I. Berdirinya sebuah organisasi wanita revolusioner sangat diperlukan oleh gerakan revolusioner pada masa setelah perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan (1950), karena organisasi merupakan wadah dalam gerakan memperjuangkan cita-cita. Oleh karena itu wanita-wanita revolusioner yang kebanyakan pernah bergerak dibawah tanah selama pendudukan Belanda dan ikut serta dalam perjuangan bersenjata, berusaha untuk membangun suatu organisasi wanita revolusioner sebagai wadah untuk dapat menampung gerakan dan melancarkan perjuangan revolusioner dalam gerakan nasional untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sejati bagi Tanah Air dan Bangsa.
Pada masa sehabis perjuangan bersenjata tahun 1945-1950 wanita-wanita revolusioner tidak puas dengan organisasi-organisasi wanita yang ada, seperti Perwari, Wanita Sosialis, Wanita Demokrat Aisyah, Muslimat NU, dsb. Tetapi tidak berarti organisasi revolusioner itu akan berjuang menyendiri, semua organisasi wanita termasuk organisasi istri-istri (AD, AURI, AL, AK)
masuk dalam wadah Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Rasa kurang puas itu disebabkan beberapa faktor:
1. Kebanyakan organisasi wanita gerakannya terbatas soal-soal kewanitaan, ringan, monoton, tanpa risiko.
2. Hampir semua mempunyai program pendidikan, mendirikan sekolah-sekolah umum. Hal ini baik, namun bila terjadi hal-hal yang perlu diperjuangkan (secara politik), mereka tidak mau.
3. Mengenai hak-hak wanita. Tidak tergerak untuk membela wanita dalam kejadian sehari-hari umpamanya kasus-kasus perkosaan, poligami dan perkawinan anak-anak.
4. Tidak pernah ada aksi atau gerakan yang bersifat nasional secara bersama-sama.
5. Tidak mau membicarakan, apalagi mengadakan aksi menentang ijon di desa-desa, lintah darat, upah menuai padi yang sangat rendah, dan banyak problem kehidupan di desa dalam kehidupan wanita buruh tani yang sangat miskin.
Atas dasar pengalaman diatas, maka diluar organisasi wanita yang telah ada, dibentuk Gerakan Wanita Indonesia Sedar (GERWIS) sebagai organisasi wanita revolusioner yang segera mendapat sambutan hangat, terutama didesa-desa, dan cepat berkembang diseluruh nusantara (4 Juni 1950). Pendapat yang bisa kita simpulkan dari para aktivis dalam konferensi-konferensi kerja, kongres atau kursus-kursus kader antara lain sbb:
Dasar perjuangan wanita Indonesia adalah berdasarkan UUD '45, dimana kaum wanita dan pria memiliki hak serta kewajiban yang sama dalam perjuangan nasional untuk penegakkan kemerdekaan Negara dan Bangsa.
Wanita Indonesia bukan penganut faham Feminisme yang perjuangannya bersifat memusuhi kaum lelaki demi persamaan hak. Justru wanita Indonesia harus bersama-sama kaum laki-laki dalam perjuangan nasional yang telah ditetapkan sejak 1928 (Sumpah Pemuda).
Pendapat mengenai arti feminisme saat itu memang sangat dipengaruhi oleh ajaran Bung Karno yang tertulis dalam buku "Sarinah" -yang mengambil contoh perjuangan wanita Eropa sebelum Revolusi Perancis dan Amerika. Dan saat itu dunia juga belum menunjukkan gerakan wanita yang menganut Feminisme seperti tahun-tahun berikutnya. Pada saat itu kami di Indonesia masih bisa melihat wanita-wanita di Eropa, umpamanya di Swiss yang belum memperoleh hak-hak sepenuhnya seperti hak pilih, dan tidak dapat tanda tangan mengenai urusan finansial, hutang-piutang, dan sebagianya.
(Catatan: Penulis saat itu bekerja di GWDS Berlin, 1958)
Di Swiss tidak ada gerakan apa-apa. Di Basel (Swiss) wanita belum punya hak pilih. Dalam Kongres Wanita Itali, utusan Swiss menyatakan hal tersebut (1960). Di Indonesia, buku perjuangan Clara Zetkin dari Jerman dipelajari dan Hari Wanita Internasional (8 Maret) mulai dirayakan di Indonesia sejak di Istana, sampai di desa-desa. (walaupun dalam arti sempit. ??) Tetapi harus juga diakui bahwa gerakan membela hak-hak wanita di Indonesia makin menarik perhatian wanita secara luas. Terutama soal menentang poligami sebagai sisa sistim feodal.
Juga kaum lelaki ikut tertarik dan sering menghadiri ceramah-ceramah umum yang diadakan oleh organisasi. Ceramah-ceramah kadang-kadang berlangsung 4-5 jam termasuk tanya-jawab.
Pedoman ceramah pada dasarnya mengenai Perjuangan Naisonal yang harus didukung kaum pria dan wanita -perlu diorganisirnya perjuangan membela hak-hak wanita menentang poligami, pelanggaran moral, masalah hak waris, menentang kesewenang-wenangan, dsb. Soal hak-hak anak-anak, pendidikan keterampilan, PBH, TK Melati dsb. Bersatu dengan kaum tani miskin
meningkatkan kehidupan sosial kaum tani di desa-desa.
Ada sebuah pengalaman yang khas, tatkala Partai mengadakan gerakan pembersihan moral; Fungsionaris Partai tidak boleh poligami, tidak boleh memiliki tanah lebih, sehingga tidak dapat mengerjakan sendiri. Kader-kader wanita revolusioner yang terpilih ikut sibuk menangani perceraian secara damai. Sulit, tetapi bisa diselelesaikan berkat kesadaran dan kesetiaan yang tinggi para fungsionaris serta istri-istri yang bersangkutan. Banyak liku-likunya, selesai dengan perasaan mendalam, kegetiran hidup yang tiada tara. Meski demikian, tiada air mata yang mengiringi perceraian, karena kedua belah pihak telah sadar. Bagi kader yang bertugas, merupakan pengalaman yang tidak akan hapus dalam kenangan.
***
Pengalaman perjuangan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sebuah gerakan yang hanya untuk membela hak-hak wanita tidak akan dapat menyelesaikan soalnya, bila tidak dibarengi dengan melawan sebab-sebabnya yang berakar. Yaitu sistim feodal yang masih tersisa di seluruh tanah air dan sistim ekonomi politik kolonialis dan kapitalistis.
2. Kolonialis Belanda mendukung RMS di Maluku dan OPM di Irian Barat. Gerwani mengadakan aksi-aksi menentang kenaikan harga kebutuhan pokok, menentang korupsi, tuan tanah dan setan-setan desa.
3. Pengalaman telah menunjukkan bahwa dalam gerakan tersebut tidak ada organisasi wanita lain yang ikut serta dalam aksi-aksi. Juga Kongres Wanita tidak pernah mempersoalkan pelanggaran hak-hak wanita, seperti kasus Attamimi, perkosaan serta pembunuhan di Jawa Timur, aksi-aksi tanah garapan di Tanjung Morawa, dsb. Semua aksi-aksi tersebut dilancarkan Gerwani dengan mengerahkan massa di mana-mana. Sidang Kongres Wanita untuk memprotes
Presiden Sukarno kami nilai sebagai aksi politik menentang kepemimpinan Presiden Sukarno.
4. Organisasi tidak setuju untuk menyebarluaskan protes tersebut dan jika diadakan pengambilan suara, kami tidak setuju. Akhirnya setelah perdebatan ramai dan diadakan schorsing, statement tidak jadi diadakan.
Pengalaman di atas menjadi pelajaran sbb;
a. Organisasi gerakan yang mempunyai tujuan luas secara nasional harus mempunyai pandangan luas pula, segala soal harus dilihat dari banyak segi, disesuaikan dengan keadaan konkrit pada masanya. Salah langkah bisa fatal akibatnya.
b. Berani menghadapi risiko. Pegangan pendirian yang kuat dan tidak mudah kena pengaruh.
c. Pengalaman baik atau buruk perlu disampaikan kepada aktivis di basis organisasi, sehingga semua yang terjadi dalam gerakan dapat dimengerti dan dijadikan bahan diskusi.
d. Suatu bukti, bahwa wadah organisasi revolusioner adalah mutlak.
II. Program perjuangan yang diputuskan oleh Kongres merupakan pegangan dari pusat sampai ke basis di desa-desa. pokok program adalah sbb:
1. Aktif dalam perjuangan nasional mencapai cita-cita revolusi Agustus 1945, kemerdekaan sejati, anti-feodalisme, kolonialisme dan imperialisme untuk mencapai terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
2. Membela hak-hak wanita, menentang poligami, penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap wanita, perkosaan membela hak waris, dsb.
3. Membela hak-hak anak-anak. Menentang kawin anak-anak, meningkatkan pendidikan, memperluas TK "Melati", gerakan PBH (Pemberantasan Buta Huruf) sedari anak-anak sampai orang dewasa.
4. Bekerja sama dengan organisasi-organisasi lainnya dalam hal perjuangan meningkatkan kehidupan kaum tani. Menentang pemerasan di desa-desa.
5. Meningkatkan kehidupan sosial budaya, ekonomi dengan aktif meningkatkan gerakan-gerakan yang semakin meluas, baik di pusat maupun di daerah.
Secara konkrit aksi-aksi tersebut antara lain adalah:
1. Aksi tanah di Sumatera Utara, Tanjung Morawa.
Wanita tani dipimpin Ny. Maesi, ketua Cabang Gerwani ikut berbaris di depan untuk menghalangi traktor yang akan meratakan tanaman kaum tani. Aksi ini dipimpin oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) tahun 1955. Baik dari tentara, yang main tembak, maupun dari kaum tani sama-sama jatuh korban. Pentraktoran berhenti menunggu panen dan semua masalah dirundingkan dengan Pemerintah dan Pihak Perkebunan.
2. Aksi tanah di Jengkol (Kediri, Jawa Timur) pada tahun 1957. Juga alat negara main tembak. Banyak yang luka, wanita yang meninggal seorang, bernama Sundari. Yang luka banyak. Ada seorang wanita yang ikut delegasi menghadap Pemerintah Pusat.
