anggota PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia) Jawa
Tengah, sekaligus Sekretaris PKI Jawa Tengah. Subuh terhitung tokoh,
pada peringatan hari kemerdekaan di tahun 1965, ia ikut upacara di
istana. Sedangkan Yanto, putranya, anggota Pemuda Rakyat sekaligus
personel marching band PKI Kendal.
Mereka sempat lari ke
Boja, Kendal, untuk diteruskan ke Malang, ke tempat adik Subuh yang
tentara tinggal. Namun, mereka mendengar kabar bahwa tentara sudah bikin
pengumuman di desa. Isi pengumuman, Subuh harus serahkan diri atau desa
akan dibumihanguskan.
Pengumuman itu menghentikan pelarian.
Ketiganya berjalan kaki pulang ke Kaliwungu selama tiga hari, menginap
di gua, dan makan pisang mentah curian. Mereka lantas menyerahkan diri
ke pos Corps Polisi Militer (CPM) dan ditahan di Kamp Kaliwungu. Di
sana, Subuh ditembak mati.
Di kamp itulah Sujud mendengar celoteh
para tentara ketika mereka membunuh. Termasuk pembunuhan Surono di
Plumbon. Info juga didapat Sujud dan Yanto dari Kasan, seorang Hanra
(Pertahanan Rakyat). Kasan sering hadir di eksekusi, tapi tidak ikut
membunuh. Ia membocorkan lokasi eksekusi dan siapa yang jadi korban.
Kala ada teman tahanan yang mati, sebelum mayat berbau mereka
tidak akan melaporkannya ke penjaga, supaya jatah makannya tetap datang
dan dibagi-bagi ke tahanan lain yang masih hidup.
Di Kaliwungu, sekitar dua ribu tahanan digilir eksekusinya tiap
malam. Diambil dari kamar secara acak. Biasanya pengambilan itu terjadi
pukul 12 - 3 malam. Yanto dan Sujud selamat dari eksekusi, tapi hidup di
tahanan tidak lebih baik dari mati.
Selain karena siksaan dengan
dipukuli memakai popor senapan, kayu, atau buntut ikan pari yang tajam,
mereka juga disiksa rasa lapar. Catu makan hanya jagung yang
serbasedikit, jumlahnya antara 40 - 80 biji. Satu sendok makan jagung
biasanya berisi 30 biji jagung. Kala ada teman tahanan yang mati,
sebelum mayat berbau mereka tidak akan melaporkannya ke penjaga, supaya
jatah makannya tetap datang dan dibagi-bagi ke tahanan lain yang masih
hidup.
Kamp Kaliwungu adalah tempat pertama pengumpulan para
tahanan yang ditangkap di Kendal. Dari sini, tahanan yang belum kena
eksekusi mati dibawa ke Kamp Padi Sentra. Katakanlah ada 500 orang masuk
Kaliwungu, 100 dibunuh, sisa 400. Separuh dibawa ke Padi Sentra. Ruang
kosong yang disisakan 300 orang yang mati dan dipindah itu lantas diisi
tahanan baru. Begitu terus, semacam alur.
Dari Padi Sentra, alur selanjutnya ada dua pilihan: dibunuh atau dipindah ke penjara atau tahanan lain.
Gelombang
penangkapan baru berhenti ketika kekuasaan militer beralih dari RPKAD
ke Marinir. Ketika Marinir berkuasa, orang sipil yang ikut membantu
menangkapi orang-orang PKI, dilarang beraksi. Sebelumnya orang sipil
ikut dilibatkan untuk membantu menjaring tangkapan. Termasuk mendata
nama-nama orang yang harus ditangkap.
Dua tahun Yanto dipenjara.
Ketika ditangkap usianya 24. Dari Kamp Kaliwungu ia dipindah ke Penjara
Plantaran di Kaliwungu, lalu di Penjara Kendal.
Pada 1968, ia dan
tahanan lain bebas dengan cara yang aneh. Saat Marinir berkuasa, mereka
masih jadi orang rantai, tapi bisa keluar masuk tahanan untuk mencari
air atau kayu bakar. Lama-lama ada yang keluar dan tidak kembali. Suatu
hari semua tahanan dikumpulkan, diberi surat bahwa mereka bisa pulang.
Tidak ada pengadilan atau putusan resmi bahwa mereka bebas. Ditahan dan dilepas seenaknya saja.
Di Kamp Kaliwungu ada seorang lagi teman Yanto dan Sujud,
namanya Eko Sutikno, kelahiran 1940. Suatu hari di tahun 1966, Yanto
mendengar petugas menyebut bahwa Eko sudah bisa bebas.
Bebas kakeane opo, arep dipateni (bebas apaan, mau dibunuh), batin yanto. Eko
memang tidak bebas, tetapi dipindahkan ke Penjara Kendal. Ia kemudian
mampir di banyak tahanan: di Yogya, Ambarawa, Semarang, hingga
Nusakambangan. Total, ia ditahan dari 1965 sampai 1979 (14 tahun). Eko
bukan anggota PKI, pun tidak ikut organisasi yang berafiliasi dengan
PKI. Satu-satunya alasan ia ditahan lama sekali adalah kelakuannya yang
mengesalkan, selalu melawan petugas setiap dihajar.
Pembangkangan
Eko diganjar dengan pengiriman ke Pulau Buru, Maluku. Ia termasuk
rombongan pertama yang dikirim ke pulau itu pada 17 Agustus 1969,
bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Eko tapol nomor 69.
Kemungkinan,
Eko ditangkap karena rekam jejak bapaknya. Bapak Eko seorang pedagang
bandeng kaya di Kendal, yang dekat dengan PKI. Di rumah, bapaknya
mengoleksi buku-buku Kiri, termasuk karangan-karangan Aidit. Mereka juga
berlangganan Harian Rakjat, koran milik PKI. Bapaknya tidak ditangkap pada 1965, karena sudah lanjut usia.
Seminggu
Eko berlayar dengan kapal AD 15. Di Buru, kehidupan lebih baik
dibanding di penjara. Mereka cari makan sendiri lewat bertani dan
beternak, dan bisa dapat uang dari menjual kayu tebangan. Kalau mau
bekerja, tidak akan ada orang kelaparan di Buru.
Menebang satu
pohon sagu sudah bisa memberi makan satu keluarga untuk tiga bulan. Ada
banyak rawa yang ikannya besar-besar. Hanya saja, nyamuk, cacing, dan
semak-semak di Buru membuat banyak tahanan sakit. Sakit kulit, kaki
gajah, paru-paru basah, malaria, dan lain-lain. Eko menebak, hanya lima
belas persen tahanan Buru yang benar-benar fit ketika mereka semua
akhirnya bebas
Mulanya mereka tinggal di kamp yang dipagari kawat berduri.
Belakangan peraturan melonggar, mereka diizinkan membangun rumah
sendiri. Mereka juga bisa bepergian dengan seizin petugas.
Eko
bukan seorang komunis ideologis, ia pun biasa berbaik-baik dengan
tentara. Kedekatan itu, membuat Eko bisa punya kamera dan banyak membuat
potret. Saat dibebaskan pada 1979, Eko membawa setumpuk foto kenangan
dari Buru.
Di antara kenangan itu tersisip nama Pram. Pram yang
tersiksa karena tak ada bacaan selain buku-buku agama. Pram yang
kegirangan setengah mati ketika diberi sebuah novel berjudul Ilona,
karangan penulis Swiss bernama Hans Habe, yang ditemukan seorang tapol
tergeletak di tepi pantai. Begitu girang hanya karena sebuah buku,
bahkan meskipun itu buku berbahasa Jerman. Ilona menyemangati Pram untuk menulis lagi. Seingat Eko, yang pertama Pram tulis adalah Mangir, sandiwara tiga babak. Lalu Arok Dedes.
Sebagaimana Pram suratkan dalam memoarnya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, karya-karyanya di Buru adalah buah kerja komunal. Ada sumbangan Eko di Arok Dedes. Yakni pada fragmen ketika Ken Dedes diboyong Ken Arok dalam keadaan hamil tua.
Kata
Eko, kisah itu sesungguhnya rekaan Pram yang terinspirasi kisah
pengepungan Spartacus oleh Crassus dan Julius Caesar, yang istrinya
tengah hamil tua. Eko yang gila film, menceritakan kisah itu kepada
Pram. Ia menontonnya dalam film Hollywood, Spartacus (1960). Sutradara film itu adalah idolanya, Stanley Kubrick.
