Reporter: Patresia Kirnandita | 22 Desember, 2017
Ilustrasi Kongres Perempuan Pertama. tirto.id/Gery
- Rekam historis menunjukkan, kelahiran Hari Ibu di negeri ini tidak lepas dari semangat pergerakan perempuan.
Sutra berpilin.
Rajutan kekuatan
kembang pertiwi.
Rajutan kekuatan
kembang pertiwi.
Bukan bunga, bukan peluk cium dari keluarga, bukan pula lagu-lagu cinta yang diberikan untuk para mama pada momen yang kelak disebut sebagai cikal bakal Hari Ibu di Indonesia. Hari itu, di hadapan sekitar 1.000 hadirat, sebuah panembrama dilantunkan.
“Dengan harapan selamat, paduan suara ini, Panitia Congres Wanito di seluruh Hindia. Yang menjadi awal maksud adalah membicarakan dunia wanita. Jalannya kemajuan umum, membutuhkan kita semua. Menjadi kewajiban utama bagi wanita dalam segala hal, bersatu dalam dunia dan rasa, semua wanita di Hindia…”
Tepat hari ini 89 tahun yang silam, perwakilan organisasi-organisasi perempuan berkumpul di Yogyakarta untuk membahas sejumlah isu terkait kesejahteraan kaum mereka. Dalam Kongres Perempuan Indonesia: Tinjauan Ulang (2007) yang disusun Susan Blackburn tertulis, seorang perempuan lajang yang kala itu baru berusia 21, Soejatin, berinisiatif menggelar Kongres Perempuan pertama yang mempertemukan kelompok-kelompok beraneka latar belakang. Ia berhasil mengajak beberapa ibu dari kalangan atas dan mapan seperti R. A. Soekonto dari Wanito Oetomo—yang kemudian menjabat sebagai ketua kongres—dan Nyi Hadjar Dewantara dari Taman Siswa.
Setahun setelah Kongres Perempuan Indonesia I digelar, 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu. Beberapa dekade setelahnya, Sukarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional bukan hari libur lewat Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959.
Ada macam-macam wacana yang dibahas dalam Kongres Perempuan Indonesia I. Mulai dari perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, taklik (perjanjian) dalam pernikahan Islam, poligami, hingga tunjangan untuk janda dan anak yatim. Kritik terkait cara pandang terhadap perempuan juga dibahas dalam kongres ini, salah satunya disampaikan Tien Sastrowirjo.
Ia bercerita, sewaktu hendak menghadiri kongres, ada seseorang berkata kepadanya, “Orang perempuan saja, kok, mengadakan kongres. Apa yang hendak dibicarakan di situ? Tidak lain hanya hendak bergunjing tentang mertuanya, tetangganya, banyaknya gaji suaminya, dan lain-lain.” Tien tidak menanggapinya.
Lebih lanjut dalam pidatonya, ia menekankan betapa penting bagi perempuan untuk bergerak mendobrak adat, sistem pendidikan, dan aturan-aturan lain yang membuat mereka takut, patuh, dan didominasi laki-laki.
Sementara itu, dalam momen yang sama, R. A. Soekonto menyampaikan sebanjar kewajiban perempuan dalam rumah tangga seperti perempuan harus rajin, cekatan dalam bekerja, menghemat, sopan, berbudi teguh, dan pintar dalam segala bidang. Ia juga menyebut sejumlah pekerjaan domestik yang semestinya dilakukan perempuan.
Keragaman pandangan para peserta, dari yang cenderung "konservatif" sampai "progresif", sebenarnya mencerminkan zeitgeist (semangat zaman). Gerakan emansipasi dan konsep kesetaraan gender seperti yang kita pahami sekarang tentu saja tidak bisa dijadikan patokan untuk memandang zaman itu.
Kendati demikian, inisiatif yang tercetus pada 1928 tetap merupakan titik krusial bagi kemajuan perempuan Indonesia. Seiring dengan semangat Sumpah Pemuda yang dicetuskan beberapa bulan sebelum kongres digelar, pertemuan organisasi-organisasi perempuan ini pada akhirnya menumbuhkan solidaritas di antara mereka yang sebelumnya beraktivitas secara terpencar.
Memandang Ibu dari Masa ke Masa
Memang hampir mustahil mendefinisikan peran ibu secara tunggal dari konteks waktu yang berbeda. Kendati stigma ibu yang hanya menjalankan fungsi domestik masih dominan, citra-citra ibu alternatif terus tumbuh dan menjalar.Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010), Saskia E. Wieringa menyatakan, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)—yang muncul pada pertengahan abad ke-20—telah melakukan gebrakan revolusioner: mencampurkan sosok Srikandi yang progresif dengan peran tradisional perempuan sebagai ibu.
Gerwani menentang keras cara pandang perempuan sebagai pelengkap suami. Bagi mereka, untuk melenyapkan pemahaman macam itu adalah dengan menyediakan akses pendidikan bagi kaum perempuan.
Lewat kolom "Mak Ompreng" di majalah Api Kartini, Gerwani melancarkan kritik terhadap pola pikir yang menyisihkan kedudukan perempuan. Beberapa di antaranya adalah tentang penyebutan “Bapak Anu dan istri” pada kartu-kartu undangan, aturan dan kebiasaan yang mesti diikuti ibu negara, dan embel-embel nama suami yang menyertai penyebutan nama seorang perempuan menikah.
Gerwani juga menilai, mengurus anak dan mendidik mereka memang tanggung jawab ibu, tetapi dalam mendidik, seorang ibu sepatutnya menanamkan semangat patriotisme. Lebih lanjut, kepentingan anak-anaklah yang seharusnya mendorong para ibu untuk terlibat aktif dalam politik.
Semangat revolusioner yang dibawa Gerwani mesti pupus seiring penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak 1965. Beralih ke era Soeharto, peran ibu ditafsirkan lewat program-program pembangunan Orde Baru dan organisasi bentukan pemerintah macam Panca Dharma Wanita Kowani.
Menariknya, Kowani merupakan turunan dari Perikatan Perempoean Indonesia, badan permufakatan yang terbentuk setelah Kongres Perempuan I. Di awal pembentukan, Kowani adalah federasi yang memayungi kepentingan berbagai organisasi perempuan. Namun ketika Soeharto berkuasa, menurut Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011), independensi Kowani kian tergerus.
Budaya ikut suami kian lekat dalam definisi peran ibu semasa Orde Baru. Ibu yang semula diajak aktif berpolitik oleh Gerwani, perlahan tapi pasti disingkirkan dari ranah politik. Memang benar, selalu disebut bahwa perempuan harus turut serta dalam pembangunan negara, tetapi ia tidak pernah dilepaskan dari predikat pendamping suami.
Pidato Tien Suharto di Istana Negara kepada para istri peserta Rapat Kerja Gubernur, Bupati, dan Walikotamadya se-Indonesia yang dikutip majalah Selecta tahun 1977 meneguhkan hal ini.
“Saat ini saya merasa sangat gembira […] karena saya berada di tengah-tengah para ibu yang dengan setia telah mendampingi dan memberikan dukungan kepada suami dalam melaksanakan tugasnya […] Kaum wanita dan kaum ibu harus mengambil bagian dalam pembangunan ini. Tentu saja kita harus dapat memilih dengan tepat bidang apa yang mampu dan sewajarnya ikut ditangani oleh kaum wanita,” kata ibu negara.
Ada pula pidato Suharto pada peringatan Hari Ibu tahun 1978 di Balai Sidang Senayan yang menyebutkan, “[…] betapa pun kemajuan yang ingin dicapai kaum wanita, namun kaum wanita tidak ingin kehilangan sifat-sifat kewanitaan dan keibuannya. Kemajuan wanita Indonesia haruslah berarti penyempurnaan sifat dan kodratnya sebagai wanita, sebagai Ibu. Wanita yang kehilangan sifat dan peranan kewanitaan dan keibuannya pasti tidak akan mengalami kebahagiaan sejati.”
Kata-kata seperti "kodrat" dan "kewajiban" menjadi senjata Orde Baru untuk mereduksi peran para ibu. Aktivitas perempuan begitu terkontrol ketika itu, semangatnya didikte dan diseragamkan. Tidak hanya kepada istri pegawai negeri, tetapi juga pada masyarakat luas lewat pembentukan PKK.
Domestikasi perempuan yang dilakukan Orde Baru pada akhirnya kian menjauhkan para ibu dari semangat awal Kongres Perempuan Indonesia. Glorifikasi diberikan kepada sosok ibu yang manut suami, tidak berkoar-koar soal politik, berlaku sesuai "kodrat"-nya sebagai pengurus rumah tangga.
Bahkan hingga kini, imaji peran ibu yang dibentuk Orde Baru masih bertahan. Hari Ibu sering kali hanya diidentikkan dengan ekspresi kasih dan apresiasi terhadap jasa seorang ibu dalam peran domestiknya.
Peran Ganda Ibu dan Kritik-kritiknya
“[…] sudah pasti perkataan saya ini tidak bermaksud melepaskan perempuan Indonesia dari dapur. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum. Artinya, perempuan tidak menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki,” demikian petikan pidato pembukaan Kongres Perempuan Indonesia I yang dibacakan Ketua Kongres.Jika pidato semacam ini dibacakan pada abad ke-21, boleh jadi sebagian perempuan mengernyitkan dahi mendengar bagian tidak bermaksud melepaskan perempuan Indonesia dari dapur. Pernyataan tersebut meneguhkan bahwa perempuan memang seyogyanya mengemban beban ganda: di satu sisi terlibat aktif dalam pergerakan atau aktivitas di ranah publik lainnya, sementara di lain sisi, ia mesti bertanggung jawab atas urusan domestik.
Pembagian peran gender secara tradisional inilah yang dipertentangkan sebagian feminis saat ini. Mereka berkampanye melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu stereotip semisal kewajiban atau “kodrat” mengurus rumah.
Bukti lain peneguhan peran ganda perempuan terlihat dari pernyataan seorang perempuan asal Bandung, yang dinobatkan sebagai pemenang kompetisi esai pada Hari Ibu tahun 1953. Dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian (2008) tercantum, si pemenang esai menulis, “[…] tugas mengatur rumah tangga adalah tugas ibu; ia yang membesarkan dan mengurus anak-anak, menjaga kesejahteraan keluarga, dan mempersembahkan dirinya untuk kepentingan masyarakat.”
Tanggung jawab berlapis yang dimiliki perempuan tak pelak membuat orang-orang menilai betapa mulianya jasa seorang ibu. Karena itulah apresiasi khusus perlu dihaturkan kepadanya dalam bentuk peringatan Hari Ibu.
Namun yang kerap luput diperhatikan, di balik glorifikasi terhadap ibu setiap 22 Desember, ada sosok-sosok perempuan yang sedang berjuang sekuat tenaga, bahkan mungkin tertatih-tatih untuk menjalankan pelbagai peran yang disematkan kepada mereka.
Kritik terhadap upaya penerapan peran tradisional perempuan yang dibentuk semasa Orde Baru juga dilancarkan Julia Suryakusuma. Menurutnya, domestikasi yang implisit lewat pembentukan sejumlah organisasi nasional dan penerapan program-programnya menghasilkan penjinakan, segregasi, dan depolitisasi kepada perempuan.
Sejalan dengan tesis Julia, Kartini Sjahrir juga menemukan kelemahan-kelemahan dari penerapan peran ganda wanita pada masa Orde Baru. Dalam catatan antropologisnya yang dimuat di jurnal Prisma tahun 1984, ia menyoroti, sekalipun dalam program pemerintah kerap kali disebutkan perempuan turut serta dalam pembangunan, mereka tetap tidak bisa ikut dalam proses-proses produksi. Selain itu, perempuan juga dikaitkan dengan sifat dan jenis pekerjaan tertentu yang dikatakan sesuai "kodrat" mereka.
Lebih lanjut Kartini berpendapat, konsep peran ganda perempuan era Orde Baru merupakan strategi dalam upaya perempuan memperoleh tempat yang lebih kukuh di masyarakat dan keluarga ketika dirinya belum leluasa menjajal ranah publik. Kalaupun mereka terlibat dalam organisasi macam Dharma Wanita, bukan berarti mereka bisa berposisi sepadan dengan laki-laki. Justru sebaliknya, agenda organisasi ini adalah menyokong suami dalam menjalankan tugas, sementara para ibu tetap di balik punggung laki-laki.
Bagaimana menjadi ibu yang ideal pada akhirnya menjadi perdebatan tak berujung di masyarakat. Sebagian mengikuti normativitas yang bersumber dari agama atau budaya, sisanya percaya bahwa seorang ibu juga manusia yang punya kebebasan dalam memilih peran.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar