Minggu, 10 Desember 2017
Merespons Pernyataan Hari HAM Presiden Joko Widodo: Jangan Hanya Sekadar Pengakuan Tanpa Langkah dan Kerja Nyata
Merespons Pernyataan Hari HAM Presiden Joko
Widodo: Jangan Hanya Sekadar Pengakuan Tanpa Langkah dan Kerja Nyata Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pernyataan
Presiden RI Joko Widodo yang mengakui bahwa penegakan HAM termasuk penuntasan
sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu masih menjadi PR
(pekerjaan rumah) pemerintah pada perayaan Hari HAM sedunia
di Solo (10/12/2017)[1] tidak lebih sekadar bahasa diplomasi
dan komunikasi politik untuk mendapat pemakluman dari publik.
Berkaitan dengan itu, pada hari yang sama
KontraS juga mengeluarkan Catatan Hari HAM untuk membuka fakta kepada publik
bahwa dalam realitasnya, KontraS justru melihat Presiden Joko Widodo tengah
menyandera dirinya sendiri dalam menuntaskan sederet peristiwa pelanggaran HAM
yang berat pada masa lalu dengan mengangkat figur yang diduga terlibat dan
bertanggungjawab atas sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa
lalu. Hal ini tentunya tidak lebih demi kepentingan stabilitas kekuasaan yang
juga merupakan tujuan dari bentuk kompromi politik. Presiden Joko Widodo juga
membiarkan Jaksa Agung dan Menkopolhukam mencari cara penyelesaian yang jauh
dari prinsip keadilan bagi korban dan mengenyampingkan mekanisme hukum yang
tersedia yang semestinya ditempuh oleh pemerintah.
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang
menyebutkan bahwa butuh kerja sama antara seluruh komponen baik pemerintah
pusat dan daerah, maupun elemen masyarakat untuk menghadirkan keadilan HAM,
keadilan sosial untuk masyarakat terkesan kontradiktif dengan nihilnya upaya
konkret dari pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo justru tidak mau
menggunakan otoritatifnya untuk mengambil langkah hukum dan politik. Sebagai
contoh misalkan, Presiden Joko Widodo tidak mau menerbitkan Keputusan Presiden
pembentukan membentuk Tim Pencarian Korban dan Pengadilan HAM kasus
penghilangan paksa, yang jelas sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM dan DPR,
Presiden Joko Widodo juga tidak mau memgumumkan hasil dokumen TPF Munir ke
Publik serta tidak adanya pernyataan untuk memastikan Jaksa Agung bekerja
sesuai koridor hukum untuk menuntaskan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang
berat pada masa lalu.
Tidak berlebihan kiranya komitmen dan janji
politik Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan sederet peristiwa pelanggaran
HAM yang berat pada masa lalu yang dituangkan melalui nawa cita untuk ditagih
kembali di sisa periode pemerintahannya dengan catatan bahwa Presiden Joko
Widodo harus secara langsung dan memberikan perhatian khusus dalam
pelaksanaannya. Beberapa hal yang harus dikerjakan oleh Presiden Joko Widodo
–sebagaimana dalam banyak kesempatan telah KontraS sampaikan bahwa Presiden
Joko Widodo harus segara mengambil langkah-langkah konkret dan implementatif,
yaitu :
Presiden segera membentuk Komite Kepresidenan
yang secara normatif telah disebutkan di dalam RPJMN 2014-2019 sebagai solusi
untuk menjembatani semua persoalan, dan mempercepat proses penanganan
pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk mempermudah Presiden dalam mengambil
kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam hal ini,
KontraS ingin menegaskan bahwa proses pembentukan Komite Kepresidenan harus
bersifat terbuka dan partisipatif yang melibatkan figur-figur yang
berintegritas, berpihak pada keadilan dan memiliki rekam jejak kredibel pada
isu kemanusiaan. Komisi ini juga harus berada dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden;
Presiden segera menerbitkan Keputusan Presiden
Pembentukan Pengadilan HAM kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan membentuk
tim pencarian korban penghilangan paksa sebagaimana telah diputuskan oleh DPR
dalam rekomendasinya terhadap Presiden RI;
Presiden harus segera mengevaluasi Jaksa Agung
dan Menkopolhukam yang justru menjauhkan atau menutup penyelesaian kasus kasus
pelanggaran HAM yang berat masa lalu, serta memerintahkan Jaksa Agung untuk
menyelesaikan penyidikan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa
lalu;
Presiden Joko Widodo menghentikan segala macam
bentuk upaya-upaya yang melenceng pada tujuan pemenuhan keadilan bagi korban
pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu yang tidak sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku dan berlandaskan konstitusi, salah satunya menolak
pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang diusulkan oleh Menkopolhukam,
Wiranto untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu;
Presiden mendukung KKR Aceh yang tengah
berjalan dalam bentuk kebijakan hukum dan politik, yang seharusnya saat ini
bisa menjadi ruang bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam
menuntaskan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu.
Terakhir, tanpa langkah konkret dan
implementatif dalam rangka menggunakan kewenangannya, Presiden Joko Widodo
lagi-lagi hanya sekadar menempatkan HAM pada kertas pidato yang dibacakan di
setiap peringatan Hari HAM sedunia atau bahkan janji yang disampaikan dalam
agenda-agenda kampanye politik. Pernyataan bahwa penegakan HAM “masih menjadi
PR pemerintah” termasuk pelanggaran HAM masa lalu, tidak akan pernah berubah
tanpa adanya langkah dan kerja nyata dari Presiden Joko Widodo, sebagaimana
slogan yang sering disampaikannya.
Jakarta, 11 Desember 2017.
Badan Pekerja KontraS,
YatiAndriyani
Koordinator
Koordinator
Sumber: KontraS.Org
0 komentar:
Posting Komentar