Oleh: Ki Tristuti Rachmadi | 27 Juni 2013
Hadirin dan para peserta konferensi yang terhormat:
Saya Tristuti Rachmadi dari Solo, Indonesia. Hari ini Sabtu, 7 April 2001,
dan saya di sini memenuhi undangan panitia untuk konferensi “History and Memory
in Contemporary Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Center for Southeast
Asian Studies di University of California, Los Angeles.
Saya bahagia memeroleh kesempatan ini, dan ingin menyampaikan terima kasih
yang dalam bagi semua pihak yang telah berkenan mengundang saya di sini, untuk
ikut berkontribusi dalam konferensi tentang sejarah Indonesia ini – tentu saja
berdasar kapasitas dan pengalaman saya sendiri.
Para pendengar yang terhormat:
Saya lahir di sebuah desa kecil bernama Sugihmanik di wilayah Kabupaten
Grobogan, Jawa Tengah, Indonesia, pada hari Rabu, 3 Januari 1939. Sudah menjadi
kehendak Ilahi bahwa saya lahir dari keluarga seniman wayang kulit. Ayah saya,
mendiang Suryatman Yososudarso, adalah seorang dalang wayang kulit. Ibu saya
anak dari seorang dalang di zaman kolonial Belanda. Sejak dalam kandungan ibu
saya, jiwa seorang dalang telah tercurah dalam diri saya. Oleh karena itu,
meskipun saya menerima pendidikan formal (sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama, dan pendidikan matematika selama dua tahun), perjalanan hidup saya
pada akhirnya selalu membawa saya ke dunia pedalangan.
Saya mulai menampilkan pertunjukan wayang semalam suntuk sejak usia 15
tahun (saat saya kelas tiga sekolah menengah) pada tahun 1953-4. Karir saya
berkembang seiring perjalanan waktu. Pada dasarnya, sebagai seorang dalang
profesional saya telah melalui tiga era, yaitu Orde lama, Orde Baru dan
akhirnya Reformasi sejak tahun 1998 hingga sekarang.
Berkenaan dengan dunia pedalangan pada masa Orde Lama, saya masih dapat
mengingat kesederhanaannya. Dalang masih memainkan peran sebagai seniman
tunggal yang memimpin seluruh pertunjukan wayang selama delapan jam. Pada masa
itu tidak ada pengaruh dari rekaman kaset ataupun televisi, apalagi VCD.
Pertunjukan wayang masih didominasi oleh cita rasa masyarakat, terlebih
masyarakat Jawa. Serta, pertunjukan wayang belum diruncingkan ke arah
propaganda politik, atau pun agama, atau hal-hal lain. Kalau pun ada, itu
dilakukan dengan terampil dan cara yang menyenangkan.
Pada awal 1960, pengaruh ideologi luar mulai nampak kentara dalam
pertunjukan wayang – misal dalam cerita Janaka Banteng, Udawa Waris, Wahyu
Lintang Rembulan, dan lain-lain. Ini terjadi karena iklim politik di Indonesia
tengah memanas. Pada akhir masa Orde Lama adalah insiden 1965, yang membawa
perubahan ke masa Orde Baru. Saya tidak ingin bicara tentang persoalan politik.
Saya hanya akan bercerita tentang pengalaman saya pribadi, terlebih karir saya
sebagai seorang dalang wayang kulit.
Sejak 5 November 1965 (pada hari Jum’at) sampai dengan 10 Oktober 1979 –
14 tahun – saya hidup dari penjara ke penjara: penjara Beteng Ambarawa, penjara
Purwodadi, Nusakambangan, dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Saya bertanya ke
diri sendiri: saya salah apa? Apa dosa saya? Sepertinya tidak ada jawaban: saya
adalah salah satu korban dari pergolakan politik Indonesia. Benar adanya bahwa
kapanpun terjadi pergolakan, masyarakat bawah selalu menjadi korban. Saya hanya
seorang dalang wayang kulit, bertahan hidup dengan keahlian saya menyampaikan
cerita wayang. Saya bukan anggota fungsionaris partai politik mana pun, saya
bukan pejabat pemerintah, ataupun seorang pemodal besar yang mengendalikan roda
perekonomian Indonesia. Sekali lagi, Tristuti Rachmadi di sini hanya satu di
antara banyak orang biasa, tapi pada saat itu terjebak dalam tragedi nasional
yang telah melukai hati selama bertahun-tahun, tanpa proses hukum dan keadilan
yang sepantasnya. Tiba-tiba dicokok, kemudian dijebloskan ke penjara selama 14
tahun, dan tanpa hak bertanya tentang apa pun, semua harus diterima, habis
perkara.
Para pendengar yang terhormat:
Namun, di atas semua itu, saya akhirnya menjadi sadar bahwa hanya dengan
melalui perjalanan yang panjang dan gelap itu saya dikuatkan oleh Tuhan untuk
menjadi dalang di dunia untuk menggelar pertunjukan di tengah penderitaan,
terpenjara, selama bertahun-tahun. Di bawah pemerintahan rezim Suharto saya
sudah lebih dari kenyang merasakan tekanan mental dan fisik. Dalam penjara saya
(bersama ribuan kawan yang memiliki nasib yang sama) telah diperlakukan sangat
tidak manusiawi. Kami hanya punya kewajiban, tanpa sedikitpun hak. Segala hal
yang disediakan untuk makan, kesehatan, tempat tinggal dan kebutuhan pokok sama
sekali tidak mencukupi. Kami hanya memiliki cukup banyak aturan—jangan
melakukan ini, jangan melakukan itu, itu terlarang, ini terlarang…
Pada tahun 1968, istri saya tercinta tidak sanggup lagi menanggung tekanan
dalam hidupnya, dan saya ditinggalkan untuk menelan penderitaan. Istri dan
anak-anak saya hidup dengan seorang lelaki lain, yang kemudian pergi jauh
meninggalkan negara kami. Kepahitan hidup lengkap sudah. Saya telah kehilangan
segalanya—istri dan anak, hak milik, kehormatan, hak hidup, dan semua; semua
dirampas paksa oleh rezim penguasa Orde Baru.
Para pendengar terhormat:
Ribuan manusia telah mengalami penderitaan fisik dan batin dalam kurungan
selama 14 tahun, termasuk saya sendiri. Saya ingat petuah dari guru saya di
masa silam – dalang yang baik adalah dalang yang mampu membawa kenyamanan bagi
masyarakat di saat-saat sulit, meskipun si dalang itu sendiri tengah menanggung
penderitaan. Jika seorang dalang tampil dengan perangkat gamelan, wayang dan
sound system yang bagus, yang diiringi oleh musisi handal dan pesinden yang
mumpuni, dengan bayaran uang dalam jumlah besar, di sebuah tempat pertunjukan
yang megah, dan dalang tampil dengan semangat dan mencapai keberhasilan, tidak
ada capaian luar biasa dari semua itu, itu biasa saja!!!. Dalam bahasa Jawa,
saya bilang itu lumrah.
Namun, jika ada seorang dalang yang tampil tanpa sepeser pun bayaran uang,
dengan perangkat sederhana, diiringi pengrawit dan pesinden dengan keahlian rata-rata,
dan pertunjukan itu diselenggarakan di tengah suasana sedih, maka dalang
tersebut telah berhasil memenuhi darmanya sebagai pelaku yang hidup,
bertanggungjawab, berhasil membawa suka cita di tengah keadaan yang sulit, dan
membawa keputusasaan menjadi harapan baru. Dialah yang kemudian bisa disebut
DALANG SEJATI. Demikian ajaran dari guru saya sebelum saya masuk penjara.
Seorang dalang adalah seorang dalang. Anda dapat mencari penghasilan: lanjutkan
dan carilah ketenaran, tapi identitas seorang dalang harus jelas: yakni, dia
adalah seorang seniman yang melayani masyarakat di sekitarnya.
Mengingat pelajaran dari guru saya cukup untuk mengubah arah berpikir saya
saat itu. Rasa dendam berubah menjadi renungan. Rasa sedih, sakit hati, dan
kegelisahan, saya mengubahnya menjadi pandangan positif dan rasa optimis. Saya
ubah angan-angan saya tentang,”bagaimana seandainya…” menjadi kobaran semangat
baru, sesuai dengan kualitas seni kepedalangan yang saya miliki. Pada awal-awal
tahun, 1965 sampai dengan 1970, saya mulai membuat pagelaran di penjara para
tahanan politik tanpa diiringi oleh siapapun. Saya bermain dengan gaya
bercerita cerita rakyat, tanpa gamelan atau pun seorang pesinden. Kegiatan ini
biasanya dilakukan usai makan malam, sebelum tidur, kawan-kawan meminta saya
untuk bercerita tentang kisah-kisah pewayangan.