Sumbangan Eko lainnya adalah foto-foto yang bisa pembaca jumpai dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Dalam buku terbitan Lentera bertanggal 6 Februari 1995, ada juga potret
diri Eko di halaman 317. Bersebelahan dengan Hasjim Rachman, dulu
wartawan Bintang Timur.
Situasi yang lebih baik ketimbang
selama di tahanan di Jawa, tidak lantas membuat tahanan bahagia. Tidak
ada kebahagiaan di Buru. Orang bisa mati kapan saja karena sakit atau
karena "kecelakaan". Dan tidak ada kepastian apakah kelak mereka bisa
bebas.
Kepastian itu baru diyakini ketika gelombang pertama
pembebasan bertolak dari Namlea ke Jawa pada akhir 1977. Eko bebas pada
1979 berbarengan dengan Pram, tapi ia masuk rombongan yang ke Jakarta,
sedangkan pram ke Surabaya.
Sebelum benar-benar dilepas, para
tahanan disuruh meneken surat pernyataan diperlakukan baik selama di
Buru (misal: makan bergizi, bisa menonton televisi, tidak disiksa). Ia
lalu tinggal di Jakarta dan hidup dari kerja serabutan. Sejak enam tahun
lalu ia pulang ke kampungnya di Desa Darupono, Kecamatan Kaliwungu
Selatan, Kendal.
Tahun 2010, Eko Sutikno kembali ke Kendal dan punya banyak
waktu luang. Saat itu usianya sudah 70 tahun, tapi masih sangat fit dan
sering datang ke diskusi-diskusi budaya yang digelar aktivis dan
mahasiswa. Di sebuah diskusi pada 2010, ia bertemu Mardiyono dan
beberapa aktivis HAM Semarang dan Kendal.
Mardiyono adalah
mahasiswa S1 Jurusan Hukum. Ia masuk kuliah 2010 dan lulus 2014.
Skripsinya mengenai para eksil yang tidak bisa pulang selepas huru-hara
65. Pada 2014, ia lanjut studi pasca-sarjana dan menggarap tesis soal extrajudicial killing
dalam peristiwa 65. Untuk membantu penelitiannya, Eko mengenalkan
Mardiyono dengan sejumlah eks-tapol di Darupono, seperti Yanto dan
Sujud.
Pada Januari 2015, Mardiyono berkenalan secara tidak sengaja dengan Yunantyo Adi di kantin Universitas Kristen Satya Wacana. Yunantyo wartawan Suara Merdeka,
harian yang berkantor pusat di Semarang. Ketika bertemu Mardiyono,
Yunantyo sedang menggali informasi mengenai kuburan massal PKI di hutan
jati Plumbon.
Pencarian informasi mengenai kuburan massal Plumbon
bermula pada 2014, Yunantyo datang ke satu diskusi penelitian di sebuah
kampus swasta di semarang. Si peneliti memaparkan penelitiannya mengenai
kuburan massal, salah satunya yang berlokasi di hutan jati Plumbon.
Tak
lama kemudian Yunantyo bersama sejumlah mahasiswa di Semarang terlibat
acara peringatan 10 tahun kematian Munir, aktivis HAM yang dibunuh
dengan selipan arsenik, saat terbang dengan pesawat menuju Belanda (7
September 2004).
Usai acara tersebut, Yunantyo melontarkan ide
untuk membuat koalisi terkait kuburan massal Plumbon. Para mahasiswa itu
setuju dan Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk HAM (PMS-HAM) dibentuk
pada Oktober 2014. Yunantyo menjadi koordinatornya.
PMS-HAM ingin
mengobati luka sejarah dengan cara menggali kuburan massal korban
tragedi 65 dan memakamkan korban dengan laik. Untuk itu, mereka harus
mencari informasi mengenai siapa saja korban yang dikuburkan di sana. Langkah
awal mereka adalah mendatangi Desa Mangkang Kulon, lokasi hutan jati
Plumbon berada. Di sana mereka bertemu seorang warga desa bernama Kelik.
