“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]
SIMPOSIUM NASIONAL
Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan
Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)
MASS GRAVE
Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..
TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]
Dikenang sebagai ayah yang hangat dan pendiam. Pergolakan politik memisahkannya dari keluarga.
Historia
RUMAH yang terletak di Jalan Dempo No. 7A itu tak begitu besar dan lebih menyerupai paviliun. Ukurannya memanjang ke belakang dengan dua kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, ruangan kecil di bagian belakang, dan gudang. Semuanya serbakecil. Wikana menjadikan kamar tidur sekaligus tempat kerja. Pada rumah pemberian Chairul Saleh itu sederet pagar dan pintu berdiri cukup tinggi.
Sejak Wikana terpilih menjadi anggota Konstituante pada 1955 dia harus tinggal di Jakarta. Di Konstituante dia mengetuai Komisi Perikemanusiaan. Pada tahun 1960, dia menjadi anggota MPRS dan DPA.
Masih lekat dalam ingatan Tati Sawitri Apramata betapa bapaknya selalu sibuk untuk mengikuti berbagai persidangan. Namun sebagai anak dia tak pernah berani menanyakan apa pekerjaan bapaknya. “Anak zaman dulu mana berani nanya bapaknya kerja apa,” kenang Tati.
Sebagai anggota MPRS dan DPA Wikana tentu sibuk bukan kepalang. Adakalanya sesekali dia bercerita kepada anaknya kalau Presiden Sukarno memanggilnya. Tapi Wikana yang pendiam itu tak banyak bercerita tentang isi pertemuannya, kepada siapa pun di rumahnya. Yang masih bisa diingat oleh Tati adalah kebiasaan bapaknya membawakan oleh-oleh buku tiap kali datang dari acara persidangan.
“Kadang-kadang saya dan adik-adik saya membuka-buka setiap lembar buku dan biasanya ada uang nyelip,” kata Tati diiringi derai tawa.
Wikana, dalam kenangan anak-anaknya, dikenal baik sebagai pria pendiam yang bersahaja. Kendati demikian dia selalu bersikap hangat kepada anak-anaknya. “Dulu saya masih ingat bapak maen berantem-beranteman sama saya,” kata Tati.
Rumah di Jalan Dempo itu membawa kehangatan bagi seluruh anggota keluarga Wikana. Ketika beredar kabar rencana pengangkatan Wikana sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh untuk Tanzania, Wikana menawarkan kepada anak-anaknya untuk ikutserta. Dia juga menawari Tati untuk berkuliah di luar negeri selulus dari SMA. “Kalau mau kuliah jangan ke Amerika atau Inggris, di sana cuma main-main saja. Lebih baik ke Jerman,” kata Wikana seperti ditirukan Tati. Mungkin ideologi anti-nekolim merasuki jiwa Wikana sehingga untuk menyekolahkan anaknya pun dia menjadikan dua negara itu tabu.
Tapi mendadak semua kisah manis itu luluh lantak ketika sepulang mengikuti Hari Raya Nasional Cina 1 Oktober 1965 suasana politik bergolak. Tujuh perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Kabar beredar menyebut PKI ada di belakang insiden berdarah itu. Hidup Wikana di ujung tanduk. Berbeda dengan anggota delegasi lain yang tetap tinggal di Cina, Wikana memilih untuk pulang. Mungkin dia berpikir takkan disangkutpautkan dengan kejadian itu, terlebih perannya yang tak lagi sentral dalam PKI. Tapi Wikana
salah.
Chairul meminta KBRI segera mengurus kepulangan delegasi ke Jakarta. Rombongan bertolak dari RRT pada 5 Oktober dan tiba di Jakarta pada 10 Oktober 1965. Sebelum berangkat pulang, Chairul meminta Wikana sebaiknya tak usah pulang dulu karena di Jakarta sedang tidak aman. Tapi, Wikana tak menghiraukan saran Chairul. Dia tetap ikut pulang.
“Begitu sampai di Kemayoran dia segera disauk tentara, sekarang saya tidak tahu, saya tidak dengar lagi bagaimana nasibnya,” kata Chairul mengisahkan penangkapan Wikana kepada AM Hanafi seperti diceritakan dalam AM Hanafi Menggugat.
Menurut anak ketiga Wikana, Tati Sawitri Apramata, Wikana ditahan secara resmi di daerah Kramat. Petugas tentara dari Kramat datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7A, meminta keluarga untuk menjenguknya. Tati yang menemuinya.
