Reporter: Patresia Kirnandita | 22 Desember, 2017
Ilustrasi Ruth Indiah Rahayu. tirto.id/Sabit
- Jika dulu namanya ibu progresif revolusioner, sekarang konsep ibu adalah ibu yang radikal dan otonom.
Makna "ibu" terus berubah seiring pergantian era. Semua tak lepas dari siapa yang berkuasa.
Pemaknaan "ibu" tidak pernah bersifat tunggal. Sejak prakemerdekaan Indonesia, cara memandang sosok ibu dalam kehidupan bermasyarakat terus berganti, mulai dari perempuan yang seyogyanya mengurus hal-hal domestik saja, perempuan yang turut berpolitik, sampai perempuan yang menjadi pencari nafkah sepadan dengan laki-laki. Pemaknaan-pemaknaan ini tidak terlepas dari faktor siapa yang tengah berkuasa dan semangat zaman yang sedang berembus pada suatu era.
Pada peringatan Hari Ibu ini, Tirto mewawancarai Ruth Indiah Rahayu, aktivis, peneliti, dan manajer program Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena)—lembaga riset yang memfokuskan pada kajian tentang krisis dan perlindungan sosial transformatif bagi rakyat pekerja. Kamis (21/12/2017) petang, selepas menjadi pembicara dalam sebuah acara diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Ruth menjabarkan dinamika pemaknaan ibu berdasarkan rekam historis Indonesia.
Ditelusuri dari catatan sejarah, peringatan Hari Ibu di Indonesia berawal dari digelarnya Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22 Desember 1928. Saat itu, peringatan Hari Ibu diasosiasikan dengan pergerakan politik sejumlah organisasi perempuan. Namun pada perkembangannya, Hari Ibu cenderung dimaknai sebagai perayaan ungkapan kasih sayang atau apresiasi untuk ibu. Apa yang menyebabkan pergeseran makna Hari Ibu ini?
Pertama, kita harus melihat bagaimana definisi-definisi tentang ibu dibentuk. Pada Kongres Perempuan I, yang hadir adalah kalangan priyayi dan intelektual yang lebih berfokus pada isu hak-hak perempuan dalam perkawinan, tidak menghubungkan dengan anti-imperialisme dan antikolonialisme meskipun kongres itu dibuat untuk konsolidasi perjuangan perempuan dalam konteks nasionalisme. Saya curiga, prasaran yang dibawakan saat itu berkaitan dengan urusan keluarga, wacana yang diangkat adalah urusan ibu dan anak.
Kongres Perempuan Indonesia lantas bertransformasi menjadi Perikatan Perempuan Indonesia, lantas Kowani pada 1946. Sukarno memilih istilah wanita pada saat itu karena dirasa lebih halus. Padahal secara etimologi, istilah itu berasal dari bahasa Sansekerta, vanita, yang artinya yang diingini. Oleh siapa? Subjeknya siapa? Laki-laki. Perempuan jadi objek, kan? Di sini bisa dilihat dinamika makna perempuan atau ibu.
Sampai awal-awal kemerdekaan, konsep perempuan atau ibu itu bermuatan politik, revolusioner, ibu yang juga ikut perang dalam artian membuka dapur-dapur umum saat situasi Indonesia belum stabil dan menjadi kurir politik.
Lalu pada era Sukarno, mulai terlihat perbedaan cara pandang tentang perempuan atau ibu, khususnya terkait perkawinan. Kelompok perempuan yang berafiliasi dengan Islam menentang usulan antipoligini. Sampai sekarang pun urusan poligini masih menimbulkan perdebatan di kelompok-kelompok perempuan. Nah, ibu menurut penganut Islam tertentu adalah ibu yang mau dipoligini. Sementara kalangan nasionalis, walaupun karakter umum laki-lakinya poliginis, kelompok perempuannya beranggapan, menjadi ibu, bukanlah ibu yang dipoligini, melainkan ibu yang punya kemerdekaan.
Kelompok komunis dan sosialis pun menolak menjadi ibu yang dipoligini dan ingin bisa menentukan menikah dengan siapa, soal mengurus anak, dan ikut berpartisipasi politik. [Kelompok ini] Lebih progresif lagi. Kalau pada saat itu kelompok agamis yang menang, bisa jadi konsep ibu yang dipakai sesuai dengan syariat. Karena kelompok itu tidak menang, terbukalah pertarungan definisi konsep ibu.
