Oleh: Misbach Tamrin
Seperti yang telah kita ketahui, Presiden Jokowi telah memerintahkan Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mencari dan melakukan pembongkaran atau penggalian kuburan massal ’65. Sebagai langkah tindak lanjut pelaksanaan hasil Simposium ’65 yang diselenggarakan Lemhanas beberapa waktu yang lalu. Bagaimanapun, meski ada yang tidak setuju, termasuk Menhan Ryamisard, perintah Presiden dalam kaitan penyelesaian perkara pelanggaran Ham berat dari peristiwa ’65 ini merupakan pertanda yang positif. Kita dukung penuh iktikad baik Presiden Jokowi, selama konsisten dalam tindak pelaksanaannya di lapangan.
Rupanya pemerintah ingin membuktikan tentang kebenaran isu pembantaian yang terlanjur terekspose ketengah opini dunia itu dengan fakta kongkrit penggalian kuburan massal. Luhut bilang bahwa maksudnya kita ingin meluruskan opini yang salah dengan kenyataan sebenarnya.
Pembantaian massal (killing-fields) dan kuburan massal (mass-grave) merupakan dua istilah yang seakan-akan otomatis sama, namun dalam kenyataan di lapangan sangat berbeda. Jelas dengan terang benderang, penghilangan nyawa, baik secara orang perorang maupun massal dari peristiwa ’65 tidak cukup dibuktikan dengan hanya melalui kuburan massal.
Karena relatif terbanyak mayat-mayat korban tanpa kuburan, dibuang ke laut, dan di sungai-sungai atau jurang yang airnya mengalir larut kelaut juga.
Dalam karya-karya lukisan Sanggar Bumi Tarung (SBT) yang tersajikan di sini, misalnya pada karya Amrus Natalsya “Mata Malaikat sebagai Saksi” dilukiskan arwah para korban yang terbantai secara eskalatif dan sporadis melayang-layang di langit, entah kemana? Juga para tahanan yang berjubel dalam truk-truk sedang diangkut kemana? Jika tidak kebanyakan di “dom” di jurang antahberantah.
Atau dalam karya Djoko Pekik “Tak seorangpun berniat pulang walau mati menanti”, mereka benar-benar tidak bisa pulang, karena telah tergiring oleh iringan kendaraan bersenjata berat seperti tank dan panser menuju liang pembantaian. Sama halnya lewat karya lukisan Sudiyono “Keluarga yang malang” dari bapak dan ibu bersama anak-anaknya tak terkecuali akan dihabisi di suatu tempat tak bertanda.
Terakhir lukisan saya “Perpisahan” , kedua mereka sedang berpelukan di tengah para tapol lainnya di dalam barak tahanan sebelum salah seorang yakni sang bapak dijemput (di bon) naik truk dibawa pergi tanpa bisa kembali untuk selamanya.
Begitulah nasib malang para orang-orang PKI, ormas dan simpatisannya terjebak dalam situasi krisis kemanusiaan di bawah rezim Orba yang baru merebut kekuasaan. Harga kemanusiaan mereka jatuh terjerembab, lebih murah dari harga seompreng ransum makanan tahanan. Secara eskalatif mereka tinggal merupakan angka atau nomer tanpa nama yang kebanyakan tak sempat tercatat secara tertib dalam administrasi penguasa. Pantas saja Suharto pernah berkata kepada Josepf Lazarsky perwakilan CIA di Indonesia :”Jika mereka ditahan terus, siapa yang akan memberi makan?”
Dengan demikian, tahulah kita sebagai penyebab terjadinya pembantaian massal, disamping barangkali sebagai pembalasan dendam tak kenal ampun atas gugurnya 7 jenderal, tidak cukup diganti dengan 700.000 orang komunis. Minimal kata Letkol Sarwo Eddy 3.000.000 orang yang berhasil dibasmi dan ditumpas sehabis operasi kilat oleh pasukan RPKAD yang dipimpinnya, mulai dari Jawa Tengah, Djawa Timur hingga Bali, di sekitar bulan-bulan akhir tahun 1965.
Tapi bagaimana melacaknya melalui kuburan massal?
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1553614881608591&set=pcb.1553617118275034&type=3
0 komentar:
Posting Komentar