Sekitar satu jam saya akan
bercerita tentang Bima, Arjuna, Gatotkaca dan sebagainya. Itu hanya mendongeng,
belum benar-benar sebuah pagelaran. Sesekali saya akan membumbuinya dengan
nukilan-nukilan dialog penting, atau menambahkan lelucon untuk menghidupkan
suasana, dan kadang saya akan menyanyikan pupuh puisi pendek dan sempalan
syair.
Dalam masa tahun-tahun tersebut kawan-kawan saya berpikir bahwa kegiatan
mendongeng ini bisa diiringi dengan perangkat dasar yang dibuat dari piranti
makan dan mandi, seperti piring seng, cangkir aluminium, mangkok, timba dan
sendok. Semua peralatan ini dilaras menyerupai skala suara gamelan. Semua itu
terlihat demikian lucu, tapi bagi saya terdapat makna yang tak akan bisa
hilang. Saya merasa bangga di tengah kegetiran ini, dan saya masih bisa
menghibur kawan-kawan saya yang menderita tanpa rasa ingin mementingkan diri
sendiri. Anda pikir ada dalang lain yang melakukan pertunjukan wayang dengan
perangkat makan selain saya? Tidak mungkin!!
Benar apa kata para sesepuh dulu, bahwa jika kamu ingin dibantu, bantulah
sesamamu lebih dulu. Jika kamu ingin disembuhkan, rawatlah sesamamu lebih dulu.
Jika kamu ingin memiliki kegembiraan, hiburlah dulu sesamamu. Saya melakukan
ini semua dengan hasil positif. Meskipun begitu banyak tekanan di penjara, hati
saya terhibur karena saya kerap membawa kegembiraan bagi kawan-kawan saya.
Kadang penjaga penjara akan meminta saya bercerita memakai hand-speaker,
sejenis perangkat pengeras suara, sehingga suara saya dapat didengar ke sel-sel
lain tempat para tahanan lain. Bahkan penjaga penjara ikut menyimak cerita
saya. Aneh bukan, bahwa orang-orang yang bebas dapat menikmati cerita seseorang
yang tertindas? Itulah yang terjadi pada kurun waktu 1965-70.
Para pendengar yang terhormat:
Pada bulan Agustus 1970, bersama dengan ribuan kawan-kawan, saya
dipindahkan dari penjara Nusakambangan dan dibawa berlayar untuk dibuang di
Pulau Buru. Tempat itu punya nama yang indah – ‘Instalasi Rehabilitasi Pulau
Buru’, tapi pada kenyataannya itu hanyalah sebuah tempat pengasingan. Pada
awalnya, terasa pilu untuk menjejakkan kaki di lokasi rawa hutan bakau dan
kebun sagu itu. Namun kemudian, rasa optimis menyala kembali. Saya bertahan
dengan darah saya sebagai dalang, menghibur kawan-kawan saya.
Di Pulau Buru, para tahanan dapat hidup lebih leluasa karena tempat itu
serupa wilayah proyek pertanian. Di waktu luang, setelah membersihkan
semak-semak, menggali parit drainase, dan sebagainya, mulai jam lima sampai jam
enam petang.Kami membuat semacam gamelan dari sisa-sisa kaleng insektisida,
wadah aspal dan sebagainya, sehingga kami memiliki seperangkat gamelan dengan
laras slendro dan pelog. Di hutan, banyak binatang buas berkeliaran, termasuk
kijang. Kami akan makan dagingnya, dan kulitnya dikeringkan untuk membuat
wayang kulit: itulah wayang kulit rusa dari Pulau Buru. Di antara kurang lebih
12,500 tahanan politik, beberapa berpengalaman memainkan gamelan, dan mereka
pun menjadi para pengrawit kami. Karena tidak ada yang perempuan di sana,
pesinden kami pilih dari beberapa orang pemain ludruk Jawa Timuran, karena
mereka bisa menirukan suara pesinden.
Dengan begitu kami memiliki satu grup,
dengan dalang, pengrawit, pesinden, gamelan wayang, yang uniknya dibuat di Pulau
Buru. Bagaimana dengan kostumnya? Ya, kami membuatnya. Kami meminjam dari
beberapa kawan yang membawa satu atau dua potong baju batik, meskipun warnanya
pudar, dan surjan, serta udeng. Menggembirakan, bukan? Sama sekali tidak!! Ini
mengharukan.
Dan bagaimana dengan semangat saya? Tak pernah pudar!! Saya selalu tampil
dengan penuh kegairahan, dan kawan-kawan juga menyambut semangat saya. Mereka
menonton dengan rasa kagum, dari awal hingga akhir, dari adegan demi adegan
tanpa beranjak dari tempat duduknya. Di mana para komandan dan para penjaga
penjara? Mereka juga menonton. Dan jika opsir seniornya kebetulan seorang Jawa,
maka saya akan diperintahkan untuk melakukan pertunjukan lebih sering. Luar
biasa, kan? Seorang yang tertindas diminta untuk menghibur orang-orang yang
bebas.
Itu adalah gambaran singkat bagaimana saya menjalankan tugas profesi
sebagai seorang dalang ketika di pengasingan pada masa Orde Baru. Saya hidup di
sana dari tahun 1970 sampai dengan Oktober 1979; pada malam hari saya melakukan
pementasan, dan di siang hari saya harus bekerja jadi buruh kasar – mencangkul,
memanen, mengatur air, dan mengangkut bahan bangunan dan sebagainya. Itu semua
demikian pahit, seperti menelan pil kina, tapi mau tidak mau saya harus terus
melangkah melewati jalan gelap itu sampai tahun 1979.
Para hadirin yang terhormat:
Pada tanggal 10 Oktober 1979 saya dikeluarkan dari neraka Pulau Buru, dan
‘dibebaskan’. Saya putuskan untuk kembali ke Semarang untuk bersama keluarga,
karena tidak ada lagi yang tersisa di tempat asal saya, Purwodadi.
Dari
Semarang, saya mencari mata pencaharian di Yogyakarta, kemudian di Pati, dan
akhirnya ke kota Solo. Meskipun kata yang digunakan adalah ‘dibebaskan’, itu
hanyalah sekadar pernyataan politis. Saya masih tidak memiliki hak untuk hidup
seperti warga negara lain. Saya tidak diijinkan untuk melakukan pertunjukan,
dan untuk memeroleh pekerjaan di manapun seseorang harus memeroleh surat yang
menyatakan bahwa dia ‘bersih’, yang bagi saya mustahil untuk saya dapatkan.
Sementara itu, KTP saya diberi tanda ET, yang artinya ex-tapol. Hidup saya dari
tahun 1979-1999, tepat 20 tahun, seperti seorang penderita lepra, sebuah
penyakit menular yang susah disembuhkan dan orang enggan mendekat. Suharto
memang luar biasa; secara resmi dia penuh perasaan kemanusiaan, sehingga para
tahanan menjadi ‘dibebaskan’. Tapi, pada kenyataannya, ini semua tak lebih dari
membunuh secara perlahan. Sungguh luar biasa!! Kepada siapa saya harus menuntut
atas ketidakadilan ini? Sebelum dibebaskan dari Pulau Buru, saya dan seluruh
tahanan politik lainnya diperintahkan untuk menandatangani sebuah PERNYATAAN
yang menyatakan KESEDIAAN untuk tidak akan menuntut secara formal ataupun
meminta ganti rugi atas segala hal terkait pemenjaraan kami. Saya seperti orang
tak bisa bicara yang telah menelan buah yang pahit – saking pahitnya membuat
saya tidak sanggup mengucapkan satu kata pun. Demikianlah rasanya bagi saya dan
kawan-kawan saat itu.
Hadirin yang terhormat:
Kembali kepada jiwa seorang dalang: selama 20 tahun saya telah berjuang
untuk bertahan hidup, mencari penghasilan ke sana ke mari dalam kesulitan yang
mahabesar. Namun, di tengah perjalanan yang suram tersebut, jiwa dalang dalam
diri saya tetap menyala terang. Bukannya lantas jadi tumpul, malah lebih tajam.
Saya tidak putus asa, tapi saya mengisi setiap saat dengan kegiatan yang positif,
dan salah satunya, saya menulis. Saya menulis sastra Jawa, khususnya
naskah-naskah untuk pertunjukan wayang. Tuhan memberi berkah untuk saya dalam
hal ini. Naskah-naskah saya dikenal luas dan dibeli oleh para dalang terkenal.
Saya menulis naskah wayang pendek maupun naskah panjang. Saya juga menulis
Janturan, silsilah, Bantah, Tembang, Banyolan, dan sebagainya. Naskah-naskah
ini menarik minat dan digunakan dan dibaca oleh para dalang kondang seperti Ki
Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Purbo Asmoro – singkatnya, banyak dalang
di wilayah Solo yang menggunakan hasil karya saya. Harga naskah beragam,
beberapa terjual dengan harga 25,000 rupiah, yang lain 50,000 rupiah dan untuk
naskah lengkap saya dibayar 500,000 rupiah. Meskipun harga-harga tersebut
sebenarnya terlampau murah jika dibandingkan dengan bayaran yang mereka terima
dalam jutaan rupiah, untuk manusia yang ditimpa kemalangan seperti saya, semua
yang bisa disampaikan adalah 'terima kasih’. Saya merasa beruntung karena dapat
membiayai hidup saya untuk makan sehari-hari. Aneh, bukan?
Selain menulis, kadang saya juga ikut dengan rombongan para dalang
terkenal sebagai penyimping (yang membantu dalang menyimping wayang). Di setiap
pertunjukan, saya dibayar 50,000 rupiah—cukuplah… untuk sekadar membeli garam
dapur. Sangat disayangkan bahwa tak satupun di antara karya-karya tersebut
menyebutkan nama penulisnya, dan seiring berjalannya waktu makin banyak dalang
menyalin dari dalang yang lain tanpa sepengetahuan saya, sehingga saya tak
dibayar sedikitpun. Itu tak jadi soal, itung-itung jadi tabungan berbuat baik.
Suatu kali kebetulan saya mengadakan pertunjukan sendiri pada masa itu, tetapi
risikonya memang besar. Seusai pergelaran, banyak surat kaleng yang datang
penuh dengan ancaman dan ancaman. Saya juga sering dipanggil oleh pemerintah
dan menerima kecaman tanpa dasar. Lucu, bukan? Mereka marah kepada orang yang
membawa kegembiraan untuk masyarakat. Demikian berkuasanya mereka!!
Tapi yang terpenting adalah bahwa semangat saya sebagai dalang tidak pernah
hilang, dan masih menyala. Baik dalam melakukan seni mendalang maupun menulis,
saya akan selalu menjadi dalang yang sesungguhnya. Banyak mahasiswa STSI
memeroleh pengetahuan mereka tentang seni pedalangan dari saya. Banyak
mahasiswa dari jurusan pedalangan mencari saya. Ini artinya bahwa sejak 1979
sampai dengan 1999 pikiran saya penuh dengan masalah-masalah seni pewayangan.
Tidak buruk-buruk amat!!
Pendengar yang terhormat:
Mei 1998 tiba saatnya jatuhnya rezim Suharto, yang kemudian diikuti oleh
era Reformasi. Masa ‘penguningan’ telah berakhir, dan taring Orde Baru telah
ditepis oleh gerakan mahasiswa menuju demokrasi. Sendi-sendi kehidupan mulai
bergerak sedikit lebih bebas , meskipun di sana-sini jejak-jejak Orde Baru
masih bisa ditemui. Dengan adanya angin baru Reformasi, saya mulai keluar dan
mucul di panggung pedalangan, meskpun tidak lantas sekonyong-konyong saya
menjadi dalang kondang. Di wilayah Solo, saya melakukan pagelaran tanpa
menggunakan ‘ijin seniman’ dari dinas pendidikan, dan tidak ada masalah. Namun,
di Kabupaten Pati, di Grobogan, dan di beberapa kabupaten, saya perlu memiliki
surat ijin untuk melengkapi persyaratan ke polisi (ini sebenarnya aturan lama
dari era Suharto). Hanya pada bulan Desember 2000, saya akhirnya berhasil
memeroleh surat ijin seniman. Saya memulai pagelaran dari awal, diminta oleh
kerabat saya (tanpa bayaran), kemudian berikutnya di tempat tinggal rekan
dalang (di rumah Anom Suroto pada acara Rebo Legen, di tempat Manteb pada acara
Selasa Wagen, Warseno Slenk pada acara Setu Legen, dan sebagainya). Tentu saja
ini dengan bayaran yang tidak terlampau besar. Akhirnya, saya mulai melakukan
pertunjukan di tempat-tempat pemerintahan, termasuk kampus STSI dan TBJT di
Solo, dengan honorarium yang pantas.
Sangat disayangkan bahwa, ketika saya akhirnya kembali ke arena pedalangan
wayang kulit, saya sudah sangat tua –62 tahun—sehingga stamina saya tidak lagi
baik. Saya bernafas pendek, sehingga suara saya tidak lagi merdu, dengan tubuh
yang lamban sehingga tidak dapat memainkan wayang dengan baik. Selain itu,
waktu telah berganti: dunia pedalangan dewasa ini menjadi sangat berbeda dari
masa ketika saya masih muda. Dunia pedalangan yang tersisa dari masa Orde Baru
telah jauh dari kualitas yang diagungkan seperti dulu.
Pagelaran wayang kini
diramaikan dengan campursari, menggabungkan perangkat musik lain dengan
gamelan, dengan penyanyi pop dan pelawak yang diijinkan untuk berdiri, menari
di panggung. Cerita wayang terhalau oleh jumlah permintaan penonton, oleh tari
dan lawakan, sehingga alur cerita kabur dan bahkan hilang sama sekali. Saya
tidak bisa melakukan pertunjukan yang seperti itu, tapi apa boleh dikata jika
memang demikian kenyataannya? Saya bertanya kepada diri sendiri: mengapa baru
sekarang saya memeroleh kesempatan untuk melakukan pertunjukan, dan tidak
kemarin, atau 20 tahun yang lalu? Sudahlah, itu sudah lewat; tidak masalah,
karena saya masih mempertahankan identitas saya sebagai seorang dalang sejati.
Hadirin yang terhormat:
Dengan ketulusan hati, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih untuk
para rekan-rekan di United States (terlebih di UCLA, UC Barkeley, UC santa
Cruz, Wesleyan University, Brown Univeristy dan juga di New York) yang telah
mengundang saya untuk menggelar pertunjukan selama bulan April 2001. Ini sungguh-sungguh
sebuah obat sakit kepala yang tak tersembuhkan sepanjang 35 tahun. Pada saat
yang sama, ini juga menunjukkan kepada dunia – terlebih untuk masyarakat
pedalangan—bahwa daun yang kering yang Nampak tak berguna dapat tetap diminati
di United States. Dan karena dalam diri saya mengalir darah dan bersemayam jiwa
seorang dalang, tidaklah mengejutkan bahwa jalinan pemikiran saya dibentuk oleh
filosofi wayang, yang bicara tentang hukum karma, buah dari tindakan di masa
lalu. Siapa menabur benih, dia yang akan menuai. Untuk semua yang telah menabur
benih kesengsaraan yang saya alami, cepat atau lambat mereka akan menuai
sendiri hasil kepahitannya. Terlebih lagi, dari satu biji jagung, Anda bisa
menuai ratusan biji. Untuk itulah, saya percaya bahwa sampai hasilnya dipanen,
kedamaian tidak akan kembali di Indonesia.
Para pendengar yang terhormat:
Cerita saya ini hanyalah sedikit saja dari yang sesungguhnya terjadi.
Mungkin ada baiknya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi semua. Atas
kekurangan dan kesalahan saya, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih.
TRISTUTI RACHMADI SURYOSAPUTRO
____
Tulisan ini diterjemahkan dari naskah pidato Ki Tristuti Rachmadi
Suryosaputro berjudul 'My Life as a Shadow Master under Suharto', yang
disampaikan dalam konferensi 'History and Memory in Contemporary Indonesia' di
UCLA, 6-7 April 2001, dan dimuat di dalam buku kompilasi tulisan
'Beginning_to_Remember:_The_Past_in_the_Indonesian_Present', dengan editor Mary
S. Zurbuchen, dan diterbitkan oleh Singapore University Press pada tahun 2005.