December, 2010
Gerwani dan
Perjuangan Lewat Pena Pembibitan jurnalis perempuan sejatinya sudah jauh
dirintis Tirto Adhi Surjo lewat Poetri Hindia. Suratkabar ini terbit pertama
pada 1 Juli 1908. Tertulis di bawah nama koran, "SOERAT KABAR DAN
ADVERTENTIE BOEAT POETRI HINDIA".
Sebenarnya, ruang bagi wanita pribumi pada suratkabar
berbahasa Melayu sudah muncul pada koran Soenda Berita (terbit pertama pada
Februari 1903).
Di Soenda Berita Tirto menuliskan pemikirannya yang
diberi judul "Pengajaran Buat Perempuan Bumiputera" (lihat, Soenda
Berita, Th. II No. 20, 1904). Namun Poetri Hindia jauh lebih leluasa menyoal
perempuan dengan jumlah halaman lebih banyak.
Poetri Hindia bukan saja tempat belajar mengelola
suratkabar, ia juga ajang perempuan belajar menulis. Salah satunya Siti
Soendari, yang nantinya menjadi punggawa suratkabar Wanita Swara. Siti Soendari
adalah adalah satu di antara perempuan yang pada masanya punya ketajaman pena,
cerdas, dan berani. Malahan ia berulangkali berurusan dengan polisi rahasia
Belanda.
Siti Soendari adalah wanita yang dicitrakan radikal, tak
segan membela dan turun langsung ke akar rumput membela kaum buruh.
Keradikalannya dan ideologi yang dianut semakin tampak ketika bergabung dengan
Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak. Siti Soendari adalah titik semai
perempuan pribumi yang memadupadankan sosialis dan feminisme.
Setelah Poetri Hindia gulung tikar, muncullah Soenting
Melajoe dari tanah Minang yang dipunggawai oleh Rohana Kudus. Pada tahun
terbitnya Soenting Melajoe, di Jawa (Brebes) terbit juga suratkabar bernama
Wanita Swara, yang memperkenalkan nama Siti Soendari.
Wanita Swara adalah sebuah suratkabar yang diterbitkan
oleh perkumpulan Boedi Oetomo cabang Pacitan. Soendari hanya menyebut demikian,
dan tak diketahui pasti apakah organ pers Boedi Oetomo atau sayap wanita Boedi
Oetomo cabang Pacitan. Jika memang diterbitkan oleh sayap wanita, berarti
Wanita Swara adalah suratkabar perempuan awal yang dijadikan sebagai organ atau
corongnya organisasi perempuan meski hanya sayap wanita dari sebuah organisasi.
Dari sinilah bermunculan suratkabar atau majalah
perempuan yang notabene adalah organ dari organisasi perempuan. Tradisi ?pers?
sebagai corong organisasi hingga kini pun terus bertahan.
Di tahun-tahun gelap sesudah penjajahan Jepang, yang
waktu itu hanya membolehkan keberadaan satu organisasi perempuan Fujinkai, muncullah
Gerwis yang tergolong organisasi wanita radikal. Keradikalan Gerwis tak lepas
dari pengaruh tokoh-tokohnya, yakni S.K. Trimurti, Salawati Daud, Sujinah,
Sulami dan Sri Panggihan, yang memang telah kenyang merasai asam manis
perjuangan. Selain itu terdapat nama Moenasiah, aktivis perempuan PKI dan
Sarekat Islam "merah" bagian perempuan awal tahun 1920-an.
Ia juga menjadi dedengkot "Aksi Caping Keropak"
atau demonstrasi buruh perempuan menuntut perbaikan nasib. Corong organisasi
yang radikal ini adalah majalah "Wanita Sedar". Seiring dengan
perubahan nama organ Gerwis menjadi Gerwani pelahan "Wanita Sedar"
harus menemui ajalnya. Melalui Api Kartini plus Harian Rakjat itulah Gerwani
menyatakan dirinya keluar.
Selain Api Kartini Gerwani juga menerbitkan Berita
Gerwani. Keduanya beda segmen pembaca sesuai klasifikasi perempuan ala Gerwani,
yakni perempuan yang telah "sadar" dan perempuan lapisan menengah ke
bawah yang sedang tumbuh menuju "sadar". Api Kartini ditujukan bagi
pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh.
Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, sehingga
lebih banyak berisi kegiatan organisasi, dan kunjungan-kunjungan ke organisasi
perempuan di negeri-negeri sosialis. Isi Berita Gerwani jauh lebih radikal,
guna mendukung kinerja kader organisasi. Hanya saja usia Berita Gerwani tak
panjang, lantaran persoalan ekonomi.
Api Kartini masih lumayan, bernafas lebih panjang
daripada Berita Gerwani. Ada banyak rubrik yang disediakan untuk kaum menengah
yang sedang tumbuh , misalnya rubrik semacam mode, pengasuhan anak, Busana,
Tokoh, Sruk (puisi), Arena Remaja, Masakan, Rawat Muka dan Rambut, Bacaan
Anak-Anak Kita, dan Ruangan Pendidikan. Dengan aneka rubrik itu, Gerwani ingin
mencitrakan bahwa ia peduli juga dengan persoalan-persoalan perempuan tradisional.
Politik keredaksian yang dianuti Api Kartini jelas, yakni
keberpihakan terhadap persoalan perempuan akar rumput termasuk buruh tani dan
buruh industri. Ada berita Seminar Wanita Tani yang diadakan Gerwani pada 20
Januari 1961 di Gedung Wanita, Jakarta, dan berita serupa juga diwartakan di
lembar Harian Rakjat.
Yang membedakan Api Kartini dengan majalah perempuan lain
selain persoalan ideologi dibalik pengelola majalah adalah sebagaimana yang ia
rumuskan sendiri dan pernah termuat dalam Api Kartini:
"Ada majalah wanita yang hanya berupa hiburan, ada
pula majalah yang lahirnya dibuat sangat menarik tapi isinya mencegah kaum
wanita menjadi sadar akan keadaan yang tidak adil. Tetapi sebagaimana tumbuhnya
gerakan wanita yang progresif, pesat juga perkembangan Pers Wanita yang
demokratis. Tidak saja berisi hiburan, tetapi juga berbicara ke hati mereka
(perempuan), mendidik mereka, meninggikan kesadaran?untuk berjuang sampai
cita-cita mereka tercapai."
Sedangkan PKI memberikan fasilitas kepada Gerwani space khusus
"Ruangan Wanita" di koran Harian Rakjat. ? Ruangaan Wanita? hadir
setiap hari rabu, mengisi setengah halaman III Harian Rakjat. Lewat Harian
Rakjat teman-teman satu ideologi seperti Gerwani, Lekra, BTI, SOBSI dan PKI
saling dukung satu sama lain dalam berbagai kegiatan. Misalnya saat Gerwani
mengadakan seminar wanita tani, Lekra turut serta memberikan materi pada
seminar tersebut, BTI memberi sambutannya. Tak lupa ketua CC PKI D.N. Aidit
turut serta memberi dukungan dalam pidatonya:
"Kaum wanita tani adalah tenaga produktif jang
sangat penting. Oleh karena itu, untuk melaksanakan ?landreform? para wanita
harus ambil bagian jang se-aktif2nja. Tanpa kaum wanita tani ambil bagian, dan
bagian yang aktif, "landreform" tidak mungkin terlaksana. Djuga
pelaksanaan Undang2 Bagi Hasil tidak mungkin baik selama kaum wanita tani tidak
ambil peran aktif. Pendeknja tiap2 kemadjuan di desa, walaupun bagaimana
ketjilnja harus dengan ikut serta setjara aktif kaum wanita tani." (Harian Rakjat, 21 Januari 1961).
Nj. Umi Sardjono ketua DPP Gerwani mengatakan bahwa
Harian Rakjat adalah suratkabar yang membela emansipasi wanita:
"Harian Rakjat sebagai organisator dan agistor
kolektif partai dan massa Rakjat, telah memainkan peranan penting dalam
membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi massa Rakjat, chusunja massa
wanita setjara luas kepada perdjuangan melawan imperialisme,
feodalisme....." (Harian Rakjat, 30
Januari 1965).
Nj. Umi Sardjono nampaknya sadar betul peran Harian
Rakjat salah satu koran politik terbesar dalam memfasilitasi Gerwani:
"...dalam perdjuangan Gerwani "HR" telah
memberikan bantuan jang berharga sekali dalam berbagai lapangan. Di samping
"HR"memuat berita2 kegiatan organisasi dan kegiatan perdjuangan aksi2
wanita menuntut perbaikan nasib...."HR" djuga setjara terus menerus
mengadakan ruangan rubrik chusus ruangan wanita, memuat artikel2 penting jang
selalu diikuti dengan teliti oleh massa anggota terutama oleh kader2
Gerwani....."HR" telah memberikan dorongan timbulnja berbagai
aktivitet di lain2 daerah dan telah melahirkan penulis2 wanita muda di
lingkungan kader2 Gerwani...." (Harian
Rakjat, 30 Januari 1965).
"Ruangan Wanita" tidak hanya menjadi ajang
Gerwani mewartakan organisasi dan kegiatannya. Di "ruangan wanita"
juga menjadi ajang berbagi informasi, disuguhkan dari masalah wanita dan
politik, kegiatan organisasi sampai belajar menyulam, memasak, menulis cerpen,
atau mendidik anak.
Lewat pelbagai media yang tersebut di muka, Gerwani telah
menyebarkan pandangan politik, tujuan-tujuan, dan kegiatan-kegiatan organisasi
yang akhirnya memberikan andil besar pada perkembangan organisasi.
Sekitar 4 Juni 1950 pada saat di mana Rakjat Indonesia
dihadapkan pada suatu kenyataan dengan telah ditandatanganinya Perjanjian KMB,
yang pada hekekatya merestorasi kedudukan modal monopoli Belanda di Indonesia.
Pada waktu itu organisasi wanita harus menjawab dua
problem politik sesuai dengan situasi tanah air: setuju atau tidak dengan
perjanjian KMB. Selain itu juga apakah setuju atau tidak menggabungkan diri
dalam dalam Gabungan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) atau keluar dari
keanggotaan GDWS.
Saat itulah Gerwis
dilahirkan. Enam organisasi perempuan, yakni Rupindo dari Semarang, Persatuan
Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwindo) dari Kediri, Wanita Murba Madura, dan Perjuangan Putri Republik
Indonesia dari Pasuruan bersepakat meleburkan diri dalam satu organisasi yang
dinamai Gerwis. Jadilah tersusun pengurus besar Gerwis yang dipanglimai Tris
Metty.
Gerwis didirikan atas dasar pengertian bahwa perempuan
mempunyai kepentingan dalam perjuangan anti penjajahan. Karena perempuan
seringkali menjadi korban paling riil, terutama menyangkut kebutuhan hidup
sehari-hari keluarga. Penjajah yang dimaksud adalah mereka yang dikategorikan
sebagai kaum pemodal alias para kapitalis dan imperialis, yang sulit berdamai
dengan kaum proletar.
Gerwis juga identik dengan kaum merah ataupun kaum kiri.
Apalagi ada kemungkinan bahwa PKI turut andil dalam pembentukan Gerwis. Dalam
Gerwis ada juga tarik menarik antara sayap feminis dengan mereka yang ingin
menonjolkan pengaruh PKI dalam organisasi, sekaligus menjadikan Gerwis bukan
semata organisasi kader (terbatas) tetapi adalah organisasi massa.
Pertarungan dua kubu makin memuncak saat kongres I Gerwis
pada 1951. Sayap feminis makin terpencil, meski PKI harus tergopoh menempatkan
kadernya agar menjadi pucuk pimpinan Gerwis. Nama organisasi pun diputuskan
berubah dari Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Namun adanya
perlawanan dari sebagian anggota Gerwis yang tidak menghendaki dominasi PKI,
membuat terjadinya kompromi, bahwa untuk sementara waktu nama Gerwis tetap
dipakai. Perubahan nama baru terlaksana pada 1954, ketika diadakan kongres II
Gerwis. Namun demikian, sebelum 1954, nama Gerwani mulai akrab, dan dipakai di
beberapa daerah.
Gerwani sendiri merefleksikan Gerwis sebagai organisasi
cikal bakal yang mampu mengambil sikap dan terus berkembang: ?dari 500 orang
menjadi 6000 orang pada waktu konggres ke I 1951 dan menjadi 74. 977 orang
waktu konggres II Januari 1954. Ini merupakan hal yang sangat baik. Akan tetapi
Gerwis juga memiliki kelemahan-kelemahannya yang serius, yaitu karena Gerwis
dihinggapi penyakit sektarisme, sehingga kurang berkembang luas dikalangan
massa wanita.
Kemudian hari Gerwani melihat penyakit sektarisme Gerwis:
"... sikap yang kurang mau kerjasama dengan
ormas-ormas lain dan kurang bekerja dengan garis massa. Nama Gerwis sendiri,
yaitu Gerakan Wanita Indonesia Sedar berarti membatasi keanggotaan organisasi.
Yang diterima menjadi anggota organisasi hanyalah mereka wanita-wanita yang
telah sadar saja, padahal berjuta-juta massa wanita banyak yang belum
"sedar" dan harus ditarik dalam perjuangan. Selama itu Gerwis
berkembang." (Harian Rakjat, Januari 1965).
Ini Gerwani bukan
Gerwis
"Apa hak moril tuan-tuan di Barat akan mengedjek2
wanita kita?" (Harian Rakjat, 17
Januari 1965),
Demikian Njoto dalam artikelnya bertajuk "Wanita dan
Marxisme; kerdja di kalangan wanita tani jang utama" yang dimuat
bersambung pada Harian Rakjat. Njoto melanjutkan:
"Timur dihuni oleh pengembara2 dan orang2 liar, kata
tuan, dan sebagai ilustrasi atas keliaran Timur tuan sebutkan kedudukan wanita
Timur. Baik kita diskusikan soal keliaran ini. Di pentas2 ruangan2 musik di
Eropa berpuluh-puluh dan beratus-ratus wanita diseluruh mempertontonkan
keterlandjangannja. Tidaklah bagi tuan lajak bahwa menarik perhatian umum
kepada tubuh wanita telandjang harus membangkitkan protes2 tertentu dari ibu2,
isteri2 dan kakak2 dari kaum intelektuil Eropa?... Bagi saja, penarikan minat
jang memuakkan dan vulger ini tak ajal lagi bukti atas kenjataan bahwa borjuasi
Eropa melorot kedalam keliaran dan dekadensi".
Lalu bagaimana dengan Gerwani salah satu gambaran wanita
Indonesia yang dibela-bela Njoto dengan kesamaan dan seperkawanan ideologi?
Gerwani cepat-cepat berbenah diri, tak mau mengulang
penyakit sektarisme Gerwis yang menghambat perkembangan organisasi dan untuk
melaksanakan garis massa.
Perubahan dilakukan, cara kerja lebih revolusioner untuk
mengimbanginnya. Anggaran Dasar pun diubah. Gerwani mulai meluaskan aksi-aksi
untuk pembelaaan hak-hak wanita dan anak-anak serta memperkuat aksi-aksi untuk
kemerdekaan nasional dan memperkuat setiakawan internasional.
Euforia politik yang terus memanas sejak Soekarno
memutuskan hubungan dengan PBB disikapi Gerwani dengan tegas yaitu mendukung
situasi perjuangan terutama dalam mensukseskan Dwikora dan mengganyang Malaysia
dan mendukung sepenuhnya keluarnya RI dari PBB. Sikap PBB dianggap tidak
mengindahkan perjuangan Rakyat Indonesia dengan mendudukkan Malaysia dalam
Dewan Keamanan PBB dan menunjukkan bahwa PBB masih didominasi kaum imperialis,
terutama imperialis AS.
"DPP Gerwani telah menjatakan sikap memprotes PBB,
mendukung sepenuhnja komando presiden agar Indonesia keluar dari PBB dan
menuntut agar semua perwakilan PBB maupun organisasi/lembaga2 PBB lainnja
segera angkat kaki dari bumi Indonesia." (Harian Rakjat, 14 Januari 1965).
Dukungan untuk mensukseskan DWIKORA, meningkatkan
perjuangan penggayangan "Malaysia" proyek neokolonialisme Inggris dan
imperialis AS diujudkan nyata dengan membuka dan melatih sukarelawati untuk
mempersiapkan ketahanan keamanan yang diserukan pada perayaan hari Wanita
Internasional oleh DPP Gerwani:
"Basis2 Gerwani supaja segera mempersiapkan latihan2
sukarelawati, membentuk brigade2 tempur/produksi....mempertinggi kewaspadaan
nasional sehingga kampung dan desa2, mengembangkan aksi2 seluruh rakjat
Indonesia dalam melawan subversi dan intervensi imperialis Amerikat, jang
semakin nekad berhubung dengan keluarnja Indonesia dari PBB... (Harian Rakjat, 8 Maret 1965)
Tak main-main, sekira tiga bulan kemudian tepatnya
tanggal 4 Juni 1965 dilembar Harian Rakjat melangsir foto sukarelawati Gerwani
di daerah Bali yang tengah berlatih militer. Kredit title foto itu berbunyi
"Sukwati Gerwani Bali mengadakan latihan-latihan kemiliteran dalam
training center untuk menggajang projek "Malaysia". Gerwani memang
bersegera membentuk unit-unit sukwati terkecil di basis tempat tinggal terdiri
dari 10-12 orang. Dibentuk pula Sukwati tingkat cabang. Sukwati Gerwani ini
adalah salah satu bagian teraktif dalam tubuh Gerwani.
Pembentukan sukarelawati ini sejatinya dicetuskan Gerwani
bertolak dari komando PJM presiden Sukarno yang mengomandokan kepada seluruh
seluruh sukarelawan Dwikora untuk membentuk unit-unit sukarelawan kecil dan
kemudian mengadakan gerakan turun ke bawah (turba). Menurut Gerwani, gerakan
Sukwati ini adalah salah satu upaya mendongkrak pandangan-pandangan kolot yang
menempatkan kaum wanita pada tempat yang terbelakang untuk sebatas mengurus
dapur, anak-anak dan rumah tangga:
...Sukwati sebagai panggilan revolusi telah menarik kaum
wanita dari keadaan dan pandangan jang kolot dan terbelakang tersebut, dan
tampillah ke depan ibu2, wanita2, jang tidak hanja pandai menggurus rumahtangga,
tetapi djuga siap sedia memikul tugas2 dalam masjarakat.? (Harian Rakjat, 8 Juli 1965)
Dengan lima azimat revolusi Indonesia (1) Nasakom, (2)
Pancasila, (3) Manipol, (4) Trisakti Tavip, dan (5) Berdikari, sukwati-sukwati
dan para sukarelawan kian giat mengintensifkan latihan-latihan untuk berjuang
lebih keras untuk melaksanakan Dwikora, menggayang Malaysia dan imperialis AS.
Inilah sekilas gambaran Sukwati Gerwani:
"Seorang Ibu jang djuga menjatakan dirinja sebagai
sukwati Gerwani, sambil menggendong anaknja jang sapihan di belakang dan jang
masih menjusu di depan, dan karena sulitnja perhubungan dengan djalan kaki
menempuh djarak 17 km siap dalam appel dan menjatakan kesiapannja melaksanakan
tugas dan segala instruksi DPP Gerwani.
"Sukwati dari daerah Wonogiri, Prajumantoro dengan
tidak bersepatu berbaris tegap2 dari djarak tidak kurang 40 km. Diorama mukanja
terlukis kesanggupannja untuk mempertahankan tanahairnja dan menjelematkan
revolusi dari rorongan nekolim, setan dunia, dan tudjuh setan desa, djuga siap
untuk menghadapi dan terus berkonfrontasi dengan Malaysia". (Harian Rakjat, 27 September 1965).
Sikap Gerwani ini sejatinya adalah kompas bahwa
organisasi wanita pada massanya berkembang dan tak anti dengan masalah politik
bangsa. Dalam perpolitikan DPP Gerwani juga mendukung keputusan-keputusan
Presiden melarang ?BPS? dan melarang untuk sementara kegiatan Partai Murba
beserta ormas-ormas pendukungnya. Menurut Gerwani keputusan-keputusannya ini
adalah usaha? untuk menjelamatkan RI dan mensukseskan Dwikora sangat tepat dan
perlu diteruskan dengan adanja retooling terhadap aparat-aparat dan lembaga-lembaga
negara dari semua oknum2?
Lalu diserukan bagi kaum wanita sendiri mengahalau bahaya
imperialis dengan ? mempertinggi kewaspadaan dan memperkuat persatuan nasional
revolusioner berpatokan Nasakom, untuk menghadapi kegiatan dari kombinasi 3
kekuatan jahat, yaitu kaum imperialis, kapitalis birokrat dan Trotskis.
Di bidang Internasional, Gerwani senantiasa aktiv
mengikuti sidang-sidang GWDS dan mengirim delegasi-delegasi ke berbagai negeri
untuk mengumandangkan cita-cita wanita Indonesia dan tujuan revolusi
Indonesia.Gerwani memperkuat setiakawan dengan perjuangan Rakyat Vietnam
Selatan, Kongo untuk menggayang agresi imperialis AS, bertekat untuk turut serta
menentang pangkalan-pangkalan asing dan memboikot film-film AS:
"DPP Gerwani dalam tilgramnja djuga menjatakan
protes keras dan menuntut agar pemerintah AS menghentikan serangan dan menaati
persetudjuaan Djenewa, menarik semua pasukan AS dari Vietsel. ...Selain itu
djuga dinjatakan ucapan selamat dan sukses atas hasilnja Tentera Rakjat Vietnam
menembak djatuhnja pesawat terbang AS!" (Harian Rakjat, 10 Februari 1965).
Untuk mengembangkan organisasi, Gerwani meluaskan
sayapnya tidak hanya di Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lainnya. Sedangkan
untuk kepentingan regenerasi dimulai adanya pendidikan kader-kader wanita yang
menjadi tulang punggung organisasi. Satu hal yang penting dalam usaha Gerwani
ialah dengan berjuang secara gigih dalam pemilihan umum dimana Gerwani
mengorganisasi lebih 30.000 aktivis untuk memenangkan daftar calon
pimpinan-pimpinan dari Gerwani.
Untuk mengintensifkan gerakan dan mencetak kader-kader
wanita revolusioner, berfikiran cerdas dan berkemauan keras maka sidang Pleno
ke IV DPP Gerwani 15-18 Januari 1965, memutuskan untuk mendirikan Yayasan
Pendidikan Wanita Revolusioner dengan nama "Sri Panggihan". Yayasan
pendidikan ini yang akan mendirikan institute pendidikan sekolah-sekolah wanita
revolusioner dari tingkat pusat sampai anak cabang. Sebagai mata pelajaran
pokok adalah Marxisme:
"Untuk mempersiapkan institute, Pleno menugaskan
Dewan Harian untuk segera mengadakan kursus aplikasi guru agar segera dapat
mentjukupi tenaga2 chusus di bidang pendidikan wanita revolusioner, Marxisme
adalah ilmu jang kompeten untuk mendjelaskan revolusi... sebelum tugas2
institut bisa dilaksanakan, maka Pusat, Daerah Tjabang sampai Anak Tjabang
harus tetap mengusahakan adanja pendidikan jang bermatjam bentuknja..."
Gerwani nampaknya menyadari bahwa pendidikan adalah salah
satu senjata penting untuk menciptakan kader revolusioner, hal tersebut bisa
dilihat dengan segera mereka berbenah dan merapikan dan mengintensifkan bidang
pendidikan kader. Pembentukan Yayasan? Sri Panggihan? secara resmi diumumkan
pada hari Wanita Internasional 8 Maret 1965, dan bentukan cabang-cabang yayasan
akan diresmikan pada peringgatan Hari Kartini 21 April 1965.
Bulan Juni 1965 pada rapat umum Gerwani diumumkan
pembukaan angkatan pertama pendidikan wanita revolusioner? Sri Panggihan?.
Angkatan pertama ini beranggotakan wanita-wanita dari berbagai daerah untuk
mengikuti pendidikan. Pendidikan ? Sri Panggihan? ini berjalan kurang lebih
selama dua bulan, pada tanggal 9 September 1965 diwisudalah anggkatan pertama ?
Sri Panggihan? (Harian Rakjat, 9
September 1965).
Kendati demikian realisasi lulusan ?Sri Panggihan? dalam
Gerwani tak terlihat nyata menggingat pada bulan yang sama pecah peristiwa
September 1965.
Masalah pendidikan anak tak luput dari perhatian Gerwani,
sejak tahun 1954 mulai didirikan 24 Taman Kanak-kanak dibawah naungan
"Jajasan Pendidikan". Taman Kanak-kanak yang diasuh Gerwani
berlandaskan; (1) Tjinta tanah air, (2) Tjinta Ilmu Pengetahuan, (3) Tjinta
kerdja dan Rakjat Pekerdja, (4) Tjinta Perdamaian dan Persahabatan antar
bangsa2 dan (5) Tjinta orang tua (Harian Rakjat, 15 Juni 1965).
Taman Kanak-kanak (TK) Melati ini didirikan untuk
menyediakan sekolah murah bagi para buruh dan tani. Dan hingga tahun 1963 TK
Melati Gerwani terus berkembang bahkan mulai dipikirkan untuk mendirikan
sekolah lanjutan, serta pendidikan untuk guru-guru, maka ketika berlangsung
konggres ke II dari GTKI Gerwani menaruh perhatian besar dan ikut bergabung di
dalamnya dan memberikan prasarana meningkatkan mutu guru-guru TK dan sekolah
lanjut dengan kursus dan training.
Dengan adanya usaha-usaha yang giat Gerwani mengalami
perkembangan yang pesat. Hal ini bisa dilihat dari naiknya keanggotaan Gerwani,
yaitu dari 74.977 orang menjadi 631.342 pada kongres ke III di Solo tahun 1957
dan menjadi 1.056.436 pada konggres ke IV 1961 di Jakarta. Cabang-cabang
Gerwani mulai berkembang di seluruh kepulauan Indonesia.
Gerwani juga menyelenggarakan seminar-seminar wanita tani
di daerah dan nasional. Seminar wanita tani pertama kali diselenggarakan pada
tanggal 17-20 Januari 1961, tujuannya adalah untuk meningkatkan sumbangan kaum
wanita tani dalam meningkatkan masyarakat adil makmur, melaksanakan manipol,
meningkatkan taraf hidup wanita tani dan melaksanakan Undang-undang bagi hasil
dan Landreform. (Lihat Harian Rakjat, 7 Januari 1961).
Menurut Hj. Umi Sardjono seminar wanita tani ini
diselenggarakan dalam rangka melaksanakan kongres ke-3 Gerwani dan Sidang pleno
ke-1 DPP Gerwani, yang menekankan pentingnya menyimpulkan hasil penelitian dari
aktivis-aktivis Gerwani, baik pusat maupun daerah setelah melakukan gerakan
turun ke bawah di desa-desa. Di samping untuk menyambut ketetapan MPRS serta
komando Presiden tentang pelaksanaan pembangunan pertama yang menggariskan
bahwa basis-basis pembangunan adalah landreform. (Harian Rakjat, 18 Januari 1961)
Seminar ini diikuti delegasi-delegasi dari Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimanatan
Selatan, Kalimantan Timur, Manado, Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan
Djakarta Raja. (Lihat Harian Rakjat,17
Januari 1961)
Perlu digarisbawahi meskipun Gerwani segaris dan
pendukung setia Sukarno namun tidak berarti organisasi ini tak kritis pada
pemerintah, buktinya ketika pemerintah menaikkan harga-harga kebutuhan 50-150%
dalam satu bulan Gerwani ikut berteriak pada kebijakan pemerintah:
"Gerwani mengusulkan agar distribusi beras bagi
pegawai negeri tidak diganti dengan uang, kenaikan tarif ditindjau dan
mentjegah kenaikan tarif lainnja, penjaluran 9 bahan pokok kebutuhan se-hari2
diawasi dengan mengikut sertakan Rakjat jang terorganisasi dan melaksanakan
ketetapan MPRS, untuk mempertinggi produksi". (Harian Rakjat, 27 Juli 1965)
Untuk memperkuat basis massa kegiatan Gerwani memang
menyentuh berbagai aspek kehidupan politik, sosial, pendidikkan, anak, dan
ekonomi secara nasional maupun internasional. Gerwani sebagai organisasi wanita
revolusioner harus bernasib naas seperti organisasi-organisasi seideologinya.
Peristiwa 1 Oktober 1965 adalah awal gemuruhnya lonceng kematian bagi siapapun
dan organisasi mana pun yang sekawan atau seideologi dengan PKI. Begitu pula
dengan aktivis, anggota Gerwani, bahkan simpatisannya.
Catatan ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tertentu,
wanita Indonesia pun memiliki keahlian memainkan penannya sendiri. Mereka pun
mengikuti dan mencebur dalam perkembangan politik, ekonomi, pendidikan dan
masalah-masalah sosial bangsa hingga bergerak dalam identitasnya sendiri. [ki]