12 Februari 2011
Mochtar Lubis, Pendiri harian Indonesia Raya
Saya beruntung pernah menjadi wartawan pada harian Indonesia Raya. Tidak lama, hanya lima tahun, karena umur koran tersebut periode kedua memang sesingkat itu. Akan tetapi, dalam tempo sependek itu saya mengecup banyak pengetahuan dan mengecap bermacam-macam pengalaman. Di antaranya pernah mendapat amplop empat ratus perak dan melakukan perjalanan jurnalistik ke “daerah maut” Purwodadi.
Indonesia Raya didirikan oleh Mochtar Lubis 29 Desember 1949. Karakter koran ini identik dengan pemiliknya, Mochtar Lubis yang dijuluki “Wartawan Jihad”. “Wartawan yang berani dan terkenal sebagai pelawan terhadap semua yang batil,” kata Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama.
Indonesia Raya terbit dalam dua periode. Pertama tahun 1949—1958 dan kedua tahun 1968—1974. Sejak awal koran ini terkenal berani menentang ketidakadilan. Itulah sebabnya pada masa pemerintahan otoriter Orde Lama Indonesia Rayadibreidel sampai 17 kali dan Mochtar Lubis ditahan selama sembilan tahun (tidak berturut-turut) tanpa diadili. Pada periode Orde Baru hanya satu kali diberangus, tetapi fatal. Koran itu mati selama-lamanya dan Mochtar Lubis ditahan selama hampir satu tahun. Tuduhannya–seperti biasanya–tidak jelas.
Saya bekerja di harian tersebut sejak diterbitkan kembali 30 Oktober 1968 hingga dibreidel 22 Januari 1974. Awalnya Indonesia Raya tampil sederhana. Kantor yang disewanya juga sederhana. Sebuah rumah kecil di Jalan Medan Merdeka Utara 11, Jakarta Pusat, hanya beberapa puluh meter jauhnya dari Istana Merdeka. Letaknya menjorok beberapa puluh langkah dari jalan raya. Halamannya tidak cukup untuk parkir lima mobil.
Ruangannya sedikit dan sempit pula, sehingga karyawannya yang cuma sekira 20 orang berhimpit-himpit. Apalagi, duh, panasnya bukan main karena tidak ada penyejuk udara. Di ruang belakang bising oleh gemuruh mesin percetakan yang sudah jompo. Mesin tua menjadikan penampilan Indonesia Raya tidak megah.
Wartawannya hanya lima orang, tetapi bila hendak mengetik harus bergiliran. Hal ini menjengkelkan. Anehnya, tidak ada yang menggerutu masuk kerja pada hari libur tanpa uang lembur. Selain itu kadang-kadang kami baru pulang menjelang subuh.
Amplop Empat Ratus Perak
Sewaktu baru berumur seminggu Indonesia Raya sudah membuat kejutan. Indonesia Raya melawan arus. Pada masa itu, bahkan sampai sekarang, terbilang lumrah bila wartawan menerima amplop. Oleh karena itu, terasa menyentak tatkala Sabtu 10 November 1968 Indonesia Raya memunculkan pengumuman kecil berdampak besar.
Tulisan itu ditujukan kepada Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, “Silakan Menerimanya Kembali, Bang Ali,” begitu judulnya. Isinya mengabarkan bahwa wartawan Indonesia Raya menerima amplop berisi Rp400 dari pimpinan proyek Ancol/Binaria.
“Hal ini merupakan sesuatu yang tidak kita setujui,” tulisnya, “karena tidak selayaknya seorang wartawan menerima bayaran untuk tulisannya.”
Uang Rp.400 waktu itu bisa dibelikan 12½ kg beras. Harga beras Rp32/kg.
Saya lah wartawan yang menerima amplop tersebut. Ceritanya begini: saya bersama wartawan lain diundang oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Kami melihat-lihat daerah berawa yang baru saja diuruk di tepi Teluk Jakarta untuk proyek pembangunan Taman Impian Jaya Ancol. Belum ada tontonan apa pun. Hanya ada perkampungan kumuh, kawasan pelacuran, dan tempat jin buang anak. Di tanah seluas 560 hektare tersebut, menurut pimpinan proyek, Ir. Ciputra, dalam tempo sepuluh tahun akan dibangun taman hiburan, tanpa kasino.
Menjelang tengah malam kami kembali dan mendapat amplop untuk transpor pulang. Ketika itu di Jakarta belum ada taksi dan angkutan umum (opelet Si Doel) amat langka, apalagi larut malam. Saya pulang jalan kaki karena kebetulan rumah saya tidak jauh dari Balaikota.
Esok paginya amplop tersebut saya serahkan kepada Pak Enggak Baha’uddin, Wakil Pemimpin Redaksi Indonesia Raya. Masalahnya, saya teringat pada kejadian dua tahun sebelumnya sewaktu saya masih bekerja di harian Pelopor Baru di Jakarta. Ketika itu saya ditugasi mewawancarai seorang tokoh yang berhasrat benar ingin menjadi gubernur Sumatra Selatan. Hasil wawancara tersebut saya serahkan kepada editor kami, Pak Sam Soeharto. Sambil menyerahkan foto calon gubernur itu saya mengatakan,
”Pak, jika foto ini dimuat, katanya, ongkos klise akan diganti.”
Saya berkata polos. Merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa karena sekadar menyampaikan omongan orang. Akan tetapi, betapa saya takut melihat perubahan air muka Pak Harto. Ia marah luar biasa. Perbuatan saya itu dianggap melanggar kode etik jurnalistik. Dua jam penuh saya diomeli. Intinya, saya sebagai wartawan tidak boleh menerima suap.
“Itu trick untuk menyogok wartawan supaya beritanya dimuat.”
Waktu itu baru dijanjikan akan diberi uang. Kini, setelah bekerja di Indonesia Raya, uang itu sudah diterima.
“Amplop” tersebut menjadi bahan pembicaraan yang ramai di lingkungan redaksi.
Pada saat ribut-ribut tersebut Pak Mochtar masuk ke ruang redaksi. Ia menanyakan apa yang terjadi. Pak Enggak bercerita panjang lebar. Pak Mochtar tidak banyak komentar. Ia kemudian duduk dan mengetik pemberitahuan soal amplop itu. Amplop tersebut dikembalikan langsung oleh Pak Mochtar kepada Gubernur Ali Sadikin.
Pengumuman tentang amplop itu di harian Indonesia Raya membuat sebagian wartawan naik pitam. Yang mengherankan, sayalah yang justru menjadi tumpahan kemarahan mereka. Saya mengetahui hal itu dari rekan wartawan Indonesia Raya, Hendrowiyono. “Ente sementara jangan nongol dulu di balaikota (kantor gubernur). Mereka akan mengeroyokmu,” katanya.
Saya akan dikeroyok? Oala!
Ke Daerah Maut Purwodadi
Soal “amplop” ini merupakan jurus pertama yang diajarkan oleh Indonesia Rayakepada saya. Pelajaran kedua, saya peroleh ketika melakukan tugas jurnalistik ke daerah maut Purwodadi awal 1969, sewaktu saya baru empat bulan bekerja di Indonesia Raya.
Di Jakarta waktu itu saya tinggal di wisma Ikhwan, Jalan Jati Petamburan (kini Jalan Aipda K. Satsuit Tubun), di bekas gedung konsulat Tiongkok yang direbut oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Perebutan gedung yang kini menjadi perkantoran itu mengakibatkan rekan Ikhwan Ridwan Rais gugur. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sepotong jalan di daerah Gambir, Jakarta Pusat. Di asrama pelajar tersebut tinggal juga senior saya, wartawan Harian Kami, Usamah Said.
Pada hari Selasa, 25 Februari 1969, saya lihat Usamah sedang mengetik naskah. Ia berpikir keras mencari istilah untuk suatu berita pembunuhan massal yang dilakukan secara kejam. Setelah beberapa lama, pada akhirnya dengan muka cerah ia menemukan sebutan yang paling tepat: bantai.
Intuisi saya mengatakan bahwa ia memperoleh berita besar. Akan tetapi, saya merasa tidak etis menanyakan berita apa.
Esok paginya Harian Kami muncul dengan berita mengejutkan: “Pembunuhan Gelombang dalam 3 Bulan di Purwodadi.” Berita tersebut diperoleh dari H.J.C. Princen, Ketua II Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia.
Pimpinan Indonesia Raya meminta saya mewawancarai Pak Princen. Princen baru saja berkunjung ke Jawa Tengah bersama dua wartawan Belanda dan singgah di pastoran Purwodadi. Di sana ia mendengar kabar bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap 2.000—3.000 orang di Kabupaten Purwodadi selama beberapa bulan dalam rangka pembersihan terhadap sisa-sisa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Saya,” kata Princen, “membuka persoalan ini kepada umum dengan tekad bahwa kita harus jujur dan berani menghadapi kenyataan diri kita sendiri yang buruk. Saya tidak tahu apa sebenarnya motif pembunuhan ini. Saya tidak begitu yakin bahwa semua yang mereka bunuh itu PKI. Tetapi, jika pun benar, cara pembunuhan semacam ini harus kita kutuk. Kejadian ini harus dihentikan. Usut, selidiki dengan saksama. Ambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab.”
Minggu pagi, selepas sembahyang Idul Idha dan membagi-bagikan daging kurban, saya pergi ke kantor untuk mengetik hasil wawancara dengan Princen.
Setelah hal itu diberitakan di Indonesia Raya, keesokan harinya[1] turunlah tajuk rencana yang mengomentari peristiwa tersebut:
Seorang saja manusia dibunuh tanpa proses hukum yang berlaku telah harus membuat seluruh bangsa kita menjadi ribut dan bangkit bertanya. Kini yang terbunuh tanpa proses hukum berjumlah ratusan, jika tidak ribuan.
Jika pembunuhan massal ini dilakukan selama berbulan-bulan sehabis kup Gestapu[2] kita masih dapat memahami “histeria massa” demikian, meskipun tidak dapat menyetujuinya. Akan tetapi, dalam keadaan sekarang, ketika setelah dua tahun lebih kita semua berbicara tentang menegakkan the rule of law, pembunuhan serupa ini tidak lagi dapat dibiarkan.
Kita harus menyampaikan pujian kepada Saudara Princen yang telah mempertaruhkan kepalanya untuk menyampaikan berita ini kepada rakyat.
Dikatakan bahwa laporan Princen tentang pembunuhan massal di Purwodadi seharusnya di-follow up oleh pers dengan mengirimkan wartawan ke sana untuk mengumpulkan keterangan dari para petugas, pembesar, dan rakyat setempat. Laporan yang terinci mengenai nama-nama orang yang jadi korban, dll.
Indonesia Raya kemudian mengirimkan wartawan ke Purwodadi. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa tugas berat itu akan dipercayakan kepada saya.
Hari Minggu saya berangkat dari Jakarta dan tiba di Semarang keesokan paginya, 3 Maret 1969.
Di Semarang semua surat kabar terbitan Jakarta dan Jawa Tengah saya baca, terutama yang berkaitan dengan kasus Purwodadi. Di antaranya pernyataan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) VII/Diponegoro, Mayjen Surono, yang membantah berita pembunuhan massal tersebut.
Ada juga berita tentang penangkapan wartawan Berita Yudha[3] karena disangka berindikasi PKI. Selain itu, dua wartawan dari Solo yang hendak ke Purwodadi dikabarkan ditangkap dan dituduh sebagai orang PKI.
Merinding saya membaca berita tersebut. Baru saat itu saya menyadari bahwa kepergian ke Purwodadi sama saja dengan menyongsong maut. Soalnya, bisa saja saya pun ditangkap dengan tuduhan PKI, tuduhan yang ketika itu amat efektif untuk melumpuhkan lawan.
Oleh karena itu, hari itu juga saya menemui Mayor Suhirno, Kepala Penerangan Kodam VII/ Diponegoro. Selain untuk mencari informasi, saya minta surat jalan ke Purwodadi untuk menjaga diri. Permintaan saya ditolak. Bingung saya jadinya. Bila nekat ke Purwodadi ada kemungkinan saya ditangkap. Jika tidak pergi berarti saya gagal bertugas. Setelah lama membujuk Mayor Suhirno, akhirnya ia menyarankan agar saya datang lagi esok harinya.
Sisa hari saya pergunakan untuk mewawancarai beberapa tokoh masyarakat sipil di Semarang yang mengetahui kasus Purwodadi.
Esoknya saya datang lagi ke Kodam. Di sana sudah ada Saudara Domingus, wartawan harian Kompas. Kami akhirnya mendapat surat jalan dari Asisten I Kodam VII setelah melalui diskusi yang cukup lama dengan Mayor Suhirno. Ia berpesan agar kami jangan mencari informasi dari masyarakat ataupun pejabat di luar Komando Distrik Militer (Kodim) di Purwodadi, “sebab ini masalah keamanan dan ketertiban.”
Dom mengajak saya pergi ke Purwodadi bersama-sama. “Kalau ada apa-apa kita bisa saling bantu,” katanya.
Saya pikir, memang sebaiknya begitu. Demi keamanan. Purwodadi ketika itu benar-benar merupakan daerah yang terkucil. Jalan sangat buruk. Tidak ada mobil yang mau lewat. Angkutan umum cuma kereta api tua zaman koboi.
Saya merasa gamang[4] dalam perjalanan ke Purwodadi. Kereta api tersengal-sengal merayapi rel sepanjang 62 km. Berdesah-desah ketika mendaki. Tiada teriakan pedagang asongan, tiada pengemis berkeliaran. Semua penumpang dicekam muram. Apalagi sewaktu gelap semakin pekat. Kami merasa seperti menghampiri maut.
Latar Belakang Kasus
Di perjalanan saya bertanya-tanya dalam hati mengenai berita pembunuhan massal tersebut. Apakah mungkin dalam kasus ini ada suatu pengatur besar (master mind) yang hendak memisahkan rakyat dengan Angkatan Bersenjata RI. Pembunuhan itu dilakukan dengan dalih merazia sis-sisa PKI. Princen tidak yakin bahwa yang dibunuh itu PKI semua. Oleh sebab itu, saya harus menemukan jawaban: siapa membunuh siapa. Apakah ada kemungkinan penyelinapan PKI ke tubuh ABRI[5]?
Keterangan yang saya peroleh—sebelum dan setelah ke Purwodadi—menyebutkan bahwa razia terhadap PKI dilancarkan sejak 5 April 1968. Sebelumnya, Komandan Resor Kepolisian Purwodadi yang dipimpin oleh Komisaris Polisi Kusnadi menangkap gembong PKI, Sugeng, yang sering melakukan perampokan. Dalam suatu pemeriksaan Sugeng mengatakan bahwa PKI sedang giat membentuk Tentara Pembebas Rakyat. Berdasarkan keterangan itulah pembersihan dilakukan supaya mereka tidak menghambat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang akan dimulai tahun 1969.
Wilayah tandus Purwodadi pada masa jaya PKI merupakan daerah merah. Mata pencaharian penduduk melakukan penebangan liar di hutan jati. Pernah polisi kehutanan yang mencegah perbuatan tersebut dibunuh ramai-ramai oleh mereka, bahkan dicincang.
Anggota PKI di Purwodadi ditaksir 200.000 orang yang tersebar di 18 kecamatan. Ketika itu seluruh penduduk masih 700.000 jiwa. Jadi, PKI sangat kuat di sana. Apalagi 200 orang di antara 285 lurah anggota PKI. Anggota PKI yang ditahan baru 1.000 orang, itu pun tokoh-tokohnya saja.
Masalahnya menjadi dilematis, demikian kata Komandan Kodim 0717, Letkol Tedjowuwarno.
“Jika semuanya ditangkap, tidak ada tempat untuk menampung. Bila dikembalikan ke masyarakat, tidak ada yang mau menerima mereka,” keluhnya kepada saya dan Dom ketika kami mewawancarainya di Purwodadi.
Sebelum itu, saat dalam perjalanan menuju Purwodadi, seorang penumpang di kereta api memberitahukan bahwa tadi pagi (Rabu, 5 Maret 1969), di stasiun Purwodadi ada razia. Katanya, pembersihan semacam ini sering diadakan, terutama di stasiun sebagai satu-satunya pintu masuk ke Purwodadi. Muka baru mudah sekali dikenali karena di kota kecil itu jumlah penduduk tidak banyak, ujarnya.
Saya jadi teringat pada berita koran di Semarang tentang penangkapan wartawan yang hendak masuk ke Purwodadi. Kabar yang tidak disiarkan di surat kabar menyebutkan bahwa seorang wartawan dari Jakarta ditangkap, meski menyamar sebagai kusir pedati lembu. Alasan penangkapan, ya, apalagi kalau bukan tuduhan PKI.
Purwodadi tertutup bagi orang luar, terutama wartawan.
Hal ini membuat Dom cemas. Di kereta api ia berbisik, “Kayaknya kita enggak bakalan bisa masuk ke Purwodadi.”
Saya balas berbisik. Ya, berbisik karena seisi gerbong hanya diam termangu.
“Tenang,” kata saya. “Kita ‘kan punya surat jalan dari Kodam.”
“Apa itu bisa menjamin? Gimana kalau ada kode rahasia?”
Yang ia maksud, dalam surat itu ada kode yang memerintahkan untuk menangkap kami atau yang semacamnya.
Mungkin juga begitu, meski saya tak yakin benar. Bagaimanapun kami harus berhati-hati. Kami sepakat akan turun di halte menjelang stasiun Purwodadi untuk menghindari razia atau kemungkinan lain. Akan tetapi, di halte mana kami harus turun?
Itu bukan persoalan sulit karena bila bepergian saya terbiasa membeli peta kota yang hendak dituju.
Namun, ada persoalan lain yang membingungkan: di mana kami akan menginap. Di Purwodadi ketika itu tidak ada hotel. Kalaupun ada, dalam situasi gawat seperti itu, kami tidak akan bermalam di penginapan.
Sebetulnya saya sudah mengantungi alamat beberapa narasumber di Purwodadi. Alamat itu saya peroleh ketika masih di Jakarta dan Semarang. Alamat narasumber itu tidak saya beritahukan kepada Dom sebab saya tergoda ingin memperoleh berita eksklusif. Saya mengatakan kepada Dom akan tidur di mesjid.
Alangkah kaget Dom mendengar hal itu.
“Jangan bodoh!” ujarnya. “Kita jangan berpisah. Lebih baik sama-sama tidur di pastoran.”
Kini giliran saya yang kaget.
“Di pastoran? Di tempat Pak Princen singgah? Apa tempat itu tidak akan diawasi?”
“Enggak tahulah, tapi aku akan nginap di sana.”
Demikianlah, kami kemudian turun di halte yang telah direncanakan. Hari telah gelap sekali ketika kami naik delman ke kepastoran.
Di pastoran kami hanya menumpang mandi. Setelah itu kami “bergerilya” melakukan wawancara dengan narasumber saya dan narasumber Dom. Kami kembali setelah larut malam. Lumayan banyak juga keterangan yang kami peroleh malam itu. Lebih banyak ketimbang yang didapatkan oleh Pak Princen. Akan tetapi, bahan itu belum memenuhi harapan tajuk rencana harian Indonesia Raya yang menghendaki “laporan terinci mengenai nama-nama orang yang jadi korban dan keterangan keluarga mereka.”
Sebagian identitas korban telah saya dapatkan. Namun, wawancara dengan keluarga korban sulit dilakukan karena tidak ada yang mau diwawancarai.
Situasi tidak mendukung kami untuk melakukan wawancara dengan leluasa. Kami tidak bisa menjangkau desa-desa tempat terjadi pembunuhan. Letak desa-desa itu jauh terpencar-pencar dan malam hari tak ada angkutan umum ke sana.
Siangnya kami memilih meninjau daerah yang paling parah saja, Desa Kuwu 2,6 km dari Purwodadi. Di desa ini kami mengunjungi para tahanan, tetapi tak diizinkan oleh petugas di sana untuk mewawancarai tahanan.
Menurut keterangan sebagian narasumber tadi malam, korban pembantaian diambil dari tempat tahanan. Mayatnya dikuburkan secara massal antara lain di kebun pisang.
Setelah puas mewawancarai sumber nonformal, barulah kami pergi ke kantor Kodim menemui Dandim Letkol Tedjosuwarno. Ia banyak juga memberikan keterangan menurut versinya. Bahkan, kami dipinjami mobil. Dengan diantar oleh seorang tentara berpangkat sersan, kami mengunjungi empat di antara empat belas kamp tahanan di Kabupaten Purwodadi. Kamp-kamp ini sebagian bekas gudang yang dipinjam dari penduduk. Tidak berterali besi yang angker, tetapi cukup kokoh. Kami juga melihat-lihat tempat yang menurut narasumber sebelumnya dijadikan sebagai kuburan massal. Misalnya, kebun pisang di Desa Kuwu. Akan tetapi, tentu saja kami tidak bisa meminta kepada petugas yang mengantarkan kami untuk membongkar kebun pisang tersebut untuk membuktikan bahwa di sana ada mayat yang dikubur.
Di jok belakang mobil ada beberapa lembar koran terbitan Jakarta. Saya leluasa membacanya karena pengantar asyik bercakap-cakap dengan Dom di depan.
Ada tajuk rencana Indonesia Raya yang menurunkan judul “Jangan Jadi Simpang-siur”. Intinya, menyebutkan bahwa keterangan Princen tentang pembunuhan massal di Purwodadi telah dibantah oleh Pangdan VII Dipeonegoro, Mayjen Surono. Disebutkan bahwa dua orang wartawan asing yang ke Purwodadi melaporkan tidak melihat sesuatu apa pun tanda-tanda pembunuhan massal. Sebaliknya harian Kompas dan Sinar Harapan, menurut tajuk tersebut, telah menyiarkan berita yang menyebutkan adanya tanda-tanda siksaan pada korban yang tewas.
Investigative Reporting
Ketika kembali ke Jakarta tajuk itu saya baca kembali. Isinya antara lain:
Agar persoalan ini jangan jadi simpang-siur, dan untuk mendidik kita semua berani bertanggung jawab, kita menyokong sepenuhnya saran Princen agar segera dibentuk sebuah panitia yang objektif untuk memeriksa benar atau tidaknya segala rupa laporan yang telah tersiar. Soalnya kini tidak lagi dapat diselesaikan dengan saling bantah di depan umum.[6]
Saat itu kasus Purwodadi tengah menjadi pembicaraan ramai. Kian ramai sesudah saya membuat laporan dalam beberapa seri. Setiap seri diberi judul puncak (tagline) “Laporan dari Daerah Maut Purwodadi”. Judul tersebut dibuat oleh Redaktur Pelaksana Indonesia Raya, D. H. Aseggaff yang menilai laporan yang saya buat itu sebagai investigative reporting pertama di Indonesia.
Entahlah. Ketika itu istilah tersebut masih asing di telinga saya. Saya hanya merasa bahwa saya telah melaksanakan tugas. Pertama, datang langsung ke tempat kejadian di Purwodadi. Kemudian, dalam gelap malam keluyuran wawancara sambil sembunyi-sembunyi dan takut-takut. Ya, takut karena kami telah melanggar perintah Mayor Suhirno yang melarang mewawancarai sumber tidak resmi. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi, bila kami ketahuan mewawancarai sumber nonmiliter. Yang jelas, dari hasil wawancara terungkap bahwa memang telah terjadi pembunuhan di sana.
Dalam laporan di harian Indonesia Raya itu saya tidak secara tegas menyebutkan siapa yang menjadi korban pembunuhan. Soalnya, sumber resmi menyangkal terjadi pembunuhan. Menurut sumber tidak resmi, korban pembantaian itu bukan hanya PKI, melainkan juga banyak pemuka Islam dan Kristen.
Ketidakjelasan tersebut saya kemukakan kepada wartawan-wartawan asing yang mewawancarai saya sepulang dari Purwodadi. Tak lama kemudian beredar buku The Indonesian Killings Of 1965-1966, Studies from Java and Bali, yang diterbitkan oleh Centre of Southeast Asia Studies Monash University, 1990 dengan editor Robert Cribb. Buku tersebut setelah Orde Baru tumbang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966.
Saya belum pernah membaca buku tersebut, selain resensinya di internet. Di situ disebutkan ”Berbagai artikel tentang pembantaian PKI di Jawa dan Bali ada dalam buku ini. Di antaranya dari Indonesianis seperti Robert Crib, Michael van Langerberg, Kennet R. Young, Keith Foulcher, Kenneth Orr dan Anton Lucas.
Juga ada laporan jurnalistik dari wartawan Indonesia, Maskun Iskandar dan Jopie Lasut tentang pembantaian di Purwodadi, Jawa Tengah. Tulisan mereka dimuat berseri di media massa tempat mereka berkerja. Maskun Iskandar menghadirkan laporan mengesankan bertajuk ‘Laporan dari Daerah Maut Purwodadi’ yang dimuat di harian Indonesia Raya edisi 10—17 Maret 1969.”
Jadi, ada perbedaan di buku itu disebutkan tahun 1965—1966, padahal laporan saya tahun 1969. Kemudian, dalam resensi itu terkesan bahwa yang dibunuh hanya PKI.
Tanggapan Berbagai Kalangan
Pada tahun 1969 itu tokoh-tokoh yang saya wawancarai sepulang dari Purwodadi tidak mempersoalkan siapa yang dibunuh. Mereka lebih mempersoalkan pada masalah hak asasi manusia. Misalnya, Aisyah Amini, S.H., Ketua Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia, mengatakan,
“Perlihatkanlah ke negeri lain bahwa kita juga bisa menghargai hak-hak asasi manusia. Jernihkan peristiwa Purwodadi sebelum Presiden Soeharto berangkat ke Eropa.”[7]
Ia juga mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya sama sekali tidak menyalahkan Princen. Tanpa Princen pun peristiwa itu telah tersiar ke luar negeri dan hal ini akan membawa akibat lain, katanya.
Gubernur Jawa Tengah, Munadi, dalam suatu konferensi pers menyatakan bahwa tidak benar terjadi pembunuhan massal. “Adalah tidak mustahil bahwa keterangan-keterangan Princen dimaksud untuk menjegal Rencana Pembangunan Lima Tahun yang akan datang dan untuk menimbulkan keguncangan-keguncangan di daerah.
“Princen itu serdadu Belanda yang melarikan diri dan bergabung dengan PKI di Kudus ketika pasukan PKI menduduki Pati tahun 1948. Apa tidak mungkin ia dari partai komunis Nederland?”[8]
Menjawab tuduhan tersebut Princen mengatakan,
“Seperti dulu saya dengan rela dituduh kontrarevolusioner oleh golongan bekas[9] Presiden Soekarno dan komunis, pro- Darul Islam, pro-Masyumi,[10] PRRI/Permesta[11], maka sekarang pun saya menerima tuduhan sebagai seorang komunis, seandainya hal itu dapat membantu orang-orang tidak berdosa dan tidak bersalah.”
Panglima Komando Antardaerah Indonesia Timur, Mayjen Kemal Idris, tegas menyatakan bahwa Princen bukan komunis.
“Ia justru diselamatkan oleh pasukan Siliwangi dari tahan PKI. Princen memiliki bintang gerilya yang sah,” katanya.
Asisten I (Intel) Panglima Angkatan Darat, Mayjen Sutopo Juwono, kepada Kompas mengatakan, “Tak masuk akal ribuan manusia dibunuh, meskipun itu tahanan Gestapu.” Namun, untuk mencari kebenaran, ucapnya, pemerintah akan membentuk tim pemeriksa.
Wartawan Kompas mengatakan kepada Sutopo Juwono betapa sulit masuk ke Purwodadi untuk mendapatkan fakta-fakta yang benar. Apa tim pemeriksa akan secara resmi atau diam-diam sebab Kompas khawatir tim akan dikibuli.
Sutopo Juwono menjawab, “Masakan saya dikibuli.”
Melalui Menteri Penerangan, Boediardjo, pemerintah membantah kebenaran peristiwa Purwodadi. Setelah kegagalan di Blitar selatan, kata Menteri, sisa-sisa PKI mempersiapkan Purwodadi untuk dijadikan pangkalan bagi come back-nya. Pemerintah telah menemukan dokumen mereka mengenai hal itu. Oknum-oknum G30S itu telah berani melakukan pengacauan, antara lain membunuh anggota ABRI, katanya.
“Dengan sendirinya oleh alat-alat negara dilakukan gerakan pembersihan terhadap mereka—yang bahkan telah mendirikan rumah-rumah bawah tanah (ruba). Bahwa dalam operasi itu ada jatuh korban dari kedua belah pihak adalah logis. Namun, korban yang jatuh hanya beberapa orang dan sama sekali tidak bersifat massal,” kata Menteri.[12]
Pada 30 April 1969 berbagai koran memberitakan bahwa Komandan Kodim, Letkol Tedjosuwarno, dipindahkan ke Salatiga. Lebih dari sebulan sebelumnya, 14 anak buahnya ditahan di Ambarawa karena diduga berindikasi PKI. [13]
Menteri Luar Negeri, Adam Malik, dalam tanggapannya mengatakan agar peristiwa Purwodadi jangan dibesar-besarkan karena akibatnya akan jauh lebih besar. “Yang penting kasus tersebut jangan sampai terulang,” katanya.
Sejak itu pemberitaan mengenai kasus Purwodadi berangsur reda, dan bakan tak dibicarakan orang lagi. Kalau tidak salah, tim pemeriksa pun tidak jadi dibentuk, sehingga kasus Purwodadi tetap menjadi misteri.
[1] Indonesia Raya, 1 Maret 1969.
[2] Gestapu akronim dari Gerakan September Tiga Puluh. Berkonotasi dengan Gestapo (Geheime Staatspolizei, polisi rahasia Jerman pada masa Nazi. Gestapu disebut juga Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI)
[3] Berita Yudha adalah koran yang diterbitkan oleh Angkatan Darat pada awal Orde Baru.
[4] Gamang = perasaan takut, ngeri, khawatir, lengang.
[5] ABRI = Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Nama ini kemudian diganti menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
[6] Indonesia Raya, 6 Maret 1969
[7] Indonesia Raya, 12 Maret 1969
[8] Konferensi pers 4 Maret 1969
[9] Kata “bekas” kini diganti dengan “mantan”
[10] Masyumi = Majelis Syuro Muslimin Indonesia, partai Islam yang dinyatakan terlarang pada masa akhir kekuasaan Soekarno
[11] Darul Islam, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta (Permesta) dinyatakan oleh Soekarno sebagai pemberontak
[12] Indonesia Raya, 17 Maret 1969
[13] Indonesia Raya, dan Sinar Harapan, 14 Maret 1969
Sumber: Maskun Iskandar