“Bapak perlu apa?” tanya Tati yang saat itu duduk di kelas 1 SMA 4 Jakarta.
“Tikar,” kata Wikana.
“Bapak sehat-sehat saja?” tanya Tati.
“Sehat,” kata Wikana singkat.
Tidak seperti tahanan, Wikana diberikan kebebasan. “Sekitar dua malam diperiksa, lalu dikembalikan ke rumah,” kata Soemarsono.
Pada suatu sore menjelang magrib, tujuh bulan setelah penangkapan pertama, tiba-tiba datang tamu yang mencari kos. Padahal, di rumah Wikana tidak ada kosan. Sebelumnya Wikana sudah mewanti-wanti kepada anaknya agar jangan mengatakan kepada siapapun yang datang bahwa dia ada di rumah. “Tapi, kakak saya malah bilang bahwa bapak ada di rumah,” ujar Tati.
Bencana datang seketika. Tengah malamnya, tak berapa lama setelah kedatangan si tamu tak diundang, tiba-tiba banyak orang melompati pintu pagar dan tembok rumah yang cukup tinggi. Tati terbangun. Dengan kasar, mereka menanyakan di mana bapaknya. “Mereka tentara semua, bawa senjata, tapi tak bisa dikenali,” kata Tati menahan tangis.
Wikana pun dicokok pada 9 Juni 1966. Sejak saat itu keluarga tak pernah mengetahui keberadaannya. “Sebelum dibawa, bapak minta dibungkusin sarung, celana, dan sikat gigi. Dia berpesan agar jaga ibu,” ujar Tati sambil terisak.
Tati tak tega melihat bapaknya digelandang. Dia hendak mengikutinya. Tapi tentara itu menodongkan senjata. “Kamu, anak kecil, ngapain ke luar,” kata salah seorang dari mereka.
“Saya mau lihat bapak saya ke depan,” kata Tati memberanikan diri.
“Masuk!” bentak salah satu dari mereka.
Menurut tetangga sekitar rumah, ada tiga mobil yang terparkir terpisah di depan rumah. Karena itu mereka tahu kalau yang menangkap Wikana lebih dari sepuluh orang.
Malam itu juga, Asminah istri Wikana melaporkan kejadian penculikan suaminya ke Kodam Jaya dan Kostrad. Pihak Kodam Jaya dan Kostrad menyatakan bahwa malam itu tidak ada penangkapan. Dan setiap penangkapan harus ada surat penangkapan. “Memang pada waktu penangkapan pertama ada suratnya,” ujar Tati.
Kodam Jaya dan Kostrad pun membantu mencari Wikana. Namun, nihil. “Kami hanya mendengar desas-desus saja mengenai keberadaan bapak. Namun, nyatanya tidak ada,” ujar Tati.
Menurut Soemarsono, tentara ada dalam setiap gerakan waktu itu. Memang semua bersumber dari tentara. Jadi, penangkapan-penangkapan itu pun bisa dipastikan dilakukan oleh tentara. “Walaupun bukan oleh tentara di belakangnya pasti adalah tentara,” kata Soemarsono.
Setelah penculikan Wikana, setiap hari rumah di Jalan Dempo dijaga oleh sekitar sepuluh orang petugas keamanan dari Kostrad. Keluarga pun diberi surat jaminan keamanan oleh Panglima Kostrad Kemal Idris. Sesudah tidak dijaga lagi, banyak orang-orang militer yang datang. Mereka memaksa agar keluarga mengosongkan rumah Wikana.
“Ibu tambah sakit. Yang menghadapi orang-orang militer itu saya dan adik-adik saya. Setiap mereka datang, saya tunjukkan surat dari Kostrad. Mereka pun tidak berani,” kata Tati.
Berbekal surat dari Kemal Idris, keluarga pun berhasil mempertahankan rumah itu hingga akhirnya dijual sekitar tahun 1996. “Karena ibu sudah tiada, saya putuskan untuk menjual rumah itu. Hasilnya dibagi rata untuk adik-adik saya,” kata Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, anak pertama Wikana.
Pencarian anak-anak Wikana pun tak berakhir begitu saja. Tati dan Lelina sempat bertemu dan menanyakan kepada Adam Malik, Asmara Hadi, dan Chairul Saleh mengenai keberadaan bapaknya. Tak ada yang mereka bisa perbuat kecuali membesarkan hati agar bersabar dan berdoa kepada Tuhan. “Ya sudah, kamu urus saja anak dan dampingi suamimu. Masalah itu jangan dipikirkan lagi,” kata Adam Malik ke Lenina.
Tati berharap, kalau memang bapak meninggal di mana kuburannya. Kalau masih hidup, ada dimana? “Kadang-kadang ketika saya melihat pengemis-pengemis di jalanan dan kolong jembatan, saya suka teringat apakah mungkin bapak saya seperti itu. Siapa tahu di situ ada bapak saya,” ujar Tati.
Setelah Wikana tiada, keluarga kehilangan penopang hidup. Dia tidak meninggalkan warisan. “Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Dia berjualan segala macam. Yang pernah saya lihat dia jualan es buah. Bahkan sempat menjual pot bunga untuk makan. Karena saya dan Tati sudah menikah, suami-suami kami membantu, meski tidak banyak,” kata Lenina.
Seingat Tati, ada teman-teman bapaknya yang pernah membantu. “Seperti temannya dari Rusia.”
Wikana menyadari risiko perjuangannya. Dia tidak ingin apa yang dialaminya menimpa keluarganya. Dia pun berpesan, terutama ke anak perempuannya, agar tidak menikah dengan orang perjuangan karena khawatir hidup susah seperti yang dialaminya. “Tapi, jika bisa kuat seperti ibu dalam mendampingi bapak, ya, silakan,” kenang Lenina mengutip bapaknya.
Sempat menduduki beberapa jabatan penting. Hatta mendepaknya karena dia orang kiri.
Historia
SOSOKNYA tak terlalu tinggi. Kumis tipis melintang dan jenggot lumayan panjang menghiasi wajah tirusnya. Hanya kacamata bundar dan pakaian sederhana yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi. Gaya hidupnya bersahaja. Namun sosok pendiam itu memiliki peran yang tidak sedikit dalam hari-hari di sekitar revolusi 17 Agustus. Tekadnya dalam berjuang memerdekakan rakyat begitu kuat. “Rakyat kita belum merasakan benar apa kemerdekaan itu,” ujar Ibrahim Isa, mengutip keterangan Wikana kepada Fransisca C. Fanggidaej –orang yang pernah menumpang di rumah dinas Wikana di Solo– suatu waktu.
Nama Wikana hampir dilupakan orang selama puluhan tahun. Pria kelahiran Sumedang, 16 Oktober 1914, ini tak diketahui nasibnya setelah diculik oleh kawanan tentara tak dikenal pada medio 1966. Jasa-jasanya bagi negeri seakan ikut sirna bersama jiwa-raganya yang hilang entah ke mana.
Tak lama setelah proklamasi, pada 27 Agustus 1945 Wikana –pejuang dari golongan pemuda– terpilih menjadi salah seorang pengurus di dalam PNI (Partai Nasional Indonesia), partai negara yang didirikan dengan maksud sebagai wadah untuk memperkuat persatuan bangsa, memperbesar rasa cinta, setia, dan bakti kepada tanah air. Namun kehadiran partai itu tak lama. Banyak pihak menentang kehadirannya, tak terkecuali Sjahrir.
Wikana lalu masuk ke dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) di mana dia menjadi ketua organisasi yang berdiri pada 1 September 1945 itu. Bersama Soemarsono, dia mewakili API ke Kongres Pemuda Pertama di Yogyakarta, 10-11 November 1945. Wikana ikut menjadi pembicara di samping Amir Sjarifuddin dan Adam Malik. Agenda terpenting kongres itu adalah rencana peleburan gerakan pemuda dalam satu organsisasi atas dasar prinsip-prinsip sosialis.
Pada 10 November malamnya, beberapa organisasi itu mengadakan rapat. Tujuh dari 29 organisasi yang ikut, sepakat untuk melebur diri ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sehari kemudian Pesindo bersidang. Wikana terpilih menjadi salah seorang wakil ketua. Sementara dari hasil kongres, Wikana terpilih menjadi pemimpin Dewan Pekerja Pembangunan. Dewan inilah yang bersama Dewan Pekerja Perjuangan pimpinan Soemarsono –pemimpin pemuda dalam Pertempuran 10 November– menyelenggarakan organisasi hasil kongres: Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI).
Pesindo sendiri dalam perkembangannya terus bergerak menjadi oposisi pemerintah presidensial. Saat Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memimpin kabinet, Pesindo tidak terlalu jelas pro atau kontra pemerintah. “Pesindo itu bukan partai,” ujar Soemarsono. “Pesindo hanya baju.” Di kemudian hari, organisasi ini ikut bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan –perkumpulan banyak organisasi, termasuk TNI, yang digagas Tan Malaka. Belakangan, ketika banyak perbedaan pandangan politik Amir-Sjahrir dengan Tan Malaka, Pesindo keluar dari Persatuan Perjuangan.
Konstelasi politik nasional masa itu sendiri memang rumit. “Revolusi,” sebagaimana ditulis Ricklefs dalam SejarahIndonesiaModern1200–2008, “merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri.” Persepsi Indonesia itu tidak sama dari masing-masing pihak. Dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-luar Jawa pun muncul dengan persepsi dan perannya sendiri-sendiri. Bukan saja menyebabkan tidak berjalannya roda pemerintahan sebagaimana mestinya, hal itu seringkali juga membawa republik ke tubir jurang perpecahan. Belum lagi, berbarengan dengan itu semua ancaman dari luar juga kian meninggi: keinginan Belanda kembali menguasai Indonesia. “Tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukanlah munculnya suatu bangsa baru yang serasi, melainkan suatu pertarungan sengit di antara individu-individu dan kekuatan-kekuatan sosial yang bertentangan,” tulis Ricklefs.
“Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945 adalah kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu,” tulis Ben Anderson dalam Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Peran kaum muda terutama terlihat jelas dalam pertempuran-pertempuran yang banyak pecah di berbagai daerah tak lama setelah kedatangan NICA.
Partai Sosialis –yang merupakan fusi dari beberapa partai pada 17 Desember– dengan dimotori Sjahrir merasa kecewa terhadap pemerintah dalam memperlakukan KNIP, di mana di dalamnya Sjahrir memegang posisi tinggi. Partai Sosialis juga menggunakan sikap kehati-hatian pemerintah terhadap penguasa asing –Jepang maupun NICA– sebagai dalih untuk menuntut lebih. Partai Sosialis lalu mengajak para pemuda yang tidak puas terhadap pemerintah, terus mengkritisi pemerintah pusat. Tuntutan yang terpenting adalah pemberian wewenang ekstra kepada KNIP.
Sebagaimana ditulis Ben Anderson, “pada awal Oktober ada suatu konsensus yang meluas di kalangan-kalangan yang sadar politik di Jakarta bahwa masa kelesuan dan kelambanan itu harus diakhiri, dan ia hanya dapat diakhiri dengan merombak pemerintah.” Pemerintah melalui Wapres Hatta lalu menyetujui dengan mengeluarkan Maklumat X tanggal 16 Oktober tentang wewenang legislatif KNIP dan dilanjutkan dengan Maklumat Pemerintah tentang partai politik. Sejak saat itu kabinet tak lagi bertanggung jawab langsung kepada presiden, tapi kepada KNIP. Tak lama kemudian, Kabinet Sjahrir naik “pentas” pada 14 November. Sjahrir yang anti-Jepang, dianggap tepat menjadi wakil republik dalam berunding dengan pihak Belanda.
Dalam masa-masa revolusi fisik yang karut marut itu, Wikana sempat menduduki beberapa jabatan penting. Dalam dua masa pemerintahan Sjahrir dan dua masa pemerintahan Amir Sjarifuddin, Wikana menduduki jabatan Menteri Negara Urusan Pemuda. Karena kesibukannya sebagai menteri, posisinya di BKPRI dia pasrahkan ke Soemarsono. “Pokoknya saya serahkan kuasa pembangunan ini kepada Bung,” ujar Somarsono mengutip ucapan Wikana.
Ketika menjabat menteri, Wikana tetap mencurahkan perjuangannya terhahap kemerdekaan rakyat. Melalui Ibrahim Isa Fransisca C. Fanggidaej mengatakan bahwa Wikana menyatakan tidak akan berhenti berjuang selama Indonesia belum merdeka betul. Cita-citanya hanya tertuju pada kemerdekaan. Hal itulah yang membuat anak-anaknya bangga. “Saya sangat bangga sekali jiwa nasionalisnya,” ujar putri sulungnya, Lenina Soewarti.