Kelik kemudian mengenalkan mereka kepada sejumlah orang yang mengetahui
eksekusi Plumbon, semisal Sukar, orang yang mengubur korban atas
perintah Lurah Radi.
Semula, ide menggali kuburan massal mereka
tiru dari penggalian di Wonosobo yang dilakukan pada tahun 2000.
Secuplik cerita penggalian di Wonosobo itu bisa dilihat dalam video
YouTube di kanal Jakartanicus.
Namun, ide PMS-HAM menggali kuburan massa itu dibatalkan karena dua hal. Pertama, Komnas HAM tidak merespons permohonan izin penggalian dari PMS-HAM. Kedua,
pengalaman Wonosobo mengajarkan bahwa ketika sisa-sisa kerangka korban
dibawa pulang keluarga dan hendak dimakamkan di tempat lain, warga tidak
serta-merta menerima. Di Wonosobo, kerangka dirampas ormas dari
keluarga korban dan kemudian dibakar.
Ide penggalian kemudian
berganti dengan ide penisanan. Konsepnya, kuburan massal diidentifikasi
korbannya dan dibuatkan nisan yang laik, sebagaimana kuburan umumnya.
Dalam penisanan, tidak akan dilakukan penggalian. Hanya memberi nisan
semata.
PMS-HAM memasang target, acara penisanan itu mesti
diresmikan pemerintah sebagai bentuk pengakuan atas kuburan tersebut.
Catatan lain, dengan penisanan, mereka tak butuh izin Komnas HAM.
Setelah
ide matang, PMS-HAM mulai bekerja mengurus perizinan dan mencari
identitas korban. Mardiyono yang membuka jalan PMS-HAM bertemu Eko,
Sujud, Yanto, dan eks-tapol lainnya di Darupono. Mereka juga bertemu
Mukran yang lebih dulu "menginvestigasi" kuburan Plumbon.
"Kita tidak bermaksud untuk, sebagaimana kecurigaan orang
biasanya, membangkitkan Komunisme, itu enggak. Kita di sini hanya bicara
kemanusiaan."
Yunantyo Adi
PMS-HAM berhasil mendapat delapan nama yang diduga dikuburkan di
Plumbon. Tujuh nama didapat dari Mukran, yang kemudian dikuatkan oleh
kesaksian Sujud. Di angka delapan mereka mentok, tidak bisa mendapat
lebih banyak lagi.
Delapan nama itu adalah kader PKI, atau anggota
ormas yang dituding berafiliasi dengan partai palu arit itu. Moetiah,
perempuan guru taman kanak-kanak, yang juga anggota Gerwani di Patebon,
Kendal. Soesatjo seorang pejabat teras yang merangkap pengurus PKI
Kendal. Joesoef, anggota PKI di Cepiring, Kendal. Soerono anggota PKI
dari Kedungsuren, Kendal. Sachroni, anggota PKI dari Mangkang, Kendal.
Serta tiga anggota Pemuda Rakyat: Darsono, Soekandar, dan Doelkhamid.
Yunantyo
dan kawan-kawan kemudian mengurus perizinan kepada Pemerintah Kabupaten
Semarang dan Perhutani sebagai penguasa tanah tempat kuburan berada.
Pihak "penting" lain yang Yunantyo datangi adalah Pemuda Pancasila dan
Front Pembela Islam (FPI) untuk menghindari penolakan --atau yang
terburuk penyerangan-- saat penisanan berlangsung.
Yang Yunantyo temui adalah Joko Santoso, Wakil Ketua DPRD yang juga Ketua Pemuda Pancasila.
"Kita tidak bermaksud untuk membangkitkan Komunisme. Kita di sini hanya bicara kemanusiaan," kata Yunantyo kepada Joko.
"Ide itu dari mana? Tahu makam itu dari mana?" tanya Joko.
Yunantyo
lalu menceritakan bahwa makam itu sudah diketahui masyarakat. Banyak
orang kerap mencari nomor togel di sana. Beberapa peneliti juga sudah
datang ke sana. Yunantyo menjelaskan ide itu dari dirinya yang lantas
disepakati kawan-kawan lainnya. "Demi menghindari salah paham, lebih
baik kami datang ke Pemuda Pancasila daripada Pemuda Pancasila didatangi
orang lain yang infonya salah. Kalau infonya salah, repot," ujar
Yunantyo.
