Edi Faisol* | Dec 7, 2017
Ilustrasi hutan (Source: Unsplash.Com)
Algojo. Kata ini kembali memenuhi pikiranku, setelah
membaca Majalah TEMPO edisi “Algojo 65” akhir September, setahun silam. Saat
itu, aku merinding tak karuan menyimak kisah bagaimana para algojo mengeksekusi
korban 65. Bengis. Kejam. Tak manusiawi.
Kisah-kisah dalam Majalah TEMPO itu, mengingatkanku pada
kakekku sendiri, Mbah Parjo. Aku biasa memanggilnya Pak Jo. Aku begitu dekat
dengannya karena sejak usia dua tahun hidup bersamanya. Orang sekampung pernah
mempercayai bahwa kakekku itu seorang algojo. Algojo bagi sahabatnya sendiri,
Sowi Ngardi.
Aku sendiri telah mengenal sebutan algojo sejak duduk di
bangku SMP. Bermula dari pertanyaan sederhana kepada Mak Mirah, nenekku. Aku
bertanya, mengapa keluarga Sowi Ngardi kerap datang ke rumah saat bulan puasa
Ramadhan dan Lebaran dengan membawa banyak bingkisan. Padahal mereka tak
memiliki ikatan keluarga dengan kami.
“Apalagi dia mantan PKI,” tanyaku kepada nenek.
Sebagaimana pelajar kebanyakan saat itu, kata PKI amat
menakutkan bagiku. Film G30S/PKI yang wajib kutonton setiap 30 September
membuat aku membenci segala hal yang berbau PKI.
Setelah kudesak, Mak Mirah akhirnya mengungkap cerita yang
ia simpan lama setelah kakek meninggal di tahun 1990. Menurut Mak Mirah,
kakekku dan Sowi Ngardi bersahabat sejak muda. Pilihan politik berbeda yang
ditempuh keduanya, tak membuat persahabatan mereka luntur.
Kakekku, Pak Jo, di kala muda adalah seorang mandor
perkebunan milik sebuah perusahaan karung goni di Jepara, Jawa Tengah. Selain
mandor, kakekku menjadi ketua organisasi salah satu badan otonom NU tingkat
ranting. Dia juga seorang PNI dan pecinta berat Soekarno. Sementara Sowi
Ngardi, sahabatnya, adalah pimpinan PKI di kampung.
Sebagai mandor sekaligus aktivis partai dan ormas,
kakekku jarang pulang rumah. Hidupnya habis untuk rapat organisasi dan
mengawasi perkebunan. Tapi, jatah uang dan beras untuk keluarga nyaris tak
pernah telat.
Lalu datanglah geger Gestapu. Kampungku yang sebelumnya
damai sentosa, berubah ramai huru-hara. Bersamaan itu, kakekku pulang ke rumah.
Ketika baru menikmati secangkir kopi, datanglah sekelompok pemuda desa bersama
tentara. Mereka meminta kakekku memimpin pembunuhan terhadap Sowi Ngardi.
Kakek menjadi gelisah. Bagaimana mungkin ia akan membunuh
Sowi Ngardi, karibnya saat di sekolah rakyat dan teman mengaji? Bahkan setiap
hari mereka pun bersua karena lahan yang digarap Sowi Ngardi berdekatan dengan
kebun kakek.
“Kalau tak mau melakukan, kamu juga akan diciduk karena ikut melindungi kaum ateis desa,” ancam seorang anggota Kodim yang membuat kakekku kian gundah gulana.
Hingga akhirnya, kakek mendapat sebuah ide. Di hadapan
massa, kakek menyatakan siap menjadi algojo bagi Sowi Ngardi. Tapi dia
mengajukan syarat.
“Untuk menghabisi orang macam Sowi, kalian tak perlu terlibat. Aku akan bertarung sendiri dengannya,” kata kakek.
Untuk meyakinkan massa dia kembali menegaskan, “Aku akan tantang dia untuk berkelahi di tempat yang tak harus kalian ketahui.” Massa setuju dengan syarat yang diajukan kakek.
Pagi itu juga, diiringi massa, kakek berangkat ke rumah Sowi sambil menenteng clurit. Sampai di halaman rumah Sowi, kakek berteriak, “Sowi keluarlah! Aku Parjo Parni siap bertarung secara jantan demi tanah air.”
Mendengar
tantangan itu, Sowi pun keluar dari dalam rumah. Rupanya ia pasrah melihat
kerumunan massa di depannya.
“Aku siap leherku dipotong, asal kau menjamin anak keturunanku selamat. Mereka tak bersalah,” kata Sowi mengajukan permintaan terakhir.
Kakek kemudian membawa Sowi ke arah hutan tanpa diikuti
massa. Sepanjang perjalanan itu, Sowi menundukkan kepala dengan wajah kalut.
Berulang kali dia berkata dengan lirih kepada kakek. “Apa pun yang akan kamu
lakukan terhadap diriku, aku pasrah, Kang.” Namun kakek tak menyahut.
Setelah melangkah jauh ke dalam hutan, Sowi merebahkan
lehernya pada sebuah batang kayu yang roboh. Dia terisak memohon agar kakekku
melindungi anak dan istrinya. Suasana berubah menjadi haru nan mencekam.
Namun di luar dugaan Sowi, kakek malah meletakkan
cluritnya. Dia meminta Sowi pergi menjauh menyelamatkan diri.
“Aku akan melindungi keluargamu, pergilah ke tempat yang aman,” kata kakek membuat Sowi terperangah tak percaya. Air mukanya berubah lega.
Setelah Sowi hilang di antara lebatnya hutan, kakek
pulang bersama clurit yang penuh darah. Massa menyambutnya dengan
gegap-gempita, mengira kakekku benar-benar membunuh Sowi. Sepanjang hari itu,
kakek terpaksa berbohong dengan mengarang cerita bagaimana menghabisi nyawa
Sowi kepada massa yang berada di rumah hingga menjelang magrib.
Kisah kakek membunuh Sowi segera berlalu. Mak Mirah
mengatakan, darah di clurit kakek ternyata adalah darah ayam jago yang
disembelih untuk mengelabui massa.
Enam tahun kemudian, sekitar tahun 1971, Sowi kembali ke
kampung. Kepada warga, dia mengarang cerita bahwa dia belum mati saat duel
dengan kakek dan akhirnya dipenjara di Nusakambangan. Sowi pun melakukan banyak
hal agar diterima oleh penduduk kampung. Dia memberikan sebagian hartanya untuk
membangun desa, mendirikan masjid dan naik haji. Sowi sendiri akhirnya
meninggal sekitar tahun 2000.
Sejak
mendapat cerita ini, aku makin haus bertanya soal tragedi 65.
Puncaknya saat kuliah, aku melahap banyak buku sejarah.
Apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaanku di kala SMP dan SMA akhirnya terjawab.
Tragedi 65 adalah tragedi kemanusian terbesar dalam sejarah negara yang aku
cintai ini. Ada 500 ribu-1 juta orang tak bersalah yang dituduh bergabung
dengan PKI, kehilangan nyawanya. Sebagian yang lain dibuang dan dipenjara dalam
kamp-kamp yang dingin tanpa proses peradilan.
Ah, andainya para algojo punya sikap seperti kakekku,
barangkali banyak nyawa yang bisa diselamatkan.
0 komentar:
Posting Komentar