Sumber: Kompasiana
WeBlog Dokumentatif Terkait Genosida 1965-66 Indonesia
"Bagaimana pun juga setiap warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama, karena dilindungi UUD 1945," kata Koordinator IV Sekretariat Bersama (Sekber) korban 65 Banyumas, Slamet Sp di Banyumas, Selasa (29/10).
"Saat ini kami masih akan menunggu informasi dari pihak yang ikut dalam melaksanakan acara tersebut," katanya.Lebih jauh, ia mengatakan empat korban yang mendapatkan tindakan kekerasan tersebut, memang berasal dari wilayah Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah.
"Salah satu korban kekerasannya menjabat sebagai sekretaris Sekber 65 Kecamatan Sumpiuh, Bayu Cahyadi. Tetapi hingga sekarang kami masih belum bisa menghubunginya," ucapnya.
Menurut Slamet, kondisi yang terjadi di Yogyakarta tersebut sangat bertolak belakang dengan di wilayah Banyumas. Dalam setiap kegiatan korban tragedi 1965 di Banyumas, nyaris tidak pernah mendapat gangguan dari pihak lain. "Bahkan dari unsur Bakesbangpolinmas juga turut serta dalam pertemuan yang biasanya kami gelar setiap selapanan. Di sini, kami bisa berkumpul dan berpendapat," ujarnya.Sementara itu, Wakil Ketua Aliansi untuk Kebenaran Keadilan dan Rekonsiliasi (AKKAR) Banyumas, Ahmad Sabiq mengemukakan tindakan oleh kelompok orang yang melakukan pembubaran di Shanti Dharma merupakan tindakan yang tidak beradab. Ia juga menyesalkan pihak kepolisian yang terus melakukan pembiaran terhadap kekerasan terhadap anak korban kekerasan tragedi Tahun 1965.
"Karena sejatinya tindakan yang dilakukan terhadap peserta acara di Godean Yogyakarta sudah membahayakan kehidupan sendi-sendi dalam berdemokrasi di Indonesia. Perilaku tersebut merupakan bentuk ancaman nyata terhadap demokrasi di Indonesia," jelasnya.Sabiq melanjutkan, selama ini wilayah Banyumas dan Cilacap merupakan salah satu wilayah dengan jumlah mantan eks-tapol dan napol tragedi 1965 yang cukup banyak.
"Dalam perkiraan saya ada ribuan warga Eks tapol dan napol 1965 di Banyumas dan semuanya tersebar di pelosok. Tetapi di Banyumas sendiri, warganya selalu menghargai perbedaan tersebut. Kalau pun ada itu juga bisa diselesaikan duduk bersama karena hanya merupakan bentuk kesalahpahaman saja," ucapnya.
"Kita dari GM FKPPI tidak menginginkan ada bantuan hukum untuk anak-anak PKI, Idelogi komunis tidak boleh hidup di Indonesia lagi karena sangat menyengsarakan rakyat," ujar Hanung, di kantor LBH Yogyakarta, Senin (28/10).Kedatangan juga mereka berusaha menekan LBH Yogyakarta agar tidak meneruskan laporan dari peserta diskusi. Mereka mengancam akan datang dengan jumlah massa lebih banyak lagi jika LBH Yogyakarta melanjutkan laporan tersebut.
"Apabila LBH akan meneruskan kita akan dengan massa lebih banyak dan akan kami segel LBH. Kalau mau nerima laporan dari PKI, langkahi mayat kami dulu," kata Hanung.Sementara itu ketua FAKI Budi Santoso mengatakan mereka melakukan penyerangan karena ada indikasi pertemuan tersebut merupakan koordinasi anak-anak PKI dan tokoh PKI.
"Mereka bilang diskusi soal ekonomi kerakyatan, itu hanya kedok," ujar Budi.Menanggapi itu ketua LBH Yogyakarta, Syamsudin Nurseha mengatakan pada dasarnya LBH Yogyakarta belum menerima laporan dari kelompok diskusi yang dikoordinatori Iren tersebut.
"Kami belum menerima laporan, namun pada prinsipnya LBH Yogyakarta melayani tanpa mendiskriminasikan siapapun," kata Syamsudin singkat.Sebelumnya puluhan aktivis FAKI membubarkan diskusi yang berlangsung di Padepokan guru dan karyawan PGK Shanti Dharma, di Godean Sleman, Minggu (27/10). Dalam penyerangan tersebut setidaknya ada korban luka sebanyak tiga orang. [ian]
Penulis | : Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma |
Editor | : Kistyarini |
"Ketika Sulawesi datang ke depan, itu harus dipuji."Penulis buku lainnya, Gagarisman, putra pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) Sulawesi Tengah, membacakan puisi di atas panggung di Goethe, menceritakan kisah keluarganya setelah ayahnya , Abdul Rahman Dg. Maselo, ditahan pada tahun 1965 dan dinyatakan hilang pada tahun 1967.
"Di Bone [Sulawesi Selatan] saja, ada lebih dari seribu."Dia mengatakan dia bahkan mendengar cerita dari para penyintas Sulawesi Utara tentang penggunaan alat pemenggalan kepala.
“Aku juga bersalah. Pada 24 Maret 1966, saya diberitahu oleh militer, sebagai seorang pramuka, untuk membantu menjaga [yang dicurigai] PKI yang berkumpul di sebuah alun-alun. Aku menjaga mereka dengan tongkat pramuka anakku."Rusdy kemudian mengumumkan kampanye yang disebut "Palu, Kota dengan Kesadaran Hak Asasi Manusia ".
"Cara ayah saya dimakamkan tidak beradab, hanya cocok untuk mereka yang tidak setia," kata Gagar. “Saya seorang Muslim. Tolong, kembalikan jasad ayahku, kembalikan dia ke keluarga sehingga kita bisa mengadakan pemakaman sebagaimana layaknya keluarga Muslim".
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
“Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
“Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.
"Saya masih ingat, Bapak dijemput tentara di Ciparay pada Desember 1965." Itulah tutur Karmini, istri pelukis Hendra Gunawan. Sejak itulah Hendra dimasukkan ke sel tapol (tahan an politik) Kebon Waru, Bandung, tanpa pengadilan sama sekali.
“Ia ditangkap semata-mata karena sahabat Bung Karno. Hendra memang sering diundang koffie uurtje (minum teh pagi hari, adt) oleh Bung Karno di istana presiden. Ia hanyalah seniman yang diseret-seret ke politik,” tuturnya dalam pidato pembukaan pameran pelukis Nuraeni, istri kedua Hendra, di Mitra Budaya, Jakarta, 1990.
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
“Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
“Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.