December 12, 2013
Bagaimana Kami
Menghancurkan Sukarno?
Kantor
Luar Negeri Inggris menggunakan “trik kotor” dalam ‘membantu menggulingkan
Presiden Indonesia Soekarno, pada tahun 1966. Selama 30 tahun, setengah juta
orang telah tewas.
Pada musim gugur 1965, Norman Reddaway (George
Frank Norman Reddaway) seorang yang terpelajar dengan karir yang bagus di
Kantor Luar Negeri Inggris, mendapat brifing untuk suatu misi khusus.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia saat
itu, Sir Andrew Gilchrist, baru saja mengunjungi London untuk berdiskusi dengan
Kepala Dinas Luar Negeri, Joe Garner.
Diskusi itu mengenai Operasi
Rahasia (Covert Operations) untuk melemahkan Sukarno,
Presiden Indonesia yang merepotkan dan berpikiran mandiri, ternyata tidak
berjalan dengan baik. Lalu, Garner dibujuk untuk mengirim Reddaway, pakar
propaganda FO, untuk Indonesia.
Tugasnya:“Untuk mengambil hati anti-Sukarno dalam
“Operasi Propaganda” yang dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri Inggris dan
Dinas Rahasia M16. Garner memberikan Reddaway £100.000 poundsterling tunai
“untuk melakukan apapun yang saya bisa lakukan untuk menyingkirkan Sukarno”, katanya.
Kemudian Reddaway bergabung dengan
“sebuah tim yang terdiri dari kelompok campuran” dari Kementerian Luar Negeri
Inggris, M16, Departemen Luar Negeri dan CIA di Timur Jauh (Asia Timur), semua
berjuang untuk menggulingkan Sukarno dalam difus dan cara-cara licik.
Selama enam bulan ke depan, ia dan
rekan-rekannya akan menjalankan misi menjauhkan dan meretakkan teman dan
kerabat yang bersekutu di rezim Sukarno, merusak reputasinya dan membantu
musuh-musuhnya di militer.
Pada bulan Maret 1966 basis kekuatan
Sukarno mulai compang-camping dan ia dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan
kepresidenan kepada Jenderal Suharto, sebagai panglima militer, yang sudah
menjalankan kampanye dengan pembunuhan massal terhadap dugaan komunisme.
Menurut Reddaway, penggulingan Sukarno
adalah salah satu “kudeta dan misi paling sukses” yang dilakukan oleh Kantor
Luar Negeri Inggris yang telah mereka dirahasiakan sampai sekarang.
Intervensi Inggris di Indonesia, disamping
operasi CIA yang “gratis”, menunjukkan seberapa jauh Kementerian Luar Negeri
siap untuk melakukan operasi rahasianya dalam mencampuri urusan negara lain
selama Perang Dingin.
Indonesia sangat penting baik secara
ekonomi dan strategis. Pada tahun 1952, AS mencatat bahwa jika Indonesia jauh
dari pengaruh Barat, maka negara tetangganya seperti Malaya mungkin akan
mengikuti, dan mengakibatkan hilangnya “sumber utama dunia karet alam, timah
dan produsen minyak serta komoditas lainnya yang sangat strategis dan penting”.
Ketika terjadi penjajahan oleh Jepang
saat Perang Dunia Kedua di Indonesia, yang bagi orang Indonesia bahwa ini
adalah sebuah periode lain yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial, telah
direvitalisasi gerakan nasionalis yang setelah perang, menyatakan kemerdekaan
dan berkuasanya Republik Indonesia.
Ahmad Sukarno menjadi presiden pertama
Indonesia. Kekhawatiran Barat tentang rezim Sukarno tumbuh karena kekuatan
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada puncaknya beranggotakan lebih dari 10
juta, ini adalah partai komunis terbesar di luar negara komunis (non-komunis)
di dunia.
Kekhawatiran dunia barat tidak dapat
disembuhkan oleh kebijakan internal dan eksternal Sukarno, termasuk
nasionalisasi aset Dunia Barat dan peran pemerintah untuk PKI.
Pada era awal Sukarno di tahun 60-an,
masa ini telah menjadi duri besar bagi Inggris dan Amerika. Mereka percaya ada
bahaya nyata bahwa Indonesia akan jatuh ke komunis. Untuk menyeimbangkan
kekuatan ketentaraan yang tumbuh, Sukarno menyelaraskan dirinya lebih dekat
dengan PKI.
Sukarno memberi hormat kepada pasukan
RPKAD, diikuti persis dibelakangnya oleh Suharto.
Indikasi pertama dari ketertarikan
Inggris dalam menghilangkan Sukarno muncul dalam sebuah memorandum CIA dari
tahun 1962. Perdana Menteri Macmillan dan Presiden Kennedy setuju untuk
“melikuidasi Presiden Sukarno, tergantung pada situasi dan kesempatan yang
tersedia”.
Permusuhan terhadap Sukarno
diintensifkan oleh keberatan Indonesia atas keberadaan “Federasi Malaysia”.
Sukarno mengeluhkan proyek ini sebagai “plot neo-kolonial” yang menunjukkan
bahwa Federasi adalah proyek Barat untuk mengekspansi
tanah raja-raja Malon dengan cara mencomot wilayah pulau Kalimantan dan
penerusan pengaruh Inggris di wilayah tersebut.
Tercatat dalam sejarah sebelum terjadi
penjajahan di wilayah Asia Tenggara oleh Inggris, Belanda, Portugis dan negara
imrelialis lainnya, Nusantara jauh lebih besar. Kini terkotak-kotak dan
terpisah sesuai dengan “bagi-bagi kue” diantara negara imperialis tersebut.
Peta Indonesia Raya, termasuk
Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Timor Leste
Niat Sukarno ingin menyatukan kembali
raja-raja yang dulunya bersatu padum kembali berjaya dalam Republik Indonesia Raya (Greater Indonesia) atau
Melayu Raya
Pada tahun 1963 keberatan Sukarno
mengkristal dalam kebijakan tentang “Konfrontasi Indonesia-Malon”
yaitu sebuah kebijaksanaan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan pihak
Malon yang dianggap pro-imperialis, dan segera ditambah dengan intervensi
militer tingkat rendah oleh Indonesia.
Sebuah perang perbatasan yang
berlarut-larut dimulai sepanjang 700 mil di perbatasan antara
Indonesia dan Malon di pulau Kalimantan dan pihak Malon sempat kewalahan, lalu
pihak mereka akhirnya dibantu oleh Inggris dan juga dibantu Australia.
Pasukan Australia membantu Malay – Australian infantry, gunners, and members of the Special Air Service Regiment (SAS) saw action in Borneo during the Malaysian-Indonesian Confrontation – Soldiers of the 3rd Battalion, the Royal Australian Regiment (3 RAR) boarding a British Belvedere helicopter in Sarawak, North Borneo. The men are about to be taken to a setting-off point for a patrol. The mobility and tactical flexibility provided by helicopters such as the distinctive tandem-engined Belvedere was an important feature of the Commonwealth campaign in Borneo. [AWM P01706.003] (se-asia.commemoration.gov.au)
Sukarno tak rela, saudara-saudara mereka
(suku Dayak dan suku lainnya di Kalimantan) yang tinggal di satu pulau, ternyata
dibagi menjadi dua bagian, mereka sejatinya adalah satu, satu saudara, dan tak
boleh dipisahkan.
Dan sebenarnya memang begitulah yang
terbaik bagi mereka untuk menjadi satu, namun karena ada “tangan Inggris” di
sana pada saat menjajah, maka pulau yang terdiri dari para raja-raja Kalimantan
tersebut justru dibagi menjadi dua bagian.
Kalimantan dibagi-bagi, dan pembagian
daerah jajahan ini dilakukan oleh negara imperialis setelah menguasai
Kalimantan.
Dua bagian itu adalah utara dan selatan,
yang bagian utara menjadi Kalimantan Utara (bekas jajahan Inggris dan menjadi
negara caplokan boneka Malon, karena di dukung Inggris) dan wilayah Kalimantan
Selatan (bekas jajahan Belanda dan tetap menjadi Indonesia).
Jadi secara otomatis mental para
raja-raja Malon adalah memang bukan pejuang dan merupakan kaki-tangan
Imperialis Inggris sejak dulu hingga kini.
Menurut sumber-sumber Kementerian Luar
Negeri Inggris, keputusan untuk menyingkirkan Sukarno telah diambil oleh
pemerintah Konservatif Macmillan dan dilakukan selama pemerintahan partai buruh
oleh Wilson pada tahun 1964.
Kementerian Luar Negeri Inggris telah
bekerja sama dengan rekan-rekan Amerika mereka pada sebuah “rencana untuk
menggulingkan Sukarno” yang masih bergolak.
