oleh Muhammad Iqbal
| 09 Desember 2017
Kronik ’65: Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S sebelum hingga Setelahnya (1963-1971) (Media Pressindo, 2017)
Gerakan 30 September adalah sebuah misteri pembunuhan
yang pemecahannya akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah nasional.
Peristiwa itu menjadi salah satu topik yang kerap dibicarakan sejak era
Presiden Soeharto berkuasa.
Soeharto menyatakan orang-orang komunis melakukan kudeta
terhadap pemerintah Sukarno pada 30 September 1965. Pasca Soeharto tak berkuasa
lagi, orang-orang menuduh Soeharto yang melakukan kudeta terhadap Sukarno (Kammen dan McGregor, 2012).
Kudeta pertama memang dilakukan Partai Komunis Indoenesia
(PKI), yang merupakan buah kerja sama antara elite partai itu dengan faksi alam
tubuh Angkatan Darat, dan didukung pemerintah Republik Tiongkok (Liu, 2015).
Tentu saja, tidak ada anggota atau kader PKI diberi informasi
ihwal rencana kudeta itu. Rencana kudeta, di mana pun di jagat raya ini, tak
pernah disebarluaskan secara terbuka. Tidak diumumkan saja kudeta bisa gagal,
apalagi diumumkan.
Kudeta pada 30 September 1965 ternyata gagal. Mayor
Jenderal Soeharto lantas memerintahkan penumpasan orang-orang komunis dan
simpatisannya dengan memanfaatkan mandat pengamanan keadaan yang diberikan oleh
Sukarno pasca kudeta itu. Akibatnya, sang jenderal bertanggung jawab terhadap
pembantaian rakyat yang berlangsung sejak 1965 hingga 1966, dan diperkirakan
menelan korban setengah juta hingga tiga juta jiwa (Roosa, 2006).
Pembasmian orang yang dituduh PKI itu, di samping untuk
menghancurkan sebuah kelompok masyarakat yang berideologi tertentu, juga untuk
membuat takut sisa masyarakat lainnya, sehingga mereka tunduk dan patuh kepada
penguasa. Tentu saja, meminjam gagasan Jacques Semelin, praktik kekerasan ini dapat digolongkan
sebagai kejahatan genosida, seperti kasus holocaust di Eropa (Adam, 2004: 38).
Pembasmian orang-orang---atau yang dituding---komunis
belum berakhir. Pada 1969, lebih dari 12 ribu tahanan politik dibuang ke Pulau
Buru. Para tahanan politik itu terdiri dari veteran perang kemerdekaan,
intelektual terkemuka, seniman, para ahli berbagai bidang, dan bahkan
gelandangan (Setiawan, 2004).
Soeharto kemudian menahan Sukarno dalam sebuah rumah di
Jakarta, hingga meninggal dunia dengan menuduh proklamator kemerdekaan itu
sebagai komunis. TAP MPR Nomor 33 Tahun 1967 yang menetapkan bahwa Presiden
Sukarno bertanggung jawab terhadap G 30 S PKI dan melindungi tokoh-tokoh G 30 S
PKI tidak pernah dicabut sampai detik ini (Christanty, 2016).
Kudeta ini memuluskan jalan bagi Soeharto menjadi
presiden. Kala berkuasa, dia ditopang oleh negara-negara Blok Barat, yang
selanjutnya mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, sehingga memiskin dan
menindas rakyat (Simpson, 2008).
Kronik Pertama
tentang Peristiwa 1965
Kronik ’65: Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S sebelum hingga
Setelahnya (1963-1971) (Yogyakarta: Media Pressindo, 2017) yang
disusun oleh Kuncoro Hadi, dkk adalah kitab kronik pertama tentang topik
seputar peristiwa kelam 1965 dalam bahasa Indonesia.
Namun demikian, ia bukanlah kronik pertama perihal sebuah
periode. Sebelumnya, sudah ada Kronik Revolusi Indonesia (1945-1949) yang
disusun Pramoedya Ananta Toer dkk, dan Kronik Irian
Barat yang dihimpun Koesalah Soebagyo Toer. Selain itu, juga ada Kronik
Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008) yang ditulis Muhidin M. Dahlan dkk.
Kronik ’65 dimulai pada 1963 dan ditutup pada 1971.
Pada 1963 merupakan tahun peningkatan kegiatan PKI yang dijalankan secara
ofensif. Walau pada 12 Maret 1966, PKI telah dibubarkan dan bahkan sebelumnya
sudah ditumpas hingga ke akar-akarnya, namun di luar negeri, segelintir eksil
mengatasnamakan delegasi PKI di Tiongkok atau komite luar negeri PKI di Uni
Soviet, masih mengeluarkan dokumen hingga 1971 dan sesudahnya.
Pada buku ini terdapat kronologi dari jam ke jam pada 30
September malam hingga 4 Oktober 1965. Demikian pula dimuat reaksi dan sikap
banyak organisasi setelah meletusnya peristiwa itu.
Sepuluh sejarawan muda yang menulis Kronik ’65 ini
memfokuskan diri pada apa yang terjadi terhadap PKI dalam kurun 1963 hingga
1971. Termasuk detail apa yang terjadi pada akhir September, Oktober, dan
bulan-bulan setelahnya pada 1965.
Kronik ini juga memuat peristiwa-peristiwa yang
berkelindan dengan kelompok-kelompok antikomunis, pemerintah (termasuk figur
pribadi Presiden Sukarno), juga militer (terutama Angkatan Darat). Materi
kronik ini bersumber dari pelbagai literatur yang berkaitan dengan peristiwa
1965.
Sumber data yang terpenting adalah data-data inventaris arsip
Komando Operasi Tertinggi (KOTI), yang ada di Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI), serta berita-berita dari surat kabar-surat kabar yang tersimpan di
Jogja Library Centre, dan dari Pusat Informasi Kompas Yogyakarta.
Buku ini merupakan sumber sejarah yang akan mengajak
pembaca mengarungi samudera yang tak terduga guna memafhumi peristiwa
kelam G30S, sebelum meletus dan dampak setelahnya. Namun, untuk mengambil
simpulan dari hanya mengutip sebuah informasi tentu perlu sikap kritis dan
kecermatan nan mendetail.
Buku ini mungkin bisa dipakai sebagai satu koleksi sumber
rujukan sejarah. Namun, untuk mengambil simpulan dari sumber ini diperlukan
analisis kritis terhadap semua data yang disajikan di sini. Kita harus lihat,
misalnya siapa yang menulis dokumen-dokumen ini, dalam konteks apa dan untuk
siapa.
Kita juga tahu dari kasus kekerasan lainnya di seluruh
dunia, banyak peristiwa dan fakta yang tidak didokumentasikan di atas kertas.
Oleh karena itu, kiranya perlu bagi para sejarawan menyertakan sejarah lisan
untuk mengerti dengan baik penyebab kekerasan dan dampaknya terhadap individu
dan masyarakat.
Selain itu, di masa kontemporer yang semakin canggih
sekaligus penuh hoax (berita palsu) ini, semakin banyak informasi
yang diperoleh dari internet. Namun, hendaknya kritik sumber tetap
diberlakukan. Dus, sumber sejarah ini harus diinterpretasikan dalam satu
konteks yang lebih luas (sejarah global), termasuk dinamika Perang Dingin dan
pengaruhnya terhadap para pemain politik di Indonesia (Kurasawa, 2016).
Tak pelak lagi, buku setebal 986 halaman yang
pengerjaannya memakan waktu hampir setahun ini adalah sebuah inisiatif luar
biasa yang dapat menjadi terobosan penting bagi pengayaan informasi historis
terutama tentang peristiwa 1965. Kitab Kronik ’65 adalah mahakarya
kolektif generasi muda sejarawan Indonesia yang sangat laik dan penting untuk
dipelajari (*)
___
Kronik'65: Catatan Hari per Hari Peristiwa
G30 S Sebelum hingga Setelahnya (1963-1971)
Kuncoro Hadi, dkk
Media Pressindo
2017
Kuncoro Hadi, dkk
Media Pressindo
2017
Sumber: JurnalRuang
0 komentar:
Posting Komentar