Joko sempat bertanya soal pendapat warga. Yunantyo
menjelaskan bahwa warga tak merasa ada masalah. "Selama warga tidak
masalah, kami oke, silakan," pungkas Joko.
Kepada Zainal Abidin
Petir, kuasa hukum FPI Jawa Tengah, Yunantyo menjelaskan penelusuran
mereka soal latar korban, yang sebagian besar muslim, bahkan saat
ditembak mereka sempat melantunkan ayat Quran. "Bisa tidak, kita
melakukan ini untuk kemanusiaan saja? Tidak usah bicara partai, cukup
untuk memakamkan secara Islam," bunyi permintaan diplomatis Yunantyo
pada Zainal.
"Kalau tujuannya itu, tidak masalah," jawab Zainal. Urusan
perizinan selesai ketika surat Perhutani yang memberikan tanah seluas
5x10 meter tempat kuburan itu berada sebagai area pemakaman milik umum. Acara
penisanan dilakukan pada 1 Juni 2015, bersamaan dengan hari lahir
Pancasila. Acara berlangsung aman dan dihadiri masyarakat, mahasiswa,
keluarga korban, tokoh agama, pejabat pemerintahan, dan aktivis.
Orang
yang hadir hari itu sekira 400 orang. Di atas tanah yang diratakan
Sukar pada suatu siang, lima puluh tahun lalu, nisan marmer dengan
nama-nama korban diterakan di atasnya dipacakkan.
"Dengan acara
itu, intinya makam itu dinyatakan sah dialihkan sebagai milik umum
sehingga keluarga tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi, demikian juga
publik yang ingin tahu, ingin ziarah," kata Yunantyo.
Yunantyo hadir di Simposium 65 dan bicara sebentar mengenai
perlunya payung hukum nasional yang melindungi usaha-usaha kemanusiaan,
untuk membuat kuburan-kuburan massal korban 65 menjadi kuburan yang
layak. Di luar simposium, wacana payung hukum itu berubah menjadi
wacana penggalian kuburan sebagai pembuktian adanya pembunuhan massal
dan apabila itu benar, barulah pemerintah bersedia minta maaf. Yang
melontarkan wacana itu ialah Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan.
"Problemnya,
Komnas HAM saat ini sedang melimpahkan perkara tragedi kemanusiaan 65
kepada Jaksa Agung. Berarti barang bukti yang di kuburan massal ini
tidak boleh rusak. Kalau dilakukan penggalian bisa merusak barang bukti,
kata Yunantyo.
Pria 40 tahun itu pun mengajukan sejumlah prosedur bila negara mau melakukan penggalian. Pertama, arkeologi forensik. Kedua, identifikasi korban. Ketiga, dokumentasi berupa foto, dan video. Keempat, pemakaman ulang. Kelima, karena itu peninggalan sejarah, maka harus dilindungi dengan Undang-Undang Cagar Budaya.
Selain
itu, kata Yunantyo, sisa-sisa kerangka tidak boleh dipindahkan dari
kuburan massal karena pertimbangan kesejarahan. Ia pun menimbang
kemungkinan bila dipindah ke tempat lain, yang bisa memicu penolakan
dari masyarakat di tempat baru.
Yang ditekankan Yunantyo,
penggalian tidak boleh dilakukan oleh selain negara atau Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Juga tidak boleh tanpa lima prosedur
di atas. Pada kasus penggalian di Wonosobo, kerangka yang ditemukan
sudah tidak bisa menjadi barang bukti manakala kasus 65 dibawa ke
persidangan. Juga pada penggalian di Bali, kerangka lantas dingaben.
Barang bukti hilang.
Selain opsi penggalian, opsi lainnya adalah
opsi penisanan seperti yang sudah dilakukan di Plumbon. Namun, butuh
payung hukum nasional, karena bisa jadi penisanan di tempat lain tidak
akan selancar di Semarang. Terutama karena rentan mendapat penolakan
masyarakat dan ormas-ormas yang agresif. Payung hukum itu juga berguna
agar masyarakat tidak bergerak sembunyi-sembunyi.
Saat orang-orang PMS-HAM mulai mendatangi kampungnya, Supar
mulai memerhatikan mereka. Kepada Kelik, yang mendampingi rombongan itu,
Supar melempar pertanyaan soal orang-orang itu. "Itu orang-orang yang
meneliti kuburan di Hutan Plumbon," kata Kelik.
Supar lalu menyeletuk, bahwa dirinya melihat eksekusi itu. Pengakuan itulah yang menjadi salah satu kunci pengungkapan PMS-HAM.
Namun,
ada perbedaan informasi antara Supar yang menjadi saksi dan Sukar yang
mengubur. Supar menyebut korban berjumlah 12, Sukar menyebut 22. Beda
versi itu, antara lain melatari penulisan nisan kuburan Plumbon, "Isi
diduga 12 s/d 24 jenazah."
Supar sendiri masih trauma. Ia tidak pernah datang ke makam itu, bahkan ketika Kelik memaksa datang saat peresmian nisan.
Trauma
Supar, agaknya trauma sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah
berjalan tiga generasi. Ini trauma orang-orang yang bukan korban, tetapi
menderita karena horor hantu komunis.
Sekadar catatan, berbeda
dengan sebagian kita, orang seperti Supar tidak membenci PKI. Di era
Orde Lama, Supar hanyalah pemilih PNI, pun tidak punya masalah dengan
orang-orang PKI.
Demikan halnya, Sukar, warga biasa yang merasa
pembunuhan seperti di Hutan Plumbon tidak benar. Dorongan nurani
membuatnya menata isi kuburan dengan laik, menggali lubang baru, dan
memberi penanda pohon jarak sebagai nisan di kuburan Plumbon. "Kasihan
mereka," kata Sukar.
Pun menurut Kelik, di desa mereka, anak-anak
orang-orang komunis dan nonkomunis akur dan sudah saling kawin-mawin.
Tidak ada masalah.
Selain kuburan massal yang terletak di Hutan Plumbon, Desa
Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, masih ada lima lokasi lainnya di sekitar
Semarang. Beritagar.id juga mendatangi satu lokasinya, di Sikepyar, Desa Darupono, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal.
Lokasinya
juga terletak di tengah hutan Jati, yang bersambungan dengan Hutan
Plumbon. Keduanya berada di perbatasan Kabupaten Semarang dan Kabupaten
Kendal. Wilayah itu dikuasai oleh Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Kendal.
Ada dua titik kuburan di hutan Sikepyar. Di titik
pertama, diperkirakan ada lebih dari 40 orang yang dikuburkan di satu
lubang. Angka tersebut diutarakan Suparjo, 68 tahun, warga Darupono yang
diperintah untuk menutup lubang pada pagi hari setelah eksekusi.
Seingat
orang tua yang kerap disapa Parjo itu, lubang berukuran 5x4 meter itu
bahkan tidak cukup menampung jasad korban. "Lubangnya sampai tidak
muat," ujarnya.
Dari cerita yang didengarnya, Parjo mengatakan
bahwa pada malam eksekusi datang satu truk mengangkut korban. Lubang
sudah dipersiapkan, yang menggalinya juga warga Darupono. Truk itu
datang antara pukul 2 - 3 dini hari.
Pada malam itu pula Lurah
Darupono, Suparno Suwardi, melarang warga desa keluar kampung, seturut
perintah kepada sepuluh warga yang tengah ronda malam itu untuk menutup
kuburan di lokasi eksekusi pada pagi harinya. Di titik kedua,
hanya berjarak sekira 50 meter dari titik pertama yang kini dipisahkan
jalan raya, terdapat dua lubang kuburan massal. Hanya saja, tambah
Parjo, jumlah korbannya tak sebanyak yang pertama.
Saat hendak
beranjak dari titik kedua, kami berpapasan dengan seorang polisi hutan
yang baru saja datang. Ia menanyakan siapa kami dan sedang melakukan
apa. Setelah dijelaskan, ia mengatakan pada awal Mei lalu, sempat datang
beberapa tentara yang menyambangi kuburan tersebut. Saat ditanya maksud
kedatangannya oleh petugas Perhutani, mereka menjawab sedang mendata.
Lengkap dengan kalimat pamungkas, "hanya menjalankan perintah komandan."
Beritagar.id mengunjungi
titik pertama pada hari Kamis (12/5/2016), dan bertemu Suparjo secara
tidak sengaja. Ia juga sedang ada di lokasi kuburan, membersihkan
rumput-rumput di atas kuburan. Konon, malamnya akan banyak orang yang
datang menyepi. Sebagaimana kuburan Plumbon, kuburan Sikepyar ini juga
menjadi tempat orang mencari wangsit dan nomor togel.
Jika tidak
ditunjukkan oleh orang yang sudah tahu, sangat sulit menemukan kuburan
Sikepyar. Sebab, berbeda dengan kuburan Plumbon yang sudah dipasangi
nisan, kuburan Sikepyar polos: tanah rata saja. Agak berbeda dari lahan
di sekitarnya hanya tanahnya yang tampak bersih bahkan dari rumput liar
sekalipun.
Suparjo membersihkan kuburan-kuburan itu selama puluhan
tahun atas keinginannya sendiri. Ia kasihan dengan korban-korban yang
menurutnya dibunuh dalam keadaan tidak bersalah.
Pendapat Suparjo
itu berkaca pada tetangganya, Ari, yang eks-tapol dan dipenjara di
Nusakambangan. Menurut Suparjo, Ari adalah pemain wayang orang yang
masuk Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) karena lembaga itu bisa
memfasilitasi minatnya. Di masyarakat, Ari dianggap baik dan menjadi
idola, tidak pernah berbuat buruk yang menimbulkan kebencian. Ketika ia
dilempar ke penjara Nusakambangan, satu-satunya dosa Ari ialah menjadi
anggota Lekra.
Yunantyo Adi mengatakan, ada kemungkinan daftar
nama korban 65 bisa dikumpulkan. Ia mendapat informasi itu dari Prof.
Dr. Wasino, Guru Besar Sejarah Sosial di Universitas Negeri Semarang,
bahwa perpustakaan Kodam IV/Diponegoro mungkin menyimpan dokumen
tersebut, tapi kondisinya sudah tidak begitu bagus karena tidak dirawat.
Beritagar.id
juga menyambangi satu lokasi eksekusi korban 65 di Yogyakarta.
Persisnya lokasi itu di Gua Grubug di Dusun Jetis, Desa Pacarejo,
Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Di kanan dan kiri jalan menuju Gua
Grubug, pohon jati berjejer tak habis-habis, jejeran yang sama nyaris
serupa dengan lokasi kuburan massal di Plumbon dan Sikepyar.
Warga
di sekitar Gua Grubug, Marjoyo (81), mengatakan eksekusi di Grubug
berlangsung berkali-kali. Kejadian itu bertepatan dengan musim jagung
berbunga dan musim hujan, sekitar Desember 1965 hingga Januari 1966. Biasanya,
pada tengah malam akan terdengar suara mobil yang berhenti sampai di
ujung jalan aspal. Tidak ada warga yang berada di luar rumah karena jam
malam diberlakukan selepas pukul 18. Mobil itu kemudian menurunkan
korban dan mereka berjalan kaki sampai ke Gua Grubug. Kisah ini
disampaikan oleh hansip desa yang ikut dilibatkan saat penurunan korban
dari mobil, tetapi tidak menyertai ke gua.
Gua grubug adalah gua
vertikal yang berjarak 90 meter dari permukaan tanah. Korban-korban
dibuang ke dalam gua tersebut dan kemudian dihanyutkan air yang mengalir
ke dalam gua dari Kali Suci dan Kali Jirak, dan berakhir di Laut
Selatan.
Satu hal yang diingat kuat Marjoyo, tiap terjadi
eksekusi, selalu turun hujan deras. Kemungkinan, hujan deras membantu
menghanyutkan korban dengan segera menuju laut.
Selain jam malam,
warga juga dilarang berada kurang dari radius 25 meter dari gua. Di
sekitar gua ialah tanah-tanah pertanian warga yang ditanami jagung,
kacang, singkong, dan jati. Kini, Gua Grubug justru menjadi tempat
wisata.
Adapun Yunantyo Adi mengatakan, hingga saat ini sudah
diidentifikasi sebanyak 120-an kuburan massal korban 65 di seluruh
indonesia.
Prima Sulistya Wardhani
Penulis lepas. Bergiat di Pindai.org. Berdomisili di Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar