Pernyataan Pers
Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)
dan Majelis Warga
Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu,
Tugas Kebangsaan yang Harus Dituntaskan
Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu telah menjadi
agenda nasional yang harus segera dituntaskan. Hal ini sebagaimana
dituangkan dalam Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional. Tap MPR tersebut menghendaki adanya langkah-langkah
nyata dalam pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, serta perumusan
kembali etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan. Dalam konteks
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Tap MPR menugaskan kepada
Presiden untuk melakukan pengungkapan berbagai penyalahgunaan kekuasaan
dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan
ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai
bangsa.
Sejalan dengan mandat tersebut, berbagai inisiatif untuk
menggali jalan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu telah dilakukan,
baik yang diwujudkan karena pressure politik internasional maupun
tuntutan dan tekanan para korban serta masyarakat sipil. Keseluruhan
langkah tersebut tertuang dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh
pemerintah selama periode setelah runtuhnya rezim militer Orde Baru.
Namun sayangnya, tindakan-tindakan tersebut belum mampu menyelesaikan
secara tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu,
yang masih menjadi hutang sejarah bangsa ini. Belum adanya penuntasan
terjadi karena beragam faktor, termasuk penciptaan kebijakan cenderung
parsial, minimnya dukungan politik, maupun lembaga peradilan yang sampai
dengan hari ini belum mampu menghadirkan keadilan substantif bagi para
korban.
Kondisi tersebut diakui pula oleh pemerintahan Jokowi-JK
yang berkuasa saat ini, yang menyebutkan masih adanya sejumlah kasus
pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, yang sampai dengan hari ini
terus menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya
perlu suatu langkah penyelesaian dan penuntasan, yang dilakukan secara
bermartabat dan berkeadilan. Pengakuan tersebut terumuskan di dalam
komitmen politik Nawacita, sebagai visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK,
yang selanjutnya dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam RPJMN disebutkan bahwa penyelesaian
secara berkeadilan atas kasus pelanggaran HAM masa lalu, adalah salah
satu kebijakan strategis dalam mencegah keberulangannya di masa
mendatang.
Menindaklanjuti komitmen politik tersebut, beberapa
inisiatif telah mengemuka dari pemerintah, salah satunya dengan membuka
kembali perdebatan tentang Peristiwa 1965/1966, secara resmi di publik,
melalui penyelenggaraan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965:
Pendekatan Kesejarahan. Harus diakui, penyelenggaraan simposium tersebut
telah membuka babak baru perdebatan tentang penyelesaian pelanggaran
HAM masa lalu, khususnya dalam Peristiwa 1965/1966. Perdebatan yang
semula berkutat di aras masyarakat sipil, korban, termasuk juga kelompok
yang kontra penyelesaian, telah digeser menjadi suatu perdebatan
kenegaraan, dengan difasilitasi secara langsung oleh institusi resmi
negara.
Seperti telah dibayangkan sebelumnya, pro-kontra segera
menyeruak dan menghangat pasca-penyelenggaraan simposium tersebut.
Kelompok penentang segera bereaksi, termasuk dengan menghidup-hidupkan
kembali konflik politik lama, yang terjadi selama era perang dingin dan
masa demokrasi terpimpin. Anehnya, sejumlah institusi resmi negara,
termasuk aparat keamanan dan penegak hukum, yang semestinya mendukung
penuh agenda nasional penyelesaian, justru terlibat dalam riak-riak
penolakan. Situasi ini kian memperlihatkan belum solid dan padunya sikap
pemerintah di dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Antara perintah Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan (Menkopolhukam), seringkali tidak diterjemahkan secara
konsisten dalam gerak implementasi aparatnya di lapangan.
Menyikapi kondisi itu, Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran
(KKPK), yang terdiri dari lebih dari 50 elemen sipil dan sejumlah
individu, beserta segenap Majelis Warga, mendukung penuh setiap langkah
dan upaya Presiden, dengan mengacu pada UUD 1945 dan mandat kebangsaan
sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR, untuk menyelesaikan dan
menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dalam rangka
memastikan langkah-langkah menuju penyelesaian tersebut, Presiden perlu
untuk:
1. Mengambil langkah untuk mengkoordinasikan seluruh para
pembantu, perangkat, dan seluruh aparatur pemerintahannya, guna
memastikan adanya dukungan penuh dalam setiap upaya penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu, sebagai agenda nasional;
2. Memberikan
jaminan hak atas rasa aman atas setiap inisiatif yang dimunculkan, baik
di lingkungan akademik maupun masyarakat sipil di tingkat akar rumput,
dalam rangka upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dengan
mencoba membuka tabir gelap atas seluruh peristiwa yang terjadi di masa
lalu;
3. Merangkul semua pihak dan kelompok kepentingan untuk
terlibat dalam suatu dialog dan kerja sama dengan prinsip kebersamaan,
kesetaraan, toleransi dan saling menghormati, sebagai bagian dari
langkah menuju penyelesaian;
4. Menjadikan konstitusi, UUD 1945,
sebagai panduan dan pedoman dalam penyelesaian dengan jalan Indonesia,
yang menekan pada: tegaknya prinsip negara hukum; adanya pengungkapan
dan pengakuan atas kebenaran; memastikan pemulihan martabat dan
penghidupan korban; adanya pendidikan dan dialog publik dalam rangka
rekonsiliasi; menjamin ketidakberulangan dengan reformasi kelembagaan
sipil dan militer; dan adanya partisipasi aktif dari para korban dan
penyintas dalam penyelesaian.
Jakarta, 29 Mei 2016
Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)
dan Majelis Warga
https://www.facebook.com/kkpk.kebenaran/posts/504799813045205
0 komentar:
Posting Komentar