Jumat, 20 Mei 2016

Kisah Penculikan Gubernur Bali Setelah 1965 Dibukukan

Jum'at, 20 Mei 2016 | 17:00 WIB 

Sejumlah umat Hindu Bali melakukan persembahyangan dalam Upacara Atma Wedana Penyucian Korban Revolusi G30S 1965 di Pelataran Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Minggu (30/9). TEMPO/Johannes P. Christo

TEMPO.CO, Denpasar - Buku berjudul Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966 diluncurkan di Denpasar, Jumat, 20 Mei 2016. Penulisan buku digarap oleh Uji, wartawan senior Sinar Harapan, dengan sumber utama putra Sutedja, Anak Agung Gde Agung Benny Sutedja.

Menurut Benny, orang tuanya hilang dan tidak diketahui keberadaannya sejak dijemput oleh empat orang tentara di Kompleks Senayan, Jakarta, pada 29 Juli 1966. “Saat itu saya sedang mengikuti operasi Trikora di Irian Jaya,” ujar Benny.

Adapun saksi mata saat kejadian adalah ibunda dan kakak perempuannya yang pada hari itu langsung membuat kronologi serta laporan ke polisi. Sutedja diangkat menjadi Gubernur Bali pada 1959.

Sutedja berada di Jakarta sejak 1 Desember 1965 karena dipanggil oleh Presiden Sukarno berdasarkan SK Nomor 380/1965. Saat itu, di Bali sudah mulai terjadi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang disebut berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Benny menuturkan ayahnya sama sekali tak terkait dengan gerakan PKI. Hal itu bahkan sudah ditegaskan oleh Ketua Tim Pemeriksa Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) Bali pada 1989. Namun kenyataannya, keluarganya terus menjadi korban diskriminasi. “Kenaikan pangkat saya bahkan sempat ditahan 8 tahun karena isu bersih lingkungan,” kata Benny.

Dengan adanya buku tersebut, dia berharap ada pelurusan sejarah dan memperkuat bukti yang diajukan dalam permohonan untuk melakukan rehabilitasi nama baik ayahnya. Benny juga berharap pemerintah bersedia memenuhi hak-haknya sebagai mantan pejabat negara.

Permohonan itu sudah disampaikan sejak masa Orde Baru dan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Sekarang, dia akan mengajukannya kembali kepada pemerintah.

Aktivis hak asasi manusia Nursyahbani Katjasungkana yang hadir saat peluncuran buku mengatakan buku-buku semacam itu berguna sebagai pelurusan sejarah dan bukti adanya pelanggaran HAM.

Namun, dia mengingatkan, buku tersebut tidak boleh merugikan perjuangan penegakan HAM dengan seolah-olah membolehkan adanya pembunuhan terhadap mereka yang berkaitan dengan PKI. “Sebab, apa pun alasannya, pembunuhan terhadap PKI atau bukan PKI adalah hal yang salah dan tidak boleh dilakukan,” ujarnya.

ROFIQI HASAN
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/20/078772732/kisah-penculikan-gubernur-bali-setelah-1965-dibukukan

0 komentar:

Posting Komentar