Reporter: Felix Nathaniel | 16 Desember, 2017
Presiden Joko Widodo menyematkan tanda pangkat kepada Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat upacara pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/12/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Salah satu janji Jokowi adalah merevisi UU Peradilan Militer.
Sejumlah aktivis hak asasi manusia merespons sikap Mabes TNI yang enggan prajurit TNI pelanggar hukum pidana umum diadili di peradilan nonmiliter. Mereka menilai, peradilan umum bagi anggota TNI merupakan amanat konstitusi yang mesti dilaksanakan.
"Peradilan umum bagi prajurit TNI yang melanggar pidana umum merupakan amanat TAP MPR No VII tahun 2000," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat dihubungi Tirto, Sabtu (16/12).
TAP MPR NO VII/2000 pasal 3 ayat 4 poin a serta UU TNI NO 34 TAHUN 2004 pasal 65 ayat 2 menyatakan pemisahan antara peradilan umum dan militer bagi prajurit TNI sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukan: "Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum."
Asfin mengatakan peradilan militer hanya berlaku bagi prajurit TNI yang melanggar aturan-aturan internal TNI. Menurutnya sangat mengherankan apabila peradilan militer turut mengadili pelanggaran pidana umum.
"Kalau militer mencuri, menabrak, masa mau dibawa ke peradilan militer? Itu, kan, menurunkan derajat peradilan militer," ujarnya.
Sejumlah kasus pidana umum yang melibatkan prajurit TNI dan diadili di peradilan militer cenderung merugikan masyarakat sipil. Hal ini karena proses peradilan militer selain berbelit, juga sukar untuk diakses. "Memang yang kami rasakan akuntabilitas proses yang sulit dijangkau prosesnya sudah sampai di mana, laporan di mana," katanya.
Asfin berharap panglima TNI memberi contoh dalam urusan mematuhi hukum. Ia mengatakan keengganan jajaran TNI mematuhi hukum akan menjadi preseden buruk di masyarakat untuk ikut tidak menaati hukum.
"Pejabat publik di TNI kan disumpah dengan sapta marga untuk patuh pada hukum, sudah saatnya TNI patuh hukum," ujarnya.
“Bukan TNI yang memutuskan itu, bukan Panglima yang memutuskan. Ini adalah negara, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden,” kata Usman saat dihubungi Tirto, Sabtu (16/12).
Usman setuju dengan pandangan Mabes TNI bahwa peradilan militer dan peradilan umum dijamin oleh konstitusi. Namun, menurutnya keliru jika Mabes TNI menjadikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sebagai dalil pembenaran menolak peradilan umum bagi prajurit TNI. Sebab, menurut Usman, dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinyatakan prajurit TNI yang melanggar pidana umum diadili di peradilan umum.
“Misal membunuh atau merampok atau memperkosa atau melakukan tindakan korupsi, ini tindakan hukum pidana khusus. Maka itu masuk ke jurisdiksi peradilan umum. Itu harus dipisahkan,” kata Usman tegasnya.
Usman mengatakan TNI mestinya tunduk pada Undang Undang Nomor 34 tahun 2004. Jika TNI bersikukuh menggunakan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 itu berarti yang dibuat pada masa Orde Baru, Usman mengatakan itu sama sajaTNI menunjukan sikap yang represif pada produk hukum hasil era reformasi.
“Undang-undang tentang Peradilan Militer (UU Nomor 31/1997) itu hasil dari Orde Baru. Itu berarti ada ketidakmauan dari TNI untuk mengubah sistem yang berlaku pada masa Orde Baru itu menjadi sistem pada reformasi,” kata Usman. "Dengan kata lain (TNI) menolak agenda reformasi.”
Usman menolak dalil Mabes TNI bahwa mereka sudah memiliki perangkat hukum untuk mengadili prajuritnya yang bersalah secara adil. Dari pengalaman Usman kasus-kasus kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan, terhadap sipil yang melibatkan TNI tidak pernah terselesaikan. Semuanya berakhir dengan diam-diam, entah mutasi anggota, penarikan diri dari wilayah tersebut, teguran, dan paling parah kurungan selama beberapa bulan. Artinya, para prajurit itu tidak mendapat mendapat hukuman setimpal dari peradilan militer.