Dari jabatannya sebagai menteri, menurut Lenina, Wikana mendapatkan beberapa fasilitas. “Standar saja: rumah, mobil.” Namun fasilitas-fasilitas itu tidak membuat Wikana berubah gaya hidupnya. “Bapak saya itu sederhana sekali, sederhana sekali,” ujar Tati Sawitri, putri ketiga Wikana kepada Majalah Historia Online 15 Agustus lalu.
Wikana tinggal di Yogyakarta ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda. Pemerintah sengaja memindahkan ibukota ke sana awal 1946 akibat kondisi keamanan di Jakarta yang tak menentu. Di ibukota “dadakan” itu diskusi mengenai perjuangan tetap Wikana lakukan. Terkadang dilakukan di rumahnya. Wikana juga sering menemui Presiden Sukarno.
Perundingan Linggarjati yang mengerdilkan wilayah RI, mengundang kekecewaan banyak pihak. Kondisi itu kian diperparah dengan dilancarkannya Agresi Militer I oleh Belanda di pertengahan 1947. Reaksi terkuat terutama datang dari militer dan kalangan Tan Malaka, yang menghendaki kemerdekaan 100 persen dan lebih memilih perjuangan fisik ketimbang diplomasi. Akibat perundingan-perundingan yang dilakukannya, Sjahrir sempat diculik tentara-tentara yang berafiliasi kepada Tan Malaka, meski akhirnya dibebaskan lagi. Tan malaka sendiri dipenjara akibat kehadirannya yang dianggap membahayakan lawan-lawan politiknya.
Ketika Kabinet Sjahrir ketiga jatuh dan Kabinet Amir Sjarifuddin naik menggantikan, kondisi politik kian kacau. Dari luar, Belanda terus mendesak RI sedangkan dari dalam, peseteruan antarkelompok perjuangan terus berlangsung. Kabinet Amir lalu jatuh karena menandatangani Perjanjian Renville.
Kabinet Hatta kemudian menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin mulai awal 1948. Salah satu agenda pentingnya adalah kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara. Kebijakan ini didukung penuh Kolonel Nasution selaku panglima Divisi Siliwangi. Siliwangi pun menjadi pasukan reguler resmi pemerintah. Pada Februari, Siliwangi mulai hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta. Ini dilakukan sebagai pelaksanaan hasil keputusan dalam Perjanjian Renville.
Hijrahnya Siliwangi memicu timbulnya sengketa dengan pasukan-pasukan setempat. Pasukan-pasukan setempat merasa terdesak otonominya oleh kehadiran Siliwangi. Terlebih, para laskar itu merasa terancam oleh kebijakan Re-Ra. Siliwangi ditugaskan melucuti laskar-laskar, terutama laskar kiri.
Akibatnya, situasi di Surakarta dan Madiun panas. Di Surakarta, Siliwangi terlibat pertempuran dengan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto. Pasukan laskar yang terus didesak terus berlari ke timur. Di Madiun, posisi laskar terdesak. Laskar-laskar yang terdesak itu merupakan laskar yang berafiliasi kiri, kepada Amir Sjarifuddin. Ketika Peristiwa Madiun pecah, posisi laskar dan kaum komunis di ujung tanduk. Siliwangi terus mengejarnya. Banyak dari pemimpin gerakan tewas di tangan tentara reguler. Jumlah yang tewas menurut Soemarsono, “sepenuhnya ada 3000 kader.”
Dalam kondisi yang penuh kekacauan itu Wikana menjabat sebagai Gubernur Militer Surakarta. Pemerintahan Hatta yang mengangkatnya. Di masa Gubernur Militer itu, banyak teman-teman perjuangan Wikana yang datang ke rumahnya. Sukarni salah satu di antaranya. “Chairul Saleh belakangan,” ujar Lenina Soewarti. Fransisca C. Fanggidaej juga pernah menumpang tidur di rumah dinasnya. Teman seperjuangannya, Soemarsono, jangan ditanya. “Saya sering tidur di tempat dia,” ujar Soemarsono. Menurut Soemarsono, Wikana termasuk kader atasan.
Tapi masa itu tidak lama. Wikana yang kiri, lalu diganti. “Yang memberhentikan juga Hatta,” ujar Soemarsono. Hatta terkenal sangat anti-kiri sedangkan Wikana orang kiri. Pemerintah lalu menggantinya dengan Kolonel Gatot Subroto. Wikana sempat menghilang pasca-Peristiwa Madiun 1948. Tidak jelas ke mana perginya. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya. “Kita nggak ketemu dua tahun,” ujar Lenina. Dalam Kongres partai ke-4 tahun 1954, Wikana masuk ke dalam CC PKI.