Maka dibuatlah sebuah operasi rahasia
dan strategi “perang psikologis” yang menghasut, berbasis di Phoenix Park, di
Singapura, markas Inggris di kawasan itu.
Ali Moertopo
Tim intelijen M16 Inggris melakukan
hubungan dekat secara terus-menerus dengan elemen kunci dalam ketentaraan
Indonesia melalui Kedutaan Besar Inggris.
Salah satunya adalah Ali Murtopo,
kemudian kepala intelijen Jenderal Suharto, dan petugas M16 juga secara
terus-menerus melakukan perjalanan bolak-balik antara Singapura dan Jakarta.
Ali Murtopo berperan besar dalam
melakukan modernisasi intelejen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi
intelejen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk
memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto.
Pada tahun 1968, Ali menggagas peleburan
partai-partai politik, yang saat itu sangat banyak jumlahnya, menjadi beberapa partai
saja agar lebih mudah dikendalikan.
Hal ini kemudian terwujud pada tahun
1973 sewaktu semua partai melebur menjadi tiga partai: Golkar, PPP
(penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan
partai-partai berbasis nasionalis).
Pada tahun 1968, Ali menggagas peleburan
partai-partai politik, yang saat itu sangat banyak jumlahnya, menjadi beberapa
partai saja agar lebih mudah dikendalikan.
Hal ini kemudian terwujud pada tahun
1973 sewaktu semua partai melebur menjadi tiga partai: Golkar, PPP
(penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan
partai-partai berbasis nasionalis).
Pada tahun 1971, bersama Soedjono
Hoemardhani, asisten pribadi Soeharto, ia merintis pendirian CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang
merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan.
Pada tahun 1972, ia menerbitkan tulisan
“Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun”
yang selanjutnya diterima MPR sebagai strategi pembangunan jangka panjang
(PJP).
Dengan adanya rencana ini, berarti
pemerintahan baru Indonesia dibawah Suharto adalah sebuah rezim terencana, yang
telah merencanakan kepemimpinan selama 25 tahun ke depan!
Informasi Departemen Riset Kantor Luar
Negeri Inggris (The Foreign Office’s Information Research
Department atau IRD) juga
bekerja dari Phoenix Park, Singapura guna memperkuat kerja intelijen M16 dan
ahli perang “psikologis militer”.
IRD didirikan oleh pemerintah Partai
Buruh di Inggris pada tahun 1948 untuk melakukan “perang propaganda anti-komunis”
melawan Soviet.
Tetapi dengan cepat justru IRD menjadi
andalan dalam berbagai operasi gerakan anti-kemerdekaan dalam usaha penurunan
kolonial dan imperialisme oleh Kerajaan Inggris (British
Empire) oleh negara-negara yang sedang dijajah, termasuk di
utara pulau Kalimantan yang masih dipertahankan oleh Inggris melalui Malaysia,
hingga kini.
Pada tahun 60-an, IRD memiliki staf di
London sekitar 400 orang dan staf informasi yang berada di seluruh dunia guna
mempengaruhi liputan media yang menguntungkan pihak Inggris.
Menurut Roland Challis, koresponden BBC
pada saat di Singapura, wartawan terbuka bagi manipulasi IRD, karena ironisnya
kebijakan Sukarno sendiri:
“Dengan cara yang aneh dan tetap menjaga
keberadaan media dari luar negeri di Indonesia, Sukarno justru membuat mereka
manjadi korban dari media resmi luar negeri tersebut karena hampir satu-satunya
informasi penyadapan dan mata-mata yang bisa didapatkan adalah dari Duta Besar
Inggris di Jakarta. “
Kesempatan untuk mengisolasi Sukarno dan
PKI datang pada bulan Oktober 1965 ketika dugaan percobaan kudeta oleh PKI
adalah “dalih dari tentara” untuk menggulingkan Sukarno dan membasmi PKI.
Youth armed to the teeth ready to kill
communists at Mount Merapi area, November 1965.
Siapa sebenarnya yang menghasut kudeta,
dan untuk tujuan apa, tetap menjadi spekulasi. Namun, dalam beberapa hari
kudeta itu telah dilakukan lalu terjadi kehancuran, dan pihak tentara dengan
tegas telah mengendalikan situasi.
Kemudian Suharto menuduh Partai Komunis
Indonesia atau PKI berada di balik kudeta, dan mulai menekan mereka.
Setelah kudeta yang dirancang oleh
Inggris dengan memanfaatkan situasi telah berhasil, pada tanggal 5 Oktober
1966, Alec Adams, penasihat politik untuk Commander-in-Chief,
Wilayah Timur Jauh, menyarankan Departemen Luar Negeri:
“Kita harus tak ragu-ragu untuk melakukan
apa yang kami bisa lakukan secara diam-diam untuk menghitamkan PKI di mata
tentara dan orang-orang Indonesia.”
Kementerian Luar Negeri Inggris setuju
dan menyarankan “tema propaganda yang cocok” seperti kekejaman PKI dan
intervensi Cina.
Anti PKI Literature. Propaganda
kontemporer anti-PKI melalui literatur buku-buku agar menyalahkan partai itu
untuk upaya kudeta Suharto (wikipedia).
Salah satu tujuan utama yang dikejar
oleh IRD adalah membuat opini tentang ancaman yang ditimbulkan oleh PKI dan
“komunis Cina”. Laporan surat kabar Inggris terus menekankan bahaya yang akan
dilakukan PKI.
Merujuk pada pengalaman mereka di Malaya
di tahun 50-an, Inggris menekankan sifat Cina dari ancaman komunis. Roland
Challis mengatakan:
“Salah satu hal yang lebih sukses yang
ingin dilakukan Barat ke para politisi non-komunis di Indonesia adalah untuk mentransfer
seluruh ide komunisme ke minoritas Tionghoa di Indonesia. Ternyata hal itu
malah menguntungkan Inggris karena menjadi sebuah “rasis etnis”. Ini adalah
masalah mengerikan yang telah dilakukan Inggris untuk menghasut orang Indonesia
agar bangkit dan membantai orang Cina.“
Tapi keterlibatan Sukarno dengan PKI
pada bulan-bulan setelah kudeta berdarah justru yang akhirnya menjadi kartu
truf untuk Inggris. Menurut Reddaway:
“Pemimpin komunis, Aidit, melarikan diri
alias buron dan Sukarno menjadi politikus, pergi ke depan istana dan mengatakan
bahwa pemimpin komunis Aidit harus diburu dan diadili. Dari pintu samping
istana, Sukarno selalu berurusan dengan Aidit setiap hari oleh seorang kurir.“
Sukarno dan Aidit
Informasi ini diungkapkan oleh intelijen
sinyal GCHQ Inggris (the signal intelligence of
Britain’s, GCHO).
Orang-orang Indonesia tidak memiliki
teknologi tentang “rahasia mata-mata stasiun radio” dengan bermuka dua dipantau
dan didengar oleh GCHQ, Inggris memiliki basis “penyadapan utama” di Hong Kong
untuk menyiarkan peristiwa di Indonesia.
Mendiskreditkan Sukarno adalah penting
bagi Inggris. Sukarno tetap menjadi pemimpin yang dihormati dan populer
terhadap siapa Suharto yang tidak bisa bergerak secara terbuka, sampai kondisi
benar-bener memungkinkan untuk melakukan kudeta.
Rentetan konstan dengan cakupan internasional
yang buruk dan posisi politik jungkir balik Sukarno, secara fatal telah merusak
dirinya.
Soeharto dilantik
menjadi pengendali negara setelah Sukarno mengeluarkan Supersemar.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno
dipaksa untuk menandatangani surat atas pengambil-alih kekuasaan kepada
Jenderal Suharto yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
tahun 1966.
Sekarang, hal ini dianggap terkait erat
dengan usaha kudeta dan masalah PKI, Sukarno telah didiskreditkan ke titik
dimana tentara merasa mampu bertindak. PKI telah dieliminasi sebagai kekuatan
yang signifikan dan kediktatoran militer pro-Barat yang mapan.
Hal itu dilakukan tidak lama sebelum
Suharto dengan diam-diam mengakhiri kebijakan yang akhirnya tidak aktif dalam
Konfrontasi Indonesia dengan Malon yang mengakibatkan peningkatan sangat cepat
dalam hubungan Anglo-Indonesia yang terus menghangat hingga hari ini. (©IndoCropCircles.com, source: independent.co.uk)
Pustaka:
§
`Britain’s Secret Propaganda War
1948-77′, by Paul Lashmar and James Oliver, to be published by Sutton on 7
December (`Rahasia Propaganda Perang oleh Inggris 1948-1977 ‘, oleh Paul
Lashmar dan James Oliver, diterbitkan oleh Sutton pada tanggal 7 Desember).
Sumber: IndoCropCircles