May 11, 2008
“tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan
memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru
mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan
cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun.”
Masa Kecil Ibu di
mana?
Saya asli Srengat, Kabupaten Blitar. Dilahirkan pada
Bulan Nopember 1930 di Srengat. Pendidikan pertama yang saya terima di Sekolah
Taman Siswa di Tulung Agung. Akibat pendudukan Jepang, Ayah saya yang seorang
tokoh NU Pakis Rejo, Srengat dan tokoh Syarikat Rakyat di tahan oleh tentara
Jepang. Karena Bapak ditahan, berikut hasil pertanian di sawah sekaligus
persediaan pangan dirumah dirampas oleh Jepang, akhirnya saya disuruh berhenti
oleh ibu untuk membantu kegiatan ekonomi keluarga. Saya sempat juga belajar
sebentar di taiso untuk mempelajari katakana dan hiragana.
Bagaimana dengan
kisah berorganisasi ibu?
Saya katakan kepada Bapak saya, “Pak saya tidak usah
sekolah, tetapi ikutkan ke teman Bapak yang paling pandai’. Akhirnya saya
diikutkan oleh Bapak kepada Ibu Umi Sarjono. Beliau orang Salatiga, ketika
pendudukan Jepang lari ke Blitar serta membuka restoran di Hotel Lestari.
Perkenalan Ibu Umi dengan Bapak, ketika keduanya ditahan oleh Jepang di Rumah
Tahanan di Blitar. Setelah keluar tahanan beliau berdua dibantu oleh Kyai
Mucshin membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) cabang Blitar. Waktu itu saya
diperbantukan sebagai juru ketik. Pada tahun 1946 saya gabung di PESINDO
(Pemuda Sosialis Indonesia).
Kertika pada tahun 1948 Belanda melakukan agresi ke
Indonesia, saya bersama kawan kawan melakukan konfrontasi (push font) dengan
Belanda di daerah Pakis Aji, Kabupaten Malang. Pada tahun 1949, ketika Gerwes
(Gerakan Wanita Sedar)berdiri, saya bergabung di sana.
Kenapa Ibu gabung
di Gerwes? Apa hubungan dengan PESINDO?
Secara struktural tak ada hubungannya, Gerwes adalah
organisasi yang terpisah dengan PESINDO. Saya gabung di Gerwes karena prihatin
melihat posisi perempuan kala itu. Perempuan sangat menyedihkan, seakan tak ada
harganya, bahkan dijadikan obyek. Kita lahir sebagai wanita kan bukan kehendak
kita sendiri, tapi itu kan ketentuan dari Alloh. Namun kenapa harus ada
pendeskreminasian terhadap kaum wanita. Kita lihat konflik rumah tangga
kerapkali kesalahan ditumpakan kepada wanita. Melalui Gerwes saya berharap
dapat mengangkat derajat kaum wanita untuk membela kebenaran dan menuntut hak
haknya.
Perkembangan selanjutnya tahun 1950 Gerwes, bersama sama
dengan 51 organisasi kewanitaan lainnya melakukan kongres dan membentuk
organisasi besar yang bernama Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun
yang sama pula, saya bersama kawan kawan di Kotapraja Blitar mendirikan Gerwani
Cabang Blitar, dan saya diangkat melalui konferensi Cabang Gerwani sebagai
Ketua, yang tadinya aktif di kabupaten Blitar. Karena berasal dari Kabupaten
Blitar, maka keanggotaan saya di DPRD juga di Kabupaten Blitar. Saya menjadi
anggota DPRD Peralihan sejak tahun 1955, yang akhirnya terus berubah menjadi
DPRD Sementara, berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Saya duduk di Fraksi
Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili dari Gerwani.
Berapa komposisi
perolehan kursi di DPRD Kabupaten dan Kotapraja Blitar saat itu?
Seingat saya, dari 45 kursi DPRD di Kabupaten Blitar
melalui pemilu tahun 1955, PKI memperoleh kursi 23. Sisanya dibagi NU dan PNI,
sedangkan Masyumi, Murba, dan Perti kalau tak salah hanya mendapat 1 atau 3
suara. Untuk di wilayah Kotapraja Blitar, dari 15 kursi di DPRD, PKI
mendapatkan kursi 10, sedangkan 5 kursi sisanya dibagi NU dan PNI. Karena kursi
yang diperoleh mayoritas, maka Walikota Blitar saat itu Bapak Kusnadi juga
simpatisan kiri. Sementara di Kabupaten, Bupatinya Bapak Darmaji memang
terpilih sejak jaman Belanda.
Kapan Ibu menjadi
anggota DPRD terakhir kalinya?
Ya sejak peristiwa 1965 terjadi
Bagaimana dengan
situasi sosial politik di Blitar sebelum meledaknya persitiwa 1965? Apa ada
ketegangan ketegangan antar kelompok masyarakat?
Di Blitar kala itu situasinya sangat kondusif, tak ada
ketegangan ketegangan antara kelompok masyarakat. Daerah kami sangat damai,
bahkan saya sering kerja bareng dengan Bapak Kayubi dari Fraksi NU, beliau
orang ansor. Jadi Agama-Nasionalis-Komunis, tetap kompak.
Terus, Ibu
memaknai peristiwa G 30 S/PKI di Jakarta itu bagaimana?
Kita waktu itu tidk mengerti apa apa tentang kejadian di
Jakarta. Biasanya kalau PKI itu punya gawe (hajat) sudah pasti kita yang
didaerah daerah mengetahuinya. Kira kira bulan Oktober 1965 rumah saya tiba
tiba dijaga oleh tentara. Dan ketika saya melihat orang orang ansor bersama
pasukan loreng loreng merusaki rumah rumah (baca: aset PKI) lantas saya pergi
mengungsi.
Bagaimana dengan
visualisasi tentang perilaku PKI yang ada di Film G 30 S/PKI yang dulu
ditayangkan setiap tanggal 30 September?
Uuuuhhh, itu omong kosong. Sama sekali tak benar dan itu
menunjukkan kebohongan. Kalau Gerwani digambarkan menyileti Jenderal Jenderal
semacam itu, justru bertentangan dengan ideologi komunis. Kok gagah betul
gerwani menyileti Jenderal Jenderal. Tapi yang melihat kok percaya juga yaa.
Pokoknya semua itu bertolak belakang dengan cara perjuangan PKI. Saya
menyimpulkan bahwa yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika
Serikat dengan menempatkan Harto (baca: Mantan Presdien Soeharto) untuk ditanam
disini sebagai agennya. Tugasnya adalah untuk menjatuhkan Soekarno. Tahun 1963
Bung Karno kan pernah punya konsep Trisakti, yaitu; Berpolitik bebas, Berdikari
dalam bidang ekonomi, dan Berbudaya bangsa yang luhur. Nah, yang paling
ditakuti oleh Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung
Karno tak mau dipinjami oleh IMF. Bung Karno merencanakan dengan kekuatan
bangsa sendiri kita pasti akan dapat hidup.
Kalau memang harto
benci Karno kenapa, Kenapa PKI dilibatkan?
Sebab pendukung setia Bung Karno itu PKI. Karena Bung
Karno itu satunya kata dan perbuatan dipihak rakyat tertindas, anti kapitalis,
pemerasan dan penindasan. Jadi tak logis kalaui PKI berontak, wong PKI
pendukung Bung Karno. Maka Soeharto menggunakan siasat para pendukung Bung
Karno dulu yang dihancurkan. Karena kalau waktu itu ia “nembak” langsung ke
Soekarno pasti akan mengalami kesulitan. Setelah peristiwa 1965 meledak katanya
Bung Karno diamankan, setelah diamankan Bung Karno dikatakan sebagai PKI,
Supersemar dihilangkan dan sebagainya. Saat pembunuhan terhadap tujuh jenderal
itu, Harto kan menggunakan Letkol Oentung.
Lho, Oentung kan
orang PKI?
Bukan, siapa bilang. Kita tidak punya Jenderal yang PKI.
Saya akui bahwa kita kemasukan Sjam yang sebetulnya orang orang Amerika dan
orangnya Soeharto.
Tapi apakah di PKI
ada Biro Militer yang dipimpin oleh Sjam yang sifatnya rahasia?
Tak ada Biro Militer, yang ada itu Biro Politik
Sjam kok bisa
masuk ke PKI bagaimana?
Itulah lihainya tentara, seakan akan dia komunis deles
(tulen). PKI itu kelemahannya mudah percaya pada orang dan tak menaruh curiga
apa apa, karena menurut agama su’udzhon (berburuk sangka) itu kan tak boleh.
Terus, bagaimana
dengan pasukan yang dibawa oleh Oentung untuk operasi militer kala itu?
Itu kan pasukan dari Solo yang belum dikenal oleh Bung
Karno ketika mereka menyamar sebagai cakrabirawa dan membawa Bung Karno ke
Lubang Buaya. Tapi setelah kejadian itu, Oentung kan ditembak sendiri oleh
orang orangnya harto dengan dalih untuk operasi pemulihan keamanan, disamping
untuk menutup adanya hubungan rahasia antara Harto dan Oentung.
Tapi apakah benar
bahwa para pemuda rakyat dan gerwani saat itu juga di Lubang Buaya?
Begini lho nak, saat itu kita kan lagi konfrontasi dengan
Malaysia. Kita menginginkan Malaysia sebagai saudara kita lepas menjadi boneka
Inggris. Jadi persiapan kita untuk menggayang Malaysia adalah untuk
menyingkirkan Inggris. Karena konfrontasi itu, maka pemuda rakyat dan gerwani
sedang menjalani latihan latihan militer dibanyak tempat, dan tak ada yang di
lubang buaya waktu tragedi 65. Perlu dicatat sewaktu Bung Karno masih berkuasa,
Pak Nas (Jend. Pur. Nasution) tak setuju jika Soeharto diberi posisi yang
strategis, bahkan minta harto dipecat saja. Pak Yani (Jendr. Pur. Ahmad Yani)
adalah musuhnya Harto waktu itu. Harto itu pernah mengenyam pendidikan
intelegen dari Amerika Serikat melalui Jenderal Suwarto yang merupakan gurunya.
Pak Yani adalah orang yang tak setuju Harto disekolahkan. Jadi kita lihat waktu
Oentung melakukan penculikan, rumah yang paling awal dituju kan rumahnya Pak
Yani dan Pak Nas, karena memang keduanya merupakan musuh Harto. Sementara PKI
mengkonsentrasikan diri untuk mendukung upaya upaya perjuangan Bung Karno.
Bagaimana dengan
pendapat bahwa PKI tak bertuhan?
Itu kan kata mereka, tapi yang jelas bahwa orang orang
PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi.
Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau
menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun. Hal itu saya
jadikan pegangan untuk berbuat baik. Karena kalau kita baik, jangankan perintah
agama, naluri kemanusiaan saja sudah pasti orang itu tergugah.
Melanjutkan yang
tadi Bu, Sewaktu G 30 S/PKI meledak, ibu mengungsi dimana?
Saya ya cari hidup, anak-anak saya pergi sendiri-sendiri,
kecuali Si bungsu yang berumur 1 (satu) bulan bersama saya?. Lari pertama saya
di adik saya di komplek AURI Abdurahman Saleh Malang, lantas saya lari dan
menjadi babu di kebun kentang wilayah lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Selama
disana 3(tiga) bulan (1996) dan ketika tentara mau menggerebek saya turun.
Ketika turun saya mencari teman saya bernama Letnan Supeno, saya minta surat
pengakuan bahwa saya istrinya dia, surat itu saya gunakan untuk surat jalan ke
Jakarta tapi sebelum ke Jakarta saya menginap di rumah keponakan yang kuliah di
Universitas Gajah Mada (aktivis CGMI). Namun ketika saya di Yogja saya
ditangkap oleh orang-orang ansor sebanyak delapan orang dan tentara tujuh
orang. Mereka tahu atas informasi dari pemuda demokrat Blitar yang waktu itu
ada di Yogja. Saya ditahan 3 (tiga) bulan di Kantor Polisi Militer karena
berdasar surat saya yang tak bawa dianggap bahwa saya adalah istri tentara.
Pemeriksaan pertama dilakukan Letnan Silitonga. Ditahanan CPM ada limaorang
perempuan bersama saya, diantaranya Bu Ridono (tokoh ketoprak siswobudoyo),
seorang Tionghoa, Bu Artin (anak UGM). Setelah tiga bulan kami dibawa di Rumah Tahanan
di Yogja. Tapi saat itu pukul 12.00 WIB saya dibebaskan dengan syarat saya
malam itu juga tak boleh berada di Yogja. Tepat jam 22.00 WIB ada kereta yang
menuju ke Jakarta. Saya lantas naik kereta itu menuju Jakarta.
Pertimbangan ibu
waktu itu ke Jakarta apa?
Pertimbangannya bahwa Jakarta adalah kota besar sehingga
tempat perlindungan tentunya akan lebih baik, tapi tak tahunya justru lebih
menyedihkan. Ketika sampai Jakarta saya teringat pernah memiliki kenalan dari
Jember yang tinggal disana. Dulu ia adalah pegawai koperasi di Blitar lalu
pindah ke Jakarta, namanya Imam Santoso. Dengan sisa uang Rp. 8.000,- saya naik
becak dengan ongkos Rp. 5.000,- menuju ke tempat dia didaerah Bedara Cina.
Sesampainya disana, ternyata rumahnya justru dijadikan tempat pelarian kawan
kawan dari Jember dan Banyuwangi sehingga penuh sesak. Terlihat orang orang
begitu banyak didalam rumahnya, hingga untuk tidurpun harus duduk. Akhirnya
terpikir dalam benak saya, “tak mungkin saya disitu”. Pertimbangannya akan
mengundang kecurigaan orang, disamping juga tak ada tempat buat anak saya. Lalu
saya pergi menuju tempat famili dari kakak saya di daerah Pisangan Baru, namun
ketika sampai disanapun saya melihat suasana yang kurang kondusif.
Kenapa?
Ya, di samping rumahnya kecil, takut juga nanti membebani
dia dan keluarganya. Saya tak enak sendiri, takutnya nanti kalau ada pertanyaan
macam macam dari pihak Rukun Tetangga (RT). Jadi selama dua bulan di Jakarta
saya hidup ngere (baca: Gelandangan) hanya berbekal pakaian dan perhiasan yang
menempel ditubuh saya (sebagian perhiasan telah saya jual) serta keranjang
bodol (baca:usang) yang berisi pakaian lusuh dari anak saya. Perhiasanku satu
per satu, saya jual untuk memenuhi kebutuhan perut dan si kecil. Sedangkan
tidurnya di tempat seadanya di Jakarta. Terakhir saya jual kalung untuk pergi
ke Surabaya. Dengan bantuan famili yang bekerja di tempat penjualan tiket
kereta api di Stasiun Jakarta Kota, saya berhasil mendapatkan tiket. Selama
perjalanan di dalam kereta, tak terpikir olehku untuk singgah kemana
sesampainya di Surabaya nanti. Beruntung didalam gerbong itu saya ditawari oleh
seorang tentara berpangkat Kapten bersama isteri dan bayinya untuk bekerja di
rumahnya merawat bayi dan isterinya. Sesampainya di Stasiun Pasar Turi Surabaya,
sang Kapten ternyata telah dijemput dengan mobil sedan waktu itu. Akhirnya kita
semua meluncur menuju rumahya di daerah Kenjeran. Ternyata sang Kapten memiliki
pabrik kaos di rumahnya, dan saya tinggal seminggu disana dengan bekerja
merawat bayi mereka berdua. Tapi saya tak enak juga dengan keluarga Kapten itu,
mengingat hanya bekerja sebagai perawat bayi kebutuhan hidup saya dipenuhi.
Apalagi waktu itu operasi operasi di surabaya juga sedemikian ketatnya.
Akhirnya saya memutuskan untuk pamit keluar, untuk pindah ke keluarga saya di
daerah sekitar Rumah Sakit Karang Menjangan. Ia adalah kakak sepupu dari suami
saya, ia juga sorang tentara bernama Letnan satu Nyoto dari kesatuan
Sawonggaling. Ketika saya berada di rumah Pak Nyoto, keenam anak saya tiba tiba
menyusul. Tak tahu siapa yang memberitahukan waktu itu kalau saya tinggal di
rumah Pak Nyoto. Karena kebetulan Pak Nyoto adalah ketua RT, maka kami semua
dikasih surat pindah rumah dengan alasan rumah telah kebakaran. Dengan cincin
yang sebenarnya tak ingin saya jual, akhirnya saya jual, guna menyambung hidup.
Dengan modal jual cincin saya berjualan singkong rebus, dengan mengontrak
didaerah Bendul Merisi (belakang Rumah Sakit Angkatan Laut) Surabaya. Di Bendul
Merisi seingat saya di awal-awal tahun 1967 dan selama tujuh bulan saya jualan
didaerah situ. Waktu di surabaya saya tak pernah keluar, jadi yang belanja itu
anak saya yang pertama berumur 14 tahun. Anak saya memang tak sekolah semua,
karena waktu itu anak PKI tak boleh sekolah. Sampai bulan Agustus 1967 waktu
itu saya sedang belanja di Pasar Wonokromo namun berjumpa dengan seorang Polisi
dari Blitar, ia tetangga saya, walaupun secara pribadi baik, tapi lebih baik
saya antisipasi terhadap apa yang kemungkinan terjadi, terpaksa anak-anak saya
(kecuali Bungsu) suruh menyebar meninggalkan tempat itu entah kemana terserah
mereka untuk mencari hidup walaupun waktu itu tak bisa memberi uang saku. Malam
itu juga saya lari menuju Blitar Selatan bersama Si bungsu. Di Blitar di daerah
pegunungan kan banyak teman-teman. Saya diterima baik disana, diberi makan
meskipun dengan apa adanya. Pertama saya singgah di Desa Pakisaji, Kecamatan
Maron Kabupaten Blitar. Namun tak tak lama tentara masuk ke daerah itu , takut
tercium oleh tentara, maka saya pindah di Dukuh Krisik, Desa Ngrejo. Waktu saya
di Ngrejo anak-anak saya mengetahuinya dan kita kumpul lagi. Walau hanya makan
tiwul (jagung dilembutkan dan ditanak) rasanya bahagia sekali. Tanggal 22
Deseber 1967 tentara melakukan operasi di Krisik, maka seluruh anak-anak saya
termasuk bungsu dibawa turun oleh kakak-kakaknya. Saya lantas dengan
orang-orang di daerah situ masuk ke hutan, karena pada waktu itu kalau ada
laki-laki yang dianggap simpatisan PKI pasti ditembak. Tentara sangat lihai
untuk mengidentifikasi orang gunung atau bukan dilihat dari posisi berdiri,
kalau orang gunung kan kalau berdiri agak bungkuk kesamping, karena seringnya
ngambil air dari jauh. Selama di hutan saya bersembunyi di gua-gua dan
berpindah-pindah kalau malam hari. Sedangkan kalau makan ya menu seadanya,
seperti pupus-pupus daun, pisang kalau ada, sedang kalau minum memakai
kaleng-kaleng bekas minumnya tentara yang kebetulan melewati daerah itu. Dan
pada tanggal 11 Agustus 1968 saya tertangkap di dalam gua oleh Batalyon 511,
kemudian diikat kedua ibu jari ke belakang dan disambungkan keseluruh badan.
Waktu di dalam hutan awal-awalnya banyak orang yang sama sama pelarian tapi
lambat laun habis, ada yang tertangkap, pun juga ada yang dibunuh. Waktu itu
pula sebelum tertangkap saya sering sembunyi di Bultuk, gua yang menjorok ke
bawah (mirip sumur) dengan menyulur menggunakan akar-akar pohon. Gua Bultuk
dahulu itu memang bersejarah, yaitu dipakai orang-orang gunung menyimpan
cadangan pangan, karena waktu Operasi Trisula di Blitar selatan banyak oknum tentera
yang merampas kekayaan penduduk bahkan jika melihat anak gadis atau janda yang
cantik tak segan-segan untuk memperkosanya. Seperti kejadian yang terjadi di
desa Ngleduk Kecamatan Surowadang, beberapa oknum tentara secara brutal
memperkosa beberapa anak gadis dan janda lalu membunuhnya di gunung Kemiri. Ada
sembilan lembu diambil oleh oknum oknum itu namun ketika Komandan Batalyon 511
mengetahui prajurit itu disiksa. Kejadian lain yang dialami Pak Loso beserta 12
anggota keluarganya termasuk cucu ditembak, harta bendanya diambil dan rumahnya
dibakar. Kalau PKI dikatakan Partai Kampak justru yang merampok adalah
oknum-oknum itu. Pernah juga dalam suatu kejadian seluruh warga daerah situ
sebanyak lima desa dikumpulkan jadi satu desa dan dikumpulkan di lapangan
termasuk wanita dan anak-anak sampai kehujanan dan kepanasan bahkan tak dikasih
makan.
Waktu tertangkap
lantas Ibu dibawa ke mana ?
Pertama dibawa ke Bululawang kecamatan Bakung Blitar. Di
situ merupakan pos pertama operasi Trisula, di situ saya di ejek dan
diolok-olok oleh istri-istri tentara “ dapat roti dari RRT ya”? sambil menetap
sinis. Di pos inilah saya pertama merasakan nasi, setelah sembilan bulan dalam
hutan. Walaupun campur gabah (padi) dengan sayur buah pepaya yang digarami,
rasanya begitu enal sekali.
Lalu dari
Bululawang dibawa ke mana lagi?
Saya dipindah ke Surowadang, saya handle oleh Letnan
Bonar, di situ merupakan pos kedua Trisula. Waktu diintrogasi oleh Letnan
Bonar, nasib baik menyertai saya, pakaian yang saya pakai compang-camping lalu
dicarikan ganti oleh Pak Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar, diberi sarung
untuk pakaian bawah sedang atasnya dikasih pakaian tentara milik temannya dari
Jawa Tengah. Waktu diintrogasi saya bahkan diberi susu, namun orang-orang di
sekitar saya yang juga diintrogasi, nasibnya sungguh menyedihkan, disekujur
tubuhnya penuh dengan lumuran darah. Di sebelah saya ada yang pantatnya rusak
akibat jatuh ke jurang waktu akan ditangkap sehingga tak bisa duduk, orang itu
bernama Sukro. Susu yang diberikan ke saya lantas aku bagikan ke teman-teman
itu, saya katakan “minumlah susu ini sebelum kita mati nanti”, karena dalam
benak saya, saya yakin pasti akan dibunuh. Nasib sial menemui anak-anak yang
bersamaku tadi, mereka mati ditembak. Mereka sebanyak 25 orang yang umurnya
rata-rata 20 tahun. Sedangkan saya kenal dengan komandan Batalyon 511, yaitu
Bapak Muslim Bagyo, akhirnya saya diajak tidur di tempatnya, tepatnya
ditempatkan di Letnan Bonar. Dari tempatnya Pak Muslim lalu saya dibawa ke
Lodoyo (pusat pos Operasi Trisula). Saya ditempatkan di perumahan yang
merupakan tempat Mantri Kehutanan, kebetulan ia keponakan dari suami saya.
Bahkan di tempat itu saya diperbantukan di dapur pos tentara di Lodoyo yang
dipimpin Kolonel Witarmin. Ditempat ini pula saya baru ketemu dengan
teman-teman saya yang Gerwani. Setelah diperbantukan di situ teman-teman
sebanyak tujuh orang dimasukkan di LP perempuan di Malang, tapi saya
ditempatkan di tahanan kantor Polisi Lodoyo yang waktu itu dipenuhi oleh
orang-orang gila. Dari Lodoyo lantas dipindah ke Kodim Blitar, lalu dipindah
lagi di Kantor Polisi Militer Blitar, ada beberapa malam dan dipindah lagi di
LP Blitar diawal Tahun1969. Waktu di LP Blitar saya dipanggil di Kodim dan
diberitahu bahwa suami saya Pak Bandi (Orang nomor satu di Comite Seksi PKI
Blitar) telah ditembak, lalu saya menanyakan di mana ? dan kapan ? Pihak Kodim
menjawab eksekusinya hari ini, sedangkan tempatnya tak diberitahukan. Saya
sendiri berfikir akan ditembak sesaat lagi,jadi tak bisa menangis waktu itu. Dari
LP Blitar saya dipindah ke pabrik rokok Kediri, di sana terdapat ratusan pria,
sedang wanita hanya beberapa orang. Karena sedikit tahanan wanita, maka
dipindah ke PM Kediri dan dipindah lagi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Madiun
(saya menduga akan dibuang ke pulau Buru), tapi rupanya dugaan saya keliru.
Ternyata saya di bawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, dan dipindah lagi
di Sidoarjo lalu dipindah ke Plantungan Kendal. Saya termasuk rombongan pertama
ke tempat itu karena wilayahnya masih hutan. Pada tahun 1970 (pertengahan)
sampai tahun 1978 saya menetap di Plantungan. Plantungan merupakan edisi
terakhir saya dipenjara, walapun begitu debgab adanya keputusan Pangkobkamtib
hak-hak saya sebagai warga negara Indonesia hilang dan tak boleh menuntuk hak
tersebut.
Sejak keluar dan menghadapi Pemilu 1980-an, apa ibu boleh
memilih
Oh ya tak boleh, saya baru boleh memilih sejak Pemilu 1999. Walaupun saya punya
hak memilih atau tidak, saya juga tak tahu yang saya pilih, wong saya ikut
kumpul-kumpul pengajian saja tak boleh, dicurigai melakukan gerakan politik.
Bahkan melawat orang matipun tidak boleh. Mungkin hal ini sifatnya kasuistik
yang terjadi di desa saya. Waktu saya dari Plantungan pulang ke rumah, saya
disambut bak orang pulang dari haji.
Sejak menikmati
hari-hari di rumah, apa ibu juga sering dipanggil yang berwajib ?
Ya saya sering. Wajib lapor, ya di Koramil maupun di
Kodim untuk diinterogasi.
Bagi tahanan yang
masih hidup apa agendanya Bu ?
Saya tak akan bentuk organisasi, tetapi saya akan mencoba
meluruskan sejarah 1965. Saya kan sebagai korban d mana saya merasa tak berbuat
apa-apa.
Sampai sekarang
Ibu aktif di mana ?
Saya gabung dengan LPKP (Lembaga Penelitian Korban
Pergerakan G 30/ S PKI) yang dipimpin dr Ribka Ciptaning Proletariat.
Apa anak Ibu ada
yang pegawai negeri?
Ya pasti tak ada, karena pasti tak boleh. Anak anak saya
cari makan seadanya. Walapun begitu toh Tuhan masih memberikan rezeki yang
cukup kepada mereka, bahkan ada yang menjadi direktur.
Pasca kejadian di
tahun 1965 sampai berakhirnya operasi trisula di Blitar Selatan daerah daerah
mana saja yang diperkirakan menjadi tempat tempat pembantaian?
Di sekitar sini saja (Srengat) ada beberapa tempat
diantaranya di Poluwan, di pertigaan lempung, di Dermojayan, di Kawedusan, dan
di Ponggok. Pokoknya kalau di Blitar secara keseluruhan banyak sekali. Ada yang
satu tempat saja kurang lebih 100 orang. Menurut informasi yang saya dengar
bahwa di Gunug Betet (Lodoyo) itu saja banyak sekali. Di Krisik saja satu desa
ada 600 orang korban yang dibantai. Jadi jumlah total di Blitar angkanya
mencapai ribuan.
Harapan ibu kepada
pemerintah sekarang bagaimana?
Pemerintah supaya memberikan kembali (rehabilitasi) hak
hak kita sebagai seorang WNI, termasuk juga keterunannya. Kedua, harus ada upaya
upaya pelurusan sejarah menengenai peristiwa G 30 S. Ketiga yang meninggal
harus diberi kompensasi kepada keluarganya, terutama secara ekonomi. Kita tak
ada rasa dendam, atau benci. Justru kita merasa kasihan kepada orang orang yang
terlibat dalam pratek pembantaian dulu, karena mereka hanya diperalat.
Terakhir, generasi muda harus diberi informasi apa adanya.