Tahun 1953 Wikana dipercaya menjadi anggota Konstituante. Tapi jejak rekamnya di badan pembuat Undang-Undang itu tidak banyak terungkap. Keluarganya pun tidak tahu. Terbuang dari partai, Wikana sempat menjadi anggota DPA pada 1963. Saat itu pula keluarganya diboyong ke Jakarta dari Solo. Selang dua tahun-an kemudian, atas ajakan Chairul Saleh, Wikana masuk menjadi anggota MPRS. Itulah karier terakhir pemuda berkumis tipis dan berwajah tirus sebelum akhirnya hilang tak tentu arahnya.
Dia berperan penting pada hari-hari buncit menjelang proklamasi. Hidupnya berakhir tragis.
Historia
PADA lokasi bekas rumah bersejarah di jalan Pegangsaan Timur No. 56 berdiri sebatang tiang menjulang tinggi dengan simbol petir di pucuknya. Sederet kalimat tertera pada dasar tiang itu: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta.”
Enam puluh lima tahun lalu, sesosok pemuda kurus berambut klimis berkacamata minus mendatangi rumah bersejarah yang dulu masih berdiri tegak. Wikana, pemuda itu, ditemani pemuda lain, Aidit, kelak menjadi orang nomor satu Partai Komunis Indonesia (PKI), Darwis, Yusuf Kunto dan Soebadio Sastrosatomo. Kepada Bung Karno Wikana meyakinkan kalau kemerdekaan harus segera diumumkan malam ini juga, kalau tidak “besok akan terjadi pertumpahan darah,” kata Wikana setengah mengancam. Bung Karno tersinggung. Dia membentak balik Wikana seraya menantang menyembelih lehernya malam itu juga, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok pagi!”
Cuplikan adegan itulah yang melambungkan nama Wikana sebagai pemuda revolusioner dan banyak dikutip di dalam kitab-kitab sejarah. Selebihnya, samar-samar. Padahal ada banyak peran penting lain yang dimainkannya. Dia pernah aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, mulai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sampai Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Setahun setelah proklamasi, dia juga tercatat pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda selama empat kali periode kabinet, dua kali dalam kabinet Sjahrir dan dua kali pada kabinet Amir Sjarifuddin.
Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. “Dia datang dari keluarga perjuangan, kakaknya, Winanta seorang Digulis,” kata Soemarsono, tokoh pemuda angkatan ’45 yang ditemui pekan lalu (12/8) oleh Majalah Historia Online di kediaman putrinya di Bintaro, Jakarta Selatan.
Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.
Selain menguasai bahasa Belanda, Wikana juga pandai bercasciscus bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan Rusia. Tati Sawitri Apramata, putri ketiga Wikana, mengenang ayahnya sebagai kutu buku yang pandai berbahasa asing. “Bapak bisa banyak bahasa, hobinya baca buku. Pulang dari sidang, selalu bawa buku, dari mana-mana selalu buku yang dibawa,” kenang perempuan berusia 61 tahun yang kini tinggal di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur itu. Sidang yang dimaksud Tati adalah sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), di mana ayahnya menjadi anggota.
Sosok Wikana yang cerdas dan tajam diamini oleh Soemarsono. Menurut lelaki yang pernah satu kos dengan Achmad Azhari, kawan sekerja Wikana, pemuda dari Sumedang itu dikenal sebagai orang yang tak banyak bicara, cerdas, dan tajam. Kepada Wikana pula Soemarsono sempat berguru soal teori-teori dalam dunia politik. “Dia yang mengajari saya tentang terminologi dan istilah-istilah dalam politik,” kata Soemarsono yang telah mengenal Wikana sebelum Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Bukan saja Soemarsono, Aidit dan MH Lukman termasuk anak muda yang mengagumi pemimpin PKI Jawa Barat itu.
Dua tahun sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Wikana, bersama dengan Adam Malik dan Pandu Kartawiguna sempat masuk kerangkeng atas tuduhan subversif terhadap pemerintah kolonial. Dia menyebarkan pamflet Menara Merah yang punya kaitan dengan PKI bawah tanah. PKI sendiri telah dilarang oleh pemerintah kolonial pascapemberontakan 1926.
Trikoyo Ramidjo, salah satu anggota PKI yang sempat terlibat dalam upaya pembangunan kembali partai setelah Madiun affairs, mengatakan kalau Wikana memang anggota PKI bawah tanah. “Dia jadi anggota partai sejak tahun 1930-an, cita-citanya jelas sekali untuk kemerdekaan Indonesia,” ujar pria yang pernah melewati masa kecilnya di Boven Digul, Papua mengikuti ayahnya sebagai tahanan politik kolonial.
Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.
Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta. Widartalah yang merekrut Aidit dan MH Lukman masuk PKI namun ironisnya harus mati karena keputusan internal partainya sendiri. Sohib Wikana itu diadili in absentia oleh Amir Sjarifuddin gara-gara menjalankankan kebijakan yang dianggap tak sejalan dengan garis partai pada peristiwa Tiga Daerah di wilayah karesidenan Pekalongan. Sebuah eksekusi di Pantai Parangtritis meringkus nyawanya.
Berbeda dengan Widarta yang meregang nyawa di ujung bedil, karier Wikana jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu.
Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto. Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Dia punya posisi yang lumayan terhormat: sebagai anggota MPRS, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan sejumlah aktivitas organisasi lainnya. Satu-satunya yang dia tak miliki adalah kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di dalam partai.
Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air. “Kalau harus mati, saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana sebagaimana dikatakan oleh Abriyanto, cucu menantu yang beberapa waktu belakangan tekun menyusun biografi Wikana.
Wikana benar. Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya.
Dalam dinamika politik nasional, Kabupaten Tanah Karo memiliki sebuah catatan menarik. Daerah ini merupakan basis massa nasionalis yang berafiliasi pada kekuatan politik Soekarnois sejak Pemilu tahun 1955.
Ketika itu Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno dan mengusung ideologi Marhaenisme ajaran Soekarno menang mutlak di Kabupaten Tanah Karo. Prosentase suara yang diraih PNI dari Tanah Karo mencapai sekitar 90% suara. Moment ini dapat dijadikan indikator bagi loyalitas politik warga Karo terhadap Presiden RI pertama tersebut. Soekarno pun digelari ”Bapa Rayat Sirulo” oleh warga Karo, yang artinya pemimpin yang membawa kemakmuran rakyat.
Loyalitas politik warga Karo terhadap Soekarno berlanjut hingga meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta di daerah Sumatera. Ketika itu, kaum pemberontak yang terdiri dari panglima-panglima militer daerah dan kekuatan politik Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) serta disokong oleh anasir-anasir imperialis asing berhasil meraih dukungan yang cukup signifikan dari warga Sumatera.
Di masa-masa genting tersebut, warga Karo justru tidak tertarik untuk ikut melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan Soekarno dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang ditunjukkan warga dari beberapa kawasan lainnya di Sumatera. Pada saat itu muncul tokoh kharismatik dari etnis Karo, yakni Letjen Djamin Ginting, yang menegaskan haluan politiknya untuk berdiri di belakang Pemerintahan Soekarno dan NKRI demi melawan kekuatan pemberontak yang didukung kekuatan imperialis. Karena jasanya itu, Letjen Djamin Ginting diangkat oleh Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang melingkupi seluruh wilayah Sumatera pada tahun 1957-1958.
Loyalitas Politik ditengah Badai
Loyalitas politik warga Karo terhadap Soekarno berbuah manis dengan diangkatnya seorang putra Karo, Ulung Sitepu, sebagai Gubernur Sumut pada tahun 1963. Namun badai politik yang datang seiring dengan terjadinya peristiwa 30 September 1965 (G30S) seakan turut menghantam partisipasi politik orang Karo.
Ulung Sitepu diberhentikan dari jabatan gubernur pasca G30S karena dituding sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah tudingan yang tak pernah dibuktikan secara hukum hingga kini. Memang ketika menjabat gubernur, Ulung Sitepu banyak menuai dukungan dari massa PKI, dan hal ini adalah sesuatu yang lumrah karena PKI merupakan partai legal dan sah di republik ini sebelum G30S. Namun Ulung Sitepu sendiri tak pernah menjadi anggota PKI secara formal, ia lebih dikenal sebagai gubernur yang loyal pada Presiden Soekarno seperti kebanyakan warga Karo lainnya. Kemungkinan besar hal inilah yang menjadi alasan dari diberhentikannya Ulung Sitepu dari jabatan gubernur Sumut, karena pasca G30S seluruh kekuatan politik Soekarnois disikat habis oleh rezim baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto.
Kendati mengalami represi penguasa, loyalitas warga Karo terhadap Soekarno tak pernah pudar. Hal ini terbukti dari tetap dikuasainya Tanah Karo oleh kekuatan politik yang merupakan ‘reinkarnasi’ dari PNI, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Loyalitas itu makin ditunjukkan oleh warga Karo ketika putri Soekarno, Megawati, menjadi Ketua Umum PDI di awal dekade 90-an. Hal ini dipandang sebagai momentum kebangkitan politik trah Soekarno oleh warga Karo dan kaum Soekarnois lainnya.
Dukungan warga Karo terhadap PDI, yang setelah reformasi bermetamorfosa menjadi PDI Perjuangan (PDIP), termanifestasi pada perolehan suara PDIP di Tanah Karo pada pemilu 1999 yang mencapai 95% suara (mengungguli perolehan suara PNI pada pemilu 1955). Hal yang sama juga terlihat pada pemilu 2004, dimana PDIP kembali mendominasi perolehan suara di Tanah Karo.
Pada pemilu 2009, PDIP kembali meraih mayoritas suara (85%) di Tanah Karo. Meskipun mengalami penurunan, namun hal tersebut menunjukkan loyalitas warga Karo yang tak pernah redup terhadap dinasti politik Soekarno, karena pada saat yang sama banyak daerah basis PDIP dan partai lainnya yang direbut oleh Partai Demokrat, partainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tak Pernah Padam
Masa reformasi yang ditandai dengan keterbukaan politik sesungguhnya dapat menjadi peluang bagi warga Karo untuk berkiprah di berbagai partai politik. Kenyataannya beberapa putra Karo memang memanfaatkan peluang itu dan berhasil menduduki posisi strategis di berbagai partai, seperti Tifatul Sembiring yang berhasil menjadi Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan MS Kaban yang meraih jabatan Ketua Umum di Partai Bulan Bintang (PBB).
Namun fakta banyaknya warga Karo yang berpolitik dengan menggunakan instrumen partai yang tidak mengusung ideologi Soekarno ternyata tidak mudah mengubah pilihan politik warga Tanah Karo, dimana leluhur warga Karo berasal. Pemilu-pemilu pada masa reformasi menunjukkan tidak padamnya loyalitas politik warga Tanah Karo terhadap Soekarno dan dinastinya.
Kesetiaan warga Karo terhadap Soekarno dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah faktor historis, dimana Soekarno pernah diasingkan Belanda di daerah Tanah karo, tepatnya di Desa Laugumba, Kecamatan Berastagi, pasca agresi militer Belanda terhadap Indonesia di akhir tahun 1948. Ketika itu Soekarno diasingkan oleh Belanda ke Tanah Karo bersama dengan dua pimpinan repiblik lainny; H.Agus Salim dan Sutan Sjahrir.
Faktor lainnya adalah faktor ideologis, dimana kondisi sosial ekonomi warga Tanah Karo cocok dengan ideologi PNI, Marhaenisme. Seperti yang dinyatakan oleh seorang Guru Besar dari Universitas Sumatera Utara, Prof.DR. H.R.Brahmana, bahwa mayoritas warga Karo adalah petani yang bercocok tanam pangan hortikultura semenjak era kolonial Belanda dahulu. Dan hal tersebut sesuai dengan ideologi Marhaenisme yang mengangkat problematika kaum petani Indonesia yang telah dimiskinkan oleh sistem ekonomi dan politik yang berlaku.
Loyalitas politik seperti yang dimiliki warga Tanah Karo terhadap Soekarno adalah hal yang agak luar biasa ditengah alam demokrasi liberal kini, yang berbasiskan pada politik uang sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan. Kecurangan sistematis yang ditenggarai banyak pihak terjadi pada pemilu 2009 lalu juga tak mampu meruntuhkan spirit Soekarnoisme warga Tanah Karo. Sebuah kenyataan yang dapat dijadikan refleksi bagi kita bersama, bahwa kesetiaan pada ”Bapa Rayat Sirulo” tak akan tergantikan oleh maraknya keculasan politik berbasiskan pragmatisme dan oportunisme, yang banyak dipertontonkan oleh para elit politik kini.
*Hiski Darmayana, Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang.