“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]
SIMPOSIUM NASIONAL
Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan
Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)
MASS GRAVE
Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..
TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]
Pengantar Buku Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna oleh Asep Sambodja
Kepahitan bila berlalu Jadi lagu sangat merdu(“Sisi yang Cerah”)
Pada mulanya adalah ketidakadilan. Sehari setelah Presiden
Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah
pengamanan, dan bukannya transfer of authority, Soeharto
mengeluarkan surat keputusan No. 1/3/1966 yang berisi: 1) membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk bagian-bagian organisasinya dari
tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang
seazaz/berlindung/bernaung di bawahnya. 2) menyatakan PKI sebagai
organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuatan negara Republik
Indonesia (Adam, 2009; Samsudin, 2005).
Menindaklanjuti surat keputusan itu, pada 5 Juli 1966, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang diketuai A.H. Nasution
mengeluarkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI,
pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara
Indonesia bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan,
mengembangkan faham, atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme (Samsudin,
2005).
Apa implikasinya? Negara berusaha
mencuci-tangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan
algojo-algojonya dalam massacre yang terjadi pascaperistiwa G30S 1965.
Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka
enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling
besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Sebelum PKI
dilarang, banyak anggotanya yang dibunuh, ditangkap, disiksa, ditahan
bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.
Soal jumlah yang pasti
mengenai korban yang mati memang belum jelas, karena negara sendiri
mencoba menyembunyikan peristiwa berdarah ini dalam kolong sejarah
bangsa Indonesia. Tapi, sebagaimana Robert Cribb, Ricklefs (2005) juga
menyebutkan bahwa jumlah anggota PKI yang dibunuh sedikitnya 500.000
orang. Harian Kompas, 13 Agustus 2001 menyebutkan korban yang
meninggal dalam pembunuhan massal 1965-1966 hingga satu juta jiwa. Sarwo
Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang
memimpin pembantaian massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali itu
bahkan mengklaim telah membunuh tiga juta orang komunis (Ricklefs, 2005;
Aleida, 2009).
Selain itu terjadi penangkapan
disertai penyiksaan dan penahanan terhadap orang-orang PKI yang semuanya
tanpa proses pengadilan. Harus dicatat di sini bahwa penangkapan,
penyiksaan, dan penahanan itu tidak melalui proses pengadilan. Ricklefs
(2005) menyatakan sedikitnya ada 100.000 orang yang diperlakukan secara
aniaya seperti itu. Kompas menyebutkan ada 700.000 orang yang
dizalimi. Mereka memenuhi penjara-penjara yang ada di Jawa dan sebagian
dibuang ke Pulau Buru.
Terkait dengan hal itu,
perempuan-perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani) justru mengalami penderitaan yang berlipat-lipat.
Mereka tidak saja ditangkap dan ditahan, tetapi juga diperkosa
berkali-kali di dalam penjara. Testimoni yang mereka berikan terekam
dengan baik dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia (2008).
Melihat peristiwa ini, Amerika hanya menutup mata. Bahkan
mereka merasa gembira karena Soeharto telah berhasil menyingkirkan
kekuatan sayap kiri di Indonesia. John Roosa menulis, “Washington sangat
gembira ketika tentara Soeharto mengalahkan G30S dan merangsak
menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Soekarno dalam perang dingin
dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali
pukul. Tentara Soeharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara
boneka AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar
dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya”
(Roosa, 2008).
Sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI mengalami nasib sial.
Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Hersri Setiawan, dan S.
Anantaguna—untuk menyebut beberapa nama saja—mengalami penganiayaan oleh
Rezim Orde Baru. Sebagai anggota Lekra, Putu Oka Sukanta dipenjara
Rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili (Sukanta,
2008). S. Anantaguna sendiri mendekam di penjara selama 13 tahun
(1965-1978) juga tanpa diadili dan tidak tahu kesalahannya apa.
Pramoedya
Ananta Toer mengatakan dalam esainya, “Saya Bukan Nelson Mandela”,
bahwa ia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dengan membawa
selembar kertas yang menyatakan dirinya tidak terlibat dalam G30S.
Namun, tidak ada proses hukum untuk merehabilitasi namanya. Negara tidak
merehabilitasi dan tidak memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI,
termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, yang telah mengalami penganiayaan
selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan itu. Khusus untuk
sastrawan Lekra, mereka tidak saja ditahan, melainkan buku-buku mereka
juga dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian adalah karya-karya
mereka lenyap dari buku sejarah sastra Indonesia (Sambodja, 2009).
Mereka adalah orang-orang yang dizalimi bahkan sampai saat ini, karena
Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 itu belum dicabut.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga mantan Ketua Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer
sebagai simbol korban pembantaian massal yang pernah dilakukan negara
terhadap rakyatnya sendiri (Kompas, 15 Maret 2000). Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
yang juga sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), menyayangkan sikap
Pramoedya Ananta Toer yang tidak meniru sikap Nelson Mandela yang
melakukan rekonsiliasi dengan Rezim Apartheid di Afrika Selatan yang
pernah menindas Mandela (Mohamad, 2004). Menurut Pramoedya Ananta Toer,
permintaan maaf Gus Dur itu hanya basa-basi, karena permintaan maaf itu
tidak disertai dengan ketetapan MPR/DPR. Sekarang kita pertanyakan
kembali: bisakah anggota DPR dan MPR yang sekarang ramai dengan
artis-artis sinetron dan pelawak-pelawak itu bisa mewujudkan penegakan
hukum di negeri ini—di tengah genggaman dan kekangan mafioso peradilan?
Apakah mereka punya hati nurani? Apakah mereka punya nyali?
Puisi-puisi Sabar Anantaguna atau yang lebih dikenal dengan S.
Anantaguna ini seperti mengekalkan kezaliman yang diwarisi Rezim
Soeharto, yang tangannya berlumuran darah. Penuh darah rakyatnya
sendiri. Yang dihasilkan Anantaguna sungguh luar biasa; suara yang
dikeluarkannya seperti suara nabi. Mungkin ini terdengar agak
berlebihan. Tapi, kalau melihat penganiayaan yang dilakukan Rezim
Soeharto kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra,
maka yang mereka alami itu lebih memiriskan hati. Dalam pembicaraan
dengan mantan-mantan tahanan politik (tapol) yang tergabung dalam
Lembaga Pembelaan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB),
seorang di antaranya mengatakan bahwa penyiksaan yang mereka alami lebih
sadis dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Nabi Isa. Benarkah? Wallahualam bissawab.
Tapi, kalau membaca puisi-puisi S. Anantaguna, kehidupan mereka di
dalam penjara Orde Baru itu sebenarnya sudah berada di ujung tubir
antara hidup dan mati.
Yang Diburu Juga Memburu Mimpi yang ditimang malam dengan bintang Mimpi yang diemban malam pesta bulan mengadu rindu
Hati digoncang banting antara hidup dan mati diburu tetapi juga ditakuti tak bisa mati
Mimpi yang diayun angin bau embun Mimpi sesah angin dari lembah menambah indah
Di bumi sepi diburu hidup dan mati menerawangi hati mencari makna tanpa nyanyi
Puisi “Yang Diburu Juga Memburu” menggambarkan betapa batas
antara hidup dan mati memang lebih tipis dari kulit bawang. Terkadang
manusia merasa diburu kematian sebagaimana Chairil Anwar mengatakan
dalam puisi-puisi akhirnya, “hidup hanya menunda kekalahan” (Anwar,
1990). Tapi, terkadang pula manusia memburu kematian itu jika berada
dalam titik nadir kehidupannya. Barangkali kematian menjadi demikian
indah jika harga diri sebagai manusia telanjur disampahkan. Di sisi
lain, orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian yang maha berat itu
akan merasai makna kehidupan itu sendiri.
Kepedasan Hidup Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah biar pohonnya tidak cepat mati bila hati matang, dik, petiklah seperti kecapi Biar hidup tidak kehilangan arti
Meski megap-megap hidup diarungi Mengapa berjawab mati Dari ujung kembali ke pangkal kita kejar soal memecahkan soal melahirkan soal
Betapa hati berdegup merebut kualitas hidup Awan tidak peduli kita hidup atau mati
Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah biar pohonnya tidak cepat mati Bila hati mematang, dik, petiklah seperti kecapi Tanpa persoalan hidup ini sudah mati!
S. Anantaguna berupaya untuk menikmati hidup ini. Melalui
puisi “Kepedasan Hidup”, Anantaguna ingin mengatakan dua hal. Pertama,
ia yang telah menjalani sebagai tahanan selama 13 tahun tanpa proses
hukum, mengerti benar kerasnya atau pedasnya kehidupan. Kedua, pedasnya
hidup itu menjadi pengalaman sekaligus pelajaran yang sangat berharga.
Kalau hal itu dianggap sebagai persoalan, maka persoalan itu harus
ditaklukkan. Dan sejatinya kehidupan tanpa ada persoalan seperti hampa
saja, sebagaimana dikatakan penyair, bahkan tak beda dengan kematian itu
sendiri. Puisi “Sisi yang Cerah” yang saya kutip di atas, yang saya
ibaratkan seperti suara nabi, menegaskan pada pembaca bahwa keberhasilan
kita melalui segala rintangan, penderitaan, kepahitan, maka yang
dirasakan kemudian adalah keindahan. Anantaguna menuliskannya dengan
sangat indah: “Kepahitan bila berlalu, jadi lagu sangat merdu”.
Kini, setelah melalui masa-masa sulit itu, Anantaguna
merefleksikan peristiwa yang membuatnya berada di titik nadir itu dengan
bersahaja. Kebersahajaan itu terbaca dari puisi-puisinya yang
menertawakan keadaan, menertawakan kehidupan, bahkan menertawakan diri
sendiri. Anantaguna sudah memasuki tahap yang sangat matang, sehingga
dengan mudahnya ia memetik buah pengalamannya itu. Puisi-puisi yang
lahir dari tangannya adalah puisi-puisi yang bergizi.
Interogasi Siapa namamu namaku cinta
Di mana rumahmu di hati manusia
Apa pekerjaanmu memperindah dunia
Apa duniamu kamar tiga kali dua kalau sakit tidak diperiksa tidak sakit malah diperiksa
Siapa temanmu tak tahu
Harus tahu! baiklah kalau harus menipu
Siapa menipu! boleh jabat tangan seri satu-satu
Luar biasa! Saya menempatkan sastrawan-sastrawan Lekra ke
tempat yang terhormat kembali. Dalam pandangan saya, posisi mereka
sebagai sastrawan senantiasa berada di tengah-tengah rakyatnya. Ada
kewajiban bagi sastrawan Lekra untuk benar-benar menyelami dan
menghayati penderitaan masyarakat yang ada di lingkungannya dan kemudian
mereka mengartikulasikan apa yang dirasakan rakyat melalui
karya-karyanya. Di sinilah saya melihat para sastrawan berjasa dalam hal
memperkaya kebudayaan bangsanya. Mereka turut serta membangun monumen
peradaban bangsa.
Penyair-penyair salon tidak akan
menghasilkan karya seperti itu, karena mereka tidak mau “turba”, tidak
mau berkeringat dan kerja keras menyuarakan kebenaran hakiki yang
bersemayam dalam jiwa dan hati orang-orang kecil. Bukankah Tuhan sendiri
berada dalam diri orang miskin, lemah, duafa? Sebagaimana hadits nabi
Muhammad, “Carilah Aku di tengah-tengah kaum duafa. Bukankah kalian
ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang duafa?” (Rakhmat,
1991).
Sungguh mengherankan bagi saya bagaimana Taufiq Ismail melalui buku Prahara Budaya
menyudutkan sastrawan-sastrawan Lekra untuk lebih terperosok lagi.
Dalam buku yang disuntingnya bersama D.S. Moeljanto itu, Taufiq Ismail
berupaya keras menaut-nautkan karya para sastrawan Lekra dengan
peristiwa G30S. Ini, misalnya, tampak ketika ia menginterpretasi puisi
Mawie Ananta Jonie yang berjudul “Kunanti Bumi Memerah Darah” dan esai
Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total”
(Moeljanto, 1995). Padahal, kalau kita kaji dua tulisan itu dengan hati
bersih, maka tidak ada sama sekali kata atau kalimat atau simbol dalam
karya mereka yang mengarah ke peristiwa berdarah itu (Sambodja, 2009).
Saya pikir aneh kalau Taufiq Ismail berasumsi atau malah
menuduh sastrawan-sastrawan Lekra itu terlibat dalam G30S. Apa bukti
mereka terlibat dalam peristiwa itu? Apa pula bukti perempuan-perempuan
Gerwani terlibat dalam penculikan dan pembunuhan itu? Bukankah
perempuan-perempuan itu ditelanjangi secara paksa oleh tentara, dan
bukannya menari telanjang sebagaimana yang dimitoskan selama ini?
(Roosa, 2008; Nadia, 2008; Poesponegoro, 1984). Apa pula bukti
keterlibatan ratusan ribu anggota PKI yang dibunuh tentara dan milisi
antikomunis dalam peristiwa itu? Siapa sebenarnya Letkol Untung Samsuri
dan Kolonel Abdul Latief itu? Bukankah mereka teman dekat Soeharto
sendiri? (Adam, 2009).
Tentu saja kita bersyukur atas
terbitnya buku-buku sejarah yang memberikan perspektif yang baru
seperti itu; tidak melulu dari kacamata penguasa. Kita juga bersyukur
atas terbitnya buku Lekra Tak Membakar Buku yang memberikan
gambaran mengenai sastrawan dan seniman Lekra secara proporsional
sebagai komplemen terhadap buku Prahara Budaya. Demikian juga dengan
terbitnya buku Gugur Merah dan Laporan dari Bawah yang sedikit banyak menyelamatkan aset budaya bangsa yang selama ini diberangus Rezim Orde Baru (Yuliantri, 2008).
Lahirnya Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna ini menjadi
bukti bahwa kebenaran tidak bisa dimusnahkan dari muka bumi. Sebagai
penyair, Anantaguna tidak perlu lagi berpura-pura menyuarakan
penderitaan orang lain, karena pengalaman yang dialami Anantaguna
merupakan ujian yang maha berat, sebagaimana tokoh-tokoh besar yang
keluar dari kawah candradimuka. Maka, apa yang dituturkan Anantaguna
adalah suara-suara yang di dalamnya terpancar kasih Ilahi. Saya kutip
sebuah puisi Anantaguna untuk mengakhiri pengantar ini.
Catatan Menghidupi hidup menghayati hati
Angin merunduk memeluk bumi
Kecup hidup sampai mati Citayam, 15 November 2009 __________ AcuanAdam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas. Aleida, Martin. 2009. Mati Baik-baik, Kawan. Yogyakarta: Akar Indonesia. Anwar, Chairil. 1990. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia. Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. Di Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata. Yogyakarta: Buku Baik. Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (ed.). Prahara Budaya. Bandung: Mizan. Mohamad, Goenawan. 2004. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet. Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism.” Monografi. Belum diterbitkan. Samsudin. 2005. Mengapa G30S/PKI Gagal?. Jakarta: Buku Obor. Sukanta, Putu Oka. 2008. Surat Bunga dari Ubud. Depok: Koekoesan. Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merakesumba.