Selain tiga kelompok ini, menariknya, ada Persit (Persatuan Istri Prajurit) yang diketuai istri A. H. Nasution. Gagasan Persit antara lain, perempuan Angkatan Darat (AD) harus punya gaji setara dengan laki-laki AD, veteran dari kedua gender pun harus mendapat tunjangan yang sama. Di sini sudah ada ide bahwa ibu itu setara dengan laki-laki sebagai warga negara.
Pada masa pemerintahan Soeharto, semangat revolusioner ibu mulai dipudarkan. Gerwani dan unsur kiri dibersihkan dari Kowani setelah kongres luar biasa Kowani digelar pada akhir April 1966. Definisi ibu yang dibuat Suharto dalam pidatonya: ibu adalah ibu bangsa, ibu adalah yang melahirkan anak, dan ibu adalah seorang istri atau pendamping suami. Berikutnya, dalam Panca Dharma Wanita juga disebutkan tentang wanita sebagai pencari nafkah tambahan.
Sejak masa Orde Baru-lah peran ibu didepolitisasi. Yang tercipta sejak saat itu adalah ibu borjuasi yang subordinasi suami, tidak lagi progresif, sehingga ibu dalam kaitan dengan hari ibu tidak lagi berasosiasi dengan pergerakan politik.
Apakah bisa dikatakan pendefinisian ibu pada era Orde Baru didasari oleh tindakan represif?
Tindakan represif yang tidak terasa, represif halus, sifatnya hegemonik. Atas nama menyelamatkan Indonesia dari PKI.
Selama lebih dari tiga dekade Soeharto memimpin, apakah tidak ada pertarungan definisi ‘ibu’ lagi?
Setelah Konferensi Perempuan pertama sedunia di Meksiko diadakan PBB tahun 1975, gagasan tentang kesetaraan gender mulai masuk ke Indonesia. Maka itu, tahun 1978, Soeharto membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita. Ada juga klausul di GBHN bahwa Indonesia akan mendukung peranan wanita dalam pembangunan.
Terlepas dari kebijakan dan program pemerintah tersebut, kelompok-kelompok perempuan muda di Indonesia terdampak pula dari diadakannya Konferensi Perempuan sedunia ini. Agenda PBB yang terkait dengan gender dimasukkan lewat LSM. Di Indonesia, LSM ini menjadi wadah alternatif ketika pembentukan ormas dibatasi pemerintah Orde Baru. Mereka berfokus pada kemiskinan-kemiskinan yang ada di Indonesia, termasuk melihat bagaimana perempuan menjadi korban pembangunan, contohnya LSM Yasanti di Yogyakarta yang hadir tahun 1980-an. Tahun 1984 ada Kalyanamitra yang aktivisnya adalah mahasiswa, dan isu awalnya memperjuangkan buruh perempuan. Lewat LSM-LSM-lah aktivitas politik bisa dilakukan walaupun masih sembunyi-sembunyi.
Setelah LSM, ada kalangan mahasiswa yang mulai berkenalan dengan wacana baru tentang perempuan yang lebih kritis. Mulanya, karena ada Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan mendepolitisasi mereka, mahasiswa lari ke kelompok-kelompok studi. Justru persis ketika sedang asyik dengan kelompok –kelompok studi inilah, mahasiswa membaca segala macam buku termasuk tentang Marxisme dan buku Pram secara diam-diam. Para mahasiswi lalu berkenalan pula dengan feminisme. Dari situlah mereka bisa menelaah kembali organisasi-organisasi perempuan di bawah Kowani yang sudah "dimandulkan", yang selain ditujukan untuk mendukung suami, juga untuk menyukseskan Keluarga Berencana.
Tahun 1990-an, ada ide penyatuan gerakan di LSM dengan mahasiswa. Setelah lulus, pilihan para mahasiswa untuk berjuang adalah melalui LSM. Akibat penyatuan ini, LSM pada saat itu menjadi semakin progresif, tidak hanya membicarakan soal pembangunan, tetapi juga sudah mulai menyoroti kapitalisme. Maka, secara simbolis dan politis dalam bahasa, gerakan perempuan baru yang lahir pada tahun 1980-an ini mengubah atau menolak istilah wanita dan domestikasi Orde Baru. Gerakan ini mengembalikan istilah perempuan, sesuai dengan aspirasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928.
Jadi kita menggunakan istilah perempuan itu bukan genit-genitan. Itu pernyataan politik. Setelahnya, gerakan perempuan menjadi semakin radikal. Hal-hal yang tidak berani dijamah Kowani dengan alasan terkait isu Gerwani semacam buruh migran dan poligini, menjadi bagian dari aktivitas politik gerakan perempuan tahun 1990-an. Dalam gerakan ini pula diusung ide bahwa perempuan bukan lagi pencari nafkah tambahan. Kata tambahannya dihapus, sama dengan laki-laki.
Maka, definisi ibu menurut gerakan ini adalah sosok yang bekerja, memberi kontribusi nafkah pada keluarga. Ibu juga merupakan sosok yang berpartisipasi dalam politik, sosok yang harus dibebaskan dari kapitalisme dan otoritarianisme. Jika dulu namanya ibu progresif revolusioner, sekarang konsep ibu adalah ibu yang radikal dan otonom.
Lalu di pengujung pemerintahan Suharto juga muncul Suara Ibu Peduli. Apakah penggunaan kata "ibu" di sini juga merupakan cara mendefinisikan konsep ibu pada masa itu?
Pengertian ibu di sana adalah simbolisasi menggeser konsep ibu yang didomestikasi selama Orde Baru, dieksploitasi oleh kapitalisme—lewat industri susu. Memang ada yang mengatakan bahwa penggunaan kata ibu adalah taktik karena lebih cenderung didukung. Selain itu, di mata rezim militer, kata ibu juga dianggap lebih lunak, sehingga pilihan kata tersebut bisa menyamarkan keradikalan gerakannya.
Tapi di kacamata saya, penggunaan kata ibu ini lebih dari sekadar taktik. Lebih jauh lagi, secara politik, Suara Ibu Peduli bertujuan mengangkat konsep ibu yang otonom. Inisiatif ini merupakan muara dari perjuangan LSM-LSM perempuan sebelumnya.
Selain Suara Ibu Peduli, perlu dilihat juga bagaimana ibu-ibu kembali terlibat menyokong mahasiswa-mahasiswa yang berdemonstrasi dengan menyediakan makanan yang mereka masak. Ingat seperti tahun 1945. Kembali, politik ibu.
Setelah reformasi, apakah pemaknaan ibu secara politik masih berlangsung?
Terus menerus, tapi tidak selalu memakai kata ibu setelah Suara Ibu Peduli. Istilah ini [ibu] kan timbul tenggelam. Setelah reformasi, ada dua arus utama gerakan perempuan. 22 Desember 1998 di Yogyakarta, diadakan lagi kongres perempuan di luar Kowani. Agenda pertamanya, mendorong partisipasi politik perempuan lewat affirmative action. Ini dilanjutkan oleh Koalisi Perempuan Indonesia. Agenda kedua, seiring dengan adanya kekerasan massal Mei 1998, gerakan perempuan mendesak Habibie untuk meminta maaf. Setelah itu, concern Habibie adalah membentuk Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Politik ibu juga terus dipakai, misalnya di Kendeng. Sebenarnya sebelum Kendeng, ada ibu-ibu di Sumatera Utara yang juga melawan saat tanah-tanah mereka mau diambil, ada para ibu pedagang pasar di Ciledug yang berdemo saat pasarnya digusur. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersentuhan dengan LSM perempuan. Secara spontan mereka melawan karena ranah penghidupannya direbut, baik yang terkait produksi maupun reproduksi sosial. Mereka ini tidak pernah ikut “training gender”.
Itu konsep ibu berpolitik sekarang. Sosok yang melawan, bukan yang didorong oleh kelas menengah perempuan. Ibu yang bergerak karena ranah produksi dan reproduksinya terancam. Tapi siapa yang memaknai mereka sebagai ibu berpolitik? Sayangnya, mereka masih dianggap outsider.
Meski demikian, bukan berarti semua kelompok ibu bergerak politis. Ada kelompok-kelompok yang menganut syariat, yang berusaha mengembalikan domestikasi perempuan; ibu yang dipoligini, ibu yang dikawin muda, dan ibu beranak pinak. Kembali muncul pertarungan antara ibu yang melawan dan ibu domestik. Maka menurut saya, gejala otoritarianisme muncul lagi dari kelompok agama. Pertarungan juga diramaikan oleh kelompok kapitalis seperti produsen bumbu masak yang masih mengamini konsep ibu domestik. Ekonomi politik, tidak sederhana.
Pada peringatan Hari Ibu ini, Tirto mewawancarai Ruth Indiah Rahayu, aktivis, peneliti, dan manajer program Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena)—lembaga riset yang memfokuskan pada kajian tentang krisis dan perlindungan sosial transformatif bagi rakyat pekerja. Kamis (21/12/2017) petang, selepas menjadi pembicara dalam sebuah acara diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Ruth menjabarkan dinamika pemaknaan ibu berdasarkan rekam historis Indonesia.
Ditelusuri dari catatan sejarah, peringatan Hari Ibu di Indonesia berawal dari digelarnya Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22 Desember 1928. Saat itu, peringatan Hari Ibu diasosiasikan dengan pergerakan politik sejumlah organisasi perempuan. Namun pada perkembangannya, Hari Ibu cenderung dimaknai sebagai perayaan ungkapan kasih sayang atau apresiasi untuk ibu. Apa yang menyebabkan pergeseran makna Hari Ibu ini?
Pertama, kita harus melihat bagaimana definisi-definisi tentang ibu dibentuk. Pada Kongres Perempuan I, yang hadir adalah kalangan priyayi dan intelektual yang lebih berfokus pada isu hak-hak perempuan dalam perkawinan, tidak menghubungkan dengan anti-imperialisme dan antikolonialisme meskipun kongres itu dibuat untuk konsolidasi perjuangan perempuan dalam konteks nasionalisme. Saya curiga, prasaran yang dibawakan saat itu berkaitan dengan urusan keluarga, wacana yang diangkat adalah urusan ibu dan anak.
Kongres Perempuan Indonesia lantas bertransformasi menjadi Perikatan Perempuan Indonesia, lantas Kowani pada 1946. Sukarno memilih istilah wanita pada saat itu karena dirasa lebih halus. Padahal secara etimologi, istilah itu berasal dari bahasa Sansekerta, vanita, yang artinya yang diingini. Oleh siapa? Subjeknya siapa? Laki-laki. Perempuan jadi objek, kan? Di sini bisa dilihat dinamika makna perempuan atau ibu.
Sampai awal-awal kemerdekaan, konsep perempuan atau ibu itu bermuatan politik, revolusioner, ibu yang juga ikut perang dalam artian membuka dapur-dapur umum saat situasi Indonesia belum stabil dan menjadi kurir politik.
Lalu pada era Sukarno, mulai terlihat perbedaan cara pandang tentang perempuan atau ibu, khususnya terkait perkawinan. Kelompok perempuan yang berafiliasi dengan Islam menentang usulan antipoligini. Sampai sekarang pun urusan poligini masih menimbulkan perdebatan di kelompok-kelompok perempuan. Nah, ibu menurut penganut Islam tertentu adalah ibu yang mau dipoligini. Sementara kalangan nasionalis, walaupun karakter umum laki-lakinya poliginis, kelompok perempuannya beranggapan, menjadi ibu, bukanlah ibu yang dipoligini, melainkan ibu yang punya kemerdekaan.
Kelompok komunis dan sosialis pun menolak menjadi ibu yang dipoligini dan ingin bisa menentukan menikah dengan siapa, soal mengurus anak, dan ikut berpartisipasi politik. [Kelompok ini] Lebih progresif lagi. Kalau pada saat itu kelompok agamis yang menang, bisa jadi konsep ibu yang dipakai sesuai dengan syariat. Karena kelompok itu tidak menang, terbukalah pertarungan definisi konsep ibu.
Selain tiga kelompok ini, menariknya, ada Persit (Persatuan Istri Prajurit) yang diketuai istri A. H. Nasution. Gagasan Persit antara lain, perempuan Angkatan Darat (AD) harus punya gaji setara dengan laki-laki AD, veteran dari kedua gender pun harus mendapat tunjangan yang sama. Di sini sudah ada ide bahwa ibu itu setara dengan laki-laki sebagai warga negara.
Pada masa pemerintahan Soeharto, semangat revolusioner ibu mulai dipudarkan. Gerwani dan unsur kiri dibersihkan dari Kowani setelah kongres luar biasa Kowani digelar pada akhir April 1966. Definisi ibu yang dibuat Suharto dalam pidatonya: ibu adalah ibu bangsa, ibu adalah yang melahirkan anak, dan ibu adalah seorang istri atau pendamping suami. Berikutnya, dalam Panca Dharma Wanita juga disebutkan tentang wanita sebagai pencari nafkah tambahan.
Sejak masa Orde Baru-lah peran ibu didepolitisasi. Yang tercipta sejak saat itu adalah ibu borjuasi yang subordinasi suami, tidak lagi progresif, sehingga ibu dalam kaitan dengan hari ibu tidak lagi berasosiasi dengan pergerakan politik.
Apakah bisa dikatakan pendefinisian ibu pada era Orde Baru didasari oleh tindakan represif?
Tindakan represif yang tidak terasa, represif halus, sifatnya hegemonik. Atas nama menyelamatkan Indonesia dari PKI.
Selama lebih dari tiga dekade Soeharto memimpin, apakah tidak ada pertarungan definisi ‘ibu’ lagi?
Setelah Konferensi Perempuan pertama sedunia di Meksiko diadakan PBB tahun 1975, gagasan tentang kesetaraan gender mulai masuk ke Indonesia. Maka itu, tahun 1978, Soeharto membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita. Ada juga klausul di GBHN bahwa Indonesia akan mendukung peranan wanita dalam pembangunan.
Terlepas dari kebijakan dan program pemerintah tersebut, kelompok-kelompok perempuan muda di Indonesia terdampak pula dari diadakannya Konferensi Perempuan sedunia ini. Agenda PBB yang terkait dengan gender dimasukkan lewat LSM. Di Indonesia, LSM ini menjadi wadah alternatif ketika pembentukan ormas dibatasi pemerintah Orde Baru. Mereka berfokus pada kemiskinan-kemiskinan yang ada di Indonesia, termasuk melihat bagaimana perempuan menjadi korban pembangunan, contohnya LSM Yasanti di Yogyakarta yang hadir tahun 1980-an. Tahun 1984 ada Kalyanamitra yang aktivisnya adalah mahasiswa, dan isu awalnya memperjuangkan buruh perempuan. Lewat LSM-LSM-lah aktivitas politik bisa dilakukan walaupun masih sembunyi-sembunyi.
Setelah LSM, ada kalangan mahasiswa yang mulai berkenalan dengan wacana baru tentang perempuan yang lebih kritis. Mulanya, karena ada Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan mendepolitisasi mereka, mahasiswa lari ke kelompok-kelompok studi. Justru persis ketika sedang asyik dengan kelompok –kelompok studi inilah, mahasiswa membaca segala macam buku termasuk tentang Marxisme dan buku Pram secara diam-diam. Para mahasiswi lalu berkenalan pula dengan feminisme. Dari situlah mereka bisa menelaah kembali organisasi-organisasi perempuan di bawah Kowani yang sudah "dimandulkan", yang selain ditujukan untuk mendukung suami, juga untuk menyukseskan Keluarga Berencana.
Tahun 1990-an, ada ide penyatuan gerakan di LSM dengan mahasiswa. Setelah lulus, pilihan para mahasiswa untuk berjuang adalah melalui LSM. Akibat penyatuan ini, LSM pada saat itu menjadi semakin progresif, tidak hanya membicarakan soal pembangunan, tetapi juga sudah mulai menyoroti kapitalisme. Maka, secara simbolis dan politis dalam bahasa, gerakan perempuan baru yang lahir pada tahun 1980-an ini mengubah atau menolak istilah wanita dan domestikasi Orde Baru. Gerakan ini mengembalikan istilah perempuan, sesuai dengan aspirasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928.
Jadi kita menggunakan istilah perempuan itu bukan genit-genitan. Itu pernyataan politik. Setelahnya, gerakan perempuan menjadi semakin radikal. Hal-hal yang tidak berani dijamah Kowani dengan alasan terkait isu Gerwani semacam buruh migran dan poligini, menjadi bagian dari aktivitas politik gerakan perempuan tahun 1990-an. Dalam gerakan ini pula diusung ide bahwa perempuan bukan lagi pencari nafkah tambahan. Kata tambahannya dihapus, sama dengan laki-laki.
Maka, definisi ibu menurut gerakan ini adalah sosok yang bekerja, memberi kontribusi nafkah pada keluarga. Ibu juga merupakan sosok yang berpartisipasi dalam politik, sosok yang harus dibebaskan dari kapitalisme dan otoritarianisme. Jika dulu namanya ibu progresif revolusioner, sekarang konsep ibu adalah ibu yang radikal dan otonom.
Lalu di pengujung pemerintahan Suharto juga muncul Suara Ibu Peduli. Apakah penggunaan kata "ibu" di sini juga merupakan cara mendefinisikan konsep ibu pada masa itu?
Pengertian ibu di sana adalah simbolisasi menggeser konsep ibu yang didomestikasi selama Orde Baru, dieksploitasi oleh kapitalisme—lewat industri susu. Memang ada yang mengatakan bahwa penggunaan kata ibu adalah taktik karena lebih cenderung didukung. Selain itu, di mata rezim militer, kata ibu juga dianggap lebih lunak, sehingga pilihan kata tersebut bisa menyamarkan keradikalan gerakannya.
Tapi di kacamata saya, penggunaan kata ibu ini lebih dari sekadar taktik. Lebih jauh lagi, secara politik, Suara Ibu Peduli bertujuan mengangkat konsep ibu yang otonom. Inisiatif ini merupakan muara dari perjuangan LSM-LSM perempuan sebelumnya.
Selain Suara Ibu Peduli, perlu dilihat juga bagaimana ibu-ibu kembali terlibat menyokong mahasiswa-mahasiswa yang berdemonstrasi dengan menyediakan makanan yang mereka masak. Ingat seperti tahun 1945. Kembali, politik ibu.
Setelah reformasi, apakah pemaknaan ibu secara politik masih berlangsung?
Terus menerus, tapi tidak selalu memakai kata ibu setelah Suara Ibu Peduli. Istilah ini [ibu] kan timbul tenggelam. Setelah reformasi, ada dua arus utama gerakan perempuan. 22 Desember 1998 di Yogyakarta, diadakan lagi kongres perempuan di luar Kowani. Agenda pertamanya, mendorong partisipasi politik perempuan lewat affirmative action. Ini dilanjutkan oleh Koalisi Perempuan Indonesia. Agenda kedua, seiring dengan adanya kekerasan massal Mei 1998, gerakan perempuan mendesak Habibie untuk meminta maaf. Setelah itu, concern Habibie adalah membentuk Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Politik ibu juga terus dipakai, misalnya di Kendeng. Sebenarnya sebelum Kendeng, ada ibu-ibu di Sumatera Utara yang juga melawan saat tanah-tanah mereka mau diambil, ada para ibu pedagang pasar di Ciledug yang berdemo saat pasarnya digusur. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersentuhan dengan LSM perempuan. Secara spontan mereka melawan karena ranah penghidupannya direbut, baik yang terkait produksi maupun reproduksi sosial. Mereka ini tidak pernah ikut “training gender”.
Itu konsep ibu berpolitik sekarang. Sosok yang melawan, bukan yang didorong oleh kelas menengah perempuan. Ibu yang bergerak karena ranah produksi dan reproduksinya terancam. Tapi siapa yang memaknai mereka sebagai ibu berpolitik? Sayangnya, mereka masih dianggap outsider.
Meski demikian, bukan berarti semua kelompok ibu bergerak politis. Ada kelompok-kelompok yang menganut syariat, yang berusaha mengembalikan domestikasi perempuan; ibu yang dipoligini, ibu yang dikawin muda, dan ibu beranak pinak. Kembali muncul pertarungan antara ibu yang melawan dan ibu domestik. Maka menurut saya, gejala otoritarianisme muncul lagi dari kelompok agama. Pertarungan juga diramaikan oleh kelompok kapitalis seperti produsen bumbu masak yang masih mengamini konsep ibu domestik. Ekonomi politik, tidak sederhana.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar