“Tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun.”
Saya asli Srengat, Kabupaten Blitar. Dilahirkan pada Bulan Nopember 1930 di Srengat. Pendidikan pertama yang saya terima di Sekolah Taman Siswa di Tulung Agung. Akibat pendudukan Jepang, Ayah saya yang seorang tokoh NU Pakis Rejo, Srengat dan tokoh Syarikat Rakyat di tahan oleh tentara Jepang. Karena Bapak ditahan, berikut hasil pertanian di sawah sekaligus persediaan pangan dirumah dirampas oleh Jepang, akhirnya saya disuruh berhenti oleh ibu untuk membantu kegiatan ekonomi keluarga. Saya sempat juga belajar sebentar di taiso untuk mempelajari katakana dan hiragana.
Saya katakan kepada Bapak saya, “Pak saya tidak usah sekolah, tetapi ikutkan ke teman Bapak yang paling pandai’. Akhirnya saya diikutkan oleh Bapak kepada Ibu Umi Sarjono. Beliau orang Salatiga, ketika pendudukan Jepang lari ke Blitar serta membuka restoran di Hotel Lestari. Perkenalan Ibu Umi dengan Bapak, ketika keduanya ditahan oleh Jepang di Rumah Tahanan di Blitar. Setelah keluar tahanan beliau berdua dibantu oleh Kyai Mucshin membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) cabang Blitar. Waktu itu saya diperbantukan sebagai juru ketik. Pada tahun 1946 saya gabung di PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Kertika pada tahun 1948 Belanda melakukan agresi ke Indonesia, saya bersama kawan kawan melakukan konfrontasi (push font) dengan Belanda di daerah Pakis Aji, Kabupaten Malang. Pada tahun 1949, ketika Gerwes (Gerakan Wanita Sedar) berdiri, saya bergabung di sana.
Secara struktural tak ada hubungannya, Gerwes adalah organisasi yang terpisah dengan PESINDO. Saya gabung di Gerwes karena prihatin melihat posisi perempuan kala itu. Perempuan sangat menyedihkan, seakan tak ada harganya, bahkan dijadikan obyek. Kita lahir sebagai wanita kan bukan kehendak kita sendiri, tapi itu kan ketentuan dari Alloh. Namun kenapa harus ada pendeskreminasian terhadap kaum wanita. Kita lihat konflik rumah tangga kerapkali kesalahan ditumpakan kepada wanita. Melalui Gerwes saya berharap dapat mengangkat derajat kaum wanita untuk membela kebenaran dan menuntut hak haknya. Perkembangan selanjutnya tahun 1950 Gerwes, bersama sama dengan 51 organisasi kewanitaan lainnya melakukan kongres dan membentuk organisasi besar yang bernama Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun yang sama pula, saya bersama kawan kawan di Kotapraja Blitar mendirikan Gerwani Cabang Blitar, dan saya diangkat melalui konferensi Cabang Gerwani sebagai Ketua, yang tadinya aktif di kabupaten Blitar. Karena berasal dari Kabupaten Blitar, maka keanggotaan saya di DPRD juga di Kabupaten Blitar. Saya menjadi anggota DPRD Peralihan sejak tahun 1955, yang akhirnya terus berubah menjadi DPRD Sementara, berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Saya duduk di Fraksi Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili dari Gerwani.
Seingat saya, dari 45 kursi DPRD di Kabupaten Blitar melalui pemilu tahun 1955, PKI memperoleh kursi 23. Sisanya dibagi NU dan PNI, sedangkan Masyumi, Murba, dan Perti kalau tak salah hanya mendapat 1 atau 3 suara. Untuk di wilayah Kotapraja Blitar, dari 15 kursi di DPRD, PKI mendapatkan kursi 10, sedangkan 5 kursi sisanya dibagi NU dan PNI. Karena kursi yang diperoleh mayoritas, maka Walikota Blitar saat itu Bapak Kusnadi juga simpatisan kiri. Sementara di Kabupaten, Bupatinya Bapak Darmaji memang terpilih sejak jaman Belanda.
Ya sejak peristiwa 1965 terjadi
Di Blitar kala itu situasinya sangat kondusif, tak ada ketegangan ketegangan antara kelompok masyarakat. Daerah kami sangat damai, bahkan saya sering kerja bareng dengan Bapak Kayubi dari Fraksi NU, beliau orang ansor. Jadi Agama-Nasionalis-Komunis, tetap kompak.
Kita waktu itu tidk mengerti apa apa tentang kejadian di Jakarta. Biasanya kalau PKI itu punya gawe (hajat) sudah pasti kita yang didaerah daerah mengetahuinya. Kira kira bulan Oktober 1965 rumah saya tiba tiba dijaga oleh tentara. Dan ketika saya melihat orang orang ansor bersama pasukan loreng loreng merusaki rumah rumah (baca: aset PKI) lantas saya pergi mengungsi.
Uuuuhhh, itu omong kosong. Sama sekali tak benar dan itu menunjukkan kebohongan. Kalau Gerwani digambarkan menyileti Jenderal Jenderal semacam itu, justru bertentangan dengan ideologi komunis. Kok gagah betul gerwani menyileti Jenderal Jenderal. Tapi yang melihat kok percaya juga yaa. Pokoknya semua itu bertolak belakang dengan cara perjuangan PKI. Saya menyimpulkan bahwa yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika Serikat dengan menempatkan Harto (baca: Mantan Presiden Soeharto) untuk ditanam disini sebagai agennya. Tugasnya adalah untuk menjatuhkan Soekarno. Tahun 1963 Bung Karno kan pernah punya konsep Trisakti, yaitu; Berpolitik bebas, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Berbudaya bangsa yang luhur. Nah, yang paling ditakuti oleh Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung Karno tak mau dipinjami oleh IMF. Bung Karno merencanakan dengan kekuatan bangsa sendiri kita pasti akan dapat hidup.
Sebab pendukung setia Bung Karno itu PKI. Karena Bung Karno itu satunya kata dan perbuatan di pihak rakyat tertindas, anti kapitalis, pemerasan dan penindasan. Jadi tak logis kalaui PKI berontak, wong PKI pendukung Bung Karno. Maka Soeharto menggunakan siasat para pendukung Bung Karno dulu yang dihancurkan. Karena kalau waktu itu ia “nembak” langsung ke Soekarno pasti akan mengalami kesulitan. Setelah peristiwa 1965 meledak katanya Bung Karno diamankan, setelah diamankan Bung Karno dikatakan sebagai PKI, Supersemar dihilangkan dan sebagainya. Saat pembunuhan terhadap tujuh jenderal itu, Harto kan menggunakan Letkol Oentung.
Bukan, siapa bilang. Kita tidak punya Jenderal yang PKI. Saya akui bahwa kita kemasukan Sjam yang sebetulnya orang-orang Amerika dan orangnya Soeharto.
Tak ada Biro Militer, yang ada itu Biro Politik
Itulah lihainya tentara, seakan akan dia komunis deles (tulen). PKI itu kelemahannya mudah percaya pada orang dan tak menaruh curiga apa apa, karena menurut agama su’udzhon (berburuk sangka) itu kan tak boleh.
Itu kan pasukan dari Solo yang belum dikenal oleh Bung Karno ketika mereka menyamar sebagai cakrabirawa dan membawa Bung Karno ke Lubang Buaya. Tapi setelah kejadian itu, Oentung kan ditembak sendiri oleh orang orangnya Harto dengan dalih untuk operasi pemulihan keamanan, disamping untuk menutup adanya hubungan rahasia antara Harto dan Oentung.
Begini lho nak, saat itu kita kan lagi konfrontasi dengan Malaysia. Kita menginginkan Malaysia sebagai saudara kita lepas menjadi boneka Inggris. Jadi persiapan kita untuk menggayang Malaysia adalah untuk menyingkirkan Inggris. Karena konfrontasi itu, maka Pemuda Rakyat dan Gerwani sedang menjalani latihan-latihan militer di banyak tempat, dan tak ada yang di Lubang Buaya waktu tragedi 65. Perlu dicatat sewaktu Bung Karno masih berkuasa, Pak Nas (Jend. Pur. Nasution) tak setuju jika Soeharto diberi posisi yang strategis, bahkan minta Harto dipecat saja. Pak Yani (Jendr. Pur. Ahmad Yani) adalah musuhnya Harto waktu itu. Harto itu pernah mengenyam pendidikan intelegen dari Amerika Serikat melalui Jenderal Suwarto yang merupakan gurunya. Pak Yani adalah orang yang tak setuju Harto disekolahkan. Jadi kita lihat waktu Oentung melakukan penculikan, rumah yang paling awal dituju kan rumahnya Pak Yani dan Pak Nas, karena memang keduanya merupakan musuh Harto. Sementara PKI mengkonsentrasikan diri untuk mendukung upaya upaya perjuangan Bung Karno.
Itu kan kata mereka, tapi yang jelas bahwa orang-orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun. Hal itu saya jadikan pegangan untuk berbuat baik. Karena kalau kita baik, jangankan perintah agama, naluri kemanusiaan saja sudah pasti orang itu tergugah.
Saya ya cari hidup, anak-anak saya pergi sendiri-sendiri, kecuali Si bungsu yang berumur 1 (satu) bulan bersama saya?. Lari pertama saya di adik saya di komplek AURI Abdurahman Saleh Malang, lantas saya lari dan menjadi babu di kebun kentang wilayah lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Selama disana 3 (tiga) bulan (1996) dan ketika tentara mau menggerebek saya turun. Ketika turun saya mencari teman saya bernama Letnan Supeno, saya minta surat pengakuan bahwa saya istrinya dia, surat itu saya gunakan untuk surat jalan ke Jakarta tapi sebelum ke Jakarta saya menginap di rumah keponakan yang kuliah di Universitas Gajah Mada (aktivis CGMI). Namun ketika saya di Yogja saya ditangkap oleh orang-orang Ansor sebanyak delapan orang dan tentara tujuh orang. Mereka tahu atas informasi dari pemuda demokrat Blitar yang waktu itu ada di Yogja. Saya ditahan 3 (tiga) bulan di Kantor Polisi Militer karena berdasar surat saya yang tak bawa dianggap bahwa saya adalah istri tentara. Pemeriksaan pertama dilakukan Letnan Silitonga. Di tahanan CPM ada lima orang perempuan bersama saya, diantaranya Bu Ridono (tokoh ketoprak Siswobudoyo), seorang Tionghoa, Bu Artin (anak UGM). Setelah tiga bulan kami dibawa di Rumah Tahanan di Yogja. Tapi saat itu pukul 12.00 WIB saya dibebaskan dengan syarat saya malam itu juga tak boleh berada di Yogja. Tepat jam 22.00 WIB ada kereta yang menuju ke Jakarta. Saya lantas naik kereta itu menuju Jakarta.
Pertimbangannya bahwa Jakarta adalah kota besar sehingga tempat perlindungan tentunya akan lebih baik, tapi tak tahunya justru lebih menyedihkan. Ketika sampai Jakarta saya teringat pernah memiliki kenalan dari Jember yang tinggal disana. Dulu ia adalah pegawai koperasi di Blitar lalu pindah ke Jakarta, namanya Imam Santoso. Dengan sisa uang Rp. 8.000,- saya naik becak dengan ongkos Rp. 5.000,- menuju ke tempat dia di daerah Bedara Cina. Sesampainya disana, ternyata rumahnya justru dijadikan tempat pelarian kawan-kawan dari Jember dan Banyuwangi sehingga penuh sesak. Terlihat orang-orang begitu banyak di dalam rumahnya, hingga untuk tidur pun harus duduk. Akhirnya terpikir dalam benak saya, “tak mungkin saya disitu”. Pertimbangannya akan mengundang kecurigaan orang, disamping juga tak ada tempat buat anak saya. Lalu saya pergi menuju tempat famili dari kakak saya di daerah Pisangan Baru, namun ketika sampai disana pun saya melihat suasana yang kurang kondusif.
Ya, di samping rumahnya kecil, takut juga nanti membebani dia dan keluarganya. Saya tak enak sendiri, takutnya nanti kalau ada pertanyaan macam-macam dari pihak Rukun Tetangga (RT). Jadi selama dua bulan di Jakarta saya hidup ngere (baca: Gelandangan) hanya berbekal pakaian dan perhiasan yang menempel ditubuh saya (sebagian perhiasan telah saya jual) serta keranjang bodol (baca: usang) yang berisi pakaian lusuh dari anak saya. Perhiasanku satu per satu, saya jual untuk memenuhi kebutuhan perut dan si kecil. Sedangkan tidurnya di tempat seadanya di Jakarta. Terakhir saya jual kalung untuk pergi ke Surabaya. Dengan bantuan famili yang bekerja di tempat penjualan tiket kereta api di Stasiun Jakarta Kota, saya berhasil mendapatkan tiket. Selama perjalanan di dalam kereta, tak terpikir olehku untuk singgah kemana sesampainya di Surabaya nanti. Beruntung di dalam gerbong itu saya ditawari oleh seorang tentara berpangkat Kapten bersama isteri dan bayinya untuk bekerja di rumahnya merawat bayi dan isterinya. Sesampainya di Stasiun Pasar Turi Surabaya, sang Kapten ternyata telah dijemput dengan mobil sedan waktu itu. Akhirnya kita semua meluncur menuju rumahya di daerah Kenjeran. Ternyata sang Kapten memiliki pabrik kaos di rumahnya, dan saya tinggal seminggu disana dengan bekerja merawat bayi mereka berdua. Tapi saya tak enak juga dengan keluarga Kapten itu, mengingat hanya bekerja sebagai perawat bayi kebutuhan hidup saya dipenuhi. Apalagi waktu itu operasi-operasi di Surabaya juga sedemikian ketatnya. Akhirnya saya memutuskan untuk pamit keluar, untuk pindah ke keluarga saya di daerah sekitar Rumah Sakit Karang Menjangan. Ia adalah kakak sepupu dari suami saya, ia juga seorang tentara bernama Letnan satu Nyoto dari kesatuan Sawonggaling. Ketika saya berada di rumah Pak Nyoto, keenam anak saya tiba-tiba menyusul. Tak tahu siapa yang memberitahukan waktu itu kalau saya tinggal di rumah Pak Nyoto. Karena kebetulan Pak Nyoto adalah ketua RT, maka kami semua dikasih surat pindah rumah dengan alasan rumah telah kebakaran. Dengan cincin yang sebenarnya tak ingin saya jual, akhirnya saya jual, guna menyambung hidup. Dengan modal jual cincin saya berjualan singkong rebus, dengan mengontrak di daerah Bendul Merisi (belakang Rumah Sakit Angkatan Laut) Surabaya. Di Bendul Merisi seingat saya di awal-awal tahun 1967 dan selama tujuh bulan saya jualan di daerah situ. Waktu di Surabaya saya tak pernah keluar, jadi yang belanja itu anak saya yang pertama berumur 14 tahun. Anak saya memang tak sekolah semua, karena waktu itu anak PKI tak boleh sekolah. Sampai bulan Agustus 1967 waktu itu saya sedang belanja di Pasar Wonokromo namun berjumpa dengan seorang Polisi dari Blitar, ia tetangga saya, walaupun secara pribadi baik, tapi lebih baik saya antisipasi terhadap apa yang kemungkinan terjadi, terpaksa anak-anak saya (kecuali Bungsu) suruh menyebar meninggalkan tempat itu entah kemana terserah mereka untuk mencari hidup walaupun waktu itu tak bisa memberi uang saku. Malam itu juga saya lari menuju Blitar Selatan bersama Si bungsu. Di Blitar di daerah pegunungan kan banyak teman-teman. Saya diterima baik disana, diberi makan meskipun dengan apa adanya. Pertama saya singgah di Desa Pakisaji, Kecamatan Maron Kabupaten Blitar. Namun tak tak lama tentara masuk ke daerah itu, takut tercium oleh tentara, maka saya pindah di Dukuh Krisik, Desa Ngrejo. Waktu saya di Ngrejo anak-anak saya mengetahuinya dan kita kumpul lagi. Walau hanya makan tiwul (jagung dilembutkan dan ditanak) rasanya bahagia sekali.
Tanggal 22 Deseber 1967 tentara melakukan operasi di Krisik, maka seluruh anak-anak saya termasuk bungsu dibawa turun oleh kakak-kakaknya. Saya lantas dengan orang-orang di daerah situ masuk ke hutan, karena pada waktu itu kalau ada laki-laki yang dianggap simpatisan PKI pasti ditembak. Tentara sangat lihai untuk mengidentifikasi orang gunung atau bukan dilihat dari posisi berdiri, kalau orang gunung kan kalau berdiri agak bungkuk ke samping, karena seringnya ngambil air dari jauh. Selama di hutan saya bersembunyi di gua-gua dan berpindah-pindah kalau malam hari. Sedangkan kalau makan ya menu seadanya, seperti pupus-pupus daun, pisang kalau ada, sedang kalau minum memakai kaleng-kaleng bekas minumnya tentara yang kebetulan melewati daerah itu.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1968 saya tertangkap di dalam gua oleh Batalyon 511, kemudian diikat kedua ibu jari ke belakang dan disambungkan keseluruh badan. Waktu di dalam hutan awal-awalnya banyak orang yang sama-sama pelarian tapi lambat-laun habis, ada yang tertangkap, pun juga ada yang dibunuh. Waktu itu pula sebelum tertangkap saya sering sembunyi di Bultuk, gua yang menjorok ke bawah (mirip sumur) dengan menyulur menggunakan akar-akar pohon. Gua Bultuk dahulu itu memang bersejarah, yaitu dipakai orang-orang gunung menyimpan cadangan pangan, karena waktu Operasi Trisula di Blitar selatan banyak oknum tentara yang merampas kekayaan penduduk bahkan jika melihat anak gadis atau janda yang cantik tak segan-segan untuk memperkosanya. Seperti kejadian yang terjadi di desa Ngleduk Kecamatan Surowadang, beberapa oknum tentara secara brutal memperkosa beberapa anak gadis dan janda lalu membunuhnya di gunung Kemiri. Ada sembilan lembu diambil oleh oknum-oknum itu namun ketika Komandan Batalyon 511 mengetahui prajurit itu disiksa. Kejadian lain yang dialami Pak Loso beserta 12 anggota keluarganya termasuk cucu ditembak, harta bendanya diambil dan rumahnya dibakar. Kalau PKI dikatakan Partai Kampak justru yang merampok adalah oknum-oknum itu. Pernah juga dalam suatu kejadian seluruh warga daerah situ sebanyak lima desa dikumpulkan jadi satu desa dan dikumpulkan di lapangan termasuk wanita dan anak-anak sampai kehujanan dan kepanasan bahkan tak dikasih makan.
Pertama dibawa ke Bululawang Kecamatan Bakung Blitar. Di situ merupakan pos pertama operasi Trisula, di situ saya di ejek dan diolok-olok oleh istri-istri tentara “Dapat roti dari RRT ya”? sambil menatap sinis. Di pos inilah saya pertama merasakan nasi, setelah sembilan bulan dalam hutan. Walaupun campur gabah (padi) dengan sayur buah pepaya yang digarami, rasanya begitu enak sekali.
Saya dipindah ke Surowadang, saya handle oleh Letnan Bonar, di situ merupakan pos kedua Trisula. Waktu diintrogasi oleh Letnan Bonar, nasib baik menyertai saya, pakaian yang saya pakai compang-camping lalu dicarikan ganti oleh Pak Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar, diberi sarung untuk pakaian bawah sedang atasnya dikasih pakaian tentara milik temannya dari Jawa Tengah. Waktu diintrogasi saya bahkan diberi susu, namun orang-orang di sekitar saya yang juga diintrogasi, nasibnya sungguh menyedihkan, di sekujur tubuhnya penuh dengan lumuran darah. Di sebelah saya ada yang pantatnya rusak akibat jatuh ke jurang waktu akan ditangkap sehingga tak bisa duduk, orang itu bernama Sukro. Susu yang diberikan ke saya lantas aku bagikan ke teman-teman itu, saya katakan “minumlah susu ini sebelum kita mati nanti”, karena dalam benak saya, saya yakin pasti akan dibunuh. Nasib sial menemui anak-anak yang bersamaku tadi, mereka mati ditembak. Mereka sebanyak 25 orang yang umurnya rata-rata 20 tahun. Sedangkan saya kenal dengan komandan Batalyon 511, yaitu Bapak Muslim Bagyo, akhirnya saya diajak tidur di tempatnya, tepatnya ditempatkan di Letnan Bonar. Dari tempatnya Pak Muslim lalu saya dibawa ke Lodoyo (pusat pos Operasi Trisula). Saya ditempatkan di perumahan yang merupakan tempat Mantri Kehutanan, kebetulan ia keponakan dari suami saya. Bahkan di tempat itu saya diperbantukan di dapur pos tentara di Lodoyo yang dipimpin Kolonel Witarmin. Di tempat ini pula saya baru ketemu dengan teman-teman saya yang Gerwani. Setelah diperbantukan di situ teman-teman sebanyak tujuh orang dimasukkan di LP perempuan di Malang, tapi saya ditempatkan di tahanan kantor Polisi Lodoyo yang waktu itu dipenuhi oleh orang-orang gila. Dari Lodoyo lantas dipindah ke Kodim Blitar, lalu dipindah lagi di Kantor Polisi Militer Blitar, ada beberapa malam dan dipindah lagi di LP Blitar di awal tahun 1969. Waktu di LP Blitar saya dipanggil di Kodim dan diberitahu bahwa suami saya Pak Bandi (Orang nomor satu di Comite Seksi PKI Blitar) telah ditembak, lalu saya menanyakan di mana ? Dan kapan ? Pihak Kodim menjawab eksekusinya hari ini, sedangkan tempatnya tak diberitahukan. Saya sendiri berfikir akan ditembak sesaat lagi, jadi tak bisa menangis waktu itu. Dari LP Blitar saya dipindah ke pabrik rokok Kediri, di sana terdapat ratusan pria, sedang wanita hanya beberapa orang. Karena sedikit tahanan wanita, maka dipindah ke PM Kediri dan dipindah lagi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Madiun (saya menduga akan dibuang ke pulau Buru), tapi rupanya dugaan saya keliru. Ternyata saya di bawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, dan dipindah lagi di Sidoarjo lalu dipindah ke Plantungan Kendal. Saya termasuk rombongan pertama ke tempat itu karena wilayahnya masih hutan. Pada tahun 1970 (pertengahan) sampai tahun 1978 saya menetap di Plantungan. Plantungan merupakan edisi terakhir saya dipenjara, walapun begitu dengan adanya Keputusan Pangkobkamtib hak-hak saya sebagai warga negara Indonesia hilang dan tak boleh menuntut hak tersebut.
Oh ya tak boleh, saya baru boleh memilih sejak Pemilu 1999. Walaupun saya punya hak memilih atau tidak, saya juga tak tahu yang saya pilih, wong saya ikut kumpul-kumpul pengajian saja tak boleh, dicurigai melakukan gerakan politik. Bahkan melayat orang mati pun tidak boleh. Mungkin hal ini sifatnya kasuistik yang terjadi di desa saya. Waktu saya dari Plantungan pulang ke rumah, saya disambut bak orang pulang dari haji.
Ya saya sering. Wajib lapor, ya di Koramil maupun di Kodim untuk diinterogasi.
Saya tak akan bentuk organisasi, tetapi saya akan mencoba meluruskan sejarah 1965. Saya kan sebagai korban di mana saya merasa tak berbuat apa-apa.
Saya gabung dengan LPKP (Lembaga Penelitian Korban Pergerakan G30S/PKI) yang dipimpin dr Ribka Ciptaning Proletariat.
Ya pasti tak ada, karena pasti tak boleh. Anak anak saya cari makan seadanya. Walapun begitu toh Tuhan masih memberikan rezeki yang cukup kepada mereka, bahkan ada yang menjadi direktur.
Di sekitar sini saja (Srengat) ada beberapa tempat diantaranya di Poluwan, di pertigaan Lempung, di Dermojayan, di Kawedusan, dan di Ponggok. Pokoknya kalau di Blitar secara keseluruhan banyak sekali. Ada yang satu tempat saja kurang lebih 100 orang. Menurut informasi yang saya dengar bahwa di Gunug Betet (Lodoyo) itu saja banyak sekali. Di Krisik saja satu desa ada 600 orang korban yang dibantai. Jadi jumlah total di Blitar angkanya mencapai ribuan.
Pemerintah supaya memberikan kembali (rehabilitasi) hak hak kita sebagai seorang WNI, termasuk juga keterunannya. Kedua, harus ada upaya upaya pelurusan sejarah menengenai peristiwa G 30 S. Ketiga yang meninggal harus diberi kompensasi kepada keluarganya, terutama secara ekonomi. Kita tak ada rasa dendam, atau benci. Justru kita merasa kasihan kepada orang orang yang terlibat dalam pratek pembantaian dulu, karena mereka hanya diperalat. Terakhir, generasi muda harus diberi informasi apa adanya.