Ilustrasi oleh: Yuniar Nurfitria
Pergulatan kesenian yang diolah menjadi alat perlawanan.
Memberi warna tersendiri dari perjuangan rakyat.
Judul buku itu Di Tengah Pergolakan Turba Lekra di Klaten. Isinya menceritakan pengalaman JJ Kusni—seorang seniman asli Dayak dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—ketika melakukan tugas turbanya. Membacanya serasa mendapat wasiat, langkah-langkah yang harus saya lakukan ketika Kuliah Kerja Nyata nanti. Meskipun, beda pula, kita hidup bukan di era turba macam Lekra, tapi turba di era millenial. Dari buku itu, cara-cara untuk mengenal rakyat atau masyarakat pedesaan yang terpencil pun secara detail dijelaskan.
Aturan Lekra memang tidak memperbolehkan senimannya membawa alat tulis, apalagi barang-barang aneh nan mewah. Itu juga yang dilakukan Kusni. Agar ia tidak berjarak dengan kaum tani. Tidak ada kecurigaan kalau-kalau nanti ia disangka mata-mata atau aparatus pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip yang diajarkan Njoto pendiri Lekra, yaitu prinsip tiga sama (sama makan, sama tidur, sama kerja). Gagasan Njoto inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep “turun ke bawah” atau “turba”.
Supaya inspirasi-inspirasi dalam seni mereka dapatkan langsung dari rakyat sebagai sumber seni. Kurang lebih seperti itu alasan Kusni menerapkan prinsip tersebut. Bukan hanya inspirasi, tapi mereka menamakan dirinya sebagai pekerja seni. Kerja-kerja seni Kusni lakukan sebagai bentuk sumbangsih, membantu perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap penguasa. Dalam konteks buku ini, perlawanan tersebut dilakukan tatkala bergejolaknya aksi sepihak petani di Klaten.
Rombongan-rombongan kesenian macam drama, nyanyi-nyanyian, tari-tarian, dan ketoprak digunakan untuk perlawanan sampai daerah terpencil sekalipun. Di bukunya, Kusni mengibaratkan pekerjaan tersebut sebagai hubungan timbal balik. Tidak hanya untuk mendapatkan inspirasi dalam gerakan, namun kerja seni yang dilakukan Kusni juga dimaksudkan untuk menambah gairah perlawanan petani. Bukan tong kosong yang nyaring bunyinya.
Namun jika kita melirik lebih jauh, kini memang bukan eranya kesenian macam Lekra. Apalagi yang lekat dengan arah ideologi kerakyatannya. Namun fragmen-fragmen gerakan kesenian tak pernah absen dari beragam arah. Komunitas-komunitas itu menghiasi tembok-tembok kokoh corong pertahanan rakyat dari semakin peliknya permasalahan. Walaupun memang, komunitas-komunitas ini ada di bawah tanah. Mereka mencoba untuk mengalahkan wacana dominan, atau seni yang terkooptasi dan tunduk akan kekuasaan. Seperti pada penggalan tulisan Angie Baxley di bukunyaSejarah Pergerakan Seni Radikal di dalam Transisi Kekuasaan Indonesia (1930-2000).
“Pada kenyataannya, era reformasi dengan keterbukaan dan demokratisasi, (kebebasan di dalam ruang umum) tidak dirasakan oleh komunitas seni berideologi. Pekerjaan komunitas-komunitas kecil berlanjut hampir diabaikan oleh wacana dominan.Kegiatannya kurang terdokumentasi dan terwakili dalam wacana ini, walaupun kontribusi mereka cukup besar dalam proses mewujudkan demokrasi.” tulis Angie.
***
Rontek-rontek itu diangkat tinggi. Macam-macam gambar satir nan tegas. Semua gambar menyiratkan derita kaum tani.
Salah satu dari sekian banyak gambar itu, ada gambar babi yang duduk di singgasana. diatasnya ada mata uang menyiratkan kerakusan akan kekuasaan dari si babi. Di depan rombongan peserta aksi, terpampang gambar wajah tiga petani dengan caping yang mereka kenakan. Itu semua menghiasi aksi di depan kantor DPRD Kota Kendal.
Desa Surokonto Wetan dirundung masalah pelik. Tiga petani yang berpuluh-puluh tahun hidup dari hasil hutan dijerat kasus hukum. Mereka ialah Nur Aziz (44 tahun), Sutrisno Rusmin (64 tahun), dan Mujiono (40 tahun). Namun, tidaklah semestinya kaum tani mati kutu dan tunduk pada congkaknya logika korporasi. Perlawanan itu coba dikobarkan melalui sumbu-sumbu kesenian dan gelaran budaya. Malam itu, alunan musik dan puisi-puisi menjadi lembaran kisah perlawanan yang coba digelorakan di Surokonto Wetan. Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (Sebumi) menjadi salah satu motornya.
Sebumi adalah kelompok seni yang berdiri tahun 2010. Sebelumnya, Sebumi bernama Serikat Pengamen Indonesia (SPI) yang didirikan saat orde baru berkuasa, tahun 1994. “Walaupun namanya pengamen, tapi yang kami garap dulu itu multi sektor, pengamen cuma identitas saja,” ujar Ibob Arief, Sekretaris Jenderal Sebumi saat ini.
Saya menjumpainya di sebuah angkringan daerah Wirobrajan. Ia terlihat sedang beristirahat melepas lelah seharian menghibur para napi di Lapas Pakem. “Seni dari Penjara,” begitu Ibob menamai sebuah bentuk seni perlawanan yang ia habis gelar di Lapas Pakem siangnya. Menurut Ibob, seniman harus punya ideologi dan konsep politik yang jelas. Apalagi jika berbicara revolusi dan perjuangan, harus lah berorganisasi.
“Kalau kami, seni itu tidak terlepas dari organisasi,” kata Ibob. “Antara organisasi dan seni itu harus seimbang, ada yang harus digarap oleh seniman, yaitu IPO”. IPO yang Ibob maksud adalah ideologi, politik, dan organisasi.
Ibob bersama Sebumi sudah setahun berjuang bersama warga Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal. Melawan semua bentuk perampasan tanah dan sengkarut konflik agraria. Kala itu Ibob dan kawan-kawannya sedang mempersiapkan gelar budaya yang diadakan tanggal 27 sampai 31 Maret 2017. Ia berencana membuat ogoh-ogoh setan tanah melambangkan para perampas tanah. “Ini dukungan kami ke warga. Supaya bisa meluaskan perlawanan,” imbuhnya.
Ogoh-ogoh ia buat dari anyaman ranting-ranting bambu. Tingginya sekitar enam meter. Selain itu ada juga parade memetik sawah sebagai simbol budaya warga, pameran seni rupa, launchingantologi puisi Sebumi, serta panggung musik. Semua kerja-kerja seni yang Sebumi lakukan melibatkan warga, seperti kala warga membuat teaternya sendiri. “Mesyarakat senang.Paling tidak olahan-olahan seni itu bisa membantu,” paparnya.
Ibob menuturkan bahwa inspirasi dari sebumi, tidak terpisah dari perjuangan rakyat. “Kesenian di Sebumi itu enggak ada yang mendayu-dayu. Menceritakan indahnya gunung, bumi, tapi kita mengolah terus, mengajak terus masyarakat lewat kesenian, kita juga gak boleh menganggap masyarakat itu bodoh terhadap kesenian,” lanjutnya.
Sebelum terjun bersama warga Surokonto Wetan, Sebumi juga terlibat lewat kerja-kerja seninya mengawal para petani Kendeng berjuang melawan berdirinya pabrik semen. Kini simpatisan Sebumi berjumlah 60 orang. Jaringannya tersebar di banyak kota. “Setiap anggota Sebumi itu sebagai corong propaganda,” kata Ibob. Mereka bahu membahu membangun kelompoknya secara kolektif. Pembiayaan untuk semua agenda-agendanya pun dilakukan dengan cara patungan. Ibob biasa menyebutnya “markipat” singkatan dari “mari kita patungan.”
Seperti halnya Ibob, Ucup dan kawan-kawan Taring Padi pun melakukan hal yang sama. Ucup adalah nama panggilan, sedangkan nama panjangnya yaitu Muhammad Yusuf. Rumahnya di daerah perkampungan. Agak sulit saya menemukan alamatnya. Tepatnya masuk daerah Dongkelan, Kabupaten Bantul.
Di rumahnya yang artistik, berjejeran karya seni ciptaannya, seperti seni cukil kayu, macam-macam lukisan, juga poster-poster. Bukan cuman sarat kritik sosial, tapi karya-karyanya juga punya nilai estetika seni yang tinggi. Ucup terlihat sangat berkonsentrasi saat mengamplas alat ukir. Hendak membuat karya seni cukil kayu katanya. “Ini biasa dipakai untuk sablonan kaos,” selanya di tengah obrolan. Perlahan ia pun mengukir kayu berdasarkan pola yang telah dibuat sebelumnya.
Taring Padi berdiri saat rezim orde baru hampir runtuh. “Semangatnya aktivisme 98,” kata Ucup. Konsepnya yaitu seni kerakyatan. Sistemnya kini sukarelawan. Hanya ada 12 seniman di Taring padi sekarang.
Penolakan warga akan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang membuat kelompok seniman macam Taring Padi ini ikut bergerak. Sebelumnya, langkah ini juga dilakukan Taring Padi tatkala menyeruaknya kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Workshop, karnaval, mural, musik, dan pentas budaya. Berbagai kegiatan ini biasa dilakukan Taring Padi di Batang. “Kita bikin solidaritas untuk masyarakat batang menolak PLTU,” kata Ucup. Ia berpikir bahwa memang pada dasarnya seni tidak akan merubah keadaan bagaimana pun peliknya. “Setidaknya seni bisa memberikan nuansa berbeda terhadap perlawanan. Perlawanan tidak hanya menjadi sesuatu yang terlihat kaku dan keras, tapi bisa juga terlihat manis, dan menarik buat semua orang,” tutur Ucup.
Menurut Ucup, seni bisa merubah keadaan kalau konteksnya lebih gigantis atau lebih besar. Tolak ukurnya bukanlah seni itu bisa menjadi tenaga fundamental dalam mengatur kuasa, tetapi bagaimana sebuah karya seni tidak bisa diukur tetapi bisa dirasakan. Terlebih jika dapat menginspirasi orang-orang untuk melakukan perubahan.
Kala itu Ucup menceritakan niatannya membuat sebuah tulisan. Ia membayangkan judulnya, Seni Telah Mati. Niatan itu muncul, karena ia menganggap bahwa kesenian sekarang sudah menjadi komoditas. “Sekarang juga banyak masyarakat yang melek seni, tapi seni digunakan untuk nilai-nilai ekonomi,” kata Ucup. Sedangkan, ia merasa media untuk membangun keresahan masyarakat dan membaca sehari-sehari kenyataanya cenderung berkurang.
“Yang ada sekarang seni sebagai komoditas, di banyak lini, di wilayah kesenian,” keluh Ucup berlanjut. Ia melihat seni tidak lagi berdiri menciptakan inspirasi, membuat metode yang berkesinambungan dengan masyarakat. Meskipun ada, tidak semasif seni yang terkooptasi oleh komoditas itu sendiri.
Dari apa yang dipandang dan ingin dituliskan oleh Ucup, saya melihat ia menyiratkan satu kritik terhadap seniman yang mengkapitalisasikan seninya dan jauh dari perannya terhadap perjuangan rakyat. Saya jadi teringat petikan kata-kata yang dilontarkan JJ Kusni di bukunya. Begini bunyinya:
“Sejenak saya melirik gadis di sampingku, mengabarkan tentang seorang ayah telah memancung kepala anaknya karena tidak tahan lagi mendengar tangis anak meminta makan. Sementara itu orang-orang dari “gudang beras” Karawang terpaksa menjual pintu dan atap rumah untuk bisa memperoleh sesuap nasi. Apakah keadaan begini akan mengetuk kepekaan hati sastrawan dan seniman, ataukah mereka masih saja asyik dengan diri sendiri, mabuk dengan seni dan keseniannya yang gaib dan asing dari kenyataan dan menganggap seni dan kesenimannya sebagai “anak raja” jika menggunakan istilah penyair Perancis, Paul Eluard. “Anak raja” atau “pangeran” yang jauh dari penduduk tapi merasa punya hak khusus.”
Gambaran pongah ala seniman itu Kusni coba kuliti dalam bukunya. Memang, dalam konteks waktu itu pertentangan antara “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni” sedang panas-panasnya. Antara kelompok Lekra dan kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu) contohnya. Namun, budaya kritik saling sikut itu mendasari ideologi yang mereka pegang. Tatkala Soekarno menekankan pentingnya Manifesto Politik (Manipol), itu pula yang menjadi landasan Lekra untuk teguh memegang prinsip politik sebagai panglima. Sedangkan Manikebu sebagai ujung tombak kelompok “seni untuk seni” tetap pada prinsipnya, memandang bahwa kesenian tidak bisa disatukan dengan politik.
Lantas, bermunculanlah lembaga kebudayaan atau kesenian macam Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) dari Nahdhatul Ulama (NU), dan Lembaga Kebudayaan Nasional dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Hal ini tidak lain menampilkan citra bahwa seni begitu cair dengan politik. Seni juga digunakan sebagai alat untuk menarik hati rakyat. Begitupun dengan Aidit yang sangat berkeinginan untuk menjadikan Lekra sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena seni, mempunyai daya tarik tersendiri.
***
Kini, pertentangan “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni” tersebut masih terlihat. Sama seperti apa yang dikatakan Saut Situmorang—seorang penyair. Puisi-puisinya berisi muatan kritik atas kebijakan-kebijakan penguasa terhadap rakyat tertindas. Selain jadi penyair, ia juga menjadi kurator, editor, dan kritikus sastra pada buletin Boemiputra sejak 2003. Banyak kritik-kritik yang ia ajukan pada penyair-penyair yang ia sebut Manikebuis—sebutan untuk banyak seniman yang tergabung dalam Manikebu.
Dengan terang ia mengkritik kelompok Teater Utan Kayu (TUK)-Salihara. Saut mengatakan bahwa hingga saat ini salah satu pusat dari ideologi seni yang masih mendominasi arus pergaulan seni di Indonesia adalah kelompok TUK-Salihara yang dikomandani oleh Goenawan Mohamad. Sementara Goenawan Muhammad dalah tokoh yang termasuk pada kelompok Manikebu.
Ia merasa dominasi kelompok TUK-Salihara sendiri bukan disebabkan oleh kedahsyatan mutu karya-karya yang mereka produksi, tapi lebih oleh kepemilikan modal dan media yang berupa majalah, koran dan galeri seni. Fungsi seni menurutnya bukan untuk menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat tapi merangsang agar perubahan tersebut bisa terjadi. Perubahan bisa berbentuk pencerahan rakyat atas kondisi negaranya dan hak-hak apa yang dimiliki oleh rakyat dalam menghadapi penindasan negara dan kapitalisme.
“Efeknya bisa dilihat dari makin sadarnya warga dunia seni Indonesia terutama sastra Indonesia atas politik seni yang dilakukan kelompok TUK-Salihara terutama di luar negeri,” papar Saut mengomentari dampak dari Boemiputra.
Saut melihat bahwa sekarang banyak berkembang kelompok-kelompok kesenian yang berbaur bersama rakyat dan bahu membahu melakukan perlawanan. “Untuk konteks negara dunia ketiga pascakolonial seperti Indonesia, sudah menjadi kewajiban semua elit Intelektual untuk memihak kepada rakyat, terutama kaum seniman,” papar Saut.
“Untuk kasus Konflik Agraria seperti di Urutsewu dan Pegunungan Kendeng, kita saksikan betapa komunitas seniman sangat aktif melibatkan dirinya membantu para petani yang sedang ditindas oleh negara dan kapitalisme,” lanjutnya.
Keberadaan seniman di tengah aksi perjuangan kaum petani di dua tempat tersebut, serta aksi-aksi lain yang dilakukan seniman seakan memberi peringatan kepada para penindas bahwa para petani tidak sendiri. Saut menilai bahwa perjuangan mereka sekaligus meluaskan penyebaran informasi tentang kedua konflik tersebut ke masyarakat luas terutama masyarakat kampus.
“Jadi, kewajiban artistik seniman bukan cuma menghasilkan karya seni seperti yang diyakini kaum seni untuk seni, tapi juga membantu siapa saja yang sedang mengalami penindasan atau ketidakadilan,” tungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar