12 August 2013 | Sayfa Auliya
Achidsti
SEBELUM memasuki perbincangan inti tulisan ini, saya
ingin sedikit membahas salah satu novel yang telah saya baca beberapa kali
tanpa bosan, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, penulis asal
Banyumas (Jawa Tengah). Bagi saya, novel percintaan yang berlatarbelakang
sejarah, dan dibungkus dengan gaya tutur yang ‘analitis’ ini adalah salah satu
novel yang memiliki kekuatan untuk membuka mata kita atas apa yang terjadi pada
sejarah bangsa Indonesia, terutama pada era tahun 1960-an.
Keberanian Tohari menceritakan kisah yang berpijak pada
kejadian nyata sangat menarik. Walaupun identitas sejumlah orang dan tempat
disamarkan, penamaan tempat dan manusia dalam karya ini tidak terlalu
berbeda dengan kondisi aslinya. Pada tahun-tahun ini, banyak karya sastra yang
dinilai sebagai hasil pikiran kiri memosisikan dirinya sebagai kritik atas
kondisi sosio-kultural dan kekerasan rezim yang berkuasa.
Fenomena ini memang sering terjadi dalam sebuah rezim
tangan besi, di mana penyebutan nama asli pihak terlibat seringkali berbahaya
bagi penulis. Namun demikian, hampir seperti dalam novel Spionnage-Dienst (Pacar
Merah Indonesia) yang ditulis Hasbullah Parindurie (dengan nama pena Matu Mona)
dan diterbitkan pertama pada 1934, penamaan tokoh dilakukan hanya dengan
menyamarkan saja, dengan nama yang mirip, sehingga pembaca umum pun akan
langsung paham pihak mana yang sebenarnya dimaksud oleh penulis.
Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Tohari pada tahun
1982 ini diterbitkan dalam tiga buku terpisah: Catatan Buat Emak (1982), Lintang
Kemukus Dini Hari (1984), dan Jantera Bianglala (1985).
Ketika terbit untuk pertama kalinya, novel ini kontroversial dan segera
mengundang ketakutan pemerintahan Soeharto saat itu, sehingga beberapa
bagiannya disensor otoritas dengan alasan menyebabkan keresahan sosial dan
kesalahpahaman sejarah. Setelah Reformasi bergulir, edisi lengkap novel ini pun
diterbitkan kembali. Banyak nasib penulis yang mengisahkan keadaan zamannya dan
karyanya dilarang terbit, misalnya Mochtar Loebis, yang menulis beberapa novel
dalam penjara. Karyanya sempat dilarang, namun sebuah penerbit luar negeri
meminta naskahnya untuk segera diterbitkan di luar Indonesia.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk—yang oleh rezim pada saat
itu disebut sebagai karya yang ‘tidak baik,’—menampilkan kisah percintaan dua
orang muda dengan latar sebuah kampung di wilayah Banyumas, Dukuh Paruk.
Persahabatan Rasus dan Srintil sejak kecil kemudian berbuah cinta. Srintil,
yang tumbuh sebagai gadis paling cantik sekampung, kelak diyakini mendapat
titisan indang (roh peronggeng), sehingga ia berkesempatan menjadi
ronggeng. Pada saat itu, menjadi ronggeng adalah sebuah kebanggaan dan simbol
kesenangan. Ronggeng adalah bagian dari kehidupan masyarakat, sehingga wajar
jika ia segera larut dalam politik, sebagai simbol dari kebudayan rakyat.
Konflik mulai terjadi pada tahun 1964. PKI (yang pada
bagian awal novelnya digambarkan sebagai kelompok bercaping merah) mengundang
ronggeng dan kelompok-kelompok seni lain untuk pentas. Oleh PKI, ronggeng diasosiasikan
sebagai bagian dari kesenian rakyat dan simbol perlawanan terhadap pemerintah.
Di sinilah ditampilkan sisi ganas sebuah rezim, baik pemerintah maupun oposisi,
yang menggunakan rakyat hanya sebagai alat. Selama beberapa tahun, Srintil
ditahan pemerintah. Malangnya, setelah bebas, lingkunganlah yang menjadi ruang
tahanan bagi Srintil, lengkap dengan segala stigma dan perasaan tidak
nyaman yang menghantuinya.
Membaca novel Ahmad Tohari yang ditulis pada 1984, tampak
bahwa peristiwa 1965 membawa pengaruh yang sangat luas. Banyak orang yang tak
tahu apa-apa terseret dalam konflik ini, mirip dengan tokoh Srintil dan
tetangga-tetangga sekampungnya. Ketidakpahaman mereka di satu sisi, dan
kerasnya politik di sisi lain, menimbulkan banyak korban, yang hingga kini
tidak kunjung jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Pembasmian
Terdapat banyak kasus pembuangan terhadap
orang-orang yang dicurigai terlibat dalam aksi 1965. Mereka dicap sebagai
bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dan karenanya harus ditindak. Dalam
hal ini, berbagai tindakan dilakukan, dan yang paling ‘ringan’ adalah penahanan
(yang hampir semua dilakukan dengan tanpa adanya peradilan).
Implikasinya, cap ‘komunis,’ yang ditakuti dan gampang
meneror mental khalayak, digunakan sebagai alat politik Misalnya saja,
orang yang mengkritisi kebijakan atau pejabat (atau pihak yang dekat dengan
negara) bisa semena-mena kena label komunis. Banyak permasalahan pribadi
yang berakhir dengan pencekalan salah satu pihak yang kemudian berkembang menjadi
tuduhan komunis. Tentunya, ini belum termasuk pembuangan dan pembasmian
orang-orang yang dianggap komunis.
Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang lumrahnya dimiliki warga
negara sebagai pengenal, dijadikan tanda dengan kode-kode tertentu untuk
menunjukkan bahwa si pemilik kartu telah dicurigai sebagai komunis.
Dengan adanya stigma tersebut, dan kondisi masyarakat
yang sudah ‘sakit’ oleh trauma, ekses-ekses ekonomi-politik berkembang. Hingga
kini, pada kenyataannya, masih terdapat banyak kasus di mana keluarga dari
orang yang dulu dicap sebagai PKI sulit mendapatkan pekerjaan terutama untuk
posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Salah satu yang mulai diperbincangkan di era reformasi
adalah tuntutan pelurusan sejarah yang selama bertahun-tahun dikuasai oleh rezim.
Sejarah adalah pengetahuan, di mana pengetahuan adalah
kuasa. Maka, dalam konteks ini, sejarah yang dituliskan dan tersebar sebagai
sebuah imajinasi sosial bangsa menjadi aspek yang sangat determinan dalam
kehidupan bernegara. Dalam ‘sejarah umum’ di Indonesia, insiden politik pada
tanggal 1 Oktober 1965 sendiri selalu diasosiasikan dengan gerakan orang-orang
dari komunis yang melakukan kudeta dengan membunuh sejumlah jenderal. Maka,
‘G30S/PKI’ pun diperlakukan sebagai istilah yang tak bermasalah dalam penulisan
sejarah. Di ujian-ujian sekolah, jawaban dari murid akan disalahkan jika ia
menulis ‘G30S’ tanpa disambung kata ‘PKI.’ Dalam hal ini, posisi saya bukan
menolak dan mengatakan bahwa PKI tidak terlibat dengan mempersoalkan perihal
istilah yang ‘formal’ dalam kurikulum pendidikan sejarah Indonesia.
Namun, sementara ada beragam versi sejarah peristiwa
1965, pemerintah pun kelihatan naif (jika bukan tendensius) ketika langsung
menunjuk PKI sebagai aktor tunggal pada peristiwa tersebut.
Tak perlu dikatakan lagi jika penulisan sejarah ini
seiring dengan tindakan kekerasan negara yang menimbulkan korban yang
luar biasa banyaknya.
Pasca-1965, walaupun konstelasi politik mulai menuju pada
satu polar dan relatif menjadi berangsur-angsur ‘stabil,’ kestabilan ini
dipaksakan. Peraturan-peraturan dikeluarkan, meregulasi gerak-gerik warga, dan
akhirnya turut memelihara stigma dan diskriminasi terhadap siapapun yang
dianggap ‘kiri.’ Beberapa peraturan yang memiliki dampak langsung tersebut
adalah:
Tap MPRS No. XXV/1966
Pembubaran PKI, pernyataan organisasi terlarang di
seluruh wilayah negara RI bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk
menyebarkan/ mengembangkan paham atau ajaran komunise/marxisme, leninisme.
(Masih berlaku).
UU No. 3/1967
Dewan Pertimbangan Agung;
Pasal 4-e untuk menjadi anggota DPA, tidak terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra revolusi
G30S/PKI/organisasi terlarang.
UU No. 15/1969
Pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan
Rakyat;
Pasal 2, WNI bekas anggota organisasi terlarang PKI
termasuk organisasi massanya yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
gerakan kontra revolusi G30S/PKI/organisasi terlarang lainnya tidak diberi hak
untuk memilih dan dipilih.
UU No. 5/1985
Referendum;
Pasal 11 ayat 2-a untuk dapat dari daftar dalam pemberi
pendapat rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat bukan bekas anggota organisasi
terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat
langsung/tidak langsung.
UU No. 14/1985
Mahkamah Agung;
Pasal 7 ayat 1d untuk dapat diangkat menjadi hakim agung
seorang calon harus memenuhi syarat: bukan bekas anggota organisasi terlarang
PKI, termasuk organisasi massanya.
UU No. 2/1986
Peradilan Umum;
Pasal 14 ayat 1d untuk diangkat menjadi hakim pengadilan
negeri, seorang calon bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk
organisasi massanya/ bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung
dalam G30S/PKI.
UU No. 5/1986
Peradilan Tata Usaha Negara;
Pasal 14 ayat 1d untuk diangkat menjadi Hakim pada
pengadilan TUN, seorang hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI,
termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak
langsung dalam G30S/PKI.
UU No. 7/1989
Peradilan Agama;
Pasal 13 ayat 1d untuk diangkat menjadi hakim pada
pengadilan agama, seorang Hakim bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI,
termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak
langsung dalam G30S/PKI.
UU No. 17/1997
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;
Pasal 8d untuk dapat menjadi anggota setiap calon bukan
bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya/bukan
seseorang yang terlibat langsung/ tidak langsung dalam G30S/ PKI.
UU No.5/1991
Kejaksaan Negeri;
Pasal 9d syarat untuk diangkat menjadi jaksa tidak boleh
bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya/bukan
seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
UU No. 3/1999
Pemilihan Umum;
Pasal 43 ayat 1f seorang calon anggota DPP, DPRD I, DPRD
II adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi
massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam G30S/PKI.
UU No. 4/1999
Susunan, Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD;
Pasal 3 ayat 1d bukan bekas anggota organisasi terlarang
PKI, termasuk organisasi massanya/bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak
langsung dalam G30S/PKI.
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981:
Larangan menjadi pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, guru, pendeta, dan
sebagainya bagi mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam
G30S/1965 dan mereka yang tidak ‘bersih lingkungan’.
Keputusan Presiden No.16 Tahun 1990: Penelitian khusus
(Litsus) bagi calon pegawai negeri sipil, anggota DPR dan notaris.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 1991: KTP
seumur hidup tak berlaku bagi WNI yang berusia 60 tahun tapi pernah terlibat
langsung ataupun tidak langsung dengan organisasi terlarang (OT).
UU No. 43/1999 tentang Perubahan Azas UU No. 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian: Pegawai negeri sipil diberhentikan tidak
dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Ideologi negara,
Pancasila, UU Dasar 1945, atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara
dan pemerintah (Pasal 23 Ayat 5 b).
UU no. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah: Syarat kepala
daerah tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang menghianati Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang dinyatakan
dengan surat keterangan ketua pengadilan negeri (Pasal 33 c).
UU No. 31/2002 tentang Partai Politik: Partai politik
dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme (Pasal 19 Ayat 5).
UU No. 12/2003 tentang Pemilu: Syarat caIon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota bukan bekas anggota organisasi
terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat
langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya
(Pasal 60 g).
UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden: Syarat calon presiden dan wakil presiden bukan bekas anggota
terlarang PKI termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat
langsung dalam G30S/PKI (Pasal 6 s).
Pelurusan Sejarah
Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
secara terbuka mengatakan bahwa dirinya prihatin dengan pembunuhan terhadap
orang-orang yang dinyatakan komunis. Dalam kapasitasnya sebagai seorang
presiden, ia mengucapkan permintaan maaf. Banyak pihak menanggapi dengan respon
beragam. Di satu sisi, pihak yang setuju menyambut baik tindakan Gus Dur, yang
menawarkan kemungkinan diadakannya peradilan secara terbuka untuk menentukan
pihak mana yang terlibat dan bersalah. Dengan tindakan seperti itu, diharapkan
dapat terjadi sebuah rekonsiliasi dan pelurusan sejarah 1965. Adapun pihak yang
berseberangan menanggapi dingin pernyataan Gus Dur dengan alasan perbedaan
prinsip.
Tahun 2002, Gus Dur kembali mengucapkan pernyataan maaf.
Kali ini mewakili Nahdlatul Ulama (NU) yang diakuinya turut terlibat dalam
peristiwa-peristiwa 1965 dan setelahnya, kendati di bawah setting penguasa
Suharto pada masa itu.
Pasca reformasi, terlebih setelah sikap terbuka Gus Dur,
beberapa kali diserukan rehabilitasi hak-hak korban 1965. Pada tahun
2003, Megawati Soekarnoputri yang menjabat presiden diminta mengeluarkan
keputusan terkait hal tersebut. Diskriminasi masih menjadi hal yang sangat
menyulitkan—dan dirasakan sebagai kekerasan dalam bentuk yang samar—bagi para
keluarga korban 1965 yang dilabeli komunis. Namun, seruan ini layu sebelum
berkembang. Ada banyak pihak yang menentang.
Salah satunya Amien Rais, yang menolak rencana tersebut
dengan pernyataan yang sangat emosional. 24 Juli 2003, di Gedung Nusantara III
saat menerima Gerakan Nasional Patriot Indonesia, Amien mengatakan bahwa
sungguh bodoh bangsa Indonesia apabila kembali mengizinkan disebarluaskannya
ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme, setelah terbukti dua kali terjadi
pengkhianatan: pemberontakan PKI di Madiun 1948 dan pengkhianatan ‘G30S/PKI’.
‘Kambing congek saja tidak akan membenturkan kepalanya dua kali.
Kalau kita belum bisa mengambil pelajaran dari dua peristiwa bersejarah tersebut
ya kita lebih bodoh dari kambing,’ ujarnya pada saat itu (Rakyat Merdeka, 25
Juli 2003).
Di sisi lain, perkembangan yang juga menarik adalah
kemunculan organisasi-organisasi yang mempublikasikan kisah para korban 1965
dalam bentuk buku-buku yang sebelumnya dilarang. Mereka aktif juga dalam
penelitian guna menyokong rekonsiliasi pihak-pihak yang saling berselisih.
Sejak 1998, banyak film bertema seputar 1965 telah diproduksi oleh
komunitas-komunitas. Mereka berupaya melakukan pelurusan sejarah resmi yang tidak
adil, diskriminatif, dan mempersulit proses rekonsiliasi. Dalam
tulisannya ‘The Battle for History After Soeharto,’ Gerry van Klinken
menyebutnya sebagai bagian sebuah eforia kebebasan dari rezim. Ia membandingkan
kondisi Indonesia saat ini dengan yang terjadi di Thailand setelah protes
anti-militer yang dilakukan para mahasiswa pada tahun 1973. Tercatat selepas
1998, terdapat dua judul film fiksi dan enam film dokumenter yang diproduksi di
Indonesia.
Film-film dokumenter berkaitan dengan tema 1965 lebih
banyak dalam hal jumlah, namun kurang terpublikasi secara serius. Beberapa di
antaranya adalah Puisi Tak Terkuburkan (1999), Mass Grave (2003), Gie (2005), Menyemai
Terang dalam Kelam (2006), Tumbuh dalam Badai (2008),
dan Tjidurian 19 (2009).
Pada Juni 2012 lalu, puluhan keluarga korban mendatangi
Komisi Nasional HAM, pengakuan maaf dari pemerintah dan pelurusan sejarah.
Upaya semacam ini telah dilakukan sebelum-sebelumnya dan
tetap tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pemerintah. Aksi Juni 2012 itu
dilakukan bertepatan dengan diadakannya Sidang Paripurna untuk membahas hasil
penelusuran yang dilakukan Tim Penyelidik Kasus 1965.
Pada aksi hari itu pula, sempat terjadi ketegangan saat
beberapa orang dari Front Anti Komunis (FAKI) mendatangi Komnas HAM untuk
menolak permintaan dari korban 1965. Eksistensi FAKI yang memosisikan diri
sebagai penolak ideologi tertentu (komunis), seraya menolak saat diberi
kesempatan oleh Komnas HAM untuk berdialog dengan para korban 1965 (YPKP 65/66,
Juni 2012), adalah ganjil dalam sebuah negara demokratis.
Hal yang kemudian menjadi disesalkan adalah penundaan
keputusan dari Komnas HAM mengenai nasib korban 1965. Secara resmi, Sidang
Paripurna Komnas HAM tersebut tidak memutuskan apapun selain penundaan dan
menunggu sampai terbentuknya komisioner yang baru.
Tim Penyelidik Kasus 1965 ini sendiri telah dibentuk
sejak 2008, dan belum bisa memutuskan apapun. Seharusnya, Komnas HAM dengan
kekuatannya bisa melihat betapa berbahayanya sebuah rezim sejarah yang ada
sekarang. Dengan adanya kenyataan bahwa tragedi pembantaian tahun 1965 tersebut
menghilangkan sangat banyak nyawa, dan memiliki implikasi pada keluarganya
hingga kini, agak aneh melihat langkah Komnas HAM yang terkesan ragu-ragu.
Tidak perlu memberikan solusi dalam hal ini berkaitan
dengan Komnas HAM, karena pada dasarnya sudah jelas apa yang seharusnya mereka
lakukan.
***
Sayfa Auliya Achidsti, mahasiswa
Pascasarjana Fisipol UGM dan jurnalis