Sabtu, 28 Mei 2016
Oleh : M. Ridha Saleh
___
Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia
(HAM), Rekonsiliasi hanya bisa dilakukan jika ada pihak yang mengakui
kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf serta penyesalannya terhadap
korban pelanggaran berat HAM.
Dengan demikian arti rekonsiliasi dalam
konteks pelanggaran berat HAM dilakukan guna memulihkan harkat dan
martabat manusia
Rekonsiliasi tidak hanya memperoleh maknanya dalam konteks situasi keadilan trasisional (trasitional justice)
untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggran berat HAM masa lalu,
rekonsiliasi dapat dilakukan dalam situasi apapun, karena rekonsiliasi
merupakan upaya untuk menangani warisan khas dari pelanggaran massal
masa lalu untuk mengakhiri beban dan ketidakadilan struktural yang lebih
besar yang dapat berlanjut secara terus-menerus terhadap pihak korban.
Untuk itu, dalam konteks Indonesia,
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme rekonsiliasi
harus di letakkan dalam proses penataan demokrasi, penegakan keadilan
serta ditekankan untuk mengakhiri beban kolektif sosial politik bangsa.
Kontradiksi Rekonsiliasi
Jalur Rekonsiliasi yang digagas di
Indonesia saat ini atas pelanggaran berat HAM peristiwa 65-66, harus
diletakan dalam sebuah kerangka tindak hukum dan uapaya politik bangsa
untuk memenuhi rasa keadilan korban, bukan seperti yang disangkakan
sebahagian pihak untuk menghidupkan paham komunisme dan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Dari realitas sosio-politik,
rekonsiliasi yang digagas saat ini, karena disebabkan oleh terjadi
kebuntuhan hukum antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, walaupun
kebuntuhan hukum tersebut juga dilatar belakangi oleh fator politik dan,
sepengatauan saya kebuntuhan politik itu sama sekali tidak
bersinggungan atau dilatar belakangi oleh khawatiran politik Kejaksaan
Agung akan bangkitnya komunisme dan PKI.
Rekonsiliasi pelangaran HAM masa lalu
atas peristiwa 65-66 dan kekawatiran bangkitnya paham komunisme dan PKI,
adalah dua persoalan yang berbeda, bahkan sebahagian besar kalangan
korban sendiri menolak penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui
rekonsiliasi karena dianggap bahwa rekonsiliasi merupakan tindakan
Impunity, penyangkalan Negara dan melindungi para pelaku kejahatan.
Rekonsiliasi adalah metoda dan jalur
yang menempatkan korban dan Negara untuk menyelesaikan dan memulihkan
hak-hak korban yang dialamninya atas suatu peristiwa yang terjadi karena
ada keterlibatan melalui kebijakan Negara terhadap pelanggaran HAM yang
berat pada masa itu. Oleh karenanya penyesalan negara melalui
Permintaan permohonan maaf semata-mata disampaikan untuk pemulihan
harkat dan martabat kepada korban pelanggaran HAM, bukan kepada PKI.
Subyek Formal
Komisi Naional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) Republik Indonesia adalah lembaga Negara yang di betuk dan bekerja
berdasarkan UU 39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam konteks penegakan
hukum, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justicia terhadap
dugaan pelanggaran HAM masa lalu atas peristiwa 65-66, bahwa
penyelidikan Komnas HAM merupakan mandat UU 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM.
Hasil penyelidikan Komnas HAM, dengan
tegas menyebutkan bahwa atas kebijakan Negara, pada peristiwa 1965-1966,
telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi
manusia antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan,
penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara paksa.
Melalui dokumen penyelidikan resmi
Komnas HAM, bahwa peristiwa pelanggaran berat HAM tersebut dititik
beratkan pada keterlibatan Negara. Keterlibatan dan kebijakan tersebut
oleh negara dilakukan secara berlebihan dengan menggunakan cara-cara
yang tidak manusiawi yang berdampak pada jatuhnya korban jiwa manusia
secara meluas di tanah air.
Melalui Komnas HAM, kebenaran telah di
ungkapkan, karena salah satu syarat menuju rekonsiliasi adalah
diungkapkannya kebenaran terhadap suatu peristiwa yang akan di
selesaikan.
Oleh karena itu dokumen komnas HAM dapat
dijadikan sebagai dasar hukum, meski Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah batalkan Mahkamah
Konstitusi pada 2006, namun dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu juga
menyatakan bahwa pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi bisa dilakukan
dengan dasar undang-undang yang sesuai dengan UUD 45, atau kebijakan politik.
Kebijakan politik yang dimaksudkan
adalah rencana Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam RPJMN disebutkan
soal pembentukan komite yang langsung berada di bawah Presiden.
Kehadiran Negara
Persoalan penyelesaian pelanggaran HAM
masa lalu di Indonesia selalu menjadi polemik karena, bertarungnya
berbagi kepentingan politik dan berbagai kekhawatiran, akan tetapi
negara tidak boleh larut dengan berbagai kontradiksi politik, negara
harus mampu menempatkan dirinya serta mengambil langkah konferhenship
untuk menyelesaikannya.
Martabat bangsa ini sangat ditentukan
oleh sejauhmana Negara mampu memuliakan harkat dan martbat manusia,
Korban pelanggaran HAM masa lalu adalah manusia yang berhak untuk
dipulihkan dan disejajarkan haknya, perjuangan mereka telah berlangsung
lama dengan sejumlah beban politik, ekonomi dan kemanusiaan.
Hukum HAM telah menempatkan negara
sebagai pemangku kewajiban dalam menyelesaikan dan memenuhi hak korban,
menunda menyelesaikan berati negara memperpanjang pelanggaran hak
terhadap korban.
*Penulis adalah Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012, Profesional Mediator
http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/3392-men-duduk-kan-rekonsiliasi.html
0 komentar:
Posting Komentar