Siang belum mencapai puncaknya, saat mobil yang kami tumpangi menaiki sebuah dataran tinggi di Ciranca, sebuah kampung kecil yang terletak sekitar 80 km dari pusat kota Tasikmalaya. Suasana sunyi. Pohon-pohon besar berderet di sepanjang jalan kampung yang berbatu, seolah pelindung area tersebut dari sengatan cahaya matahari yang saat itu tengah mencorong garang. Sejenak Muhajir Salam, sejarawan muda asal Tasikmalaya, mengamati situasi.
“Sebentar lagi kita akan sampai…” ujar lelaki kelahiran tahun 1981 itu.
Tepat di sebidang tanah datar, mobil berhenti. Kami turun hampir bersamaan. Sementara saya menyiapkan kamera, Muhajir melangkah menuju sebuah pohon bunga Wera yang nampaknya sudah berusia puluhan tahun. Sekitar satu meter dari pohon itu, ia pun berhenti lalu mengambil sikap berdoa.
“Di sini kakek saya: Bunjamin, ditembak mati sekaligus dikuburkan bersama salah seorang kawannya,” ujar Muhajir usai berdoa.
Bunjamin merupakan salah satu pemuka masyarakat di Tasikmalaya pada 1950-an. Ia diangkat sebagai seorang camat oleh imam Darul Islam (DI) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Suatu hari, Bunjamin dibawa oleh sekelompok tentara dan pulang hanya tinggal nama. Berpuluh-puluh tahun, keluarganya sendiri tak pernah tahu bagaimana nasib Bunjamin. Hingga beberapa waktu lalu, Muhajir mengetahui keberadaan “ makam” sang kakek ternyata ada di Ciranca.
Zone Merah
Haji Dudung melangkah ringkih dari arah kamarnya yang terlihat sedikit berantakan. Susah payah akhirnya ia mencapai sebuah kursi goyang usang, mendudukinya lantas mulai bercerita. Tahun 1950-an, ia menjadi saksi bagaimana para gerilyawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) membangun basis yang sangat kuat di wilayah Kewedanaan Cikatomas, di mana Ciranca termasuk di dalamnya saat itu.
“Komandan DI/TII yang terkenal di Cikatomas adalah Godjim, orangnya gagah dan tangguh…” kenang lelaki kelahiran Tasikmalaya 88 tahun lalu tersebut.
Kesaksian Haji Dudung bukan isapan jempol semata. Dalam buku Darul Islam:Sebuah Pemberontakan, Cornelis Van Dijk menyebut Tasikmalaya (khususnya Cikatomas) sebagai zone merah bagi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
“Tak ada seorang pun prajurit Tentara Republik yang berani mencoba masuk ke dalam apa yang disebut sebagai wilayah-wilayah de factoNegara Islam Indonesia (NII) ini,” ujar Van Dijk.
Menurut sejarawan dari Belanda tersebut, sudah sejak 1956, Darul Islam menguasai seperlima wilayah Tasikmalaya, yaitu 75 dari 201 desa. Desa-desa ini tempatnya di 4 bagian utama Tasikmalaya yang berbeda-beda. Dan di daerah subur Cikatomas, Batalyon 441 TII pimpinan Godjim mengendalikan semua, di bawah perintah bupati NII untuk wilayah Tasikmalaya bernama Iljas. Sedangkan untuk Ciamis, NII menempatkan Khoer Affandi sebagai bupati.
“Nah Ciranca ini dulu terletak di antara wilayah kekuasaan Ajeungan Iljas dan Ajeungan Khoer…” ungkap Muhajir.
Pihak TNI sendiri mengakui dominasi DI atas wilayah-wilayah tersebut. Kendati pos-pos prajurit Divisi Siliwangi banyak didirikan di seluruh zona merah, namun pada kenyataannya mereka hanya berkuasa di siang hari. “ Tahun 1957, merupakan tahun yang paling sulit bagi Divisi Siliwangi…” demikian analisa pihak Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi dalam Siliwangi dari Masa ke Masa.
Ketidakberdayaan kaum Republik di wilayah Tasikmalaya dan Ciamis, salah satunya disebabkan adanya dukungan maksimal rakyat terhadap DI/TII. Bukan rahasia lagi, jika gerakan DI ditentukan oleh pasokan logistik dan tenaga intelijen dari rakyat setempat.
“Itu sangat wajar, karena sebagian besar anggota DI yang bergerilya di hutan-hutan banyak memiliki ikatan kekeluargaan dengan rakyat sekitar,” ujar Haji Dudung.
Makmur, berusia 90, membenarkan bantuan-bantuan nyata yang dilakukan oleh rakyat kepada DI. Sebagai eks pengawal pribadi Khoer Affandi, ia adalah saksi hidup manunggalnya rakyat di desa-desa dengan gerilyawan DI di hutan-hutan. Ia masih ingat, demi menyelundupkan logistik (biasanya berupa beras, garam dan ikan asin) ke basis-basis DI, rakyat kerap mempertaruhkan nyawa mereka.
“Kalau ketahuan tentara-nya Sukarno, resikonya mereka bisa disiksa atau ditembak hingga mati…” ujar mantan komandan DI/TII di wilayah perbatasan Tasikmalaya-Ciamis tersebut.
Kamp Konsentrasi
Tahun 1958, ketika hampir semua pimpinan TNI terpusat perhatiannya kepada penumpasan sejumlah pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi, muncul suatu ide untuk merevisi doktrin militer yang selama itu dijalankan. “ Hasilnya adalah konsep perang wilayah dengan dasar pemikiran: tanpa ada peran dan dukungan rakyat, pemberontakan-pemberontakan tidak akan dapat ditumpas…” tulis Holk H. Dengel dalam Darul Islam-NII dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal.
Namun di wilayah kewedanaan Cikatomas (meliputi juga kecamatan Pancatengah), situasi kadung menyudutkan posisi TNI. Rakyat yang diharapkan menjadi mitra tentara, alih-alih mendukung justru sebagian besar berdiri di pihak pemberontak. Hal itu sepertinya sangat disadari oleh pihak intelijen TNI,hingga memaksa mereka untuk “menyeterilkan” wilayah tersebut dari pengaruh DI.
“Caranya dengan mengumpulkan ribuan penduduk dari berbagai kampung atau desa di beberapa tempat penampungan khusus yang mendapat penjagaan sangat ketat dari tentara,” ungkap Haji Dudung.
Salah satu kamp konsentrasi itu terletak di kampung Ciranca, Desa Tawang. Dengan perhitungan sangat taktis, sekitar tahun 1959, TNI membangun sebuah penampungan khusus di atas bukit seluas 3.000 meterpersegi dengan bambu runcing setinggi 2 meter memagari seluruh areal kamp tersebut.
“ Ada enam pintu keluar dari penampungan itu yang masing-masing dijaga oleh sedikitnya tiga tentara bersenjata…” kata sesepuh di Ciranca tersebut.
Di dalam kamp, rakyat dipaksa membangun rumah-rumah sangat sederhana berbentuk panggung . Sementara di tengahnya, tentara membuat sebuah bangunan besar dari kayu yang dikelilingi oleh pagar bambu runcing dan kawat berduri. Fungsinya selain untuk mengawasi pergerakan para penghuni kamp juga sebagai markas dan tangsi.
Menurut Haji Toto, berusia 75, selalu ada sekitar dua kompi (kurang lebih 300 personil) tentara yang ditempatkan di sana. Mereka datang dari batalyon-batalyon yang berbeda. Kendati aturan diberlakukan sangat keras, namun rakyat sipil penghuni kamp dibolehkan untuk pergi ke kebun atau menggarap sawahnya jika saat menjelang pagi hingga sore. Namun tak urung, pengeledahan secara ketat dilakukan oleh para penjaga 6 pintu gerbang tersebut terhadap para penghuni yang akan keluar.
“Selain cangkul dan alat-alat pertanian, kami hanya boleh membawa minuman dan makanan ala kadarnya, dan saat keluar itu sebagian anggota keluarga harus ditinggal di dalam penampungan” kenang Haji Toto.
Hidup dalam kungkungan kaum bersenjata memang sangat mencekam. Untuk keluar dari bahaya, Haji Dudung mengakui dia kerap “berbohong” kepada masing-masing pihak yang tengah bersengketa.
“Pas di luar, kami kadang didekati orang-orang hutan (anggota DI) dan dimintai keterangan serta makanan. Pas kembali masuk penampungan, giliran kami ditanya ini itu sama tentara, ya jadinya saya bohong ke sana ke sini…” ujarnya.
Pernah suatu hari, tentara mengumpulkan puluhan perempuan yang dituduh sebagai isteri anggota DI yang diselundupkan ke dalam kamp. Di depan mata penghuni kamp lainnya, mereka lantas ditelanjangi, disiksa dan dilecehkan.
“Kami yang menyaksikan pemandangan itu, hampir semuanya menangis dan marah terhadap perlakuan para tentara itu, tapi ya itu kami tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Haji Toto.
Di lain waktu, seorang remaja bernama Adnan ditembak mati oleh seorang prajurit muda. Serdadu itu menuduh sang santri sebagai anggota DI yang menyelusup. Padahal menurut Haji Toto,Adnan adalah salah seorang kawannya yang tengah nyantri di luar penampungan. Ia nekad datang ke kamp untuk meminta beras kepada orangtuanya karena di pesantren ia sudah kehabisan bekal hidup.
Selain penyiksaan, tentara pun kerap melakukan eksekusi massif terhadap sekelompok orang yang dicurigai sebagai anggota DI atau dianggap berkhianat (misalnya dengan memberikan bantuan logistik kepada para anggota DI). Setelah dinterogasi di markas beberapa saat, mereka lantas digiring ke titik-titik tertentu yang terdapat di kamp itu. Usai dieksekusi, mayat mereka lantas ditanam begitu saja dalam satu lubang.
“Saya sendiri pernah disuruh oleh tentara untuk memakamkan mayat seorang camat dan seorang lurah DI yang ditembak mati di atas sana,” ujar Haji Dudung seraya menunjuk ke arah makam Bunjamin.
Selama tiga tahun (1959-1962), horor terus dialami para penghuni kamp di atas Ciranca. Di bawah todongan senjata, tak ada yang bisa dilakukan oleh mereka kecuali berdoa agar perang saudara cepat berakhir. Juni 1962, doa mereka terkabul juga, saat satu kompi Yon Kudjang II Divisi Siliwangi berhasil menangkap imam tertinggi DI/TII, S.M. Kartosoewirjo puluhan kilometer dari kamp Ciranca.
“Setelah Pak Karto tertangkap, penampungan pun dibubarkan dan kami kembali ke kampung masing-masing,“ kata Haji Toto. Namun trauma akibat horror itu tetap terus mengikuti hingga mereka menapaki masa-masa senja.
0 komentar:
Posting Komentar