22 December 2017
Pemerintah Bengkulu mengajukan Raperda yang terdengar menjanjikan: Perlindungan Anak dan Ketahanan Keluarga. Sayang, isinya tak terlalu menjanjikan. Meski belum final, menurut Raperda ini, perempuan dapat dikriminalisasi lantaran pakaian yang dikenakannya.
Ketua Komisi IV DPRD Bengkulu yakin betul mengatur pakaian perempuan sangatlah krusial untuk mengatasi angka pemerkosaan di Bengkulu yang mencapai 126 kasus sepanjang 2017.
Padahal, tema peringatan Hari Ibu tahun ini adalah ‘Perempuan Berdaya Indonesia Jaya’, yang salah satunya juga membahas kesetaraan hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara Pemda justru berencana untuk mendiskreditkan pilihan sadar perempuan dalam berbusana, alih-alih menangani pelaku dan mengedukasi laki-laki agar tidak memperkosa. Sudah hampir 2018, masih juga menyalahkan korban.
Pemerintah Bengkulu harus tahu bahwa perempuan bukanlah cuma daging dan tulang yang dibalut pakaian. Sebelum perempuan Amerika berhak nyoblos dalam pemilu, pada 1916, gerakan perempuan di Indonesia telah berani mengirimkan mosi kepada Pemerintah Belanda.
Sayangnya, 101 tahun sejak Putri Mardika mengajukan mosi kepada gubernur jenderal Belanda agar perempuan diperlakukan sama di mata hukum, rupanya tak banyak kemajuan terjadi di Indonesia terkait perlakuan negara terhadap warganya yang perempuan.
Anti-Kapitalisme, Poligami, dan Perkawinan Anak
Gerakan Perempuan di Nusantara semakin maju dan beradab paska mosi dari Putri Mardika. Bahkan, delapan tahun kemudian, Partai Komunis Indonesia (PKI) mencanangkan satu hari khusus untuk membahas peran gerakan perempuan melawan kapitalis dan kolonialis dalam Kongres PKI pada 7-10 Juni 1924.
Hari tersebut menjadi asal mula Kongres Perempuan yang dengan sengaja diubah menjadi Hari Ibu oleh Rezim Soeharto.
Pada Kongres PKI ke-5 tersebut, Raden Soekaesih dan Munapsiah, dua perempuan mantan anggota Sarekat Rakyat mengatakan bahwa perempuan harus berjuang jika tidak ingin disisihkan oleh kapitalisme. Menurut mereka, perempuan telah berjuang sejak zaman Majapahit, dan harus terus berjuang menolak menjadi kaki tangan kapitalisme. Jadi, kalo kamu mengaku laki-laki gerakan tapi masih mendiskreditkan peran perempuan dalam gerakan, coba referensi bacaannya ditambah.
Gerakan perempuan, terutama perempuan komunis, paska kongres di Jakarta ini dikabarkan sangat gigih dan militan. Hingga akhirnya, empat tahun kemudian, Ibu Suwardi (Nyi Hajar Dewantara), Ni Suyantin (Pemimpin Puteri Indonesia dan Pamong Taman Siswa), dan Nyonya Sukonto (guru His, anggota Wanito Utomo) berhasil memprakarsai pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928.
Seperti halnya Kongres Pemuda, Kongres Perempuan Indonesia juga lintas politik, suku, dan agama. Fatayat, Wanita Katolik, dan Putri Mardika hanyalah sebagian dari kelompok yang hadir.
Karena itu, kalau 2017 kamu masih rasis dan menunjuk-nunjuk orang lantaran agamanya, jelas kamu kalah progresif dari ibu-ibu Indonesia 100 tahun lalu.
Kongres pertama ini sudah mulai membahas persoalan-persoalan perempuan yang tak kunjung terpecahkan hingga 2017, antara lain soal pendidikan bagi perempuan, perkawinan anak, kawin paksa, hingga permaduan (poligami).
Tak hanya sekadar ngobrol-ngobrol dan selesai di kongres saja, cuma butuh waktu tiga hari bagi perempuan-perempuan gigih ini untuk memberikan mosi-mosi berbeda bagi Pemerintah Belanda dan Pengadilan Agama.
Kepada Pemerintah Belanda, kongres salah satunya meminta penambahan jumlah sekolah perempuan. Sementara bagi Pengadilan Agama, kongres antara lain menegaskan agar talak (cerai) dibuat dalam bentuk tertulis.
Meski kongres-kongres selanjutnya masih berkutat dalam persoalan yang sama terkait poligami dan perkawinan anak (yang masih menjadi masalah hingga saat ini), kongres perempuan pun tak lepas dari pekik kemerdekaan saat Soekarno ditangkap Belanda di Yogyakarta. Meski kongres digeledah polisi dan hampir dilarang, kongres berhasil ditutup sebelum dibubarkan.
Hari Kebangkitan Perempuan Hari Ibu
Paska kejadian tersebut, Kongres Perempuan terus diadakan setiap beberapa tahun sekali, hingga pada 1938 kongres di Bandung menetapkan tanggal pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember sebagai Hari Kebangkitan Perempuan.
Pada 1959, pemerintah menetapkan Hari Kebangkitan Perempuan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959), sebelum akhirnya Soeharto mengubah Hari Kebangkitan Perempuan menjadi Hari Ibu.
Tanpa hendak mendistorsi peran ibu yang bahkan berlipat-lipat sulitnya lantaran banyak banget yang suka nyinyir soal cara mengurus anak, pengubahan nama tersebut jelas tak mewakili semangat perempuan dalam kongres-kongres dan perjuangan perempuan 100 tahun lalu.
Semangat Hari Ibu yang banyak diasosiasikan dengan Mother’s Day jelas tidak sama dengan semangat bangkitnya perempuan untuk bersatu dan menentukan nasib bangsanya sendiri.
Gerakan perempuan yang berorientasi pada kepentingan proletar dan perempuan sebagai kelompok yang termarjinalkan secara sistemis terdistorsi oleh pemaknaan baru ini.
Gerakan perempuan dalam pembentukan bangsa ke arah kemerdekaan banyak dikurangi, atau bahkan dihapus dalam penuturan sejarah Indonesia. Kalupun ada, lebih banyak ditegaskan dalam wilayah domestik seperti perawat dan dapur umum.
Meski perawatan dan dapur umum tak kalah penting, narasi ini tentu memberikan bias terhadap perkembangan gerakan politik di Indonesia menjadi semata wacana laki-laki. Hal ini bisa jadi berkontribusi terhadap minimnya jumlah keterwakilan perempuan di politik dan pemerintahan.
Oleh sebab itu, meski saya tak menentang perayaan Hari Ibu, hari ini saya hendak mengucapkan selamat Hari Kebangkitan Perempuan untuk ibu, calon ibu, dan mereka yang tak hendak menjadi ibu.
Sebagai bentuk terima kasih kepada perempuan-perempuan hebat yang dulu berjasa membuat Hari Ibu terlaksana, sudah sepantasnya kita memberikan narasi yang adil bagi intelektual Gerwani dan PKI, tanpa hoax, tanpa narasi rezim otoriter.
Sumber: VoxPop
0 komentar:
Posting Komentar