3. Aksi-aksi menentang penggusuran tanah ladang dan tempat tinggal terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dsb. Karena aksi bersifat massal, maka seringkali yang ditangkap dan dipenjarakan juga bersifat massal. Seperti pernah terjadi di Jombang, Kediri, di Nganjuk lebih dari 600 orang, di Sragen sampai 400 orang, di Pati 200 orang, Kudus dan Jepara kl. 300 orang masuk penjara. Semuanya dibebaskan setelah Pemerintah Pusat dan Wakil-wakil DPR Pusat turun tangan dengan meninjau lapangan dan penjara-penjara. Demikian pula di Indramayu, Jawa-Barat, rata-rata separuh jumlahnya adalah wanita. Berkali-kali utusan DPP Gerwani, DPD dan cabang-cabang meninjau para tahanan untuk bertemu wicara dengan wanita tua-muda yang masuk penjara, bahkan ada beberapa yang pengantin baru, seperti di Kudus (terlihat dari bekas rias wajah dengan cukuran dahi sesuai tradisi Jawa). Juga suami-suami mereka masuk penjara. Daerah aksi tanah di Jepara sangat khas. Masuk ke daerah aksi tidak mudah. Melalui sungai dan hutan, memakai kode berantai sepanjang jalan untuk menentukan apakah yang datang itu kawan atau musuh aksi. Sesudah melalui menara penjaga di puncak pohon Jati yang besar sebagai penjagaan terakhir, maka kami melewati sungai dan sawah-sawah, yang membentang luas dengan tanaman padi yang menghijau. Tetapi ada tiga petak memanjang kosong yang memanjang dengan ujungnya jauh tidak tampak nyata."Mengapa kosong tidak ditanami?" Jawabnya, "Itu milik tuan tanah. Kami petani di sini tidak sudi menggarapnya. Dia musuh kaum tani yang suka berteman Polisi Hutan, Polisi Negara, dan Tentara yang memusuhi kami. Biarlah tumbuh rumput dan mereka makan rumput, mereka memasukkan teman-teman kami ke dalam penjara sampai beratus-ratus. Silahkan ibu tengok teman-teman kami dipenjera. Dengan bantuan keluarga, kami bisa menemui mereka yang masih dalam penjara". Meski tersirat kegetiran hidup, tetapi wajah mereka tampak tetap bergairah tegak menyala. Mereka memandang puncak matahari di atas hutan Jati. Disanalah terpancang benang-benang emas yang menentukan kemenangan aksi mereka mempertahankan tanah garapan.
Seluruh rakyat desa terikat erat dalam kesatupaduan jiwa. Tiga bulan penjara tidaklah lama. "Dua bulan lagi teman-teman akan bebas dan mereka akan kita sambut dengan pesta hasil panen tanah garapan ini, di tempat mereka diadili secara massal di Balai Desa".
Terjadi pula "aksi bongkok" terhadap kepala desa yang sewenang-wenang terhadap warganya.
Menarik uang sokongan untuk diri sendiri, jatah koperasi dikurangi, memalsu warisan tanah, memaki-maki rakyatnya sampai memukul warga, tidak pernah memberi sokongan. Suatu saat penduduk lelaki dan wanita sepakat untuk melakukan "aksi bongkok". Kepala Desa tersebut diikat dan digotong rame-rame dibawa ke kantor Kecamatan. Diserahkan kepada Pak Camat beserta surat protes serta tuntutan kaum tani agar kepala tersebut diganti. Pak Camat bijaksana. Tuntutan diterima. Setelah diperiksa, Kepala Desa tersebut dipecat lalu diadakan pemilihan kepala desa baru. Namun aparat hukum menganggap rakyat Desa Singopadu, Sragen, Jawa-Tengah tersebut main hakim sendiri. Akibatnya ratusan orang ditahan. Setelah dari Pusat campur tangan, kaum tani yang ditahan tersebut dibebaskan (terjadi pada th.1963).
Agak merata aksi-aksi bagi hasil secara sepihak, yang memaksa tuan tanah memberi bagian kepada kaum tani penggarap lebih banyak, yang tadinya 40% menjadi 'maro' atau 50 %.Dalam aksi-aksi tanah ini, menimbulkan rasa permusuhan antara pemilik tanah dan kaum tani penggarap yang pada umumnya tergabung dalam BTI dan Gerwani. Rasa permusuhan itu berlanjut sehingga menimbulkan rasa dendam. Bila kini (tulisan dibuat thun 1992) mencari tokoh-tokoh aksi itu, sudah banyak yang mati, terutama menjadi korban pembantaian pada tahun 1965. Mereka telah menjadi rabuk perjuangan.
4. Aksi-aksi mengganyang setan desa dan setan kota mengikutsertakan beberapa organisasi massa revolusioner. Perlu diketahui, bahwa tidak semua anggota ormas revolusi itu komunis. Kebanyakan setuju dengan aksi itu dan mau ikut. Mereka adalah kaum buruh tani, pemuda, dan lain-lain. Para aktivis, kader serta pengurus ormas revolusioner tidak semuanya komunis, tetapi setuju dengan perjuangan organisasi. Dan pimpinan yakin, pada akhirmya mereka banyak yang masuk Partai.
5. Aksi kenaikan harga di Jakarta dan di banyak kota sudah tentu tidak dikehendaki oleh Pemerintah. Pimpinan organisasi dipanggil dan mendapat kecaman (kritik), mengapa harus demonstrasi, menurut pendapat mereka, cukup usul pakai surat saja. Seperti halnya demonstrasi-demonstrasi 'basmi korupsi dan O.K.B (Orang Kaya Baru)' ke Kejaksaan Agung, diperingatkan oleh Pemerintah secara tajam meskipun tidak ada penangkapan.
6. Aksi protes kepada Pemerintah Jepang (di depan Kedutaan Jepang di Jakarta) soal intervensi ekonomi. Dalam demonstrasi ini Pemerintah mengambil tindakan dan menangkap lebih dari 50 orang (tahun 1958), tetapi tidak lama dibebaskan.
7. Aksi protes terhadap kecurangan Sondy (India) pada waktu Asian Games di Jakarta (tahun 1957) di muka Hotel Indonesia. Ditengahi oleh Adam Malik, saat itu sedang meniadi Dubes Indonesi untuk Sovyet Uni. Beliau sanggup menyelesaikan, karena Sondy tidak ada di Hotel tersebut.
8. Aksi menentang intervensi AS di Indonesia -- demonstrasi (1957) tidak mendapat hambatan. Karena kantor Kedubes AS tutup, massa langsung ketempat kediaman Dubes. Wakil massa ditemui oleh Dubes AS, Jones. Semua surat protes dan tuntutan diterima dan dijanjikan untuk dilangsungkan ke Pemerintah AS. Tidak ada yang ditahan. Demonstrasi ini berjalan tenang tanpa diuber oleh Tentara, seperti halnya ketika demonstrasi di muka kedutaan Jepang.
9. Dalam melaksanakan program ceramah-ceramah organisasi di Kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia, juga menghadapi larangan-larangan dari Aparat Pemerintah setempat. Setidak-tidaknya harus berhadapan dengan polisi. Larangan itu timbul karena sebelumnya sudah ada prasangka jelek. Terutama sejak garis NASAKOM dilancarkan oleh Pemerintah Presiden Sukarno (sejak sekitar 1960), maka ada saja kerewelan-kerewelan dikalangan alat-alat pemerintah di daerah. Tidak berani menentang secara terang-terangan, tetapi merintangi dari segi pelaksanaan. Umpamanya pelarangan ceramah karena izin resmi sering diberikan mendadak, walaupun permohonan sudah diajukan seminggu sebelumnya. Sering dilarang memakai pengeras suara, tidak boleh bicara tentang poligami atau menyinggung perasaan orang lain. Dan masih banyak persoalan lain, sedangkan teks pidato diminta terlebih dahulu sebelum ceramah. Banyak larangan, tetapi, jika diminta larangan tersebut secara tertulis, pemerintah setempat menolak.
10. Aksi-aksi yang melanggar adat umumnya tidak terdapat, karena sebelum mengadakan aksi, organisasi mempelajaria adat setempat terlebih dahulu dengan penuh perhatian.
Umpamanya: peristiwa Attamimi, seorang warga negara keturunan Arab di Pesuruan, Jawa Timur. Ia memperkosa dan membunuh seorang gadis di Malang. Pengadilan pertama diadakan di Situbondo, Besuki, Jawa Timur. Daerah ini fanatik Islam, sehingga organisasi sangat perlu hati-hati. Tidak mengerahkan massa setempat, hanya rombongan delegasi dari DPP dan DPD yang datang, dengan jumlah lima orang. Ketika kami (anggota delegasi) berjalan lewat lorong kampung, di depan rumah wanita-wanita usia 40 tahun keatas, mereka bersikap tidak bersahabat, mengucapkan doa sambil menutup pintu. Ternyata di situ penduduknya banyak keturunan Arab, sedang yang kami tuntut hukuman mati (Attamimi yang memperkosa dan membunuh) adalah keturunan Arab (Hadramaut, Saudi Arabia). Sedang di daerah itu belum bisa terbentuk ranting oraganisasi. Ranting yang ada hanyalah di sekitar pabrik-pabrik gula, di mana buruh-buruhnya kebanyakan pendatang dari lain daerah.
Tawaran anti-poligami ditolaknya, karena dianggap anti-Islam, karena Islam membolehkan poligami hingga empat. Yang mereka tidak mengerti ialah, bahwa boleh kawin sampai empat tetapi syarat-syaratnya sangat berat. Sesudah melalui pengajian-pengajian dijelaskan keterangan dalam Al Qur'an. Baru mereka sadari dan di daerah fanatik ini akhirnya terbentuk ranting-ranting dan cabang, walaupun tidak secepat di pulau Jawa perluasannya.
11. Aksi-aksi yang langsung mengenai kepentingan wanita rumah tangga. Kaum ibu yang tidak bekerja di kantor, pabrik, perkebunan tembakau, dll, umumnya hidupnya tergantung suami. Kalau suami mempunyai penghasilan tetap, meski tidak cukup, ada yang dijagakan untuk belanja hidup. Kalau kebetulan suaminya aktivis organisasi, jelas bahwa rumahtangganya selalu kekurangan, jika istri tidak membantu usaha. Oleh karena itu kader-kader wanita organisasi harus jeli dan pandai mencari jalan pemecahan. Banyak yang dapat dilakukan, umpamanya melalui pendidikan ketrampilan, membuat baju renda untuk anak-anak seperti di Jepara, membuat bahan lurik seperti di daerah Klaten, berdagang kue-kue, menjadi agen koran, cocok tanam yang produktif, membuat lumbung-lumbung paceklik, mengumpulkan beras secara jumputan (tiap hari satu jumput -pengambilan dengan tiga jari, Jempol, telunjuk, jari-tengah). Sekali terbuka jalan, mereka akan terus berkembang. Suami-isteri saling membantu. Pertentangan kecil-kecil dapat diatasi, kalau tidak dapat selesai, minta bantuan kader-kader lainnya.
12. Khusus pada saat Partai mengambil sikap tegas terhadap kader-kader fungsionaris atasan dan bawahan mengenai penyimpangan moral, benar-benar telah membuat kesibukan luar biasa. Sebelum diadakan tindakan konkrit, dibicarakan dahulu matang-matang. Kader-kader wanita pun siap membantu. Ini merupakan gerakan anti-poligami dalam tubuh organisasi yang kenyataannya tidak mudah dilaksanakan. Tidak cukup waktu satu bulan untuk satu kasus. Perceraian antara suami-istri merupakan hal yang menyangkut persoalan hati, perasaan, persoalan anak dan pengorbanan besar. Beberapa contoh dapat dikemukakan, antara lain:
a. Didaerah Jawa Timur ada seorang fungsionaris masih muda, kaya dan bekerja sebagai Carik Desa. Dia mempunyai dua isteri. Yang pertama punya anak empat, tidak aktif dalam organisasi tetapi menjadi anggota atas permintaan suaminya.
Isteri keduanya memang aktivis, pandai berpidato dan berorganisasi. Karena program organisasi anti-poligami, dia sadar bahwa dia bersalah menjadi isteri kedua. Timbulnya pertentangan batin yang hebat menyebabkannya sering sakit. Ketika ada instruksi dari Pusat bahwa meskipun saling cinta, isteri kedua harus dicerai, maka dalam pelaksanaan selalu diundur-undur dengan alasan sakit. Setelah beberapa bulan dibantu kader atasan untuk menyelesaikan, kebetulan ada Konferensi Kerja organisasi se-Jawa Timur dan dia harus ikut mempersiapkan, suami mengantarkan dengan memboncengkan sepeda kemana ia pergi karena belum sehat betul. Alhasil perceraian tertunda-tunda. Penulis yang bertugas memiliki akal dengan cara membuat cerpen setengah fiktif. Isteri muda diceritakan sakit pingsan hingga masuk Rumah Sakit.
Sedang suaminya dikritik teman-temannya dengan menyimpulkan bahwa dia harus menceraikan isteri mudanya kalau tidak mau dipecat Partai. Akhirnya disepakati untuk cerai dengan baik-baik. Suami tetap fungsionaris dan bekas isteri muda tetap aktivis organisasi wanita dan lebih bebas berbicara anti-poligami. Ketika Bu Carik yang muda membaca cerpen tersebut di harian
Rakyat, maka ia sadar dan meminta agar bersama-sama dengan suaminya ke Penghulu untuk menyelesaikan perceraiannya. Legalah semua kader yang bersangkutan.
b. Ada sebuah kisah lainnya. Perceraian dengan isteri muda yang justru mempunyai empat anak, sedang isteri tua tidak mempunyai anak. Kedua wanita tersebut aktifis. Meskipun suaminya berpangkat tinggi dalam pemerintahan, dia terkena disiplin. Dan mereka mempunyai kisah hidup yang unik. Dalam masa perang gerilya, karena dua-duanya satu rumah, maka anak-anak diasuh bersama, bahkan dengan isteri tua lebih dekat, karena isteri muda aktif dalam organisasi sehingga sering bertugas keluar rumah. Sedang yang tua sebagai pendamping suami, sering menonjol, jadi tidak begitu aktif dalam organisasi. Disiplin telah menjatuhkan pilihan kepada isteri pertama untuk tetap menjadi Ibu pejabat. Sedang isteri kedua dicerai dengan membawa anak bungsu yang baru berusia 7 bulan. Sementara ketiga anak lainnya tetap diasuh ayah dan ibu tua.
Riwayat demikian memang menyedihkan. Maka organisasi wanita menampung persoalannya dan membantu agar bakas isteri muda tadi tidak frustrasi. Dicarikan pekerjaan dilain kota dan dibimbing agar tidak dendam. Ia menyadari bahwa menjadi isteri orang yang sudah bersuami adalah suatu kesalahan dan ia harus menanggung risikonya. Perceraian semacam itu banyak terjadi. Ada yang mulus, tetapi ada pula yang tidak. Tetapu pada umumnya, meskipun berat, para fungsionaris itu patuh kepada disiplin Partainya. -Kecuali 1 orang yang memiliki nama baik, memililih dipecat dan di-recall dari DPR pada tahun 1963-. Dengan disiplin keras dalam pengalaman itu, maka wanita merasa aman untuk menjadi isteri orang Partai.
III. Pengaruh perjuangan terhadap kehidupan pribadi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
i. Suami-isteri sama-sama revolusioner, sama-sama aktif.
ii. Suami seorang revolusioner, sedang isteri bukan, atau belum.
iii. Suami-isteri didukung oleh keluarga.
iv. Suami isteri dalam perkawinan tidak didukung sepenuhnya oleh keluarga.
Uraiannya sebagi berikut:
1. Perjalanan hidup dalam rumah-tangga banyak liku-likunya. Kalau keduanya sama-sama aktifis revolusioner, tidak terdapat ribut-ribut soal meninggalkan rumah karena tugas, saling pengertian serta ada kebanggaan tersendiri mempunyai suami atau isteri maju, aktif, pandai, tangkas dan sehat yang menjadi idaman setiap kader, sehingga kekurangan-kekurangan kecil dapat diabaikan. Namun hal ini juga tidak daphttp://www.facebook.com/editnote.php?draft¬e_id=401955294505&id=1548436043at seratus persen mulus, ada saja yang rewel, meskipun sudah sama-sama revolusioner. Hal ini.dapat dimengerti karena sisa-sisa feodalisme itu masih ada, maunya saling cari enak. Tetapi meski ada pertentangan, tidak sejauh hinga cerai. Jarang terjadi perceraian, meskipun kaya ataupun punya kedudukan tinggi.
2. Suami atau isteri belum atau bukan orang revolusioner. Keduanya harus berani berkorban perasaan. Pernah terjadi, pulang rapat tidak bukakan pintu rumah. Masing-masing perlu kesabaran yang besar. Kalau wanitanya orang biasa, kesulitan akan bertambah, karena biasanya menjadi isteri pencemburu. Suatu ketika ada laporan suatu kasus, bahwa seorang isteri aktifis akan masuk sumur, jika suami terus-menerus meninggalkannya untuk rapat. Ketika suaminya marah dan berkata kalau ia tidak bisa dilarang rapat, kalau isterinya mau masuk sumur, dipersilahkannya. Isterinya menangis sambil mengumpat bahwa suaminya sudah tidak mencintainya lagi dan berarti sudah punya pacar lain. Suaminya meminta bantuan kader wanita yang lebih atasan agar bisa menasihati isterinya. Ketika ada kunjungan ke daerahnya, ia meminta kader wanita tersebut untuk menginap dirumahnya. Semula isterinya menerima dengan cemberut. Tetapi kader wanita tersebut mencoba untuk dari hati kehati dengan wawancara pribadi tentang keluarga, ekonomi, dsb. Dengan pengalaman beberapa kali kunjungan, setelah tiga bulan, isteri tersebut mulai sadar dan mengerti mengapa suami sebagai orang perjuangan harus sering meninggalkan rumah. Bagaimana menarik isteri menjadi anggota organisasi wanita atau tidak merintangi suami ternyata lebih mudah dari pada sebaliknya untuk menarik suami agar tidak merintangi isterinya menjadi aktifis.
Pengalaman pada umumnya membuktikan bahwa di Indonesia kedudukan suami adalah kepala rumah tangga. Ia wajib mengatur, membiayai, bertanggung-jawab sepenuhnya dan menghidupi isteri dan anak-anaknya.
Istri yang kader wanita, kalau tidak ada kemampuan untuk mengungguli suami, kedudukannya menjadi lemah. Meski alasan pertama adalah saling mencintai dalam keluarga, kalau tidak didukung oleh hal-hal lainnya, umpamanya, pengetahuan, ekonomi, ketrampilan, cinta bisa menipis. Karena suami tidak punya landasan ideologi yang sama, apalagi kalau berideologi lain, lebih sulit bagi sang isteri. Oleh karena itu diantara kawan lelaki dan wanita ada solidaritas untuk saling menjaga, meskipun ada kalanya ada penyelewengan moral, baik didaerah maupun di pusat,
3. Perkawinan yang didukung oleh keluarga sangat baik. Bagi suami istri pejuang dapat lancar bertugas, karena jika ada anak, sewaktu meninggalkan rumah dapat dititipkan kepada neneknya, yang tidak akan merintangi perjuangannya. Sebaliknya, jika tidak didukung keluarga, tidak mendapatkan restu, maka keduanya harus berani mandiri, berkorban perasaan, militan, dan berani menghadapi segala kesulitan.
4. Proses menyadarkan keluarga yang tidak mendukung perkawinan suami atau isteri yang revolusioner akan memakan waktu lama. Kadang-kadang sudah punya dua anak pun belum bisa diterima oleh keluarga. Perjuangan intern keluarga adalah perjuangan yang melelahkan, perjuangan merubah fikiran yang tidak mudah. Paling tidak kader yang ditentang harus dapat menuniukkan bukti bahwa dirinya menganut faham dan organisasi yang baik. Segala tindak tanduknya harus tidak tercela, syukur bisa menjadi contoh. Barulah mereka yang anti akan lunak, bagaikan gunung es yang mencair. Lebih berat lagi jika yang ditentang itu kader wanita. Untuk itu kader wanita harus berprestasi baik, bermanfaat bagi orang banyak dan tetap tegar dalam perjuangan. Baru mereka yang anti akan menyadari dan mengucapkan: "Itu bagus, saya tidak mengira". Soal penderitaan, kelelahan, ejekan dan berbagai macam kesulitan banyak
dialami kader wanita karena tradisi tanah air menghendaki wanita tempatnya dibelakang, mengurus suami dan anak. Hal-hal di atas pernah dijadikan tema dalam suatu Seminar Wanita Rumah Tangga yang diadakan oleh Gerwani pada akhir tahun 1963.
IV. Kesadaran tumbuh dan berkembang dengan tempaan dalam perjuangan kaum wanita Indonesia pada umumnya mengenal riwayat pendekar wanita 'Ibu Kartini'. Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, hari Kartini 21 April diperingati. Selanjutnya mengenal karya Bung Karno 'Sarinah', maupun buku-buku tentang pahlawan dan pejuang-pejuang wanita lainnya. Tulisan-tulisan S.K. Trimurti banyak membantu mengenal perjuangan wanita. Hanya wanita-wanita di pedesaan dan daerah terpencil mengenal para pejuang wanita itu baru semenjak adanya organisasi revolusioner memasuki desa dan pelosok, karena kebanyakan wanita tidak bersekolah. Pengenalan lebih lanjut dengan tokoh wanita internasional yang kemudian diperingati setiap tanggal 8 Maret sebagai Hari Wanita Internasional dengan tokoh Clara Zetkin.
V. Perjuangan bersenjata melawan penjajahan Belanda pada periode 1945 hingga 1949 selama clash ke I dan ke II (1947-1949) wanita-wanita ikut serta.
Demikianlah tahun 1950 sudah matang untuk terbentuknya sebuah organisasi wanita revolusioner. Perkembangan kader wanita menjadi kiri, tengah atau kanan sangat ditentukan oleh tempaan perjuangannya, aktivitas maupun lingkungannya. Asal klas kadang-kadang tersisih karena banyak yang asal klas borjuasi kemudian tertempa menjadi pejuang revolusioner. Jadi mutasi klas bisa terjadi. Sebaliknya, yang asal klas buruh kecil dalam keadaan materi ekonomi menjadi bagus, tidak jarang yang beralih menjadi keluarga yang mirip feodal atau OKB dan pilih-pilih dalam menerima tugas organisasi. Sejarah Perkembangan kader memang panjang hingga bisa memiliki dedikasi penuh, militan dan tidak mengabaikan tanggung-jawabnya dalam rumah tangga.
VI. Baik kader maupun anggota biasa mempunyai naluri keibuan yang sama-sama mencita-citakan membina rumah tangga yang tenteram, serasi dan bahagia. Hal ini bisa diselenggarakan jika suami-isteri utuh sefaham dalam membentuk keluarga revolusioner, tidak banyak pertentangan. Jika masuk sesuatu organisasi, tentu memilih yang gerakannya maju dan membela kaum wanita serta anak-anak yang tertindas. Mereka merasa aman dalam ikatan suami-isteri bila menjadi anggota organisasi wanita revolusioner. Karena jika ada celakanya, ada yang membela. Juga suami merasa tidak enak bila menyeleweng, karena takut diramaikan. Selain itu, mereka juga merasa bahwa isterinya akan setia karena dibina organisasi. Jadi kedua-duanya merasa terlindungi. Suami atau isteri dapat mengadu kepada organisasi jika salah satu kurang beres.
Mengurus suami, anak, orang tua dan lain-lain diterima sebagai kewajiban seorang ibu. Jika isteri bisa menyampaikan persoalan rumahtangganya kepada suami, meskipun anak banyak, bisa diatur pekerjaan rumah tangga dengan bantuan suami. Dalam rumah tangga pada umumnya, jarang suami mau membantu isteri, seolah-olah dibawah martabatnya. Dalam keluarga yang revolusioner, jika isteri bertugas, bisa dibantu teman sesama organisasi untuk urusan rumahtangganya. Sering timbul juga kesulitan. Kalau tidak bisa diselesaikan antara suami dan isteri, bisa dibawa ke organisasi untuk dipecahkan dan diatasi. Hidup seorang ibu rumah tangga merangkap aktivis dan kader, memang tidak seperti wanita biasa. Mereka harus berani menghadapi kesulitan ganda dan memecahkannya secara kolektif. Jika pertentangan memuncak hingga diambang perceraian, dengan bantuan pemecahan dari organisasi, maka seringkali bisa membatalkan niat cerai setelah berunding secara tuntas.
VII. Pemimpin organisasi revolusioner pada umumnya memang wanita-wanita pejuang pada jamannya. Terbentuknya GERWIS merupakan fusi dari tujuh organisasi wanita yang memiliki sejarah heroik melawan Belanda, baik sebelum perang kemerdekaan maupun selama perang bersenjata melawan Belanda th 1945-1950. Dalam perang atau damai mereka tetap berjuang aktif. Pada tanggal 4 Juni 1956 terbentuklah Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) di Semarang, dipimpin oleh Ibu SK Trimurti, Sri Panggian, Umi Sarjono. Tris Metti, dan lain-lain.
Program perjuangannya meliputi hak-hak wanita serta hak-hak anak-anak dan perdamaian, dalam negara yang merdeka dan masyarakat yang adil sejahtera. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian ingin perubahan nama Gerwis, agar lebih mencakup wanita pada umumnya lebih luas. Pada tahun 1951, pada Kongres di Surabaya (Ke-1) secara prinsip disetujui, tetapi karena tidak bulat, perubahan nama ditunda hingga Kongres berikutnya tahun 1954 di Jakarta, yang kemudian berubah menjadi Gerwani. Masa setelah itu, mengenal perkembangan gerakan nasional melawan kolonialisme, imperialisme dan feodalisme lebih dipacu.
Tahun-tahun selanjutnya mengalami perjuangan politik dengan garis NASAKOM, yang dicetuskan oleh Presiden Sukarno, dan lahirlah Undang-undang Kepartaian dan Keorganisasian tahun 1965. Ada ketentuan bagi organisasi massa untuk berafiliasi dengan partai yang seiring programnya. Suasana politik ditanah air semakin hangat. Terjadi pengelompokan sesuai NASAKOM.
VIII. Dalam pergolakan politik selanjutnya, setiap organisasi wanita memilih
Partai Politik yang menjadi pelindungnya. Kalau Wanita Marhaen memilih Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Muslimat NU memilih Nahdhatul Ulama (ketika itu sebuah Partai), maka bagi Gerwani tidak ada jalan lain kecuali memilih Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedang dalam PKI sudah ada Wankom (Wanita Komunis-ed). Pertentangan didalam organisasi sesunguhnya sudah ada sejak Kongres I di Surabaya, dalam menentukan perubahan Gerwis menjadi Gerwani. Juga pergantian Ketua dari SK Trimurti ke tangan Suwarti, menimbulkan debat sehingga ada mosi tidak percaya dari beberapa cabang. Pemecahannya, soal ganti nama ditunda hingga Kongres berikutnya (1954). Ibu Trimurti tampak pasif dan pada tahun 1957 mengundurkan diri dari kepengurusan, bahkan pada konferensi kerja tahun 1957 di Jakarta, dia mengundurkandiri sebagai anggota Gerwani.
PKI tidak ada pertentangan terutama didaerah-daerah. Karena pada hakekatnya, semua kader menerima garis Nasakom. Dengan argumentasi, bahwa PKI selalu menyokong gerakan wanita revolusioner, terutama dalam aksi-aksi. Maka dengan Pemilu 1955, calon-calon wanita yang dari Pengurus Gerwani, masuk dalam tanda gambar PKI (Palu Arit).
Soal gerakan feminisme tidak pernah masuk dalam agenda diskusi, rapat dan konferensi, atau Kongres. Di Indonesia, arti istilah ini tidak ada dalam bentuk organisasi wanita. Yang ada organisasi wanita sosialis yang berhaluan kanan, anti kepemimpinan Bung Karno. Partai Sosialis sendiri tidak massal, tetapi banyak kader-kadernya kaum intelektuil lulusan Universitas (UI) dan memegang kunci posisi penting dalam ekonomi. Bung Karno tidak pernah menindak tegas musuh-musuh politiknya.
Hanya ketika nyata-nyata mengadakan kerjasama untuk menggulingkan Presiden Sukarno, dan surat kabarnya setiap hari menyerang pemerintah, maka tindakan dilakukan terhadap tokoh-tokohnya seperti Syahrir, Subagio Sastroutama, Maria Ulfah Santosa, dan sebagainya.
IX. Dalam perjuangan di lapangan, apa saja bagi kader-kader pelaksana lapangan yang terasa sangat menggembirakan adalah suksesnya pekerjaan. Baik itu mengenai peluasan organisasi, aksi-aksi di desa dan kota, aksi-aksi dengan bekerja sama dengan organisasi lain, umpamanya aktif dalam perjuangan merebut Irian Barat (1962), Dwikora (Konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964/65), membantu TNI dalam menumpas pemberontakan PRRI-Permesta (1957/58 ), RMS (1956), DI-TII (tahun 1951). Kerjasama dalam memperingati hari-hari besar nasional, seperti hari Kemerdekaan 17 Agustus, hari Buruh (1 Mei), hari Kebangkitan Nasional (2OMei), hari Kartini 21 April, hari Wanita Internasional (8 Maret), hari Ibu 22 Desember, dan sebagainya. Juga dalam menyambut tamu-tamu agung untuk Sidang Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955), Festifal Film Asia-Afrika dalam Front Nasional DPR/DPRD, DPA, Kongres Wanita, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat nasional.
Mengenai hari Wanita Internasional, Kongres Wanita tidak menyetujui dirayakannya. Gerwani merintis mengadakan kerjasama untuk peringatan tersebut dengan beberapa organisasi wanita yang setuju, dengan mengadakan wadah koordinasi Badan Kontak Gerakan Massa Wanita, dengan tokoh-tokoh Ratu Aminah Hidayat (Panitia Perdamaian), Aruji Karta Winata (PSSI-Wanita), Ny Maruto Nitimiharjo (Wanita Murba) Ny. Mandagie (perorangan), dsb. Peringatan diadakan di Gedung Olah raga dan di Istana Negara, dengan sambutan Presiden Sukarno (tahun 1963).
Keberhasilan tersebut, meskipun melampaui banyak rintangan, merupakan hal yang menggembirakan. Dengan banyaknya kegiatan, maka organisasi Gerwani cepat meluas sampai ke desa-desa. Beberapa tahun menjelang 1965 organisasi memang sangat disibuki oleh latihan-latihan sukarelawati (sukwati Dwikora) yang diadakan bersama organisasi-organisasi wanita lainnya dengan dukungan Pemerintah, Front Nasional, dengan training centre oleh masing-masing organisasi. Sebelum itu, dalam rangka Trikora, organisasi mengirim sukwati-sukwatinya ke Irian Barat, dan untuk Dwikora ke Kalimantan Barat dan Riau.
Yang paling menyedihkan adalah tragedi 1965, pada saat organisasi sedang mekar-mekarnya. Pada saat itu, beribu kader wanita tanpa mengetahui sebab-musababnya, di desa dan kota, terkena akibat G30S, dibantai tanpa ampun. Partai dan ormas revolusioner hancur. Ratusan ribu tewas, disiksa sampai mati, dipancung, dipicis (umpamanya di Boyolali), ditembak dan dibunuh secara massal. Jutaan keluarga revolusioner menjadi korban kebiadaban. Mereka adalah orang-orang tak bersalah, tidak mengerti seluk beluk politik atasan (pusat). Air Bengawan Solo, air Sungai berantas, menjadi merah karena darah korban, berhari-hari mayat hanyut di alur Bengawan.
Kebiadaban tersebut dikutuk di banyak bagian dunia, kecuali mereka yang setuju atau mendukung Pemerintah Orde Baru, diktator militer Suharto bersama teman-temannya. Seandainya memang partai Komunis membuat kesalahan, namun pembantaian terhadap segenap angggota serta simpatisannya adalah diluar hukum manapun. Pembantaian jutaan manusia adalah pelanggaran berat HAM (Hak Asasi Manusia).
Fitnah merajalela. Jalan sejarah diputar-balikkan oleh 'ahli sejarah' yang mengabdi pada kekuasaan militer. Semua jasa para korban dalam melawan penjajahan Balanda dan fasis Jepang, serta perang kemerdekaan dihapuskan. Bintang-bintang jasa sudah tidak berarti bagi mereka yang dianggap terlibat G30S, segala yang berbau revolusioner atau 'kiri' dimatikan.
Terjadinya tragedi nasional membuat nama Indonesia tercemar di dunia, dan terus timbul kekerasan, kerusuhan, pemerkosaan, yang tidak henti-hentinya. Bagi kita para korban, yang pernah tersiksa dan sengsara, tidak boleh putus asa. Hidup perlu diperjuangkan. Generasi muda perlu mempelajari dan mengetahui sejarah masa silam yang sebenarnya, yang ditulis secara jujur, agar generasi penerus tidak salah menilai. Penulisan yang sebenarnya menjadi
beban para pelaku sejarah yang masih hidup. Sedikitnya, bisa memberi fakta dan data pada pakar sejarah, agar penulisan sejarah menjadi benar. Umpama saja, aksi-aksi tanah yang terkenal di Tanjung Morawa, Sambi Boyolali, Jengkol (Kediri), perlu diketahui yang sebenar-benarnya. Pengorbanan kaum tani untuk mempertahankan tanah garapan bisa kita ikuti dari masa ke masa hingga saat ini. Meski kalah, mereka tercatat dalam sejarah yang sekali waktu akan terungkap secara jujur.
*Sulami adalah mantan Sekretaris Jenderal Nasional Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), saat ini menjadi salah seorang pendiri dari LPKP '65, Lembaga Penelitian Korban Pembantaian '65
Sumber: SekitarKita