15 Juli 2019
Seorang pengunjung Taman Baca Kesiman di Denpasar, Bali, sedang memilih
buku untuk dibaca. Foto: ANTON MUHAJIR
Sebuah taman baca di Denpasar, Bali, menjadi tempat bagi
khalayak yang ingin membaca dan mendiskusikan buku-buku beraliran kiri.
Pemiliknya menganggap stigmatisasi terhadap buku-buku kiri hanya akan
melanggengkan pembodohan.
Deretan orang dari beragam usia duduk sembari memegang
buku di Taman Baca Kesiman (TBK) Denpasar, Bali.
Mereka tenggelam dalam bacaan masing-masing, mulai
dari Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Dari Penjara ke
Penjara karya Tan Malaka, sampai Sisi Gelap Pulau Dewata karya
Geoffrey Robinson.
TBK didirikan pada 2014 lalu oleh pasangan suami-istri,
Agung Alit dan Hani Duarsa, di atas sekitar 15 are lahan di Jalan Sedap Malam,
Denpasar.
Keduanya kemudian menyediakan beragam buku ke dalam
koleksi perpustakaan, termasuk buku-buku beraliran kiri
"Saya yakin membaca bisa mendorong perubahan. Membaca akan membuka wawasan. Mengusir kebodohan. Karena itu penting sekali untuk tidak hanya membaca, tetapi juga berdiskusi," paparnya kepada wartawan Anton Muhajir yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"TBK adalah tempat mendidik kesadaran kritis karena kehidupan berbangsa negara membutuhkan warga cerdas juga," lanjutnya.
Agung Alit, membuka Taman Baca Kesiman sejak 2014 lalu. Foto: Anton
Muhajir
Shaumi Slamiaty termasuk salah satu mahasiswa yang
mengaku semula apatis terhadap isu-isu di luar urusan kuliahnya. Namun, setelah
rajin bermain ke TBK, mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP)
Universitas Udayana ini mengaku mendapatkan perspektif kritis pada isu-isu
lain.
"Sebagai mahasiswa, saya dulu benar-benar tidak tahu apa-apa. Paling hanya tahu sekadar teori kuliah, misalnya konservasi. Saya tidak pernah belajar ada apa di balik itu. Namun, di sini saya belajar tentang sistemnya, tidak hanya pengertian. Jadi lebih tahu ada apa di balik apa yang kita pelajari," kata Shaumi.
Dari semula hanya sebagai pengunjung, Shaumi kini bekerja
pula di TBK sebagai asisten manajer program. Sehari-hari dia mengelola program
dan kegiatan di TBK. Sebagai orang yang tidak dulu tidak terlalu suka baca
buku, kini dia bisa memahami isu-isu lain melalui diskusi.
"Diskusi berguna untuk mereka yang tidak terlalu suka baca tetapi mendengarkan," lanjutnya.
Pintu masuk Taman Baca Kesiman dilengkapi patung mantan Presiden RI,
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Stigmatisasi
buku-buku kiri
Alit menilai stigmatisasi terhadap buku kiri yang selama
ini terjadi di Indonesia hanya untuk melanggengkan pembodohan.
"Sekarang isu seperti itu tidak kena, tidak bisa dipakai lagi. Kalau masih menuduh seperti itu, datang saja dan ikut. Program-program di sini kan terbuka," jawabnya.
Menurutnya, pemberangusan buku adalah hal yang sia-sia.
"Sekarang jika toh buku dilarang, orang bisa mencari secara online. Sekarang ada Internet. Orang bisa mengakses dari mana-mana," ujarnya.
"Kalau ada sweeping buku, itu kemunduran. Kalau itu tetap terjadi, sumbernya tetap kepicikan. Itu sangat tidak mendidik. Kenapa memelihara kepicikan? Kita tidak bisa memperlakukan anak muda sekarang seperti itu. Lebih baik kita buka dan kasih tahu," lanjutnya.
Shaumi lantas menimpali. Dirinya mengaku heran dengan
maraknya penyisiran buku yang dianggap berideologi kiri.
"Buku itu sangat berharga, tetapi kenapa ada pihak-pihak yang membredel tanpa tahu isinya. Kenapa? Apa yang salah?" tanyanya.
Diskusi rutin yang diadakan Taman Baca Kesiman.
Diskusi peristiwa
1965
Alit bersama kakaknya yang juga antropolog, Degung
Santikarma, menggagas Taman 65 di rumah tua mereka di Kesiman, Denpasar.
Taman 65 pernah menjadi ruang untuk berdiskusi tentang
isu-isu 1965, sesuatu yang kerap menjadi topik bahasan di TBK.
Pada Februari lalu, misalnya, TBK menggelar nonton bareng
film berjudul Sekeping Kenangan.
Film dokumenter berdurasi 50 menit ini menceritakan
tentang proses rekaman ulang lagu-lagu para tahanan politik (tapol) yang
dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hadhi Kusuma, pembuat film muda yang juga aktif di TBK,
mendokumentasikan perekaman ulang lagu-lagu milik para tapol yang pernah
dipenjara di Penjara Pekambingan, Denpasar.
Para mantan tapol yang rata-rata kini berusia di atas 70
tahun itu menyanyikan lagi lagu-lagu mereka selama di penjara.
Cara ini, menurut Alit, merupakan salah satu metode untuk
membuka ingatan khalayak soal peristiwa kelam itu.
"Biar kejadian semacam itu tidak terulang lagi. Karena itu perlu membaca buku, termasuk soal 1965," katanya.
Pada saat kekerasan 1965 terjadi, orang tua Alit termasuk
salah satu korban. Sampai saat ini jenazahnya tidak ditemukan.
Mural wajah Pramoedya Ananta Toer menghiasi salah satu sudut Taman Baca
Kesiman.
Ruang diskusi
Toh, diskusi yang digelar di TBK tidak melulu soal
peristiwa 1965.
Mengangkat tema Suka Duka di Tana Bali, diskusi bulanan
TBK menyajikan polemik yang terjadi di Bali, seperti kisah pengguna narkoba,
waria, pekerja seks komersial, hingga reklamasi Teluk Benoa.
"Di sisi lain kami sadar Bali dan Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Mumpung kita ada buku, kita bikin satu tempat di mana orang bisa membaca dan bertemu. Kami ingin berkontribusi dengan membangun Bali yang lebih toleran, menghargai kebhinekaan dan kesetaraan," kata Alit.
Ada pula diskusi bertema spesifik, seperti pada Februari
lalu ketika TBK menggelar aneka kegiatan untuk merayakan hari kelahiran
sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Merayakan Bulan Pram, begitu istilah merujuk pada
perayaan itu, TBK menggelar pemutaran film, diskusi buku, pameran seni jalanan,
dan temuwicara.
Karya-karya seniman jalanan menampilkan tidak hanya wajah
Pram, tetapi juga kutipan-kutipan Pram, di media papan triplek berukuran 1x1
meter.
"Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia." Demikian salah satu kutipan Pram yang terpampang.
0 komentar:
Posting Komentar