Audya Amalia - Dec 8
- Cara Lain Mengungkap Seorang Perempuan dalam Suatu Kisah
Geugeut Pangestu Sukandawinata. “Di Dalam Kelambu Tertutup”. Custom
made paper. 200 x 150 x 150 cm. 2017
Karya patung kertas Geugeut Pangestu Sukandawinata dalam
pameran Bandung Contemporary Art Awards #5 di Lawangwangi Art Space, Bandung,
pada Oktober sampai November 2017, berjudul “Di Dalam Kelambu Tertutup”. Karya
yang menggunakan custom made paper ini menggambarkan sebuah kelambu
putih berbentuk kubus yang memiliki lipatan-lipatan vertikal seperti gorden.
Kelambu tersebut menggantung setinggi 2 meter, hampir menyentuh lantai. Pada
bagian atas kelambu terdapat lapisan yang lebih kecil dan mengelilingi bentuk
utama kelambu.
Jika dilihat dari arah depan, kelambu tersebut terbuka
secara simetris di bagian tengah, sementara bagian kanan-kiri bukaan dinding
kelambu disangga oleh satu pengikat. Dari bukaan tersebut, kita dapat melihat
bagian dalam kelambu terdapat sesosok perempuan seukuran asli tubuh manusia
yang sedang duduk di atas kursi. Sosok perempuan dan kursi tersebut dibuat
masih menggunakan teknik dan medium yang sama dengan material kelambu.
Dalam karya ini, figur perempuan tidak ditampikan melalui
tubuh perempuan yang utuh, melainkan melalui penggambaran pakaian dan rok
panjang yang dibentuk seolah pakaian tersebut sedang dipakai seseorang,
sedangkan tubuh perempuan (seperti kepala, tangan, dan kaki) tidak ditampilkan.
Maka siratan sosok perempuan dijelaskan dengan pakaian perempuan yang seolah
dipakai oleh sosok yang tidak kasat mata. Sosok dalam karya ini tampak
mengenakan pakaian trandisional kebaya lengkap dengan rok sinjang. Gestur
perempuan pada karya ini sedang duduk tegak menyerong ke kanan belakang.
Sementara siku lengan kanannya bertopang pada kursi, lengan kirinya tampak
tegak menyentuh alas kursi. Kursi yang didudukinya memiliki bentuk alas dudukan
setengah lingkaran, dengan sandaran yang terbentuk dari sebuah kurva setengah
lingkaran menyatu dengan pengangan kursi dan ditopang dengan batang-batang
sandaran vertikal, sedangkan kaki kursi tersebut berjumlah empat dan berbentuk
meliuk. Kursi tersebut memiliki gaya interior Indonesia (khususnya Jawa) awal
abad 20.
Secara keseluruhan, karya ini mempilkan tiga buah benda
mati yakni kelambu berbentuk kubus, pakaian perempuan tradisional, dan kursi,
serta hanya memakai satu warna yakni warna putih keabu-abuan yang memaanfaatkan
warna asli material karya (kertas). Karya ini menggunakan komposisi tengah (center),
terlihat dari bukaan kelambu pada bagian tengah dinding depan kelambu. Selain
itu, penempatan sosok perempuan dan kursi di dalam kelambu yang cenderung padat
dan sentral memanfaatkan bentuk kelambu yang hollow dan skalanya
lebih besar daripada sosok perempuan dan kursi. Melalui komposisi tersebut,
karya ini tampil dengan seimbang dan saling mengisi.
Dinding kelambu menghasilkan tekstur yang lembut
mendekati tekstur asli kain gorden. Pada beberapa bagian pakaian terdapat
tekstur lipatan kain yang juga menghasilkan efek realistis seperti tekstur kain
asli, namun pada beberapa bagian seperti di dada, bahu kanan, dan ketiak kebaya
tampak robekan khas kertas (material asli karya tersebut) yang tidak beraturan.
Karya ini merupakan apropriasi lukisan S. Sudjojono
berjudul “Di Depan Kelambu Terbuka” tahun 1939, kemudian dibuat ke dalam bentuk
trimatra dengan mengeliminasi objek manusia yang sebelumnya hadir pada karya
Sudjojono serta memposisikan sosok perempuan di bagian dalam kelambu, bukan di
depan. Terlepas dari perubahan tersebut, karya “Di Dalam Kelambu Tertutup”
tetap mempertahankan gimmick karya “Di Depan Kelambu Terbuka” melalui
pakaian tradisional kebaya sebagai bahasa yang masih mengangkat subject
matter seorang perempuan dan benda lain yakni kursi dan kelambu. Karya ini
seolah mengangkat kembali cerita lama pribadi seorang pelukis yang merupakan
sosok berpengaruh dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia, S. Sudjojono.
S. Sudjojono. “Di Depan Kelambu Terbuka”. 1939. Oil on canvas. 89 x 66
cm. (Sumber: indoartnow)
Dalam buku Sudjojono dan Aku –yang merupakan
catatan Mia Bustam, istri S. Sudjojono, tentang perjalanan hidupnya bersama
Sudjojono–, terdapat kisah ketika Mia Bustam membaca kumpulan kliping Sudjojono
dan menemukan tulisan kritik Sanusi Pane terhadap karya “Di Depan Kelambu
Terbuka”. Tulisan kritik tersebut mendorong Mia Bustam untuk menanyakan siapa
sosok perempuan yang ada dalam lukisan tersebut. Sudjojono akhirnya
mengungkapkan bahwa perempuan tersebut adalah seorang pelacur bernama Adhesi
yang pernah menjadi istrinya sebelum menikah dengan Mia Bustam. Dalam sebuah
catatan lepas tentang lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka”, Mia Bustam
menjelaskan bahwa Adhesi lahir dengan nama asli Fatimah, ia seorang perempuan
Cirebon yang ketika remaja dipaksa menikah dengan seorang haji yang umurnya
jauh lebih tua, lalu melarikan diri sampai ke Batavia dan terdampar di daerah
Pasar Senen menjadi pekerja seks komersial.
Nama Adhesi sendiri didapatkan dari seorang pelanggannya.
Sudjojono merupakan salah satu pelanggan tetapnya karena tertarik oleh kisah
hidup Adhesi, kemudian bertekad untuk mengentaskannya dari dunia nafsu dengan
mengajaknya hidup bersama di Sunter, dan mengganti nama Adhesi menjadi Miryam
(dimaksud agar mirip dengan nama Maria Madgalena). Ketika tengah menjalankan
hidup sebagai ibu rumah tangga yang baik, Miryam ternyata membawa penyakit
kelamin gonorrhoea melalui pekerjaan sebelumnya bergonta-ganti pasangan, dan Sudjojono
pun tertular penyakit tersebut. Setiap hari ia membuat ramuan obat-obatan
tradisional untuk menyembuhkan penyakit Miryam. Saat itu Sudjojono
berpenghasilan dari mengajar di Ardjunaschool. Sampai suatu ketika,
ia berselisih faham dengan Mangunsarkoro yang juga mengajar di sekolah
tersebut. Sudjojono memilih untuk keluar bekerja di sana, dan membuka sekolah
untuk anak-anak nelayan di Sunter.
Penghasilan barunya tidak sebanding dengan penghasilan
lamanya di Ardjunaschool. Hal tersebut mengakibatkan Miryam, yang sudah
terbiasa hidup tenang dengan gaji Sudjojono, tidak bisa ikut hidup berkesusahan
dengan penghasilan Sudjojono di sekolah barunya. Miryam melarikan diri dari
rumah, dijemput pulang, dan melarikan diri lagi sampai tiga kali. Ketika
pelarian yang keempat, Sudjojono menyadari ia telah gagal menjadi seorang yang
mengentaskan kehidupan kotor Miryam sebelumnya sebagai perempuan penghibur.
Mengetahui peristiwa tersebut ketika sedang mengandung anak pertama, Mia Bustam
khawatir penyakit gonorrhea menular pada dirinya bahkan anaknya. Namun
Sudjojono sudah memastikan, sebelum menikahi Mia Bustam, ia sudah memeriksanya
ke dokter dan hasilnya negatif.
Catatan Mia Bustam tersebut menjelaskan peristiwa di
balik lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka”. Dalam kritik Sanusi Pane, lukisan
tersebut seperti memiliki ada derita di balik sosok perempuan misterius
berwajah melankolik dalam lukisan. Kisah Sudjojono dan Miryam di balik lukisan
“Di Depan Kelambu Terbuka” dilanjutkan oleh anak Mia Bustam kepada Umar Kayam,
novelis dan guru besar UGM, kemudian dipublikasikan melalui harian kompas.
Karya “Di Depan Kelambu Terbuka” sangat mengekspos sosok
Miryam yang secara fisik hampir detail, gestur tubuh yang tegak dan kikuk,
tatapan mata yang tajam, mulut yang tertutup, dan keseluruhan ekspresi yang
menyiratkan sebuah ketegangan. Jika kita kembali pada karya Geugeut berjudul
“Di Dalam Kelambu Tertutup”, dalam karya ini justru sama sekali mengeliminasi
tubuh/fisik sosok Miryam. Dan atas tujuan ‘menceritakan kembali’ rekaman
peristiwa Sudjojono dan Miryam, karya ini mengambil bahasa benda-benda mati
yang muncul dalam karya Sudjojono. Benda mati yang melekat pada tubuh sosok Miryam,
yakni pakaian tradisional kebaya, terbangun seolah ‘hidup’ melapisi tubuh yang
tidak terlihat. Bisa jadi, melalui penggambaran tersebut, karya “Di Dalam
Kelambu Tertutup” ingin mengangkat kembali sosok perempuan dalam karya “Di
Depan Kelambu Terbuka” yang pernah menjadi pertanyaan besar Mia Bustam siapa
sosok dalam karya itu. Atas situasi penuh rasa penasaran Mia Bustam, kemudian
karya “Di Dalam Kelambu Tertutup”, dalam konteks visual, tidak ingin serta
merta menjawab pertanyaan tersebut; tetap mempertakankan kemisteriusan sosok
perempuan dalam karya.
Secara visual, hal tersebut menjadi daya tarik lain dalam
apropriasi lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka” karya Sudjojono menjadi karya “Di
Dalam Kelambu Tertutup”, yakni cara pembahasaan pakaian yang sengaja dibuat
tampak seolah ‘hidup’ dan sedang dipakai orang seseorang padahal fisik orang
tersebut tidak kasat mata, kerap dijumpai dalam karya-karya trimatra lain. Cara
ini membuat pakaian bukan hanya sebagai benda mati yang ‘jatuh’ jika tidak ada
tindakan dari manusia. Sebut saja karya-karya Octora yang sering menampilkan
berbagai jenis pakaian tertentu sebagai suatu identitas atas gagasan yang
hendak ia angkat dalam karya-karyanya. Octora mengeliminasi kehadiran figur
fisik manusia dan mewakilinya dengan bentuk-bentuk pakaian.
Octora. “My Dear Gentlemen — Insignia”. 2015. Sheet metal and copper.
Various size. (Sumber: indoartnow)
Octora. “Nomadesse”. 2016. Poly vinty chloride. Various size. (Sumber:
indoartnow)
Cara pembahasaan tersebut meminjam identitas tertentu
dalam bentuk pakaian, yang secara visual memiliki tujuan untuk menyembunyikan
siapa sosok yang sebenarnya sedang memakai pakaian tersebut, atau bisa juga
untuk mengeneralkan siapa saja bisa mengenakan pakaian tersebut tanpa harus
memiliki satu sosok khusus. Lebih dari itu, cara pembahasaan seperti ini
cenderung mengedepankan identitas pakaian, dan memunculkan pertanyaan oleh apresiator
“Siapa yang kiranya tepat memakai pakaian tersebut?”, kemudian karya mengajak
apresiator lebih banyak mengungkap figur dalam karya, alih-alih memberikan
informasi secara mentah dan eksplisit siapa figur tersebut. Maka dalam konteks
visual, karya “Di Dalam Kelambu Tertutup” dapat menggiring apresiator untuk
bertanya-tanya siapakah figur yang tepat mewakili karya tersebut. Dan situasi
penuh tanda tanya Mia Bustam pada lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka” pun
merasuki apresiator yang melihat karya “Di Dalam Kelampu Tertutup”.
Dalam rangka ‘mencerikatan kembali’, karya “Di Dalam
Kelambu Tertutup” mengganti posisi sosok Miryam menjadi di dalam kelambu,
alih-alih di depan kelambu seperti dalam lukisan Sudjojono. Untuk pelihat sosok
tersebut, apresiator harus ‘mengintip’ isi kelambu, seolah diajak untuk melihat
sebuah kisah yang sempat tertutup. Melalui kesannya yang muram dan sepi akan
warna, karya ini berhasil mengangkat kembali suasana kelam dan penuh kepedihan
atas lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka”. Kekuatan emosi pada karya ini muncul
pada robekan di beberapa bagian. Karya ini, bersama materialnya yakni kertas,
mewakili sesuatu yang mudah rusak dan dapat pupus dimakan waktu. Hal ini
sejalan dengan peristiwa Sudjojono dan Miryam yang sudah terlewati hampir satu
abad lamanya, kini hampir hilang ditelan zaman.
Sumber Pustaka:
Bustam, Mia. (2006).
Soedjojono dan Aku. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
0 komentar:
Posting Komentar