Reporter: Petrik Matanasi | 18 Desember, 2017
Sebelum menjadi petinggi PKI, Njono
berkecimpung di organisasi buruh
Dianggap mengerahkan
massa pemuda untuk operasi militer terkait G30S, bekas aktivis buruh ini
divonis mati.
Pria bernama Njono itu tetap tenang saat diperiksa. Dalam dokumen
pemeriksaannya, seperti terbukukan dalam G-30-S, "Gerakan 30
September" dihadapan MAHMILLUB.: Perkara Njono (1967), ia
tercatat lahir di Cilacap, 28 Agustus 1925. Tempat tinggalnya di Gang
Sentiong Kramat Pulo Dalam, nomor 147 Jakarta. Sementara itu, kolom agama
ditulisi: “Tidak beragama.”
Selaku Ketua Komite Partai Komunis Indonesia (PKI) Jakarta Raya, Njono “akan mengerahkan kekuatan para militer cadangan yang terdiri dari 2.000 anggota Pemuda Rakyat, yang sedang menjalani latihan militer oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Lubang Buaya, yang bisa diperbantukan pada perwira-perwira revolusioner saat menghabisi para jenderal.” Demikian Sudisman menuturkan keputusan rapat, seperti dikutip Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: sebuah studi tentang konspirasi(2005)
Bahkan, menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008), “Njono telah mengerahkan 2.000, umumnya dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakyat, untuk bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi militer.” Itu kenapa Njono harus jadi pesakitan dalam persidangan pasca-G30S, peristiwa yang menyebabkan kematian 6 perwira tinggi Angkatan Darat.
Di sekeliling Njono, banyak anak buahnya di Pemuda Rakyat, juga orang-orang yang dicap sebagai simpatisan PKI, diperiksa sambil digebuki. Sutradara nasional dan aktivis Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Misbach Yusa Biran, berada di lokasi untuk merekam suasana pemeriksaan massal tahanan PKI dan yang dianggap PKI. Mereka diinterogasi di penjara-penjara sekitar Jakarta.
“Saya melihat betapa tangguhnya mereka dalam mempertahankan keyakinannya. Biar dipukuli bagaimana pun tetap tidak mau buka rahasia. Nyono, Ketua Pemuda Rakyat juga bukan main tenangnya dalam menghadapi interogasi. Seperti dia sedang ngobrol di warung kopi, padahal di sekitar bukan main ramainya suara pemeriksa menanyai anak buah dia,” tulis Misbach Yusa Biran dalam memoarnya Kenang-kenangan Orang Bandel (2009).
Ketika ditanya petugas, Njono bersikap lebih santai dibanding tahanan lainnya. Setelah Misbach merekam tanya jawab antara Njono dengan petugas, Njono bercanda kepada Misbach, mengatakan ia meminta honor.
Misbach yang belum paham maksud Njono, bertanya balik: ”Honor apa?”
”Kan syuting film,” jawab Njono, sambil tersenyum.
Begitulah cara mantan Sekretaris Jenderal Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menghadapi hari-hari terakhirnya. Berada di bui di tahun 1965-1966 itu bukan kali pertama bagi Njono. Menurut Ensiklopedia Indonesia - Volume 3 (1954), Njono Prawiro pernah “ditangkap oleh sebab tersangkut paut dalam perebutan kekuasaan di akhir bulan Juni 1946.” Kemungkinan besar, peristiwa yang dimaksud adalah Kudeta 3 Juli 1946.
Selaku Ketua Komite Partai Komunis Indonesia (PKI) Jakarta Raya, Njono “akan mengerahkan kekuatan para militer cadangan yang terdiri dari 2.000 anggota Pemuda Rakyat, yang sedang menjalani latihan militer oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Lubang Buaya, yang bisa diperbantukan pada perwira-perwira revolusioner saat menghabisi para jenderal.” Demikian Sudisman menuturkan keputusan rapat, seperti dikutip Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: sebuah studi tentang konspirasi(2005)
Bahkan, menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008), “Njono telah mengerahkan 2.000, umumnya dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakyat, untuk bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi militer.” Itu kenapa Njono harus jadi pesakitan dalam persidangan pasca-G30S, peristiwa yang menyebabkan kematian 6 perwira tinggi Angkatan Darat.
Di sekeliling Njono, banyak anak buahnya di Pemuda Rakyat, juga orang-orang yang dicap sebagai simpatisan PKI, diperiksa sambil digebuki. Sutradara nasional dan aktivis Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Misbach Yusa Biran, berada di lokasi untuk merekam suasana pemeriksaan massal tahanan PKI dan yang dianggap PKI. Mereka diinterogasi di penjara-penjara sekitar Jakarta.
“Saya melihat betapa tangguhnya mereka dalam mempertahankan keyakinannya. Biar dipukuli bagaimana pun tetap tidak mau buka rahasia. Nyono, Ketua Pemuda Rakyat juga bukan main tenangnya dalam menghadapi interogasi. Seperti dia sedang ngobrol di warung kopi, padahal di sekitar bukan main ramainya suara pemeriksa menanyai anak buah dia,” tulis Misbach Yusa Biran dalam memoarnya Kenang-kenangan Orang Bandel (2009).
Ketika ditanya petugas, Njono bersikap lebih santai dibanding tahanan lainnya. Setelah Misbach merekam tanya jawab antara Njono dengan petugas, Njono bercanda kepada Misbach, mengatakan ia meminta honor.
Misbach yang belum paham maksud Njono, bertanya balik: ”Honor apa?”
”Kan syuting film,” jawab Njono, sambil tersenyum.
Begitulah cara mantan Sekretaris Jenderal Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menghadapi hari-hari terakhirnya. Berada di bui di tahun 1965-1966 itu bukan kali pertama bagi Njono. Menurut Ensiklopedia Indonesia - Volume 3 (1954), Njono Prawiro pernah “ditangkap oleh sebab tersangkut paut dalam perebutan kekuasaan di akhir bulan Juni 1946.” Kemungkinan besar, peristiwa yang dimaksud adalah Kudeta 3 Juli 1946.
Siapakah Njono? Namanya adalah Njono Prawiro, putra seorang pegawai jawatan kereta api, Sastrodiredjo. Menurut catatan Nugroho Notosusanto, dalam Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (1989), “ayahnya pensiunan buruh kereta api, yang saat itu tinggal di Yogyakarta.” Dalam keluarganya itu, “Njono adalah anak laki-laki pertama.”
Beruntung, anak buruh kereta api ini bisa masuk sekolah dasar, meski tak elit. Di usia sekitar 7 tahun, “tahun 1931, Njono masuk Sekolah Rakyat Taman Siswa (Taman Muda), yang diselesaikannya pada tahun 1938, kemudian meneruskan ke Taman Guru, namun tidak sampai selesai.” Menurut Nugroho, dkk, setelahnya dia “mulai bekerja sebagai dokumentor di sebuah surat kabar Asia Raya di Jakarta.”
Dicatat oleh wartawan Rosihan Anwar, Njono bekerja di koran Asia Raya pada masa pendudukan Jepang. “Kira-kira setahun sebelum kapitulasi Jepang kepada Sekutu, seorang pemuda diterima bekerja pada redaksi Asia Raya sebagai reporter muda. Namanya Njono,” demikian dicatat Rosihan Anwar dalam Menulis Dalam Air, Di sini Sekarang Esok Hilang: Sebuah Otobiografi (1983).
Bagi Rosihan, Njono tergolong orang serius. Selain menulis berita-berita kota untuk Asia Raya, dia juga menulis di majalah terbitan Balai Pustaka. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Njono “meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan dan memimpin Serikat Buruh Trem di Kramat, Jakarta.”
Setelah berkecimpung di serikat buruh, dia masuk Barisan Buruh Indonesia (BBI). Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, BBI didirikan grup Menteng 31 dan “merupakan organisasi buruh pertama untuk tugas-tugas perjuangan.” Salah satu tujuan mereka adalah merebut aset-aset ekonomis dari tangan militer Jepang.
“BBI makin kuat karena Iwa Kusumasumantri selaku Menteri Sosial hanya mengakui BBI sebagai satu-satunya organisasi buruh di Indonesia,” tulis Gie.
Dalam catatan 30 tahun Indonesia Merdeka (1977), Njono kemudian memimpin Partai Buruh Indonesia (PBI) yang berdiri pada 8 November 1945. PBI berintikan bekas orang-orang Barisan Buruh Indonesia (BBI). Menurut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1989), partai ini sejak Januari 1946 menempatkan diri sebagai penentang partai-partai yang berkuasa. Bahkan, organisasi ini akhirnya berseberangan dengan pemerintah.
Njono juga menjadi orang penting di Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Di organisasi tersebut, menurut Ensiklopedia Indonesia - Volume 3, ia menjadi sekretaris jenderal sejak November 1946. Sejak 1953, dia juga diangkat menjadi Sekretaris Jenderal II dari Pengurus Besar PKI.
Saat peristiwa G30S 1965 terjadi, Njono adalah anggota Politbiro CC PKI. Pada 21 Februari 1966, ia divonis mati lewat putusan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Bagi Rosihan, Njono tergolong orang serius. Selain menulis berita-berita kota untuk Asia Raya, dia juga menulis di majalah terbitan Balai Pustaka. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Njono “meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan dan memimpin Serikat Buruh Trem di Kramat, Jakarta.”
Setelah berkecimpung di serikat buruh, dia masuk Barisan Buruh Indonesia (BBI). Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, BBI didirikan grup Menteng 31 dan “merupakan organisasi buruh pertama untuk tugas-tugas perjuangan.” Salah satu tujuan mereka adalah merebut aset-aset ekonomis dari tangan militer Jepang.
“BBI makin kuat karena Iwa Kusumasumantri selaku Menteri Sosial hanya mengakui BBI sebagai satu-satunya organisasi buruh di Indonesia,” tulis Gie.
Dalam catatan 30 tahun Indonesia Merdeka (1977), Njono kemudian memimpin Partai Buruh Indonesia (PBI) yang berdiri pada 8 November 1945. PBI berintikan bekas orang-orang Barisan Buruh Indonesia (BBI). Menurut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1989), partai ini sejak Januari 1946 menempatkan diri sebagai penentang partai-partai yang berkuasa. Bahkan, organisasi ini akhirnya berseberangan dengan pemerintah.
Njono juga menjadi orang penting di Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Di organisasi tersebut, menurut Ensiklopedia Indonesia - Volume 3, ia menjadi sekretaris jenderal sejak November 1946. Sejak 1953, dia juga diangkat menjadi Sekretaris Jenderal II dari Pengurus Besar PKI.
Saat peristiwa G30S 1965 terjadi, Njono adalah anggota Politbiro CC PKI. Pada 21 Februari 1966, ia divonis mati lewat putusan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar