Senin, 23 Mei 2016
JAKARTA- Rekayasa isu kebangkitan
komunis menimbulkan keresahan di masyarakat dan dengan sukses
mengalihkan perhatian kita dari isu korupsi dan ketidakadilan sosial.
Bermula dari adanya upaya penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
1965-1966, berbagai ormas dan purnawirawan jendral yang menolak,
kemudian menghembuskan isu bahwa upaya penuntasan kasus tersebut akan
membangkitkan Partai Komunis Indonesia dan komunis.
Oleh karena itu, LBH Jakarta, LBH
Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, dan LBH Surabaya yang juga
tergabung dalam GEMA DEMOKRASI mendesak Presiden agar menertibkan
institusi Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia yang melakukan
sweeping dengan alasan mencegah penyebaran ajaran komunisme.
“Badan Pembinaan Hukum
Nasional/Kementrian Hukum dan HAM agar mencegah adanya stigma terhadap
kerja bantuan hukum, dan pencarian keadilan oleh masyarakat,” tegas
Arip Yogiawan dari LBH Bandung kepada Bergelora,com di Jakarta.
GEMA DEMOKRASI menjelaskan, berbagai
praktek kebebasan berekspresipun kemudian diberangus. Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia melakukan "sweeping" dan
penyitaan yang tidak berdasar. Orang yang memakai baju kaos Pencinta
Kopi Indonesia dikriminalisasi, acara diskusi dibubarkan, dan nonton
bersama dilarang. Bahkan baju kaos Munir pun disita karena dianggap
terkait dengan komunisme.
“Komisi Hak Asasi Manusia (Komnasham)
agar melakukan pemantauan dan perlindungan terhadap pengacara publik
yang juga merupakan bagian dari pembela HAM. demikian Zainal dari LBH
Semarang.
Alghiffari Aqsa LBH Jakarta menjelaskan
bahwa tidak hanya berdampak terhadap kebebasan berpendapat, berkumpul,
dan berekspresi, isu kebangkitan komunisme juga berdampak terhadap
kerja-kerja bantuan hukum serta advokasi keadilan sosial di masyarakat.
“Serikat yang sedang berjuang dilabel
komunis, aktivis keadilan agraria dan pejuang masyarakat adat dianggap
akan membangkitkan PKI, dan pengacara publik pun dilabel sebagai
pengacara PKI. Masyarakat yang masih fobia terhadap isu komunis akan
dengan mudah terpengaruh,” jelasnya.
Menurut Didin dari LBH Yogya, masyarakat
yang dibela kemudian menjadi saling curiga ataupun takut. Kemudian
masyarakat yang seharusnya mendukung kerja bantuan hukum dan advokasi
enggan untuk membantu. Bahkan bukan tidak mungkin, aparatur pemerintah
langsung curiga. Bantuan hukum dan avokasi menjadi terhambat akibat
rekayasa isu komunis tersebut.
“Masyarakat agar tidak mudah terpancing
provokasi isu kebangkitan komunisme yang disebarkan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab,” jelasnya.
Zainal dari LBH Semarang mencontohkan
sebagian contoh kasus di lapangan yang merupakan bentuk hambatan
terhadap kerja bantuan hukum dan advokasi. Pedagang Pasar Limbangam yang
didampingi oleh LBH Bandung dituduh terkait dengan komunis karena
mengkritisi seorang ustadz yang sikapnya tidak berpihak kepada
pedagang.
“Di Kendal di mana LBH Semarang
memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang memperjuangkan hak atas
tanah, Babinsa turun ke masyarakat dan menunjukkan foto aktivis-aktivis
yang dituduh PKI. Padahal mereka bukan PKI, melainkan aktivis yang
konsisten membantu masyarakat tanpa pamrih,” ujarnya.
Alghiffari Aqsa LBH Jakarta
mencontohkan, seorang purnawirawan jendral menuduh advokasi redistribusi
lahan sebagai upaya membangkitkan PKI. Padahal program redistribusi
lahan yang merupakan bagian dari advokasi keadilan agraria dan sedang
dijalankan oleh Kementrian Agraria.
“Sebuah ormas menuduh LBH Jakarta sarang
komunis. Padahal LBH Jakarta merupakan sebuah lembaga hukum yang secara
profesional membela korban pelanggaran HAM,” jelasnya.
Faiq dari LBH Surabaya menjelaskan
beberapa waktu lalu beredar pesan di media sosial bahwa pada tanggal 7
Mei 2015 akan diadakan pertemuan kebangkitan PKI dengan tema "Seni dan
Budaya" di kantor LBH Jakarta. Padahal sama sekali tidak acara tersebut.
Bahkan, kantor LBH Jakarta kosong, tidak ada acara sama sekali pada
tanggal tersebut.
“Advokasi menolak reklamasi dianggap
sebagai perjuangan yang meniru cara-cara komunis. Film Rayuan Palsupun
dilarang diputar di beberapa tempat,” jelasnya.
Waspada Kebangkitan Orba
Sebelumnya Gema Demokrasi mencium
kembalinya sikap otoriter dan tindak represif pemerintah melalui aparat
keamanan. Padahal, rezim Soeharto telah berhasil ditumbangkan 18 tahun
silam.
Itu sebab, juru bicara aksi Gema
Demokrasi Nining Elitos mengungkapkan, aksi buruh dan elemen-elemen
lainnya digelar untuk menuntut dikembalikannya kebebasan demokrasi,
seperti cita-cita reformasi.
"Kami melihat 18 tahun yang lalu
bagaimana berbagai macam kelompok rakyat bersatu menumbangkan rezim
otoriter yang kemudian tidak lagi memberikan ruang untuk bersuara dalam
arti kritik berbagai kebijakan yang hari ini juga semakin masif
dikembalikan oleh kekuasaan hari ini," ujar Nining di Jakarta, Jumat
(21/5).
Nining melanjutkan, kembalinya sikap
represif pemerintah melalui aparat keamanan ditunjukkan salah satunya
melalui upaya kriminalisasi kelompok buruh, mahasiswa dan masyarakat
yang memperjuangkan hak-haknya. Selain itu, aksi pemberangusan buku-buku
menambah deretan bukti munculnya pengekangan kebebasan berekspresi.
"Kita bisa lihat di sektor buruh ketika
mereka berjuang tentang kepastian kerja dan penghidupan yang layak
mereka dikriminalisasi. Begitu juga mahasiswa yang berjuang di sektor
pendidikan dan rakyat miskin kota yang menolak penggusuran semena-mena
itu semakin terjadi. Buku yang harusnya mencerdaskan juga semakin
dibredel," imbuhnya.
Aktivis buruh ini menambahkan, aksi yang
diikuti lebih dari 100 orang tersebut akan melakukan longmarch dari
kawasan Patung Kuda ke Kemenkopolhukam, Kementerian Pertahanan dan
berakhir di istana kepresidenan. Nantinya, massa akan berorasi di depan
istana untuk menyampaikan tuntutannya.
Gema Demokrasi terdiri atas lebih dari
30 LSM di antaranya, Kontras, Elsam, Safenet, YLBHI, Institut Titian
Perdamaian, LBH Bandung, dan Imparsial. Gerakan ini juga didukung
individu-individu yang peduli pada masa depan demokrasi Indonesia. (Web Warouw)
http://www.bergelora.com/nasional/politik-indonesia/3376-rekayasa-isu-komunis-mengancam-akses-terhadap-keadilan.html
0 komentar:
Posting Komentar