Seniman adalah manusia bebas. Tapi di era Soekarno mereka harus memilih tempat untuk mengekpresikan karyanya. Ada yang ikut LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), ada yang ikut LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dan ada pula yang masuk Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia).
Celakanya, begitu negeri ini dilanda prahara politik tahun 1965, banyak seniman anggota dan simpatisan Lekra ditangkap dan dipenjara karena ditudub PKI. Padahal karya-karya mereka begitu bermakna bagi tumbuh suburnya jiwa nasionalisme. Satu diantaranya adalah Raka Suwasta, seniman lukis Bali yang dipenjara karena menjadi anggota Lekra.
Berikut ini penuturannya.
“Saya masuk Lekra karena ingin mengembangkan diri bersama para senior yang sudah punya nama seperti Jendra, Affandi, Sudjoyono dan beberapa lagi lainnya. Saya juga tidak peduli apakah Lekra itu bagian dari PKI sebab cita-cita total berkesenian,” ujarnya memulai cerita.
Dengan semangat ingin berkembang Raka melukis berbagai penderitaan rakyat dan tuntutan rakyat. Itulah yang coba diungkap lewat karya-karyanya tanpa sedikit pun memiliki rasa permusuhan dengan seniman lain yang tergabung dalam LKB dan Lesbumi.
“Waktu itu kita kumpul sama-sama. Bahkan bikin teater modern dan drama gong bareng. Saya bertugas di bagian dekorasi. Dari sana saya banyak belajar mengenai sastra dan cara main drama,” kata Raka yang sejak tamat SMA (1960) mulai belajar melukis, bikin patung dari tanah liat.
Ketika peristiwa 1965 Raka Swasta ada di Denpasar. Saat tidur lelap masa datang mengobrak-abrik. Sepeda motor miliknya dibakar. Tiga bulan kemudian (Desember) Raka ditangkap dan dipenjara di Trangiya.
“Tadinya saya khawatir dibunuh karena merasa tidak punya musuh. Tiap malam ada saja tapol yang diambil tentara dan diserahkan massa untuk dihajar sampai berdarah-darah. Setelah itu baru dikembalikan ke dalam sel,” ujar Raka di rumahnya Studio 2 Bajar Abian Semal yang teletak di Ubud.
Tahun 1958 Raka dibebaskan. Ia bekerja sebagai penggambar poster di sebuah bioskop. Karena Film mulai tidak laku ia pindah kerja jadi penggambar ramalah plutu (togel) setelah di tahun 1969 menikah dengan perempuan anggota PNI yang bapaknya penggemar sabung ayam.
Sampai sekarang saya tidak ngerti mengapa seniman seperti saya dan juga teman-teman lain ditangkap dan dipenjara. Padahal, saya hanya ingin mengembangkan bakat seni yang saya miliki demi kokohnya kebudayaan nasional yang kita miliki. Tapi sudahlah. Nasi sudah jadi bubur. Tak perlu disesali karena kita memang harus berdamai dengan diri sendiri lebih dulu sebelum berdamai dengan orang lain,” tutur Raka mengakhiri kisah hidupnya. (Roro}
Sumber: SyarikatIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar