Oleh Hendri F. Isnaeni
Empat doktrin agama yang menjadi legitimasi para petani
Banten melawan Belanda.
Para pemberontak petani Banten 1888 yang ditangkap. Foto: KITLV.
HAJI Abdul Karim tidak ikut dalam pemberontakan karena
kembali ke Mekah untuk menggantikan gurunya, Ahmad Khatib Sambas, sebagai
pemimpin (khalifah) tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Namun, dia telah
menanamkan doktrin-doktrin agama yang membakar rakyat Banten untuk memberontak.
“Khotbah-khotbah, janji-janji, dan ramalan-ramalan Haji Abdul Karim tentang Hari Kiamat, kedatangan Mahdi, dan tentang jihad terus membakar semangat rakyat,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Akan tetapi, menurut Sartono, Abdul Karim bukan seorang
revolusioner yang radikal. Kegiatannya terbatas pada tuntutan agar menaati
berbagai ketentuan agama seperti salat, puasa, zakat, dan zikir. Setelah dia
meninggalkan Banten, gerakan itu mulai berpaling dari kegiatan yang semata-mata
diarahkan untuk kebangkitan agama.
“Semangat antiasing yang kuat mulai merembesi praktik-praktik tarekat itu. Pada akhirnya, para haji (Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid) yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran mistik sepenuhnya di bawah tujuan politik,” tulis Sartono.
Berikut ini empat doktrin agama yang ditanamkan Abdul
Karim: kedatangan Imam Mahdi, peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw.,
mendirikan negara Islam (Darul Islam), dan Perang Sabil (Jihad fi Sabilillah).
Kedatangan Imam
Mahdi
Mula-mula pesan yang diberikan Abdul Karim kepada para
pengikutnya adalah pesan tentang ketaatan, ortodoksi, dan asketisme. Tetapi,
ketika jumlah pengikutnya semakin besar, pesannya berubah drastis. Pesan itu
bersifat menyebarkan ketakutan, dan bagi Belanda hal itu sangat membahayakan.
“Abdul Karim mulai meramalkan dan memperkuat apa yang dikhotbahkan para imam Muslim lain yang taat, yang membuat khawatir pemerintah di kawasan-kawasan lain di dunia ini, bahwa sang Imam Mahdi, tokoh penyelamat yang akan muncul untuk menyelamatkan dunia ini dari segala macam dosa di hari kiamat, sebentar lagi akan datang,” tulis Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883.
Menurut Sartono, Imam Mahdi, yang secara harfiah berarti
penunjuk jalan yang benar, adalah nama yang diberikan kepada tokoh mesianik
yang akan muncul menjelang hari kiamat dan menghancurkan nabi palsu pada akhir
zaman yang disebut Dajal. Kepercayaan akan tibanya seorang Mahdi terus hidup
dalam sejarah Islam dan tersebar luas, meliputi daerah-daerah seperti Persia,
Afrika Utara, India, dan Indonesia.
Kedatangan Mahdi akan didahului oleh satu periode
kekacauan besar, ketiadaan iman dan peperangan. Pada saatnya nanti, Mahdi akan
muncul untuk memulihkan tradisi dan agama sejati; dia akan memperbarui Islam,
menegakkan kembali keagungannya dan memusnahkan orang-orang kafir.
Disebutkan pula tanda-tanda mengenai akan segera tibanya
hari kiamat, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan darah, wabah
penyakit ternak, dan sebagainya. Bencana dan malapetaka ditafsirkan berdasarkan
ramalan-ramalan tersebut dan menimbulkan emosi yang luar biasa serta kecemasan
yang besar di kalangan rakyat.
“Di dalam periode kesulitan sosial itu, ketika rakyat dilanda frustrasi, dan perlawanan yang ditekan, kepercayaan tentang Mahdi merupakan alat yang cocok untuk membangkitkan mereka supaya melawan dominasi-dominasi asing, yang menurut kepercayaan rakyat bisa dikalahkan dengan cara mistik-magis,” tulis Sartono.
Menurut Simon, ramalan yang dibuat oleh Abdul Karim, dan
yang dengan antusias diterima oleh puluhan ribu pengikutnya bahwa sang Mahdi
sebentar lagi akan datang, ternyata terkait dengan letusan Gunung Krakatau pada
1883. Keterkaitan ini karena ajaran Islam tentang Mahdi beserta perang sucinya
melawan orang-orang kafir, menyatakan bahwa kedatangan Mahdi selalu dibarengi
dengan serangkaian tanda-tanda tertentu, seperti “ternak akan terkena wabah
penyakit, banjir akan melanda, hujan akan berwarna darah, gunung berapi akan
meletus, dan orang-orang akan mati.”
Kebetulan, lanjut Simon, setiap ramalan itu terjadi di
Banten persis sebagaimana telah diramalkan oleh Abdul Karim: “Ternak sekarat di
mana-mana karena wabah anthraks yang tidak terkendali, penyakit yang paling
maut di antara penyakit-penyakit yang menyerang sapi dan kerbau. Desa-desa
pantai Jawa Barat dari Merak ke selatan sampai Labuan telah dihancurkan oleh
tsunami-tsunami. Hujan masih diwarnai bercak cokelat akibat abu yang
berputar-putar tanpa henti di langit di atas Jawa. Pulau Krakatau telah meledak
sampai berkeping-keping dan 36.000 orang tewas dalam gelombang pasang akibat
aliran abu dan gas akibat letusan tadi.”
Seorang yang cukup berani menempatkan letusan Gunung
Krakatau dari rantai panjang tanda-tanda yang memuncak pada pemberontakan
petani Banten, dan menjadi saksi mata letusan itu adalah R.A. van Sandick, guru
sekolah teknik dari Deventer di Holland tengah, yang diperkerjakan oleh
pemerintah kolonial Belanda berkat pengetahuannya tentang hidrolika. Dalam
bukunya, Leed en Lief in Banten (Duka dan Cinta di Banten) yang
ditulis pada 1892, van Sandick mengemukakan detail-detail tentang
ramalan-ramalan Abdul Karim, sebagai berikut:
“Para mullah dan guru agama di pesantren, yang tengah menggugah semangat orang-orang di Banten, mengambil kesempatan yang diberikan oleh luka yang besar dan dalam akibat letusan Krakatau itu, untuk memperluas pengaruh mereka. Bukankah itu, kata mereka, adalah balas dendam Allah, tidak hanya pada anjing-anjing kafir, tetapi juga orang-orang Banten yang mengabdi pada orang-orang kafir itu?
Tidak diragukan lagi: bencana Krakatau itu adalah isyarat Tuhan, peringatan besar yang pernah dibicarakan Abdul Karim. Bukankah dia telah meramalkan gempa-gempa dahsyat dan hari kiamat? Dan lihat, matahari gelap selama berjam-jam, dan sekarang setelah letusan itu matahari menjadi bola merah atau kadang-kadang kelabu atau biru dengan latar belakang langit kelabu. Tidak anehkah itu, warna-warna asing yang menyala-nyala di langit senja? Bukankah Tuhan menciptakan gelombang-gelombang pasang setinggi 30 meter di atas laut normal itu?Dan bukankah Tuhan berbicara dengan guntur, sehingga seluruh Banten terguncang dalam kegelapan yang paling pekat? Dan, tanya saja para penangkap ikan di Selat Sunda: bukankah dasar laut telah diangkat oleh Tuhan? Bukankah tiga perempat pulau Krakatau telah lenyap? Sujudlah di hadapan Yang Mahakuasa! Bayarlah dosa-dosamu! Bisakah kamu masih meragukan, kata para mullah itu, setelah kamu tahu bahwa Abdul Karim telah meramalkan hal ini?”
Menurut Sartono, sebagai satu kepercayaan yang laten di
kalangan umat Islam, ide tentang Mahdi terbukti menjadi kekuatan yang memberi
semangat di masa-masa sulit, yang mampu menggerakkan massa rakyat.
Dalam suasana revolusioner di bagian akhir abad ke-19,
yang ditandai oleh penetrasi westernisasi kolonial Belanda, keresahan sosial,
dan pergolakan agama, telah menguntungkan manifestasi Mahdisme. Bersamaan
waktunya dengan ide-ide milenari atau keagamaan lainnya, dia menyalakan api
revolusioner yang nantinya meledak menjadi kobaran revolusi dan serangan
terhadap kaum penindas asing yang sangat dibenci.
Di Banten, ide mengenai Mahdi, tidak hanya sudah dikenal,
melainkan kedatangannya sudah dinantikan. Dan Abdul Karim pun sebelum berangkat
menuju Mekah mengumumkan kepada rakyat Banten bahwa dia akan kembali ke Banten
kira-kira pada saat kedatangan Mahdi.
Pesan Terakhir
Nabi Muhammad
Dalam sejarah Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir
Nabi Muhammad Saw. adalah khotbah beliau tatkala Haji Wada atau Haji
Penghabisan pada 9 Zulhijah tahun 10 Hijriyah atau 7 Maret 632.
“Namun sepucuk surat edaran dari Mekah yang isinya dikenal sebagai ‘Peringatan terakhir Nabi’ semakin membakar semangat rakyat Banten,” tulis Sartono.
Surat peringatan tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan dalam pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. “Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”
Surat peringatan semacam itu, baik dalam bahasa Arab
maupun bahasa Sunda, beredar luas dan umumnya berisi tentang kiamat sudah
dekat. Sebuah surat berisi seorang bernama Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi
yang berwasiat kepadanya.
Isinya: “Hai Syekh Abdallah... ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir... Beritahukan mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Ka’bah dan malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap Quran dari hati kaum yang beriman.”
Selain memilikinya, Hurgronje membaca di suratkabar Nieuws
Rotterdamsche Courant (4 Juni 1884) dan Nieuws van den Dag (5
Juni 1884) yang mengutip Het Algemeen Dagblad mengenai isi surat itu.
Suratkabar tersebut juga mengabarkan bahwa umat Muslim
Priangan dilanda ketakutan karena gambaran mimpi itu diceritakan setiap minggu
di masjid-masjid. Di suratkabar Nieuws van den Dag (9 Juni 1884),
yang dibaca Hurgronje, ditunjukkan panjang-lebar akibat buruk dari
kegelisahan-kegelisahan itu.
Surat peringatan lain terbit dalam dua versi:
ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Ja’far ibn ‘Abd alKhaliq dan Abdus
Sarip.
“Raja Arab (sic.), yang katanya telah menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi ramalan eskatologis,” tulis Sartono.
Menurut Sartono, surat itu memuat gambaran mesianik
klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana mengerikan yang akan menimpa
manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu berisi pesan yang mengandung makna
eskatologis, seruan agar manusia menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan
Tuhan, berzina, bersikap sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru
agar manusia menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan
menjalankan kewajiban agama.
Pada akhir 1883, polisi Banten menyita sebuah surat
selebaran dari seorang bernama Misru.
“Dia mendapatkannya dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang, Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada 1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di Jawa,” tulis Sartono.
Hurgronje bahkan memastikan, dari susunan dan beberapa
bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah Arab atau setidak-tidaknya
secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan pengetahuan umat Muslim di Hindia
Belanda; mereka hendak dibujuk, digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.
Yang menarik –mungkin dalam surat peringatan yang lain–
secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan sumbangan ke Mekah dan
menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan ibadah haji terkait dengan
tandatanda bahwa
“apabila selama waktu tujuh tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur esok hari orang akan melihat Ka’bah sudah hilang, sehingga orang tidak melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.
Lebih lanjut Hurgronje menerangkan, surat peringatan itu
mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang tak lama berselang dialami
umat manusia seperti wabah penyakit, banjir, gempa bumi; selanjutnya pada
isyarat-isyarat khusus yang telah menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar
Aswad) di Ka’bah lambat-laun akan menghilang atau pintu Ka’bah tak dapat dibuka
lagi. Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati
kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada agama
dan perbuatan-perbuatan baik.
“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.
Yang jelas, antara tahun 1880 sampai 1885 sejumlah besar
surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh, Lampung, Banten, Batavia, dan
Priangan. Karena tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan
pemberontakan, berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak
mengkhawatirkan para pejabat Belanda.
“Menurut pendapat mereka surat itu bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,” tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana alam antara tahun 1879 sampai 1883.”
Wabah dan bencana dianggap sebagai teguran dari Tuhan
serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan terhadap penguasa kafir
Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai wilayah Islam (Darul Islam).
Mendirikan Negara
Islam (Darul Islam)
Dalam suatu kesempatan, Abdul Karim memberitahukan bahwa
dia tidak akan kembali selama Banten masih berada di bawah dominasi asing.
Hanya di atas bumi Islam (Darul Islam) dia akan menginjakkan kakinya lagi.
Menurut Sartono, di dalam ide tentang Darul Islam
terkandung perasaan benci yang diperlihatkan secara terang-terangan oleh
rakyat, tidak hanya terhadap orang-orang Eropa yang dianggap kafir, tetapi juga
terhadap semua orang yang memandang tinggi orang-orang Eropa atau bergaul
dengan mereka. Pejabat-pejabat pamong praja Banten yang menjadi penyambung
tangan Belanda, dipandang sebagai orang-orang hina. Mereka mencemarkan agama
mereka sendiri karena Muslim yang baik harus menjauhkan diri dari hubungan
dengan orang-orang yang tidak dipercaya.
Selain itu, rakyat cenderung memandang pamong praja
sebagai orang-orang yang korup dan menindas. Kaum santri tidak saja menuduh
kaum priyayi memperlakukan mereka dengan buruk, tetapi juga mendakwa mereka
bahwa mereka pada umumnya tidak bermoral. Kaum priyayi dicap sebagai kafir
indanas, yaitu hanya namanya saja Muslim. Hal ini mendorong rakyat enggan
berurusan dengan pemerintah Belanda, agen-agennya, dan peraturan-peraturannya,
dan menganggap mereka semua sebagai orang-orang yang sudah kotor. Oleh karena
itu, penetrasi administrasi kolonial ke desa-desa harus ditentang.
Dalam hal ini, para kiailah yang tak henti-hentinya
berusaha menanamkan kecurigaan yang mendalam terhadap pemerintah kolonial dalam
hati santri-santrinya, dan secara berangsur-angsur membakar semangat pengikut-pengikutnya
untuk melancarkan Perang Sabil terhadap penguasa-penguasa kafir. Ini merupakan
tahap dimana gerakan kebangkitan kembali agama Islam dijiwai oleh fanatisme
yang menggelora dan menjelma menjadi gerakan jihad.
“Adalah menarik bahwa waktu dan tempat jihad yang direncanakan itu masih belum jelas ketika Abdul Karim bertolak menuju Mekah pada 1876,” tulis Sartono.
Perang Sabil (Jihad
fi Sabilillah)
Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh Abdul Karim adalah
mendirikan sebuah Negara Islam (Durul Islam). Karena itu, para pengikutnya
memiliki kesadaran yang kuat bahwa negeri mereka harus dianggap sebagai Darul
Islam, yang untuk sementara waktu diperintah oleh penguasa-penguasa asing.
Mereka juga memiliki keyakinan yang kuat bahwa begitu
keadaannya memungkinkan, negeri mereka akan diubah dengan menggunakan kekuatan
dan menjadi wilayah Islam yang sejati. Sikap ini merupakan ajaran tentang
Perang Sabil, yang menyatakan bahwa umat Islam berkewajiban memerangi
orang-orang yang belum memeluk agama Islam.
“Tujuan utama Perang Sabil adalah mendirikan sebuah Negara Islam yang merdeka, di mana orang dapat mempraktikkan agama Islam yang sejati. Ini berarti bahwa bagi penganut gerakan kebangkitan Islam dan anggota-anggota tarekat, jihad atau Perang Sabil merupakan tindakan pengorbanan yang paling luhur untuk mewujudkan negara yang ideal, sebagai puncak pengabdian dari doa-doa, puasa, dan perjalanan naik haji,” tulis Sartono.
Akan tetapi, menurut Sartono, apabila persoalannya sudah
sampai kepada tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mewujudkan
ramalan-ramalannya, Abdul Karim selalu memberikan penjelasan yang samar-samar
kepada pengikut-pengikutnya. Dia tidak mau memberi jawaban-jawaban pasti dan hanya
mengemukakan bahwa menurut pendapatnya saatnya belum tiba untuk melancarkan
Perang Sabil.
Murid-murid utamanyalah yang memastikan waktu dimulainya
Perang Sabil, yaitu pada 9 Juli 1888
0 komentar:
Posting Komentar