December 15, 2017
Terlepas apapun ideologi politik yang kamu miliki,
menangkap WNI tanpa melalui proses hukum yang adil tanpa diberikannya
hak-haknya sebagai manusia merupakan bentuk kejahatan hukum. Persekusi yang
dilakukan dimasa itu mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan serta memberikan
celah untuk para penguasa disaat itu melanggengkan kekerasan dan menyebar
fitnah keji untuk membenarkan pelanggaran HAM yang terjadi.
Perempuan-perempuan dari segala umur yang aktif dalam
ranah sosial, kesenian hingga intelektual tertangkap dan dijadikan tahanan
politik dan diasingkan kekamp-kamp hingga bertahun-tahun lamanya. Selama masa
tahanan itu pula, perempuan-perempuan tersebut hidup dalam segala keterbatasan.
Namun dibalik keterbatasan itu pula mereka terus berkarya.
Berangkat dari kondisi batin yang hancur, tahanan-tahanan
perempuan tersebut mencari medium untuk meluapkan perasaannya. Musik menjadi
sarana untuk menyalurkan dan menuangkan isi hatinya yang penuh dengan
kegelisahan. Seperti Utati Koesalah yang ditangkap ketika ia berusia 22 tahun
di Jakarta, ia membayangkan apakah ibunya yang berada di kampung tahu ia ditangkap
atau tidak. Kerinduan akan ibunya ia tulis dalam lagu berjudul “Ibu” dimana ia
berupaya untuk mengingat-ingat kenangan manis yang ia miliki bersama ibunya.
Penangkapan terhadap ribuan orang dikamp-kamp ini
berdampak pada ribuan anak yang harus terpisah dari orangtuanya. Mereka harus
meninggalkan anak-anak yang masih kecil sehingga banyak anak-anak yang
dititipkan kesaudaranya yang terpencar. Berangkat dari rasa gelisah itulah
Heriyani Busono menuliskan lirik-lirik “Lagu Untuk Anakku” di kamp Ambarawa.
Lihatlah pagi cerah indah anakku
Lihatlah mawar merah merekah sayangku
Secerah pagi indah hari depanmu
Semerah mawar rekah harapanku
Dua derita kubawa setia
Cita dan cinta lahirkan s’gala
Nan indah di hari mendatang sayangmu
Jadilah putera harapan bangsamu
Selain itu lagu-lagu yang lahir dibalik jeruji besi juga
banyak yang lahir dari sebuah ironi. Tatkala kita berbahagia ketika sedang
berulang-tahun, banyak sekali tahanan yang tidak merasa bahagia ketika ulang
tahun. Sehingga muncullah lagu-lagu yang diciptakan sebagai penyemangat untuk
tetap memiliki harapan akan sebuah masa depan yang lebih baik.
Oleh karenanya Zubaedah Nungtjik AR yang ditahan di
penjara Bukit Duri, menciptakan lagu sendiri untuk menyambut teman-teman sesama
tahanan perempuan yang ulang tahun yang diberi judul “Salam Harapan”.
Bersama terbitnya matahari pagi
Mekar mewah mekarlah melati
Salam harapan padamu kawan
S’moga kau tetap sehat sentosa
Bagai gunung karang di tengah-tengah latan
Tetap tegak didera gelombang
Lajulah laju p’rahu kita laju
Pasti ‘kan mencapai pantai cita
Lusinan lagu tercipta dari ketidakberdayaan namun mereka
dengan segala cara berusaha untuk tetap bertahan dalam berbagai kondisi.
Lagu-lagu yang dihasilkan dibalik jeruji besi akhirnya didokumentasikan kembali
oleh Utati Koesalah selepas mereka keluar dari penjara. Ketika mereka bebas pun
mereka tidak lepas dari penjara stigma sosial yang harus mereka hadapi sebagai
mantan tahanan politik.
Walaupun stigma sosial tersebut melekat erat, hal ini
tidak menghentikan mereka untuk tetap menjalin silaturahmi antar sesama teman
sepenjara setelah mereka keluar dari penjara. Berkumpul diantara teman-teman
yang memiliki sejarah dimana keluarganya tertangkap menjadi sebuah cara untuk
mengobati luka lama. Selain itu, mereka tetap terus berusaha untuk berdaya
dengan terus melakukan kegiatan amal.
Karena seringnya mereka berkumpul, mereka tidak ingin
perkumpulanya menjadi sia-sia, alhasil mereka membentuk sebuah paduan suara
Dialita yang merupakan singkatan dari “Diatas Lima Puluh Tahun” karena yang
tergabung adalah perempuan-perempuan diatas usia 50 tahun. Dialita kemudian
meyanyikan lagu-lagu yang dihasilkan dari dalam penjara.
Dari lagu-lagu yang dikumpulkan dan dinyanyikan kembali
oleh Dialita, telah menarik banyak musisi muda seperti Bonita dan Kartika Jahja
bersama Institut Ungu untuk bergerak membuatkan konser berjudul Konser
Perempuan Untuk Kemanusiaan: Lagu Untuk Anakku yang digelar pada 13
Desember 2017 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Konser ini
berupaya menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan persahabatan yang diusung oleh
ibu-ibu Dialita.
Saya mendapatkan sebuah kesempatan berharga yang tak bisa
saya lewatkan untuk membantu konser tersebut. Walaupun kontribusi saya sangat
sedikit sebagai salah satu penggerak publikasi media sosial dan penerima tamu
saat acara, saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga mengenai
persahabatan, perdamaian dan solidaritas dari perempuan-perempuan yang ditahan.
Alasan saya berkerja secara sukarela untuk konser tersebut karena saya sangat
bersimpati atas tragedi yang menimpa mereka.
Konser yang melibatkan musisi seperti Sinta Nursanti,
Endah Laras, Junior Soemantri untuk turut menata ulang lagu-lagu Dialita,
sangatlah berkesan bagi saya, sebab tak akan ada lagi konser yang berupaya
mengangkat suara-suara penyintas perempuan yang haknya terampas oleh negara
yang sangat mereka cintai. Di era ketidakstabilan akan arah politik yang tak
menentu, konser ini menjadi harapan untuk saya bahwa masih ada yang perduli
akan kondisi kemanusiaan masa kini.
Apa yang terjadi pada perempuan-perempuan yang ditahan
sebagai tahanan politk, dapat terjadi pada saya dan siapa saja oleh karena itu
penting bagi saya untuk dapat membantu dan menunjukkan solidaritas saya. Mereka
adalah ibu saya, nenek saya, saudari saya, dan sebagai sesama perempuan dan
manusia sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk membantu meluruskan sejarah
serta memberi ruang kepada para penyintas untuk menemukan jalan rekonsiliasi
antar negara dan dirinya sebagai manusia.
Konser Dialita – Dokumentasi
Pribadi
Hingga hari ini pemerintah Indonesia masih tak mengakui
kejahatan yang dilakukan dimasa lalu. Bahkan setelah terselenggaranya
International People’s Tribunal untuk kasus pelanggaran HAM dimasa lalu,
pemerintah masih enggan untuk menemukan titik temu dan berdamai dengan
penyintas.
Oleh karena itu sudah tugas kita sebagai sesama manusia,
sebagai sesama perempuan untuk tetap terus bergerak bersama dan merangkul
mereka yang berada dalam posisi yang tak beruntung. Melalui medium diskusi,
film, teater hingga musik kita dapat membuka ruang diskusi yang berguna untuk
saling mengedukasi serta memberikan pemahaman agar menumbuhkan rasa kasih antar
sesama.
Sumber: DeaSafiraBasori
0 komentar:
Posting Komentar