Alih-alih mendapat hukuman para prajurit TNI yang melanggar hukum tak jarang malah mendapat kenaikan pangkat. Dalam beberapa kasus, atasan anggota atau perwira TNI yang bermasalah sering menutupi proses hukum terhadap prajuritnya. “Biasanya hanya mengatakan: sudah ditindak,” kata Usman.
Usman menyebut fenomena hukum di militer ini sebagai impunity atau impunitas anggota militer. Sistem ini meniadakan hukuman bagi anggota TNI atau pejabat TNI dalam tindak pidana umum atau tindak pidana hak asasi manusia. Sebab peradilan militer tidak memungkinkan bagi anggota TNI untuk diadili secara terbuka.
Usman mengambil kematian yang dialami La Gode, Warga Maluku Utara. Dari kesaksian istrinya, La Gode dibawa ke Pos Satuan Tugas Daerah Rawan Batalyon Infanteri Raider Khusus 732/Banau di bawah komando Korem 152/Baabulah dan Kodam XVI/Pattimura dan dianiaya hingga tewas di sana.
Kedua terduga pelaku merupakan anggota dan perwira TNI. Dari perkembangan terakhir, terduga pelaku sudah dibawa pergi untuk sementara dari Maluku Utara, tidak ada yang tahu perkembangan kasusnya hingga saat ini. Bila mereka dihukum sekalipun, tidak ada yang tahu karena pidana umum yang harusnya masuk ke ranah peradilan umum itu ditangani peradilan militer.
Meski demikian, Usman tidak sepenuhnya menyalahkan sikap Mabes TNI. Dia mengatakan meski UU Nomor 34 tahun 2004 membuka ruang bagi prajurit TNI diadili di peradilan umum namun dalam Pasal 74 dinyatakan selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, maka TNI tetap tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Bagi Usman Pasal 74 UU Nomor 34 tahun 2004 menunjukkan ketidakberanian otoritas terhadap militer di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden dan DPR sebagai lembaga eksekutif saat itu cenderung lemah, begitu pula dengan Menteri Pertahanan saat itu, Matori Abdul Djalil. Ia mengatakan seharusnya ada kemauan dari DPR dan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.
“Ini yang pernah terjadi pada tahun 2004 sampai tahun 2009 tetapi TNI saat itu menolak untuk menyerahkan kewenangan pemeriksaan terhadap anggota TNI yang melakukan hukum pidana umum atau pelanggaran ham ke yurisdiksi ke peradilan umum,” jelas Usman.
"Peradilan umum bagi prajurit TNI yang melanggar pidana umum merupakan amanat TAP MPR No VII tahun 2000," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat dihubungi Tirto, Sabtu (16/12).
TAP MPR NO VII/2000 pasal 3 ayat 4 poin a serta UU TNI NO 34 TAHUN 2004 pasal 65 ayat 2 menyatakan pemisahan antara peradilan umum dan militer bagi prajurit TNI sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukan: "Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum."
Asfin mengatakan peradilan militer hanya berlaku bagi prajurit TNI yang melanggar aturan-aturan internal TNI. Menurutnya sangat mengherankan apabila peradilan militer turut mengadili pelanggaran pidana umum.
"Kalau militer mencuri, menabrak, masa mau dibawa ke peradilan militer? Itu, kan, menurunkan derajat peradilan militer," ujarnya.
Sejumlah kasus pidana umum yang melibatkan prajurit TNI dan diadili di peradilan militer cenderung merugikan masyarakat sipil. Hal ini karena proses peradilan militer selain berbelit, juga sukar untuk diakses. "Memang yang kami rasakan akuntabilitas proses yang sulit dijangkau prosesnya sudah sampai di mana, laporan di mana," katanya.
Asfin berharap panglima TNI memberi contoh dalam urusan mematuhi hukum. Ia mengatakan keengganan jajaran TNI mematuhi hukum akan menjadi preseden buruk di masyarakat untuk ikut tidak menaati hukum.
"Pejabat publik di TNI kan disumpah dengan sapta marga untuk patuh pada hukum, sudah saatnya TNI patuh hukum," ujarnya.
Bukan Hak Panglima TNI Menolak
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat presiden dan wakil presiden merevisi aturan yang menghalangi proses peradilan umum bagi prajurit TNI.“Bukan TNI yang memutuskan itu, bukan Panglima yang memutuskan. Ini adalah negara, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden,” kata Usman saat dihubungi Tirto, Sabtu (16/12).
Usman setuju dengan pandangan Mabes TNI bahwa peradilan militer dan peradilan umum dijamin oleh konstitusi. Namun, menurutnya keliru jika Mabes TNI menjadikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sebagai dalil pembenaran menolak peradilan umum bagi prajurit TNI. Sebab, menurut Usman, dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinyatakan prajurit TNI yang melanggar pidana umum diadili di peradilan umum.
“Misal membunuh atau merampok atau memperkosa atau melakukan tindakan korupsi, ini tindakan hukum pidana khusus. Maka itu masuk ke jurisdiksi peradilan umum. Itu harus dipisahkan,” kata Usman tegasnya.
Usman mengatakan TNI mestinya tunduk pada Undang Undang Nomor 34 tahun 2004. Jika TNI bersikukuh menggunakan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 itu berarti yang dibuat pada masa Orde Baru, Usman mengatakan itu sama sajaTNI menunjukan sikap yang represif pada produk hukum hasil era reformasi.
“Undang-undang tentang Peradilan Militer (UU Nomor 31/1997) itu hasil dari Orde Baru. Itu berarti ada ketidakmauan dari TNI untuk mengubah sistem yang berlaku pada masa Orde Baru itu menjadi sistem pada reformasi,” kata Usman. "Dengan kata lain (TNI) menolak agenda reformasi.”
Usman menolak dalil Mabes TNI bahwa mereka sudah memiliki perangkat hukum untuk mengadili prajuritnya yang bersalah secara adil. Dari pengalaman Usman kasus-kasus kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan, terhadap sipil yang melibatkan TNI tidak pernah terselesaikan. Semuanya berakhir dengan diam-diam, entah mutasi anggota, penarikan diri dari wilayah tersebut, teguran, dan paling parah kurungan selama beberapa bulan. Artinya, para prajurit itu tidak mendapat mendapat hukuman setimpal dari peradilan militer.
Alih-alih mendapat hukuman para prajurit TNI yang melanggar hukum tak jarang malah mendapat kenaikan pangkat. Dalam beberapa kasus, atasan anggota atau perwira TNI yang bermasalah sering menutupi proses hukum terhadap prajuritnya. “Biasanya hanya mengatakan: sudah ditindak,” kata Usman.
Usman menyebut fenomena hukum di militer ini sebagai impunity atau impunitas anggota militer. Sistem ini meniadakan hukuman bagi anggota TNI atau pejabat TNI dalam tindak pidana umum atau tindak pidana hak asasi manusia. Sebab peradilan militer tidak memungkinkan bagi anggota TNI untuk diadili secara terbuka.
Usman mengambil kematian yang dialami La Gode, Warga Maluku Utara. Dari kesaksian istrinya, La Gode dibawa ke Pos Satuan Tugas Daerah Rawan Batalyon Infanteri Raider Khusus 732/Banau di bawah komando Korem 152/Baabulah dan Kodam XVI/Pattimura dan dianiaya hingga tewas di sana.
Kedua terduga pelaku merupakan anggota dan perwira TNI. Dari perkembangan terakhir, terduga pelaku sudah dibawa pergi untuk sementara dari Maluku Utara, tidak ada yang tahu perkembangan kasusnya hingga saat ini. Bila mereka dihukum sekalipun, tidak ada yang tahu karena pidana umum yang harusnya masuk ke ranah peradilan umum itu ditangani peradilan militer.
Meski demikian, Usman tidak sepenuhnya menyalahkan sikap Mabes TNI. Dia mengatakan meski UU Nomor 34 tahun 2004 membuka ruang bagi prajurit TNI diadili di peradilan umum namun dalam Pasal 74 dinyatakan selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, maka TNI tetap tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Bagi Usman Pasal 74 UU Nomor 34 tahun 2004 menunjukkan ketidakberanian otoritas terhadap militer di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden dan DPR sebagai lembaga eksekutif saat itu cenderung lemah, begitu pula dengan Menteri Pertahanan saat itu, Matori Abdul Djalil. Ia mengatakan seharusnya ada kemauan dari DPR dan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.
“Ini yang pernah terjadi pada tahun 2004 sampai tahun 2009 tetapi TNI saat itu menolak untuk menyerahkan kewenangan pemeriksaan terhadap anggota TNI yang melakukan hukum pidana umum atau pelanggaran ham ke yurisdiksi ke peradilan umum,” jelas Usman.
Janji Nawacita Jokowi-JK
Usman mengatakan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla mestinya turut bertanggung jawab membenahi tumpang tindih aturan peradilan bagi prajurit TNI. Hal ini sesuai dengan janji Nawacita yang pernah disampaikan keduanya saat kampanye pemilu presiden 2014.“Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah sata sumber pelanggaran HAM” – Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, Joko Widodo-Jusuf Kalla, 42 poin prioritas utama penegakan hukum.
Usman mengatakan Jokowi bisa mengawali langkahnya merevisi Undang-Undang Peradilan Militer tahun 1997 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Keputusan Presiden, ataupun pengajuan revisi undang-undang oleh DPR.
“Sekarang inilah ujian buat Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, apakah mau atau apakah bisa mengubah atau mengendalikan sikap TNI atau elemen dalam TNI dalam amandemen. Itu kuncinya di sana,” ujar Usman lagi. “Jika tidak dijalankan ya berarti dia ingkar janji atau dia tidak bisa mengendalikan sikap TNI kepada otoritas sipil dan mematuhi UU TNI,” kata Usman.
Harapan publik agar para anggota TNI yang melakukan pidana umum diadili di peradilan umum kembali menemui titik gelap. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jendral M.S Fadhilah memastikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tidak akan menyetujui anggotanya yang melanggar hukum diadili di peradilan umum.
“Terkait pemberitaan di berbagai media massa yang menyatakan Panglima TNI menyetujui kasus pidana oknum militer akan diselesaikan di peradilan umum adalah tidak benar,” kata Fadhilah dalam pernyataan yang tertulis di situs resmi TNI, Sabtu (16/12).
Fadhilah membantah panglima pernah menyatakan keinginan prajuritnya diadili di peradilan umum. Menurutnya sejumlah media salah dalam menangkap pernyataan Hadi.
“Adapun penjelasan Panglima TNI yang sebenarnya adalah kita yang jelas siapa yang salah kita adili, rasa keadilan harus ada. Kita sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM dan KUHP biar tidak ada pasal yang double. Dihukum di umum dituntut di militer. Tapi pada dasarnya kita akan tegakkan (hukum),” ujar Fadhilah.
Bagi TNI, peradilan militer berkedudukan setara dengan peradilan umum. Hal ini menurut Fadhilah sesuai dengan pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang dalam pemahaman Fadhilah menyatakan bahwa peradilan militer berkedudukan setara dengan peradilan umum berada di bawah Makamah Agung RI.
Bunyi utuh dari pasal itu sebenarnya adalah: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selain itu, Fadhilah menilai TNI telah memiliki perangkat hukum yang mapan dan mampu mewadahi serta menangani segala persoalan hukum yang melibatkan anggotanya. Ia juga menyatakan TNI merupakan organisasi yang memiliki kekhususan dalam pelaksanaan tugasnya (lex spesialis).
“Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sampai saat ini masih berlaku dan belum ada perubahan sehingga tindak pidana yang dilakukan oknum TNI dilaksanakan di peradilan militer," ujar Fadhilah.
Fadhilah meminta masyarakat percaya TNI menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menindak prajurit TNI yang berbuat dan bertindak indisipliner dan melanggar hukum. “Semoga dengan pelurusan melalui klarifikasi ini tidak terjadi bias dan menimbulkan interpretasi yang keliru di masyarakat,” katanya.
Sejumlah aktivis pegiat hak asasi manusia (HAM) sebelumnya sempat menaruh harapkan kepada Hadi agar mengizinkan prajurit TNI yang melanggar pidana umum disidang pada peradilan umum/sipil. Mereka berharap Hadi tidak sekadar basa basi dan pencitraan diri terkait wacana tersebut.
"Sejauh mana panglima baru ini bisa mengawal? Jangan sekadar wacana di atas awan saja. Sekadar mencari popularitas seolah demokratis dan progresif," kata mantan Koordinator Kontras Haris Azhar saat dihubungi Tirto, Selasa (12/12).
Haris mengatakan penegakan hukum menerapkan prinsip nondiskriminasi. Artinya hukum berlaku bagi semua orang tanpa ada pengecualian, termasuk anggota militer. "Penegakan juga harus didasari pada perbuatannya bukan pada soal siapa atau dari institusi mana," ujar Haris.
"Siapa pun yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang menjadi kompetensi Pengadilan Umum, maka harus dibawa ke Pengadilan Umum. Termasuk militer."
Meski begitu, Haris mengatakan peradilan militer tetap mesti dipertahankan eksistensinya. Namun fungsinya lebih bersifat internal sebagai upaya menghukum para pelanggar aturan disiplin militer. "Artinya pemidanaan khas pada masalah ketentaraan saja. Bukan pada masalah pemidanaan yang diatur dalam KUHP," kata Haris.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur juga menyatakan tidak ada undang-undang yang dilanggar apabila militer diadili oleh peradilan sipil. Hal ini sesuai dengan amanat perundangan seperti TAP MPR NO VII/2000 pasal 3 ayat 4 poin a serta UU TNI NO 34 TAHUN 2004 pasal 65 ayat 2 yang menyatakan: "Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum."
"Sejauh mana panglima baru ini bisa mengawal? Jangan sekadar wacana di atas awan saja. Sekadar mencari popularitas seolah demokratis dan progresif," kata mantan Koordinator Kontras Haris Azhar saat dihubungi Tirto, Selasa (12/12).
Haris mengatakan penegakan hukum menerapkan prinsip nondiskriminasi. Artinya hukum berlaku bagi semua orang tanpa ada pengecualian, termasuk anggota militer. "Penegakan juga harus didasari pada perbuatannya bukan pada soal siapa atau dari institusi mana," ujar Haris.
"Siapa pun yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang menjadi kompetensi Pengadilan Umum, maka harus dibawa ke Pengadilan Umum. Termasuk militer."
Meski begitu, Haris mengatakan peradilan militer tetap mesti dipertahankan eksistensinya. Namun fungsinya lebih bersifat internal sebagai upaya menghukum para pelanggar aturan disiplin militer. "Artinya pemidanaan khas pada masalah ketentaraan saja. Bukan pada masalah pemidanaan yang diatur dalam KUHP," kata Haris.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur juga menyatakan tidak ada undang-undang yang dilanggar apabila militer diadili oleh peradilan sipil. Hal ini sesuai dengan amanat perundangan seperti TAP MPR NO VII/2000 pasal 3 ayat 4 poin a serta UU TNI NO 34 TAHUN 2004 pasal 65 ayat 2 yang menyatakan: "Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum."
Aturan itu diperkuat dengan pasal 65 ayat 2 UU TNI juga menyatakan prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU.
Sayangnya sampai saat ini, militer belum pernah melaksanakan amanat tersebut. Oleh sebab itu, YLBHI mengapresiasi bila benar Hadi melaksanakan mandat undang-undang. "Ide Panglima TNI bukanlah hal baru, tapi itu adalah kewajiban UU. Kami mengapresiasi beliau serius melaksanakan Mandat Tap MPR dan UU TNI tersebut," kata Isnur.
Saat menggelar pertemuan dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Mabes TNI Cilangkap Hadi mengatakan tidak menutup kemungkinan anggota TNI yang melanggar hukum pidana disidangkan di peradilan umum atau sipil. Hadi menerangkan pengadilan militer akan mengadili siapapun yang bersalah.
Namun, selama ini penyelesaian kasus militer, meski melibatkan korban sipil, tetap ditangani oleh pihak polisi militer. Pengadilannya pun diadakan di pengadilan militer yang sifatnya tertutup.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar